Tak terasa, Adisna berusia 8 bulan. Bayi mungil itu sekarang bisa merangkak ke sana kemari. Merepotkan sang ayah di klinik atau mengganggu sang ibu saat menjahit. Rambutnya megar keriting seperti rambut ibunya. Anak itu juga senang bermain dengan mainan dari kain perca buatan sang ibu. Adisna akan duduk dan berceloteh, asyik bermain sendiri diiringi suara mesin jahit. Anak itu lebih ekspresif berinteraksi karena Krisna lebih sering berbincang-bincang dan jalan-jalan keliling perkebunan bersamanya. Karena itu juga Krisna sangat ingin Adiba hamil lagi agar Adisna tidak kesepian. Namun, Adiba tidak kunjung hamil juga, bahkan istrinya itu semakin sibuk dengan jahitan.
Di sela menjahit baju pesanan orang, Adiba juga membuatkan baju untuk Adisna. Gaun mungil aneka model yang bagus dan lucu dalam berbagai ukuran. Krisna senang dengan kreativitas istrinya, tetapi juga heran atas obsesi itu.
"Kok bikin baju buat Disna lagi, Dek? Yang ada aja banyak belum dipakai," gumam Krisna.
"Lagi senang aja, Mas," pungkas Adiba sambil sibuk menggaris pola di kain yang akan dijahitnya.
"Ya sudah, asal Adek gak memforsir waktu. Walaupun banyak jahitan, usahakan istirahat. Jangan dikebut ngerjain baju Disna pula."
"Iya, Mas," sahut Adiba tanpa menoleh pada pria itu.
Melihat keseriusan Adiba, Krisna tidak ingin mengganggunya, sehingga ia gendong Adisna yang main di karpet. Anak itu bergumam senang. "Yayah!"
"Udududu .... Anak Ayah, sudah ngerti aja mau diajak jalan," gumam Krisna. Ia mengecupi kening Adisna lalu memasang gendongan soft structure carrier agar Adisna bisa duduk menghadap ke depan selama digendongnya. Krisna pamit pada istrinya. "Dek, Mas sama Disna jalan-jalan dulu ya, mumpung hari masih terang."
Adiba menoleh sembari menyunggingkan senyuman. "Ya, Mas," katanya. Krisna keluar rumah lalu melintasi halaman. Adiba ke ambang pintu untuk memandangi mereka sampai tak terlihat lagi. Ia menghela napas panjang sejenak. Sorot matanya menerawang saat bermonolog dalam hatinya. Jika saja aku bisa mengatakan apa yang kupendam selama ini, Mas. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Aku hanya ingin meninggalkan sesuatu yang indah untuk Disna.
Nyaris setiap hari, Krisna dan Adisna menikmati jalan-jalan menjelajahi kawasan kebun kopi Kandangan. Ayah dan anak itu akrab dengan warga sekitar serta nuansa alamnya yang asri. Hal sederhana seperti itu yang membuat wajah Krisna selalu tampak berbinar-binar. Jika ia bertemu orang- orang di Jakarta, teman-temannya merasa iri tanpa bisa mengungkapkan alasannya. Sekian banyak orang mengadu nasib ke ibukota, ia malah pergi ke desa terpencil. Sekian banyak wanita cantik jelita siap ditaklukkannya, ia malah mengejar gadis desa yang mereka pikir bulukan dan udik. Tidak ada hebatnya hidup Krisna itu, tetapi kenapa ia bisa terlihat tanpa beban?
Pria rupawan itu sudah punya dua bidadari yang mendampinginya dan ia bahagia lahir batin. Itulah rahasia ilahi. Ia memberi rezeki kepada setiap makhluk, tetapi keberkahan hanya diberikan pada orang-orang tertentu. Adiba turut merasakan keberkahan itu. Tanpa perlu mengenakan gaun dan mahkota, ia laksana seorang ratu di sebuah istana.
Di sisi lain, kondisi sebaliknya dialami pasangan Mitha dan Diaz. Diaz hengkang ke luar negeri, sementara Mitha dalam dunia delusi yang dibangunnya. Dunia itu mulai runtuh ketika kenyataan pahit terjadi pada buah hatinya. Anak yang digadang-gadang sebagai penerus Keluarga Nareswara dan kebanggaan Adimulya, ternyata mengalami gangguan tumbuh kembang. Emil sudah berusia 6 bulan, tetapi jarang bersuara, jarang melakukan kontak mata serta kurang responsif atau tidak tanggap sama sekali ketika namanya dipanggil.
Mitha memeriksakan anaknya pada Paula dan ucapan Paula membuat Mitha berang.
"Emil mengalami gejala ASD, Mba."
"ASD? Maksud kamu?"
"Autisme atau autism spectrum disorder."
ASD merupakan gangguan perkembangan pada anak yang menyebabkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi anak terganggu. Hingga kini, penyebab autisme masih belum diketahui secara pasti. Namun, risiko terjadinya gangguan autisme dapat meningkat jika terdapat faktor genetik dan lingkungan, misalnya paparan racun, efek samping obat-obatan, infeksi virus, serta gaya hidup tidak sehat selama hamil.
"Anakku au.tis? Tidak mungkin! Kamu pasti salah, Paula. Jangan mengada-ada. Tolong, jangan mengerjai aku. Ini tidak lucu!"
"Tenang dulu, Mba. Ini masih bisa kita tangani secara dini. Ke depannya, perkembangannya akan lebih baik jika penanganannya tepat."
Mitha buru-buru berdiri sembari menggendong Emil. Ia menghunjam tatapan tak suka pada Paula. "Aku kira kau akan membantu Mba, ternyata kau malah memperburuk keadaan. Aku akan periksakan anakku ke psikolog lain saja. Tidak ada gunanya ke sini. Huh!" Mitha membuang muka lalu beranjak keluar ruang konsultasi.
Paula berusaha menahannya. "Tenang dulu, Mba Mitha. Saya peduli pada Emil, Mba, seperti ponakan saya sendiri. Mba jangan emosi dulu. Pikirkan yang terbaik untuk Emil. Kita bisa melakukan penilaian lebih lanjut untuk memastikan."
Mitha menepis tangannya. "Tidak perlu!" bentak Mitha dan meninggalkan Paula terhenyak.
Saat itu sudah malam, sehingga Mitha tidak mendapatkan slot periksa di psikolog lain. Dalam perjalanan, Mitha duduk di kursi penumpang sambil mengasuh putranya yang sangat tenang sedang menggigit mainan karet. Mitha menangis-nangis bicara pada Diaz di telepon.
"Ini semua gara-gara kamu, Mas! Kamu selalu mabuk saat mendatangi aku! Lihat akibatnya pada anak kita!" hardiknya.
Diaz yang baru tahu anaknya memiliki ADS, sangat terkejut dan tak sampai hati, akan tetapi sikap Mitha yang menyalahkan membuatnya tak urung juga naik pitam. Ia teriaki Mitha melalui teleponnya. "Kamu nyalahin aku? Kamu yang mengandung yang seharusnya berpikir apa aja yang sudah kamu lakukan sehingga anakmu begitu. Kamu sadar gak kalau itu bisa saja teguran, balasan atas perbuatan kamu sama calon anak aku dulu? Lihat apa yang terjadi pada Emil! Dia gak bisa penuhin harapan kamu 'kan? Lalu kamu mau apa sama darah daging kamu sendiri, hah?!"
"Aku? Jadi ini salahku? Tega sekali kamu, Mas! Ibu mana yang ingin anaknya begini? Aku menghadapi ini seorang diri, sementara kamu tidak mau tahu. Mana tanggung jawab kamu sebagai laki-laki, hah?"
"Kalau kamu tidak sanggup urus Emil, kirim saja dia ke Prancis. Kamu pikir aku gak bisa urus Emil? Kamu marah karena malu punya anak ada kelainan, bukan karena mikirin masa depan Emil."
Mitha termangap sesaat. Ingin ia balas memaki Diaz tetapi sekelebat otaknya berpikir 180 derajat. Emil bisa berguna memancing Diaz balik ke Jakarta dan ia bisa gunakan Emil untuk membangun citra wanita yang menginspirasi ibu-ibu lainnya yang mengalami masalah dengan anak ASD. Mitha bersuara yang terdengar tegar. "Nggak, Mas. Aku nggak akan serahin Emil ke kamu. Dia anak aku. Aku akan urus Emil bagaimanapun sukarnya."
Diaz terdiam dan panggilan pun diakhiri Mitha.
Mitha pergi ke rumah orang tuanya dan memberitahukan kabar itu. Ayah dan ibunya sama-sama terkejut, tetapi kekecewaan jelas terlihat dari ayahnya. Pria itu menatap sinis pada Emil. Ia tidak berucap apa pun dan meninggalkan ruangan sambil geleng-geleng kepala. Wirya tidak tahu harus bagaimana lagi. Mitha membuatnya malu pada besan, lalu punya anak seperti itu lagi. Mitha benar-benar gagal sebagai anak dan menantu.
Mitha merengut, lalu menatap ibunya. Yunita yang membisu segera menata diri. Ia tatap cucunya yang rupawan itu seraya tersenyum. Ia yakin apa yang terjadi pada Emil adalah karunia Tuhan. Masa depan anak itu terbentang luas dan tugasnya lah sebagai orang tua membimbing anak cucunya.
Yunita gendong Emil dan mengelus rambutnya. "Cucuku sayang, gak apa-apa, ya. Kamu akan baik-baik saja kok." Ia lalu tatap Mitha dan menasihati, "Kamu jangan sedih lagi, Mit. Ibu akan bantu kamu urus Emil. Sekarang kamu cari psikolog terbaik buat anak kamu ya? Kita terapi Emil, pasti dia bisa mandiri seperti anak lainnya."
"Iya, Bu," sahut Mitha.
Sejak hari itu, dimulailah perjalanan tumbuh kembang Emil Perdana dalam mengahadapi autisnya. Hal tersebut kerap diupdate Mitha di laman sosial medianya dan sang anak. Perhatian netizen penuh simpati dan doa untuk Emil. Juga semangat-semangat menguatkan Mitha. Like, jika ada penghargaan Mommy Terbaik versi netizen, Mitha lah yang berhak menerimanya. Sebenarnya, di balik itu semua, Mitha tidak terlalu peduli mengenai terapi anaknya. Ia andil pas di bagian foto atau instastory saja. Ibunya dan pengasuh yang mengurus Emil. Supaya ia bisa bersikap semaunya, maka psikolog yang dipakainya pun adalah Paula.
"Aku 'kan sibuk kerja buat Emil juga, jadi gak mungkin waktuku tersita buat ngurus dia doang," kilah Mitha.
Paula tidak sampai hati pada nasib Emil yang jadi bahan eksploitasi sang ibu, sehingga ia kerap menghabiskan waktu lebih banyak bersama Emil di luar jam praktiknya. Sesambilan Paula menggunakan kesempatan itu untuk masuk lagi ke dalam keluarga Adimulya. Ia ingin tahu kabar Krisna dan jika bertemu lagi, tidak ada alasan untuknya menghindar.
Krisna tahu kabar mengenai Emil dari instgram. Ia langsung gelisah karena hal itu akan semakin membuat ayahnya menggantungkan harapan pada ia seorang. Namun, melihat keceriaan anak dan istrinya, Krisna dengan cepat mengabaikan hal itu. Ia berkumpul bersama mereka seolah tiada masalah apa pun.
Karena Adiba tidak hamil-hamil juga, Krisna pikir mereka berdua perlu refreshing dengan suasana baru. Suatu malam, setelah menidurkan Adisna dalam boks, Krisna mendatangi istrinya yang berdiri di depan cermin merapikan rambutnya. Ia peluk Adiba dan mengecup pelipisnya lalu berucap mesra dekat telinganya. "Dek, minggu depan Mas dapat libur seminggu. Gimana kalau kita liburan ke luar kota?"
Adiba tampak datar saja. "Mas mau ke Jakarta?" tanyanya.
Krisna menyengir. "Bukan ke Jakarta. Mas pengen ngajak Adek ke Surabaya-Malang."
Adiba tercenung. "Maksudnya?"
"Kita pergi sama-sama. Kita bawa Disna. Kita nginap di tempat pelesiran di Malang dan Surabaya. Adek pernah ke Malang gak?"
Adiba menggeleng dengan tatapan khawatir terpantul di cermin. Krisna menciumnya untuk menghilangkan ekspresi cemas itu. Selepas berciuman, ia bersuara lembut lagi. "Nah, makanya kita ke sana, biar Adek bisa lihat dan merasakan suasana Kota Malang itu seperti apa. Banyak tempat wisata yang bagus-bagus di sana."
Sebelumnya ia pernah mendengar saja soal pesona wisata Kota Malang dan sejujurnya ia penasaran. Kota itu menjadi destinasi liburan sekolah ketika lulus SMP. Sayangnya, kejadian di rumah Om Erkan menghancurkan rencana itu. Ia takut dengan dunia luar sana, tetapi berapa besar kemungkinan orang- orang itu menemukannya? Meskipun khawatir, Adiba juga antusias menantikan Krisna membawanya ke Malang.
"Jadi, gimana, Dek? Adek setuju kita ke Malang? Atau ada saran lain? Ke Bali misalnya?"
Adiba menggeleng kecil. "Malang aja, Mas," katanya. "Diba pengen liat taman bunga di Batu dan Jatim Park."
Krisna mengulum senyum melihat polosnya reaksi Adiba. Ia surai rambut keriting istrinya. "Ya, ntar kita ke sana, kita kunjungi tamannya dan seluruh seri Jatim Park. Fix ya. Biar Mas urus penginapannya duluan."
"Iya, Mas."
Jadi, sebelum liburan itu, Adiba menyelesaikan jahitan yang ada. Ia juga menghitung uang simpanannya untuk dibawa bepergian. Terpikir untuk beli emas atau menabungnya di bank. Mungkin di Surabaya nanti, Krisna bisa membantunya. Adiba pun semakin menantikan liburan pertamanya bersama anak dan suami.
Sabtu siang, setelah klinik tutup, mereka bersiap-siap berangkat. Mobil hutchback yang disopiri oleh Sonari akan membawa mereka ke Surabaya. Selama liburan, rumah dan klinik Krisna titipkan pada Fahmi. Mereka pun berangkat meninggalkan kawasan Kandangan. Untungnya Adisna tidak rewel selama di perjalanan. Anak itu akan menyusu pada ibunya, lalu tidur di dekapan sang ayah.
Saat Krisna dan Adisna sama-sama tertidur dalam posisi bersandar di kursi, Adiba memandangi mereka penuh rasa haru. Damainya dua orang itu menenangkan hatinya. Ia bersandar ke bahu Krisna lalu ikut terlelap. Krisna yang merasakan gerakan itu, membuka mata sedikit melirik Adiba, lalu kembali memejamkan mata sambil tersenyum.
Tiba di Malang, siang itu mereka check in di sebuah hotel. Sonari sebagai sopir juga disewakan kamar layaknya sopir pribadi untuk memudahkan mereka bepergian. Krisna perhatikan istrinya itu sangat kaku berada di tempat umum dan berinteraksi dengan orang asing sehingga ia tuntun Adiba ke mana saja agar tidak terpisah.
Berada di kamar dan beristirahat di ranjang, Krisna menyandarkan kepala Adiba di bahunya sementara Adisna merangkak di dadanya lalu mengacak-acak wajahnya.
"Ayah, mamam," ucap Disna meraba bibir ayahnya, malah jarinya digigit-gigit Krisna. Adisna terpekik geli dan Krisna tertawa. "Nakal, ya, Ayah gigit lagi jarinya," ledek Krisna. Anak itu lalu bertelungkup ke dadanya dan diam mengisap jempol.
Sunyi senyap sehingga Krisna beralih membelai rambut Adiba lalu mengecup puncak kepalanya. "Kok kamu diam saja, Dek? Seneng gak sama jalan-jalan kita ini? Gimana menurut Adek? Kamarnya nyaman gak?"
"Diba seneng, Mas. Kamarnya juga bagus banget, luas, bersih, dan ranjangnya juga empuk. Pasti mahal ya, Mas. Ngabisin duit berapa banyak semua ini, Mas?"
Krisna sentil ujung hidung Adiba. "Ih, kamu gak usah mikirin itu, Dek. Itu urusan Mas, pokoknya kita senang-senang aja di sini. Lagian emang kamu mau ganti uang Mas? Yang dulu KitKat aja kamu gak ada gantiin tuh?" ledek Krisna, iseng karena tahu Adiba membawa uang simpanannya.
"Ah, Mas masih ingat aja soal itu," gumam Adiba tersipu-sipu. "Ntar deh Diba traktir Mas. Mas maunya dibeliin apa?"
Krisna usap pipi Adiba dan mata mereka lekat saling tatap. "Enggak lah, Diba, kalau secara materi sih Mas gak pengen apa-apa. Cukup kamu ngasih Mas anak aja lagi."
"Mas ah," desah Adiba. Wajahnya berdesir panas. Krisna menunduk mengecup bibirnya perlahan-lahan agar tidak mengusik anak mereka yang mulai terlelap.
Krisna bersuara parau berbisik. "Ya iyalah, makanya Mas ajak kamu liburan, biar kita bisa lebih rileks bikin anaknya."
Adiba membisu. Krisna menciumnya berkesinambungan. Anak mereka dipindahkan ke kasur, lalu Krisna bergerak perlahan menindihnya sembari berciuman. Adiba berusaha mengumpulkan akal sehatnya. Ia merasa kurang nyaman karena itu tempat baru dan ia masih berusaha menyesuaikan diri. Apalagi Adisna di sebelahnya dan bisa bangun kapan saja. Maka ia mendesah, "Masih siang, Mas. Diba masih capek bekas di jalan tadi. Uhmm."
"Ya deh, ya deh." Krisna menghentikan cumbuannya. Ia memutar badan sehingga berbaring di sisi Adiba. Ia merengut. "Malam ini bisa ya? Soalnya besok pagi kita ke Batu Flower Garden, malamnya ke Night Paradise."
Adiba tersenyum haru. Ia memeluk pinggang Krisna lalu bersungut mengecup rahangnya. "Diba tau Mas pengen nyenangin Diba, tapi, beneran, gak usah semua tempat didatangi, Mas. Ke sana kemari seharian apa gak kecapean ntar? Katanya mau supaya kita lebih rileks."
"Ehm, bener juga sih. Kalau Adek mau lebih banyak waktu di hotel, ya Mas seneng-seneng aja." Krisna lalu memutar badan berhadapan dengan Adiba. Bola matanya mengerling jahil. "Eh, Dek. Kita bikin rekaman main di kamar ini ya?"
Adiba terbelalak lalu membekap mulut sendiri. Ia berkata lirih. "Astaga, Mas. Malu ah!"
"Malu apa? Cuman kita berdua kok main kek biasa, tempatnya aja yang beda. Mau ya? Biar kita ada kenang-kenangan waktu jalan-jalan di Malang."
Adiba semakin tersipu lalu memukul-mukul da.da Krisna sambil tertunduk dan merutuk pasrah. "Mas ah, ada-ada aja."
Dipukuli, bukannya menjauh, Krisna malah mendempet Adiba dan menciuminya geregetan. "Mau ya? Mau ya? Ntar kita minta bed tambahan buat Disna bobok. Jadi, misi Mas tetap terlaksana dan Adek dapat liburan gratis."
Adiba tertawa kecil dan menunduk semakin dalam. "Iih, Mas ternyata ada udang di balik batu!"
"Hehehhe. Sah-sah aja dong. Kan main sama istri sendiri." Kemudian Krisna hujani Adiba dengan kecupan gemas dan mereka pun terlelap bareng.
***
Perjalanan wisata pertama mereka ke taman bunga di Batu, Malang. Adiba terkagum-kagum dengan hamparan bunga warna-warni yang tumbuh subur di area itu. Krisna senang hati menggendong Adisna sepanjang waktu agar Adiba bisa menikmati saat-saat sebahagia itu. Di sudut hatinya tulus berharap ini bisa menghapuskan sebagian kesedihan yang dipendam Adiba.
Malamnya, mereka ke Night Paradise menikmati menyusuri sungai dalam terowongan yang terang benderang hiasan lampu seindah dunia peri. Adiba takjub hingga tak henti berseru penuh kekaguman. Krisna mengulum senyum menahan rasa gembira karena yakin jika Adiba sebahagia itu, maka Adiba akan membalasnya dengan suatu cara yang menyenangkan.
Sesampainya di kamar hotel, Adiba tiba-tiba mencium bibirnya kuat hingga Krisna terengah, bahkan mengabaikan Adisna yang merengek-rengek di gendongannya. Krisna mendesah parau. "Dek, sabar, Dek. Kita tidurin Disna dulu."
"Uhm, ya, buruan, Mas," sahut Adiba serak. Krisna memindahkan Adisna ke tangan Adiba agar ia bisa menata kasur Adisna.
Adiba pun rebahan sambil menyusui Adisna hingga terlelap. Krisna mengisi waktu dengan cuci muka dulu dan menyalin pakaiannya. Lalu ia datangi Adiba dan pelan-pelan melucuti pakaian istrinya itu. Adisna terpejam meskipun masih mengulum bulir ibunya, tidak menyurutkan hasrat Krisna menggerayangi Adiba. Krisna bicara berbisik-bisik sambil berciuman. "Gimana tadi, Dek? Bagus 'kan tamannya?"
"Iya, Mas. Bagus banget, kayak di film princess."
Krisna terkekeh halus. "Kamu demen banget nonton film princess ya, Dek."
"Satu-satunya hiburan yang Diba ingat sewaktu kecil, Mas," jawab Adiba yang membuat dalam hati mereka berdua tidak nyaman karena itu seperti membuka luka lama. Adiba tidak ingin hal itu mempengaruhinya, segera ia alihkan pembicaraan. "Tapi sekarang ... Adiba malah demen difilmin me.sum sama Mas."
Krisna tertawa geli yang ditahan-tahannya sehingga seperti erangan berat seorang pria nafsuan. Ia lalu bangkit menjauhi Adiba. "Mas siapin ranjang kita dulu ya, Dek." Ia ke ranjang utama, mengacak tatanan bantal lalu mengatur posisi letak kamera ponselnya buat merekam aktivitasnya bersama Adiba di ranjang itu.
Adiba memastikan Disna sudah tidur nyenyak, ia lepas pelan-pelan buah asihnya dari mulut anak itu, lalu bergerak tanpa banyak suara mendatangi peraduan yang sudah disiapkan Krisna. Tanpa basa basi ia peluk pria itu dan mereka sama-sama jatuh ke ranjang dengan bibir saling menyesap. Helaian baju pun teronggok di lantai menyisakan dua tubuh polos bergerak berindikan seiring suara napas mereka yang pendek dan cepat.
"Ahh, Mas!" pekik lemas Adiba. Mereka berguling ke sana kemari hingga bertahan di tepian ranjang, bertunggangan tanpa beban.
Krisna lirik Adisna tidak terusik oleh keriuhan yang mereka buat selama puluhan menit. Ia kembali menatap istrinya. Adiba menggigit bed cover. Ingin rasanya bersuara keras, tetapi takut Adisna terbangun, walaupun untuk getaran ranjang tidak akan sampai ke anak itu. Krisna usap sepanjang lekukan tubuh Adiba dengan sorot memuja. Ia menyeringai. "Hmm, emang lebih enak main di kamar gede ya, Dek," gumamnya.
Adiba cepat mengangguk. Ia mulai terisak karena hendak mencapai klimaks. Krisna segera tarik kain yang digigit Adiba hingga engahan keras terlepas dari bibirnya. Krisna menunduk meraup bibir itu dengan bibirnya. Membungkam teriakan Adiba saat Little Krisna semakin cepat menumbuk liang hangat itu. Benih cair itu pun tumpah ruah berbarengan geraman puas Krisna.
Seusai bersama lepas bebas, Krisna meraih ponselnya lalu berbaring mendekap Adiba dan memandangi wajahnya yang masih terekam kamera. Krisna bangga melihat wajahnya sendiri yang tampak berkeringat tetapi lega bukan main. Adiba tidak menggubris rekaman itu lagi. Ia bersungut ke bawah rahang Krisna dan mencium-cium hingga berbekas. Krisna tertawa serak dan mengaduh bahagia. "Aduh, Dek ... Ternyata kamu bisa juga seganas ini. Ehhehe, Adek seneng banget ya sama jalan-jalan kita tadi?"
"Iya, seneng banget," jawab Adiba serupa gerutu. Ia geregetan mencumbui badan Krisna. Badan yang telah memberinya kenikmatan melimpah dan kebaikan hatinya yang luar biasa. Ia memuja pria itu tanpa banyak menunjukkannya, tetapi malam ini berbeda. Ia menjadi sebinal mungkin mengungkapkan perasaannya.
Krisna tutup ponselnya dan ia jatuhkan begitu saja. Ia mendekap Adiba dan mengecup puncak kepalanya tatkala Adiba asyik membuat bercak di dadanya. "Ah, beneran, gak nyangka Mas liburan ini bikin Adek nafsuan. Aduuuh, Mas kewalahan ...."
Adiba mengangkat wajah disertai senyuman lembut yang sangat jarang dialaminya. "Katanya pengen supaya jadi anak. Gimana sih Mas ini? Masa lupa dengan misi sendiri. Adiba 'kan harus mendukung dengan segala daya dan upaya."
Krisna mengerjap-ngerjap terkesima lalu buru-buru menjawab, "Nah iya. Bener, bener, Dek." Lalu ia terkekeh sendiri. "Kalau jadi ini anak made in Batu, Malang."
"Semoga saja, Mas," sahut Adiba dibarengi tawa kecilnya.
Sorot mata Krisna lalu menjadi lembut dan ia sapu untaian rambut di dahi Adiba. Ia berkata perlahan. "Kalaupun tidak jadi juga, tidak apa-apa, Dek. Namanya kita usaha. Kalau Allah memang pengen kasih kita satu aja, ya Mas terima. Kita akan besarkan Adisna sebaik-baiknya."
Adiba lalu menarik diri dari Krisna seraya berujar, "kalau begitu, Diba kembali kayak biasa aja ya, Mas. Kalau terlalu nafsu lebih menguras tenaga Mas."
"Eii, nggak gitu juga kali!" ralat Krisna yang cepat menahan Adiba kembali ke dekapannya. "Capek bentar abis keluar ya wajarlah, kamu nih ngeledek Mas aja."
Adiba berkial-kial manja. "Nggak ngeledek. Diba 'kan perhatian sama Mas," ucapnya menahan tawa.
"Hidih, bisa aja berkilahnya. Kamu nantangin pembuktian dari Mas?" tuding Krisna sambil mulai menekan lengan Adiba ke kasur dan menindihnya.
"Engak, enggak," tampik Adiba, tetapi tertawa kecil.
Krisna terharu dalam hatinya bisa menyaksikan Adiba tertawa lepas seperti kali ini. Ia segera melanjutkan mencumbui Adiba dengan memberikan gigitan halus di lekukan leher yang membuat Adiba kegelian. "Ah, Mas gak percaya!" ujar Krisna menggeram gemas. "Mas mainin seronde lagi biar kamu puas!"
"Ah, Mas!" Adiba terpekik lemas yang berlanjut keduanya tertawa bersama dan mendesah bersama hingga terlelap damai bersama.
Liburan itu menjadi minggu terbaik bagi keduanya. Setelah 4 hari di Malang, mereka ke Surabaya dan rencananya menginap selama 2 hari, lalu balik ke Desa Kare. Mereka ke pasar pusat grosir di Surabaya untuk membeli beragam perlengkapan jahit dan hiasan baju. Iklim di Surabaya lebih panas daripada Malang, membuat Adiba kegerahan dalam pakaian gamisnya serta Adisna jadi rewel. Krisna terpaksa membiarkan Adiba berbelanja sendiri.
"Dek, Mas bawa Disna ngadem ke dekat tangga itu, ya. Kasian dia kepanasan," ujar Krisna.
"Iya, Mas," sahut Adiba. Ia memilih-milih barang sementara Krisna menuju ke tempat yang dimaksud.
Dari tempat duduk dekat tangga itu, Krisna masih bisa melihat toko yang dimasuki Adiba, sehingga ia menunggu dengan tenang sambil mengasuh anaknya. Ia keluarkan Adisna dari gendongan. "Kita tunggu Ibu di sini dulu. Jangan rewel ya, Disna," ucap Krisna. Anak itu merengek-rengek. Krisna neminumkan dotnya sambil ia kipasi Adisna. Anak itu pun berangsur-angsur tenang bersandar padanya. Krisna mengecek pesan-pesan di ponsel untuk mengisi waktu.
Adiba asyik memilih barang-barang yang akan dibelinya meskipun dalam toko berjejalan barang-barang dan pembeli lain. Namun, seketika ia mematung melihat sosok beberapa pria berjalan di selasar sambil membagikan selebaran pada orang-orang. Ia mengenal betul dua orang dari para pria itu. Ayah dan kakaknya.
Selentingan ia mendengar mereka berbicara pada pengunjung pasar. "Pernah melihat perempuan ini? Ia sedang dicari polisi. Jika kalian ada melihat atau mengetahui keberadaan perempuan ini, segera hubungi kami."
Orang-orang melihat selebaran yang mereka bagikan dan bertanya-tanya. "Namanya siapa sih ini? Septiana Maharani? Waah, masih muda banget ya? Memangnya kenapa dia jadi dicari polisi, Pak?"
"Jangan tertipu sama tampangnya ya," jawab satu pria yang merupakan ayah Septiana Maharani. Ia berkata dengan lantang. "Perempuan ini seorang pembunuh!"
Bak petir di siang bolong. Adiba jadi buta tuli. Ia merasa lantai yang dipijaknya runtuh dalam sekejap.
*** Bersambung....
Share this novel