Episode 06: Hati Tak Bisa Dipaksakan!

Romance Series 4292

Mas Danang menggelengkan kepalanya, begitu juga denganku. Aku juga merasa permintaan papa itu sesuatu yang mustahil dan tak akan mungkin pernah terjadi.

"Semua tergantung padamu." Pak Wicaksono meneguk kembali air putihnya, kemudian melangkah meninggalkan meja makan.

Sedikit mengangkat kepalaku, mas Danang terlihat sangat gusar sekali, dia mengusap kasar wajahnya, kemudian beranjak dan mengikuti langkah papanya ke ruang depan.

Sedangkan aku langsung mengumpulkan piring dan gelas yang koto, lalu mencucinya.

"Apa lagi alasanmu sekarang? Kamu masih mengharapkan Kanaya? Dia sudah menikah Danang,"

"Bahkan kata papanya dia sekarang tengah hamil!" Dari balik dinding aku mendengar perdebatan antara ayah dan anak itu.

Tak berani hadir di tengah-tengah mereka.

"Apa perlu papa menyuruh mamamu turun tangan untuk hal ini?"

Tak ada sahutan apa-apa dari mas Danang.

"Apa kurangnya Yulia? Dia istri yang baik, pintar memasak dan mengurus rumah tangga, apa terlalu sulit untukmu membuka hati padanya?"

"Hati tak bisa dipaksakan!" Jawaban Danang.

Bagaikan sabetan belati di hatiku, sejenak nadiku berhenti berdetak, meski tanpa diucapkan pun aku sudah tahu, tapi tetap saja mendengar kalimat itu langsung keluar dari mulut laki-laki bergelar suamiku itu rasanya teramat sakit.

"Bukan hatimu yang tidak bisa menerima Yulia, tapi dasar kamunya saja yang tidak pernah memberi kesempatan padanya," sanggah pak Wicaksono.

"Pa... dari awal Danang sudah bilang kalau --" Aku sengaja masuk agar mas Danang tidak melanjutkan ucapannya, karena aku tak sanggup untuk mendengar kalimat yang lebih menyakitkan lagi.

Dia tidak bisa menerimaku yang sudah lebih dari dua tahun hidup seatap dengannya, tapi dia bisa menerima Hanum yang baru dia kenal beberapa hari.

Sungguh naif.

Pak Wicaksono mengalihkan pandangannya padaku.

"Ya sudah, Papa pamit dulu. Dan kamu Danang, pikirkan baik-baik, kalau tidak mau kehilangan semua yang sudah kamu miliki selama ini."

Aku menyalami mertuaku itu dan mencium tangannya, kemudian aku mengantarnya sampai ke pintu,

Sedangkan mas Danang lebih memilih kembali masuk ke kamarnya, mungkin dia sangat kesal pada papanya.

"Yulia, kamu sabar, ya. Papa minta maaf sebagai orang tua karena tidak bisa mendidik Danang untuk menjadi suami yang baik."

Aku menggeleng.

"Tidak apa-apa, Pa, karena dari awal memang mas Danang sudah menolak untuk menikah dengan Yulia, tapi --" Aku menjeda ucapanku.

Pak Wicaksono mengusap lenganku.

"Papa minta maaf karena ini semua terjadi karena Papa, tapi Papa yakin, kamu bisa menjadi istri yang baik dan bisa membawa Danang ke arah yang lebih baik."

Aku tak paham dengan maksud ucapan pak Wicaksono, tapi aku hanya bisa mengangguk.

"Papa pamit." Beliau kembali melangkah.

Namun, kembali setelah beberapa langkah kembali membalikkan badannya dan memindaiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Tapi Danang tidak pernah menyakiti fisikmu, kan?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng.

"Tidak, Pa." Dia hanya menyakiti perasaanku, lanjutku dalam hati.

"Syukurlah." Kembali laki-laki dengan setelan jas berwarna hijau tua itu melanjutkan langkahnya dan masuk kedalam mobil berwarna hitam metalik miliknya,

Kemudian berlalu meninggalkan pekarangan rumahku.

Setelah mobilnya hilang dari pandangan, aku masuk ke dalam rumah.

Tak lupa kututup pintu terlebih dahulu.

Melintasi ruangan yang sunyi, aku melanjutkan langkah menuju kamarku.

Sesampainya di kamarku kuhempaskan tubuhku di kasur.

Mas Danang... kamu bilang kamu tak bisa menerimaku, lalu Hanum?

Jika kamu tau Hanum adalah Yulia apa yang akan kau lakukan?

Apa kau akan tetap menyanjung dan mencintainya? Atau kau juga akan membencinya?

Rasanya ingin segera kuteriakkan kebenaran tentang siapa Hanum di depan wajah mas Danang, tapi aku belum siap.

Aku harus menyusun rencana yang baik untuk mendeklarasikan hal itu.

[Hanum, sudah sampai di rumah belum?] Pesan dari mas Danang sepuluh menit yang lalu,

Itu artinya dia mengirim pesan itu ketika dia masuk ke kamar saat aku mengantar papanya ke luar.

Mas Danang masih saja memikirkan Hanum padahal baru saja mendapat peringatan dari papanya.

[Sudah, Mas.] balasku.

Baru saja pesan itu terkirim sudah ada gelembung di layar gawaiku, menandakan mas Danang sedang mengetik balasannya.

[Udah makan?] tanyanya lagi.

"Sudah, Mas. Makan hati!" geramku.

Kulempar gawai itu sembarangan kemudian menenggelamkan wajahku di bawah bantal.

Entah sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini.

Aku benci saat mas Danang memberikan perhatiannya pada Hanum, meskipun Hanum adalah diriku, tapi tetap saja itu tak akan merubah perasaan mas Danang.

Dia mencintai Hanum! Bukan Yulia!

Pintu kamarku terbuka, seseorang mendorongnya dari luar, aku yang tengah berbaring mengalihkan pandanganku.

Sesosok laki-laki tampan berdiri tak jauh dariku, tatapannya yang teduh membuatku jatuh ke dalam pesonanya.

Mas Danang, dia menatapku seperti dia menatap Hanum.

Apa mungkin dia...????

Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Mas Danang mendekat dan ikut duduk di bibir ranjang.

Ini kali pertama dia masuk ke kamarku.

Apa yang ingin dia lakukan? Apa jangan-jangan dia mau memenuhi permintaan papanya?

Dia menatapku dalam diam, pun denganku, otakku tiba-tiba beku dan tak bisa merangkai kata, bahkan untuk sekedar bertanya.

"Yulia?" lirih suara mas Danang memanggilku.

Ya, dia menyebut namaku, bukan Hanum. Berarti dia sadar kalau yang di hadapannya saat ini adalah Yulia--istrinya, yang mana dua tahun yang lalu sudah dipersuntingnya.

"I-iya, Ma-Mas?" sahutku terbata.

Tak mampu aku membalas tatapan itu dan lebih memilih untuk menunduk.

Mas Danang menggeser duduknya mendekat, diraihnya daguku dan mengangkat kepalaku agar aku menatap wajahnya.

Dia mengusap lembut pipi dan bibirku, kemudian membuka kacamata yang bertengger di hidungku.

"Mas?" tanyaku tak mengerti, sedangkan debaran di dada semakin bertabuh hebat.

Tangan mas Danang beranjak ke belakang kepalaku, kemudian melepaskan tali pengikat jilbabku.

Dengan pelan-pelan dia menanggalkan kain penutup kepala itu. Tak lupa dia membuka ikat rambutku, sehingga rambut panjangku tergerai begitu saja.

Dia membelainya rambutku, kupejamkan mata menikmati sensasinya.

Mas Danang meraih tanganku dari pangkuanku dan menggenggamnya, lalu mengecupnya, tapi tatapan matanya masih tidak beranjak dariku.

Aku menelan saliva saat mas Danang semakin mendekat dan mengikis jarak di antara kami, dia memegang kedua pundakku dan membawaku ke dalam dekapannya.

Tak ingin bertanya apa-apa aku hanya menuruti apa yang dia lakukan, karena jujur inilah saat yang kutunggu-tunggu.

Dengan sangat hati-hati mas Danang merebahkan diriku di pembaringan.

Pembaringan yang selama ini belum pernah dibasahi keringat kami berdua, yang berbaur dalam alunan nada cinta.

Mas Danang mengurungku di antara tangan kokohnya, tatapannya yang sayu mengisyaratkan sesuatu.

Satu tangannya kembali membelai wajahku dan menjalar ke leher, membuatku merasakan sesuatu.

Kupejamkan mataku menikmati setiap sentuhannya. Dengan mata yang terpejam aku bisa merasakan mas Danang semakin mendekat padaku, hangat hembusan napasnya menerpa wajahku.

"Buka matamu!" pintanya.

Kukumpulkan segenap keberanian untuk membuka mata dan membalas tatapannya, ternyata wajah mas Danang berada tepat di atasku dengan jarak beberapa senti saja.

Dalam jarak sedekat ini ketampanan mas Danang semakin bisa kulihat dengan jelas, tak ada sedikitpun kekurangannya di mataku.

Sempurna, hanya itu yang bisa kuucapkan, meskipun kutahu tak ada satu pun manusia yang sempurna.

Mas Danang semakin mendekat, sepersekian detik bingkai kami saling bertaut, aku terhanyut dalam derasnya arus cinta mas Danang.

Kubiarkan dia membawaku berlayar jauh, melintasi samudra dan rasanya tak ingin lagi untuk menepi.

To Be Continue

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience