Aku memperhatikan setiap inci wajahnya. Matanya terpejam. Bulu matanya yang lentik saling bertaut seoal-olah saling menggenggam satu sama lain, alisnya begitu natural tanpa dibentuk, dicukur dan diukir kembali.
Dan... yang paling menarik perhatian adalah... bibir ranumnya.
Lama aku tertegun menikmati pemandangan yang tersaji di depan mataku.
Mata seolah enggan baranjak. Seperti magnet, dia berhasil menarik perhatianku fokus hanya tertuju padanya, seakan-akan tak ada yang menarik kecuali dia.
Shit!
Kenapa?
Kenapa selama ini aku tidak menyadari kalau dia.. kalau dia... begitu indah.
Yah, itu! Dia indah!
Mendadak tubuhku terasa panas dingin. Bulir keringat terasa menyembur dari setiap pori-pori.
Kuusap bibirku.
Reflek kedua sudutnya tertarik ke atas. Segera kupukul pelan.
Apaan senyum-senyum sendiri?
"Kamu masih waras, Danang!" kesalku.
Dug dug dug....
Kupegang dada.
"Ayolah, apa yang kalian lakukan! Kenapa kalian bekerja di luar kendaliku?" ringisku.
Semua organ bekerja sesuka hati mereka saja. Aku menggerutu.
Kembali kutatap wajah ayu dengan mata yang masih terpejam itu.
Otak kembali bereaksi mengeluarkan pendapat.
Dia cantik!
Oh, astagah!
Ada apa dengan diriku?!
"Hei, buka matamu. Dalam dongeng, Putri Tidur akan terbangun saat pangeran menciumnya."
"Tapi, kenapa kamu tidak? Padahal aku sudah menciummu," gumamku.
Eith, tunggu!
What the?
Putri tidur?
Pangeran?
Ah, sepertinya aku mulai tak waras.
Sebelum semakin gila, segera aku beranjak, turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Saat hendak menutup pintu, kembali mata melirik ke arahnya seolah ada magnet di sana yang selalu berusaha menarik perhatianku.
"Danang? Kamu ngapain di sini?"
Aku terkejut terlonjak kaget oleh suara yang tiba-tiba terdengar dengan jarak yang sangat dekat denganku.
Hampir saja gula yang hendak kumasukkan ke dalam gelas tumpah ke meja.
"Papa ngagetin aja," kesalku merengut seraya mengusap-usap dadaku.
"Apa istrimu sudah sadar?" tanyanya tidak menanggapi ku dan tidak mempedulikanku yang hampir saja jantungan dibuat olehnya.
Aku menggeleng.
"Belum, Pa," jawabku.
"Awas saja kalau sampai terjadi apa-apa sama dia."
"Papa tidak akan kasih ampun untukmu!" ancam papa dengan tatapan mengintimidasi seolah aku adalah seorang tersangka kriminal.
Papa meraih gelas dan menuangkan air minum.
"Mamamu haus, makanya papa ambilkan air minum. Air minum di kamar sudah habis," terangnya.
"Itu teh." ucapannya mengambang di udara.
Dia menunjuk teh yang sedang kusiapkan untuk Yulia. Pandangan matanya bergantian menatap pada wajahku dan gelas.
"Untuk Yulia, Pa," potongku.
Kening papa berkerut ketika mendengar ucapanku, apa mungkin dia tidak percaya aku melakukannya?
Ah, mereka terlalu menilaiku sebagai sosok antagonis, tanpa pernah melihat sisi baik yang ada dalam diriku.
"Apa ada yang aneh, Pa?" tanyaku sambil menuangkan air hangat ke dalam gelas yang sudah kuisi dengan gula dan teh celup, lalu mengaduknya.
"Kamu nggak lagi ngelindur, kan?" tanya papa, beliau menatapku dengan penuh selidik.
Aku yang tengah mengaduk gula menghentikan kegiatanku dan membalas tatapan tak biasa yang dilayangkan papa.
"Lalu Danang harus bagaimana, Pa? Perasaan apa yang Danang lakukan selalu salah."
"Cuek salah, perduli juga salah," sungutku.
Papa menganggukkan kepala.
"Good job. Pertahankan apa yang kau miliki selagi dia ada, jangan sampai nanti menyesal setelah dia benar-benar pergi dari hidupmu." Papa menepuk pundakku dengan pelan.
Kemudian melangkah ke luar dari dapur dengan membawa segelas air putih untuk mama.
Sungguh sosok suami siaga, seharusnya aku bisa belajar darinya.
Aku menggelengkan kepala. Pikiran macam apa itu?
"Pertahankan apa yang kau miliki selagi dia ada, jangan sampai nanti menyesal setelah dia benar-benar pergi dari hidupmu," ucapan papa kembali terngiang di telingaku.
Tiba-tiba ada sebuah kekhawatiran yang bersarang di hatiku.
Bagaimana kalau apa yang dikatakan papa benar-benar terjadi? Tidak!
Aku tak akan membiarkan itu terjadi.
Namun, bukan karena aku tidak ingin ataupun takut kehilangannya, tapi pantang untukku melepaskan apa yang sudah menjadi milikku.
Ya, hanya itu alasannya, tidak lebih!
Setelah selesai, kembali aku ke kamar dengan membawa segelas teh. Semoga saja dia sudah bangun. Harapku.
Pelan-pelan kudorong pintu kamar, ternyata posisinya masih sama seperti yang kutinggalkan tadi.
Entah apa yang membuatnya betah berlama-lama pingsan, apa mungkin ada sesuatu yang membuatnya nyaman di sana.
Atau...
Apa jangan-jangan dia bukan pingsan, tapi tidur? Ah, aku tak paham.
Coba tadi dokter Runi ke sini pasti dia bisa memeriksa Yulia. Namun, jika benar dia pingsan selama ini, tidak tega juga rasanya.
Kuletakkan teh yang kubuat di atas meja hias, kemudian naik ke atas tempat tidur.
Kutumpukkan bantal di sandaran ranjang untuk penyangga punggungku dan kurapatkan posisiku dengannya.
Kembali wajahnya menarik perhatianku, seolah-olah mataku tak pernah jenuh menatap padanya.
To Be Continue..
Ada yang kangen ngak sama Yulia dan Danang ayoo muncul sini.
Share this novel