Episode 10: Jelaskan Apa Maksud Semua Ini!!!

Romance Series 4292

POV Danang

Pelan-pelan aku duduk dan membaringkan tubuhku. Besok pagi-pagi sekali aku harus bangun terlebih dahulu darinya.

Jangan sampai dia sadar kalau aku tidur seranjang dengannya. Jika bukan karena terpaksa aku juga tidak akan melakukannya.

Baru saja tubuhku rebah dengan sempurna, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya menghadap padaku, sontak aku mengalihkan pandangan padanya, tak sengaja mataku menatap pada wajah yang sudah damai dalam tidurnya.

Lama kuamati wajah di balik kacamata itu. Kenapa dia....

Aku menggelengkan kepada dan mengusap wajah gusar. Tak ingin lama-lama menatap wajahnya, bergegas aku memutar tubuh untuk memunggunginya.

Tak lupa kuturunkan suhu pendingin udara agar tidak kedinginan, karena selimut satu-satunya sudah dipakai olehnya.

Mimpi apa aku, bisa-bisanya aku tidur seranjang dengannya. Ini semua gara-gara mama. Hatiku tak henti-hentinya mengumpat keadaan.

Kealihkan pikiranku, kupenuhi ruang ingatku untuk membayangkan wanita pujaanku yang belakangan ini selalu bisa memberiku kenyamanan.

Siapa lagi kalau bukan Hanum. Memahamkan wajahnya dalam setiap khayalanku, kulafaskan namanya dalam setiap hembusan napasku, semoga mimpi mempertemukan kami nanti.

Seandainya saja yang tidur di sampingku ini adalah Hanum...

"Aaa..." Suara pekikan mama nan berisik mengganggu tidurku.

Dengan kesal kubuka kembali mataku yang rasanya baru terpejam beberapa menit.

What the? Apa-apaan ini? Kenapa aku bisa tidur sambil memeluk dia Pantas saja kalau mama begitu antusias menyaksikan pemandangan yang tersaji di depan matanya.

Kerena memang inilah yang diinginkannya.

Kami sama-sama terperanjat dan saling melepaskan diri.

Tidak! Hanya aku yang terkejut, karena kurasa dia hanya berakting.

Aku yakin dia yang sengaja melakukan ini. Mengambil kesempatan saat aku tertidur. Ternyata dia tidak selugu penampilannya.

"Mama apa-apaan sih? Pagi-pagi udah teriak-teriak."

"Kayak di hutan aja!" omelku gusar sembari membenarkan pakaianku.

Sekilas kulayangkan tatapan sengit pada Yulia, sadar aku sedang marah segera dia menundukkan pandangannya, kemudian berdiri.

Mama yang sedari tadi berdiri di ambang pintu mendekat sambil senyum-senyum.

"Mama bahagia, pagi-pagi disuguhkan pemandangan yang indah," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata, lalu menghenyakkan tubuhnya di bibir ranjang.

"Memang seharusnya begitu. Suami istri itu tidur berdua, di kamar dan di ranjang yang sama."

"Kalau tidur aja masih sendiri-sendiri, kapan akan berkembang biaknya." Mama terlihat sangat bahagia.

Apa jangan-jangan dia berpikir kalau aku sudah bisa menerima wanita yang mereka paksa untuk kunikahi itu? Big no!

Sampai kapanpun aku tak akan bisa menerimanya.

Dengan kesal kutinggalkan mereka. Sebelum mama punya rencana yang lebih gila lagi, dan selagi pintu terbuka.

Bergegas aku keluar dari kamar itu. Kamar yang berhasil membuatku merasa terpenjara sedari malam.

Lega.. akhirnya aku terbebas juga dari perangkap jebakan mama. Setelah mengunci pintu kamarku, kuhempaskan tubuhku di kasur.

Kembali memejamkan mata untuk mengganti waktu istirahatku yang terpangkas semalam.

Beruntung sekarang akhir pekan, jadi aku tak perlu dikejar-kejar waktu untuk melaksanakan rutinitasku.

"Danang ... sarapan."

Huaaah ... apalagi ini? Suara ketukan pintu dan panggilan mama kembali mengganggu tidurku.

Ya Tuhan... tidak bisakah hari ini aku istirahat untuk sejenak? Aku benar-benar kesal.

"Danang?"

Dengan malas aku beranjak dari kasur, membukakan pintu lalu kembali lagi merebahkan diriku di kasur.

"Ayo, sarapan dulu!" Mama mengusap lembut lenganku.

"Aku masih ngantuk, Ma," sahutku dengan mata yang kembali terpejam.

"Mama sama istrimu sudah memasakkan sarapan. Ayo, sarapan dulu."

Apa? Istri? Mendadak perutku jadi mules mendengarnya.

"Kalian sarapan saja dulu."

"Nanti setelah sarapan mama mau pulang, kamu bisa sambung lagi tidurnya."

Akhirnya... ini adalah masa yang kutunggu-tunggu.

Sehari saja mama menginap di rumahku sudah membuat aku tersiksa.

Memang lebih baik mama segera pulang. Tak terbayangkan olehku akan seperti apa hidupku jika mama berlama-lama tinggal di rumahku.

"Ayo!!!!" Mama menarik paksa tanganku hingga aku terduduk.

Memang dasar semua wanita selalu harus diturutin apa kemauannya.

"Iya-iya. Mama duluan ke luar. Danang mau cuci muka dulu." Kuusap wajahku.

Dengan langkah terseok dan mata yang masih masih saling bertaut seakan enggan untuk dipisahkan aku berjalan ke kamar mandi.

Aroma lezat makanan yang menggugah menusuk hidungku, seakan mampu membuat cacing dalam perut bersorak gembira. Dua orang wanita sudah menungguku di meja makan.

Seandainya saja salah satu dari mereka adalah wanita yang kupilih sendiri untuk menemani mendampingi hidupku mungkin aku akan sangat bahagia.

Namun, sayang seribu sayang....

Selama menikah dengan dia, tak ada yang bisa kuharapkan selain dari masakannya.

Memang apa yang dia sajikan selalu bisa memuaskan perutku. Makanya aku bilang, dia lebih cocok untuk menjadi pembantu daripada menjadi istriku.

Seporsi sarapan pagi sudah terhidang di hadapanku. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan dia.

Meski aku tak pernah memperlakukannya dengan baik, tapi dia selalu melayaniku sepenuh hati.

Namun, aku rasa itu sebanding, karena jumlah uang belanja yang kuberikan padanya lima kali lipat jika dibandingkan dengan gajinya sebagai office girl.

"Sayang, kamu makan yang banyak, ya, biar sehat." Mamaku berucap dengan penuh perhatian, layaknya mertua dengan menantu kesayangan.

Aku masih tak habis pikir, kenapa kedua orang tuaku bisa begitu saja menerima dan menyayanginya.

Entah dimana sisi plus dia di mata mereka. Aku saja yang sudah lama tinggal seatap masih belum bisa melihat kelebihannya yang bisa mengambil perhatianku.

"Danang, mama harap setelah ini kalian akan selalu tidur bersama. Mama ingin segera menimang cucu," ucap Mama setelah kami selesai sarapan.

Kembali lagi pada pembahasan membosankan itu.

"Heemm..," sahutku malas karena tidak ingin memperpanjang masalah.

Kuambil serbet dan mengelap bibirku.

"Jangan hanya heeem-heem doang, lagi pula kalau kamu tidak memberi nafkah lahir untuk istrimu maka kamu akan berdosa."

"Dan sebagai orang tua mama dan papa juga akan ikut mempertanggung jawabkan perbuatanmu jika kami membiarkan saja."

"Iya, Ma." Lebih baik aku iya-iyakan saja agar urusan cepat kelar.

Percuma juga berdebat sama mama. Lagian permintaan yang impossible, itu tak akan pernah terjadi!

Jika aku mau punya anak, bukan rahimnya yang akan kujadikan untuk menyemai benihku.

"Sayang, Mama pamit, ya, sering-sering hubungi Mama."

"Nanti kalau ada waktu Mama akan main-main ke sini lagi." Mereka saling berpelukan.

Drama sekali, seperti akan berpisah jauh saja, padahal masih tinggal di kota yang sama.

"Iya, Ma. Mama hati-hati di jalan, ya. Nanti kalau udah sampai, jangan lupa kasih kabar."

Mama beralih padaku dan memelukku.

"Jaga istrimu baik-baik, berusahalah untuk jadi suami yang baik," pesannya.

"Iya," aku mengangguk.

Kalau aku membantah bisa-bisa mama mengundur atau bahkan membatalkan niatnya untuk pergi, dan itu artinya sama saja aku mencari gara-gara.

Mama masuk ke mobilnya, tak lupa dia membunyikan klakson sebelum pergi.

Setelah mobil merah yang membawa mama menghilang dari pandangan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Berencana untuk kembali tidur.

Semoga saja setelah ini tak ada lagi yang mengganggu, dan aku bisa istirahat dengan tenang dan nyaman.

Namun, baru saja mengambil posisi nyaman pikiranku sudah kembali terganggu.

Ponselku. Dari pagi aku belum melihat benda itu. Sepertinya ponselku tertinggal di kamar tamu, dimana aku semalam tidur bersama...

Ah, aku tidak mau membahas hal itu lagi. Aku kembali ke luar dari kamar, aku melihat dia tengah sibuk membereskan rumah.

Good job, setidaknya aku tidak perlu lagi buang-buang uang untuk menyewa asisten rumah tangga.

Kamar itu sudah kembali rapi dan wangi sepertinya baru saja disemprot dengan pewangi ruangan.

Aku melihat ponselku tergeletak di atas meja, tempat dimana aku meletakkannya semalam.

Saat hendak keluar, tak sengaja mataku tertuju pada sebuah ponsel yang terletak di atas bantal, sepertinya itu ponsel dia.

Seketika ingatanku tertuju pada kejadian semalam, saat dia terlihat begitu sangat bahagia.

Sekedar ingin memastikan apakah semalam dia sedang berbalas pesan dengan seseorang atau memang hanya menonton video lucu seperti asumsiku.

Kurasa tak ada salahnya untuk memastikan, toh uang yang dia jadikan untuk membeli ponsel ini juga pasti berasal dari uang yang kuberikan, jadi tak ada salahnya jika aku memeriksanya.

Kuraih ponsel itu dan duduk di atas kasur, kemudian menyalakannya. Kutekan tombol on-off-nya, benda itu menyala, sepertinya dia sengaja mematikannya.

"Mas Danang?" Keningku berkerut ketika melihat ada pesan masuk dari namaku saat benda itu baru saja menyala.

[Ya sudah, tidak apa-apa. Selamat malam, selamat beristirahat.] Aku semakin tak mengerti.

Kenapa pesan yang kukirim ke Hanum tadi malam bisa masuk ke ponselnya?

Apa jangan-jangan dia menyadap wa-ku? Tapi rasanya tidak mungkin, apa iya dia sepintar itu?

Aku memanggil nomorku dari ponselnya, disaat yang bersamaan ada panggilan masuk ke ponselku dengan nama Hanum tertera di sana.

"Apa maksudnya semua ini?"

"Kenapa ponsel Hanum bisa ada dengannya?"

"Padahal baru saja semalam aku berbalas pesan dengan Hanum."

"Apa jangan-jangan ????" Ku-scroll layarnya, ternyata di sana masih banyak percakapan antara aku dan Hanum.

Bahkan pesan sapaan pertama kali yang dikirim Hanum padaku juga ada tersimpan di sana.

Aku tak ingin menebak-nebak, segera aku keluar mencari dimana keberadaan wanita itu, aku harus minta penjelasan padanya.

Dengan langkah besar dan tergesa aku menuju padanya yang masih sibuk beres-beres, tak sabar rasanya untuk mendengar penjelasan yang akan dia berikan.

"Jelaskan apa maksud semua ini!" Kulemparkan ponsel itu ke atas meja saat dia sedang mengelap debu-debu yang melekat di vas bunga meja ruang tamu.

Bergegas dia mengambil ponsel itu, pandangannya berubah pias saat menyalakan benda itu dan menampilkan rentetan pesan antara aku dan Hanum.

Tangannya bergetar memegang ponsel yang kuberikan.

Dia menatapku dengan mata yang berembun di balik kaca mata bulat yang selalu bertengger di hidungnya.

Baru kali ini aku fokus menatap wajahnya setelah dua tahun tinggal di bawah atap yang sama.

Sedangkan aku berdiri bersidekap di hadapannya, menanti serangkai penjelasan masuk akal yang harus dia ucapkan padaku.

To Be Continue

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience