BAB 18. Tangan Hangat Krisna

Romance Completed 9290

Cara Adiba merengek dan matanya agak merah berkaca-kaca membuat Krisna kesengsem sendiri. Adiba terlihat manja dan rapuh, maka hanya dalam dekapannya gadis itu bisa selamat. Little Krisna meluncur keluar dari surganya karena sudah terpuaskan, tetapi Krisna tetap menindih Adiba karena melihat gelagat gadis itu akan beranjak dari kasur. Adiba meraih bajunya di sisi kasur.

"Jangan ke mana-mana!" pinta Krisna dengan suara serak.

Adiba menggigit bagian dalam bibir sehingga terlihat merengut. Ia tetap ambil bajunya. Namun, Krisna rebut baju itu dan melemparnya jauh dari kasur. "Aku bilang jangan ke mana-mana!" tegas Krisna.

"Aku mau tidur di sebelah saja, Mas. Sudah kubilang, aku gak mau hamil. Kenapa Mas nggak mau ngerti?" cecar Adiba.

Krisna terperangah. Bukan hanya soal rengekan Adiba, tetapi Krisna tidak bisa terima sehabis bercin.ta malah bertengkar dan pisah ranjang. Kan aneh. Like, Diba, we're on honeymoon. Diba, kita ini di masa-masa bulan madu, seharusnya sedang mesra-mesranya. Oh ya lupa, kita 'kan tidak pacaran. Kita nikah dadakan. Banyak hal dari pribadi masing-masing yang kita tidak ketahui, tapi bukan berarti kita harus bertengkar.

Adiba mendorong Krisna agar ia bisa beringsut sedikit. Ia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, tetapi selimut itu pun kembali direbut Krisna dan dilemparnya ke sudut terjauh dalam kamar. Adiba mendelikkan mata ambernya pada Krisna. "Apaan sih, Mas?"

"Nggak boleh ke mana-mana!" ujar Krisna lagi. Ia rebahkan Adiba seraya menekan kedua tangannya ke kasur agar Adiba tidak bisa bangun lagi.

"Mas, ah!" rutuk Adiba sambil memulas pergelangan tangannya, tetapi tidak bisa lepas dari cengkeraman suaminya.

"Kalaupun kita gak tidur bareng lagi, itu gak akan mencegah kamu hamil karena kita sudah ngelakuinnya mulai malam pertama dan semuanya keluar di dalam," ungkap Krisna, berharap Adiba menelan bulat-bulat ucapannya. Ya 'kan? Adiba sepertinya tidak begitu paham soal konsepsi. Meskipun belum tentu juga Adiba bakalan hamil, tetapi laki-laki mana sih yang suka ditinggalkan sendirian di ranjang?

Adiba mendelik curiga. "Tapi Mas 'kan dokter. Mas pasti tahu cara mencegahnya."

Muka Krisna langsung kena mental. Segera ia cari cara mengeles lagi. "Iya, tau. Tapi kalau dihitung dari hari pertama, sudah lebih 72 jam, gak ada obat yang efektif mencegahnya 100%. Lagian, kamu gak mau hamil anak Mas kenapa toh? Takut apa?"

Bibir Adiba terbuka hendak mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kelu, sehingga ia mengatup mulutnya rapat-rapat. Matanya tak fokus karena terbayang mimpi buruk saat di toilet bersama dua pria yang menekan perutnya dengan tinju mereka.

"Kamu takut karena kita nikah siri?" tanya Krisna lagi.

Adiba kembali terfokus pada suaminya. "Iya."

Krisna terdiam sesaat. Ingin ia bertanya, sama suami dulu, kamu gak hamil juga? Tapi gila, meen! Krisna merasa panas dalam dadanya. Masa sih ntar kita bahas mantan kamu, Diba?

Adiba menoleh ke arah lain lalu bersuara dingin. "Aku dulu nikah siri juga, Mas, lalu aku dicampakkan karena orang tua dia gak ngasih restu. Mas pikir sendiri gimana lanjutannya. Untungnya aku gak hamil." Terlihat Adiba menelan ludah susah payah.

Krisna ragu-ragu bertanya, tetapi ia memberanikan diri. "Dulu ... nikahnya ... berapa lama?"

"4 bulan." 3,5 tahun perjuangan bersama Mas Diaz, siapa sangka pernikahan mereka hanya bertahan seumur jagung dan hancur dalam 1 malam saja. Sekelebat lewat memori-memori indah yang dijalaninya bersama Diaz, tetapi Diba berusaha sekuat tenaga kembali ke kenyataan. Lupakan semua itu, Diba. Lupakan!

"Kenapa ... kamu bisa ... nikah sama dia?"

Adiba menggigit-gigit bibir. Krisna nyaris menyerah jika Adiba tidak ingin menjawabnya, tetapi Adiba ternyata menjawabnya. "Sama seperti Mas. Dia nolong aku pas aku kabur setelah dijual ayah aku."

"Oh."

"Jadi Mas ngerti 'kan kenapa aku takut? Gimana kalau tiba-tiba orang tua Mas ...." Diba terhenti karena tenggorokannya tercekat. Bernapas pun rasanya sangat sukar.

Tidak perlu mendengar kelanjutannya, Krisna bisa membayangkan apa yang terjadi. Adegan perpisahan tipikal kisah drama cinta antara si kaya dan si miskin. Mungkin Adiba ditawari sejumlah uang, atau dijahati mertua, lalu diusir keluar rumah begitu saja.

Air matanya menetes tak terasa. Adiba gelagapan. Krisna terhenyak sehingga melepaskan tangan Adiba. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Ia hendak bangun lagi, tetapi Krisna menunduk menciumi dengan lembut pelipis dan kening Adiba. Sekalian ia menghirup aroma keringat Adiba yang berbau segar percintaan. Krisna berbisik lirih. "Sudah terlanjur keluar di dalam, bagaimana, Diba? Lagian Mas beneran pengen punya anak. Mas yakin mereka bakalan lucu banget kalau rambutnya kriwil-kriwil kayak kamu."

Adiba memejamkan matanya agar air mata yang keluar tidak bertambah banyak. Kenapa Mas Krisna mesti mengucapkan hal yang sama dengan Mas Diaz? Di satu sisi dalam dirinya menegur, lupakan, Diba! Mas Diaz tidak pernah hadir dalam hidupmu. Kamu harus lupakan dia!

Krisna merasakan kegundahan Adiba. Ia terus ciumi Adiba untuk membantunya mengenyahkan semua gundah gulana yang mengganggu sambil berbisik merayunya. "Kamu tau gak, Diba? Menurut Mas, setelah ada anak nanti, justru orang tua bakalan menerima hubungan kita. Suka atau tidak suka, mereka tidak berhak ikut campur karena rumah tangga ini kita berdua yang menjalani."

Ucapan itu bagi Adiba cuma masuk telinga kiri keluar telinga kanan, karena ia tidak melihat kenyataan yang seperti itu.

"Mas buktiin Mas bisa jadi laki-laki yang kamu banggakan. Toh orang tua Mas aslinya tidak terlalu keras, masih bisa diajak kompromi, apalagi Ibu. Nyatanya Mas aja diperbolehkan kok berhenti kerja dan pindah ke sini."

"Oh ya?" Adiba mau menatap Krisna lagi. Ia merasa sedikit terhibur. Rasanya takjub. Masa sih ada orang tua sepengertian orang tua Mas Krisna.

Mata Adiba berbinar tanpa bayang-bayang kesedihan lagi. Krisna tersenyum. Ia belai rambut Adiba, sedikit merapikan di tepian wajahnya. "Iya. Kalau kita sudah siap, Mas perkenalkan kamu sama Ibu Mas. Kalau sekarang kayaknya belum bisa. Keluarga Mas lagi sibuk nyiapin acara tunangan kakak Mas. Atau kamu mau secepatnya diperkenalkan?"

Diba buru-buru menolak. "Ngg ... Nggak, Mas! Ntar aja ... kata Mas tadi 'kan kalau kita ... sudah siap." Adiba mulai lagi menghindar menatap Krisna. Ia belum punya tabungan atau penghasilan sendiri yang bisa berguna jika sesuatu terjadi. Pengalaman mengajarkan pentingnya punya uang dari hasil kerja keras. Ia tidak ingin lagi memungut uang pengusiran, terlebih-lebih membawa luka dalam yang sukar disembuhkan. Ia tampak begitu bodoh dan lemah. Ia memang mantan napi, tetapi setidaknya ia bisa sedikit punya harga diri karena mampu berdikari (akr. Berdiri di atas kaki sendiri)

Krisna tertawa kecil mengetahui Adiba tengah asyik dengan pikirannya sendiri. "Mikirin apa, Dek?" tegur Krisna gemas pada istrinya itu.

Adiba tergagap. "A-anu, Mas ... Diba mikirin menjahit," jawabnya yang membuat Krisna semakin geli tertawa. Dan cara Adiba menyebut nama diri benar-benar imut.

"Aduh, Diba, jam berapa ini? Kamu mau menjahit malam-malam begini?" Krisna mengambil ponselnya melihat jam sudah hampir tengah malam.

"Enggak sih, Mas. Cuman kepikiran aja."

Krisna taruh ponselnya lalu menatap lekat Adiba sambil menyematkan senyum lebar di wajahnya. Adiba keheranan dan bertambah gugup, apalagi posisi Krisna menindihnya, pria itu menggoyang pinggul menggesekkan kerabat kecil yang sedang lunak ke muara bibir surganya. Krisna memang berniat me.sum padanya.

"Dek, karena sudah terlanjur keluar di dalam, kamu mau nggak kalau hamil anak Mas ntar, Mas kasih kamu hadiah?" ujar Krisna seraya menyengir.

"Ha-hadiah? Mas mau ngasih hadiah apa?"

"Mas beliin kamu mesin bordir."

Mata Adiba membulat. Menghitung berapa banyak waktu yang bisa dihematnya jika punya mesin bordir, berapa banyak keuntungan yang didapatnya, berapa banyak kreasi yang bisa dibuatnya. Berapa banyak pundi-pundi uang yang bisa dikumpulkannya. Adiba tersadar ketika mendengar tawa kecil Krisna. Sontak wajahnya merona, malu karena pria itu memergokinya terlena oleh tawaran punya mesin bordir.

Krisna tahu betul titik kelemahan istrinya sama seperti ia tahu di mana titik pembangkit gairahnya. Ia mengulum senyum penuh kemenangan. Adiba berusaha berkilah, "Tapi Mas ... harganya mahal. Diba nggak mau nyusahin Mas."

"Nyusahin gimana? Wong nyenangin istri sendiri kok dibilang nyusahin."

Tangan Adiba mulai bergerak meraba-raba dada Krisna. "Eh? Jadi Mas serius?"

"Iya, Mas serius! Oke, nggak usah nunggu kamu hamil deh, ntar hari Minggu kita ke Madiun cari mesin bordir sekalian beli mesin cuci. Kasihan istri Mas cuci baju pakai tangan. Kecapekan ntar. Mana banyak jahitan pula."

Melawan rasa terlalu gembira yang bergemuruh dalam dadanya, Adiba menggigit bibirnya sendiri. Kalau tidak ia bakalan berteriak-teriak kegirangan. Masa sih, Mas? Beneran? Mas serius? Itu tuh gak dihitung hutang 'kan, Mas? Kok ada laki-laki seperhatian Mas?

Pandangan Adiba mendadak gelap. Sekelebat lewat bayangan Diaz yang berdarah-darah terkapar di lantai. Ia takut Krisna mengalami hal yang sama karena terlalu baik padanya. Pemandangan itu ditutupi Krisna dengan ciuman mesra mengemut bibir Adiba. Ia gemas pada istrinya yang ternyata lebih suka diiming-iming mesin bordir. Kok gak kayak perempuan lain gitu loh ...? Minta iphone model terbaru kek. Krisna bergumam seraya mencumbu. "Punya Mas keras lagi nih ... Mas masukin lagi ya, Dek?"

Ingat mesin bordir. Mesin bordir!

Adiba mengangguk kecil dan sorot matanya penuh kesungguhan seperti berkata, aku siap, Mas! Iya, masukin! Masukin! Mesin bordir! Mesin bordir!

"Eungghh ... Diba ...." Krisna mengerang seolah kewalahan saat mendorong si little-nya masuk lagi ke surga. Tangan berurat kasar Krisna menyusuri paha Adiba dan menekuk ke pinggulnya. Di sana, Little Krisna-nya mengulek-ulek saja, sedalam-dalamnya, meliukkan pinggul Adiba hingga terangkat sehingga kedua tangannya bisa mencengkeram kuat abaimana (pan.tat) istrinya itu. "Hissshh ... Dek, kamu gemesin banget sih ...," desis Krisna hingga rahangnya bergemeretak.

Adiba terpejam mendesah. Jemari ke bibir hendak digigit-gigitnya, segera dicegah Krisna. Ia cium kuat bibir Adiba, mengabaikan engahan pasrahnya. Jemari Adiba terkepal memukul-mukul tanpa daya da.da padat tertempa Krisna. Ketika ada celah bernapas, Adiba memekik lemas. "Mas ...."

"Sayang," embus Krisna seraya meraih bibir Adiba lagi. Ia lumerkan dalam mulutnya. Ia lilit lidah Adiba hingga terengah-engah.

Oh, french kiss ini ..., desir hati Adiba. Eh hmm ... rasanya sangat ... memusingkan kepala.

Bukan mencapai klimaks lagi yang diburu Krisna. Ia hanya ingin memanjakan Adiba hingga mabuk kepayang dalam dekapannya. Bersanggama hati ke hati agar Adiba lebih membuka diri padanya dan mungkin menceritakan segalanya tanpa ia harus bertanya. Agar Adiba tahu ia sungguh-sungguh dengan tekad menikahinya.

***

Kesungguhan Krisna bukan tanpa bukti. Seperti ia punya uang untuk membelikan mesin bordir, maka ia juga punya uang buat membayar perangkat desa mengurus surat resmi pernikahannya. Krisna tidak mengatakan hal itu pada Adiba karena ingin itu jadi kejutan. Akhirnya, kerisauan Adiba akan termentahkan dan Adiba pastinya akan kegirangan lalu memuji-mujinya. Krisna senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu. Fahmi menyodorkan formulir-formulir yang harus diisinya saat di klinik dan ia isi saat itu juga agar bisa segera dibawa Fahmi serta tidak perlu dilihat Adiba. Istrinya sedang sibuk menjahit, terdengar dari suara mesin jahitnya.

Bu Mujibe dan Sutiyeh ke ruang sebelah buat mengepas baju mereka yang sudah hampir selesai. Keduanya tak henti-hentinya berseru takjub pada baju gamis yang hendak dipakai ke kondangan nanti. "Wuaah! Ini sih jahitannya setara baju-baju butik yang muahal itu loh, Mba. Kayak punya Sandra Dewi tuh ada yang katanya dia beli 3 juta apa 4 juta," celoteh Sutiyeh.

"Iya, ya. Kok bisa Diba jahitannya halus dan rapi banget kayak gini? Ini lebih dari penjahit luaran, yang apa itu sebutannya? Modiste?"

"Nah, iya itu kali."

Modiste adalah orang yang ahli membuat pakaian wanita berdasarkan permintaan khusus pelanggan, sehingga baju yang dibuat akan berbeda dengan baju lainnya. Sementara tailor lebih khusus menjahit pakaian pria.

"Umm, saya juga bisa kok jahit baju laki-laki. Cuma modelnya saja memang terbatas," celetuk Adiba.

Bu Mujibe menoleh. "Oh ya to, Diba? Kalau begitu ntar jahitin baju buat Bapake ya? Biar kami coupelan gitu loh."

"Bisa, Bu."

Sutiyeh mengusap-usap bordiran bunga di bagian dada gamisnya. "Cantik banget ini hiasannya, Diba."

"Eh, ya, syukurlah kalau Mba Sutiyeh suka. Tapi itu belum selesai. Agak lambat ngerjainnya soalnya pakai tangan."

Sutiyeh terbelalak. "Wuaah, ini, sedetail ini pake tangan?"

Adiba senyum terkulum dengan pipi merona. Krisna meniliknya dari ruang sebelah ikut tersenyum, kemudian senyumnya berubah cemberut ketika kedua perempuan itu meledek Adiba, tetapi Adibanya tidak tanggap.

"Kamu sempet ngerjain semua ini, memangnya Pak Dokter gak colek-colek kamu, Diba?"

Adiba melongo. "Eh, maksudnya? Buat apa Pak Dokter colek-colek saya? Seingat saya, selama ini nggak pernah."

"Hiih, Diba, nggak nangkep rupanya. Itu loh ... Hmm, ah sudahlah." Kedua ibu-ibu itu malas membahasnya. Mungkin Adiba sengaja karena tidak suka membahas urusan ranjang. Lagi pula tidak usah dicari tahu, bisa terlihat bagaimananya dari tampang Dokter Krisna yang suka senyum-senyum sendiri. Keduanya lanjut membahas gaun baru mereka.

Selepas klinik tutup dan semua pegawai pulang, Krisna datangi Adiba yang sedang menjahit dan mencolek dagunya yang menirus karena memakai kerudung. Ayunan kaki Adiba terhenti dan matanya mendelik pada sang suami. "Apa sih, Mas?"

"Nggak papa. Cuman mencolek kamu."

"Oh," seloroh singkat Adiba lalu ia mulai menjahit lagi.

Krisna geregetan, maka ia colek lagi bawah ketiak Adiba. Sontak Adiba terjengkit dan nyaris tertawa, tetapi jahitannya jadi melenceng sehingga ia menggerutui Krisna sambil mengusap-usap bekas colekan Krisna. "Aih! Mas apaan sih? Kok usil banget?"

Bukannya menjelaskan atau berhenti, Krisna malah semakin gencar menggelitik Adiba hingga nyaris berpelukan. "Mas!" pekik imut Adiba seraya mengempit ketiaknya. "Auh, Mas, stop ah! Geli!" Krisna malah terkekeh kesenangan. Terus-terusan ia pepet Adiba hingga terjungkal dari kursi bulat, tetapi segera didekapnya dan Adiba berjinjit dalam pelukannya.

Wajah Adiba merah merona, bibir dikatup rapat agar tidak tertawa. Mata Krisna sayu mengamatinya sangat dekat. Adiba menoleh ke pundaknya dan tertunduk dalam. Krisna mendesah di telinganya. "Maksud colek-colek itu, aku ngajakin kamu main, Diba. Harusnya bilang sering dong ah! Kita 'kan pengantin baru!"

"Buat apa, Mas? Nggak penting banget kayaknya."

Krisna tidak menyangka Adiba bakal menjawab sedingin itu. Huhuhuuu. Kecewa berat Krisna. Ia lepaskan Adiba lalu berbalik memunggungi istrinya. Krisna memijat kening. "Penting gak penting, ya tapi itu omongan biasa lah kalau ibu-ibu lagi gosip," gumamnya. Kan ia bisa sedikit menyombong.

Adiba mengingat obrolan para napi dulu yang membuat mereka tertawa mengakak dan tahan membahasnya hingga bermalam-malam. Perihal urusan ranjang. Penuh bahasan me.sum dan kadang kala sangat membingungkan. Seperti bisa mengeluarkan asap, membuka tutup botol atau 20 hingga 25 pria dalam satu malam. Wah! Jika itu kurikulum pendidikan, mungkin ia sudah khatam. Sayangnya ia tidak ikut praktikum. Pikirannya waktu itu sibuk soal jahitan dan prosedur kebebasannya yang membuatnya kenal dekat dengan Bapak Diaz.

Adiba amati punggung Krisna lalu melongok sedikit ke bagian depan bawah pinggangnya. Yap. Muncul gundukan itu. Adiba berdecak. Lalu bersuara agak kesal pada Krisna. "Mas, aku lapar. Masakin mie, Mas!"

Tanpa menoleh istrinya, dengan muka cemberut Krisna menuju kompor dan memasak mie. Sebungkus saja, karena ia sedang tidak lapar. Adiba lanjut menjahit, Krisna semakin dongkol karena merasa diabaikan. Ia tambahkan lombok banyak-banyak ke dalam kuah mie soto itu. Sikap Adiba yang dingin akan ia balas dengan yang panas-panas.

Krisna mengaduk mie dalam mangkok sambil memutar badan. "Nih mie ...." Tahu-tahu Adiba menyosor mengambil mangkok di tangannya dan makan lahap sendirian, membiarkan ia berdiri melongo. Tetiba sadar, Krisna menarik napas dalam-dalam meredam emosinya. Sabar ... sabar....

Krisna duduk bersila tak jauh dari Adiba, memandanginya makan, menunggu kapan dia panik kepedasan atau minta minum. Setelah ditunggu-tunggu, ternyata tidak ada kejadian itu. Adiba menghabiskan mienya tanpa kendala, meskipun mendesah-desah, ia hirup kuah mie, lalu ke meja dapur untuk menaruh mangkok kosong sekalian minum air putih, kemudian ia kembali kalem seperti biasa.

Adiba menuju mesinnya lagi. Krisna sebal. Ia bergegas berdiri dan mendengkus keras supaya pasti didengar Adiba. Ia berbalik menuju kamar. Saling memunggungi, Adiba ke mesin, Krisna ke kamar.

Mendadak Adiba tersentak. Mesin bordir! Ia baru ingat. Segera ia taruh kain kembali ke meja mesin lalu ia panggil Krisna. "Mas!"

Krisna menoleh dengan muka cemberut. "Apa?" sahutnya dingin.

"Yang colek-colek tadi, ngajakin main atau sekadar contoh?"

Krisna tersedak. "Ss ...sekadar contoh?"

"Ooh. Ya sudah. Kirain serius ngajakin main." Adiba memutar tubuh sembari tertunduk kecewa.

"Hei, aku serius!" sergah Krisna. Segera ia tarik lengan Adiba dan menyeretnya ke kamar.

"Mas?" desah Adiba. Krisna menyibak kerudungnya sehingga terlepas. Mereka jatuh bertindihan di kasur dan ciuman Krisna memburu bibirnya. Namun, pria itu tiba-tiba melepeh dan mendesis. "Astaga, pedasnya! Aaah!" Krisna jadi merangkak menarik diri dari istrinya.

Adiba membekap mulut dan beringsut duduk. "Kayaknya itu bekas makan mie tadi ya? Mas juga 'kan yang bikinnya pedas banget."

Krisna tidak tahu mesti omong apa. Ia ke nakas dan merogoh-rogoh lacinya, menemukan sebungkus KitKat. Buru-buru ia buka dan melumat snack cokelat sambil mengangguk menyetujui ucapan Adiba dan mengakui tanpa bersuara bahwa ia terkena jebakannya sendiri. Bagaimana bisa ntar mereka main tanpa ciuman? Lalu kalau mengoral, apa gak melepuh tuh si Little Krisna? Ia menangis dalam hati.

Karena makan pedas dan terkurung dalam kamar, Adiba agak berkeringat. "Hari ini kayaknya gerah ya, Mas," katanya dengan lugunya dia buka baju di hadapan Krisna sehingga memperlihatkan lingerinya berwarna hitam mengilat disertai hiasan payet dan bordir benang perak berkilauan. Lekukan tubuhnya membentuk S sempurna saat berlutut di kasur melepas bajunya melalui atas kepala.

Krisna mendesis kengileran. Dah lah, nggak usah pake ciuman. Ia datangi Adiba dengan gerakan hampir menyeruduk.

"Mas?" desah kaget Adiba. Ia jatuhkan gamisnya dan kedua tangan bebas menangkup belakang kepala Krisna.

Krisna dekap Adiba di pangkuannya, ia ciumi kasar selangka Adiba dan kedua tangan meremas buah-buahan dalam cengkaman renda hitam. Kulit Adiba berasa cokelat KitKat sensasi panas pedas. Krisna mengerang di lekukan dalam antara buah-buahan istrinya. "Diba, istri Mas ...." Kepalanya bersungut mencari puncak mungil buah Adiba. Ketika menemukannya, mulutnya mengemut rakus icip rasa cokelat. "Humm uh!" deham Krisna yang keenakan hingga nyaris tersedak.

Adiba merengek gelisah. "Oh, Mas ...aduh. Mas, ah! Nyeri ...." Lalu terasa pelintiran lidah memainkan puncak mungilnya. "Hummh, Mas, geli ...," desahnya berganti. Lalu pasrah saja karena sibuk menggigit jari. Panas Adiba rasakan hingga ke ubun-ubun ketika sebelah tangan Krisna merogoh segitiga hitamnya dan mencolek-colek lekukan hangat di dalam sana. "Aaah, Maaas ...!" Adiba memekik malu-malu ketika kenikmatannya membasahi pangkuan Krisna.

"Ah, Adek, kamu bikin tangan Mas hangat ...," ucap parau Krisna. Ia jadi bergegas merogoh ke dalam celananya sendiri dan mengeluarkan batangnya. Adiba turun dari pangkuannya, berlutu memandangi Krisna meluruskan si Little yang sempat tertekan. Krisna tarik tangan Adiba seraya bersuara serak memaksa. "Ayo, Dek, sini, genjotin punya Mas."

Adiba membasahi bibir. Ia tidak berkata apa pun, tetapi mematuhi arahan Krisna yang ingin ia membelakanginya lalu menyodorkan abaimana sehingga celah di sana menelan seluruh keperkasaan suaminya. Pria itu mengerang nyaring. "Ouuuhh, hangatnya rahim kamu, Dek ...."

Wajah Adiba yang merona merah menoleh padanya. Ia tersenyum nanar seraya mengusap pipi Adiba. "Mulai, Dek. Genjot Mas kayak mesin kamu," pintanya yang terdengar absurd tetapi benar.

"Iya, Mas," sahut Adiba malu-malu. Ia bergerak turun naik secepat biasanya ia mengayuh pedal jahit. Namun, mesin yang kali ini rasanya sangat enak. Krisna sampai ribut sendiri, mendesis-desis bak kepedasan. Pas sudah selesai meminyaki onderdil barulah ia agak tenang.

Krisna peluk Adiba sambil berbaring terengah-engah seolah kepanasan meskipun tubuh tanpa pakaian sehelai pun. Kamar masih terang oleh matahari siang. Krisna tatap langit-langit kamar sambil jemarinya memainkan untaian rambut Adiba. Ia bertanya-tanya kenapa Adiba bisa agresif hari ini. Jadi ia memutuskan mengeceknya. "Dek, kamu godain Mas karena mau mesin bordir itu ya?"

Dengan gampangnya Adiba menjawab. "Iya, Mas."

Respons Krisna malah semakin geregetan pada istrinya. Ia peluk gemas Adiba. "Iiih, kamu ya, ketahuan ada maunya ...."

"Kan Mas sendiri yang nawarin. Diba nggak minta," kata Adiba dengan nada suara dan ekspresi yang lebih santai. Krisna terpana, bahkan sampai mengambil momen khusus menatap wajah Adiba kalau-kalau ia salah membaca ekspresi. Adiba memang tersenyum dan menyandarkan kepala ke bahunya tampak nyaman. "Kalau ada mesin itu, baju-baju buatan Diba akan semakin indah, Mas. Yang memakainya pun pasti akan senang."

Hati Krisna meleleh. Ia kembali menatap langit-langit dan tersenyum-senyum sendiri. Ya nggak papa lah Adiba jadi nafsu karena kepengen mesin bordir. Ambil hikmahnya saja. Toh nikmatnya sepadan.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience