Bagi Adiba, bahagia dan penderitaan datang silih berganti. Di saat bahagia, ia juga merasakan kegetiran karena tahu itu tidak akan selamanya. Depresi yang dideritanya mencegahnya merasa lega. Seperti awan gelap yang terus membayangi sinar matahari. Jika ia ingin tertawa, dadanya akan sesak, mengingatkannya bahwa ia tidak layak sebahagia ini. Alasan merasa tidak bahagia lebih banyak daripada alasan menjadi bahagia. Tidak peduli semanis apa pun hidup yang dijalaninya sekarang. Tidak peduli sebesar apa kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan Krisna padanya. Dalam dirinya ada retak yang tidak bisa ditambal atau direkatkan lagi. Ia memiliki noda yang tidak bisa dihapus atau diputihkan dengan cara apa pun. Ia begitu hina hingga akan mempermalukan orang di sampingnya. Jika suatu saat Krisna meninggalkannya, maka ia pantas diperlakukan demikian.
Jadi, menghindari terjebak dalam perasaan itu, Adiba berusaha keras hanya memikirkan menjahit dan membuat pakaian sebanyak mungkin. Adanya mesin bordir menambah semangatnya. Ia rakit mesin itu seorang diri dan tidak mempedulikan sekitarnya. Krisna memperhatikan hal itu dan karena Adiba tidak meminta bantuannya, ia pun tidak ingin mengusik kesenangan Adiba. Dalam hati merasa lucu, rupanya ada orang yang terobsesi dengan menjahit. Ia cukup puas memiliki jas sneli buatan Adiba dan namanya terukir indah di baju itu.
Penjahit Adiba jadi terkenal di kawasan Kandangan dan sekitarnya. Terutama setelah Ibu RT memesan jahitan pada Adiba dan mengenakan gaun tersebut ke acara kondangan di dusun sebelah. Promosi dari mulut ke mulut sangat efektif. Orang-orang kantor kelurahan jadi ramai mengupahkan jahitan pada Adiba. Pekerjaannya tidak ditunda-tunda dan hasilnya memuaskan mereka. Perlahan tapi pasti, Adiba mulai berpenghasilan sendiri.
Krisna menyayangkan satu hal saja, yaitu mereka tinggal di desa terpencil. Jika di kota, Adiba akan lebih terkenal lagi, bahkan bisa mendirikan butik. Penghasilannya tentu lebih besar, apalagi jika didukung promosi digital serta penjualan online. Namun, ia sadar publisitas sangat dihindari Adiba karena masalah pribadinya. Agaknya, kehidupan sederhana seperti itu cukup bagi Adiba. Sebagai suami, ia juga tidak ingin Adiba berlebihan tercurah waktunya hanya menjahit. Sesekali ia ajak Adiba ke lapangan. Mereka akan keliling kebun kopi Kandangan dan pergi ke pedalaman di mana banyak pemandangan sungai, air terjun, serta perbukitan yang asri. Jika bepergian, pulangnya mereka akan membawa aneka buah-buahan yang dipetik di hutan atau pemberian warga di wilayah yang dikunjungi. Boleh dibilang, kehidupan mereka berimbang antara pekerjaan dan kehidupan dekat dengan alam.
"Gimana, Dek? Pemandangannya indah banget, bukan?" ujar Krisna saat mereka berdiri di tepi jurang, memandang jauh ke perbukitan dan air terjun cantik di bawah mereka.
"Iya, Mas, tapi seram. Diba pusing kalau liat ke bawah," sahut Adiba.
Krisna terkekeh lalu ia rangkul gadis itu sambil mengajaknya menjauhi tebing. "Ya jangan lihat ke bawah. Itu fobia ketinggian namanya atau akrofobia. Lihat Mas saja kalau kamu takut, dijamin semua kekhawatiran kamu hilang."
"Nggak ada bedanya, Mas. Mending Diba jauh-jauh aja dari jurang. Cari aman saja. Mas juga."
Krisna jadi menyesal mengucapkan gurauannya. Adiba tidak tanggap kalau digombali. Ia bekerja di wilayah itu sudah dibekali kemampuan mendaki dan penyelamatan hidup kondisi darurat, jadi tidak asal datang ke sana tanpa tahu situasi dan kondisi.
Adiba berjalan lebih dulu menuju mobil hutchback mereka. Fahmi ada di sana, menaikkan koper berisi obat-obatan ke bak mobil. Krisna menyusul Adiba sambil bersuara agak nyaring. "Semisal Mas harus turun ke jurang demi menyelamatkan orang, bagaimana? Adiba mau merestui Mas?"
"Mas ngomong apa sih? Kalau menyangkut pekerjaan Mas, ya Adiba ...." Penglihatan Adiba nanar dan sekilas terbayang wajah Diaz saat mengungkapkan semangatnya untuk mewujudkan impian menjadi penegak hukum yang berdedikasi. Sebisa mungkin Adiba mengembalikan fokusnya. "... mendoakan yang terbaik dan demi keselamatan Mas. Pekerjaan Mas begitu mulia. Semoga Allah selalu bersama Mas dan melindungi Mas."
Krisna rangkul pundak Adiba hingga terdoyong ke depan mengejutkan Adiba. Gadis itu jadi kikuk, badannya kaku seperti tidak pernah disentuh lelaki saja. Krisna tertawa kecil, kemudian bergumam, "Apa kamu gak pengen Mas punya pekerjaan yang lebih bonafid, lebih elit, dan lebih tajir? Uangnya juga lebih banyak."
"Kenapa Diba mesti kepengen hal yang Mas Krisna tidak inginkan? Selama ini, Diba lihat tidak ada yang salah dengan pekerjaan Mas dan Mas sepertinya juga sangat menikmati. Kenapa Diba mesti mengusik hal itu?"
Krisna semringah. Senang Adiba bisa mengerti perasaannya. Terkadang, seorang pria hanya ingin melakukan apa yang disukainya, tidak ingin dicecar oleh tuntutan-tuntutan harus seperti orang lain, harus begini, harus begitu, diatur-atur oleh orang yang tidak menjalani hal yang sedang dijalaninya. Jika dunia ini hanya dihuni orang seperti dirinya dan Adiba, maka dunia akan damai sentosa.
Sementara Krisna berpikir naif, Adiba membatin bahwa bukan keinginannya yang harus Krisna khawatirkan, melainkan orang tuanya, sanak saudaranya atau teman-temannya di Jakarta sana. Namun, Krisna ternyata peduli pada pendapatnya, membuat Adiba tersentuh. Seolah pria itu sangat menghargainya dan ia seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Seperti cara Mas Diaz memperlakukannya.
"Dibaa ...!"
Terngiang teriakan pilu Diaz saat harus melepaskannya ketika mereka dipaksa berpisah, lalu obat-obat itu dijejalkan ke mulutnya di bawah pengawasan ayahnya. Mata pria itu nyalang mengecam, "Bayimu tidak akan pernah dilahirkan!"
Kenapa aku mesti teringat kejadian ini lagi?
"Aduh!" desah Adiba tanpa sadar terhuyung seraya memijit pelipisnya. Untunglah Krisna sedang merangkulnya.
"Dek, kamu kenapa, Dek?" tanya Krisna cemas. Buru-buru ia dudukkan Adiba di mobil. Gadis itu tersandar dengan mata terpejam dan menarik napas dalam-dalam.
"Mungkin pusing bekas melihat jurang tadi, Dok," komentar Fahmi agar Krisna tidak terlalu cemas.
"Bisa juga sih." Krisna bergegas mengeluarkan tensimeter dan memasangnya di lengan Adiba. Hasil pembacaan menunjukkan tekanan darah Adiba normal. "Bagus saja tekanan darahnya," gumam Krisna lagi.
"Diba sudah baikan kok, Mas," ucap Adiba seraya menatap lembut Krisna.
Krisna benahi duduk Adiba, lalu ia turut masuk ke dalam mobil. "Kita pulang sekarang. Fahmi, kamu yang nyetir."
"Baik, Dok!" sahut Fahmi kemudian bergegas duduk di balik kemudi dan mobil itu pun bergerak menyusuri jalan setapak berlumpur.
Krisna menarik pundak Adiba agar bersandar ke dadanya. Gadis itu tidak mengelak, bahkan tiduran di dadanya. Krisna diam saja meskipun waswas dalam hatinya. Adiba sudah beberapa kali melihat pemandangan ketinggian serupa tetapi tidak pernah pusing-pusing seperti kali ini. Ia biarkan dulu Adiba beristirahat dan akan diperiksanya lagi jika masih saja pusing.
Sampai di rumah, Adiba sudah lebih baikan, bahkan setelah makan masakan buatannya, Adiba menjadi segar bugar sehingga ia ingin menjahit lagi mumpung hari masih sore. Krisna menegurnya. "Gak usah menjahit dulu lah, Dek, mungkin kamu kelelahan, lebih baik istirahat dulu."
Adiba ingin membantah, tetapi tidak sampai hati melihat kecemasan di wajah pria itu sangat serius. "Ya deh, ya deh, Adiba ikutin saran Pak Dokter," ucapnya meledek Krisna. Adiba ke kamar dan tiduran seperti suruhan Krisna. Ia pikir palingan tak lama lagi Krisna bakalan minta genjot seperti kebiasaan tiap malam, akan tetapi, malamnya Krisna menyiapkan makannya, lalu menyuruhnya lekas tidur. Adiba tidur nyenyak sampai keesokan paginya dan mendapati Krisna tidur di sisinya tanpa mengganggunya sama sekali.
Adiba bangun dan berkegiatan seperti biasa termasuk mencuci baju, bersih-bersih rumah, dan mengepel lantai. Suaminya menyiapkan sarapan mie soto kesukaannya, akan tetapi ketika hendak menyantapnya, Adiba kehilangan semangat. "Aku malas makan, Mas. Buat Mas aja, aku lagi gak selera," gumam Adiba.
Krisna terhenyak. "Serius? Dek, kamu belum makan apa pun loh. Ntar sakit. Kamu lagi gak enak badan? Sini, Mas periksa!" Krisna gandeng Adiba menuju klinik dan menyuruhnya berbaring di bed periksa. Krisna memasang stetoskop, memeriksa temperatur, serta tekanan darah Adiba.
"Tekanan darah kamu kurang nih, makanya bawa makan dulu. Kalau gak nafsu makan, coba minum susu atau makan sereal kesukaan Mas itu. Pokoknya perut kamu harus isi, kalau nggak, Mas pasangin infus loh. Hayo, pilih mana? Makan atau Mas infus?"
"Aku makan aja deh, Mas." Adiba turun dari bed lalu melangkah malas-malasan.
Krisna merapikan peralatannya sambil bersuara, "Mau mas yang siapin?"
"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok," sahut Adiba tanpa menoleh suaminya. Pagi itu akhirnya ia minum su.su dan makan sereal Milo saja.
Klinik buka dan Krisna melayani pasien bersama timnya. Sama seperti jam kerja Krisna, Adiba menjahit mengerjakan pesanan pelanggannya. Beranjak siang hari, kepala Adiba pusing lagi dan bertambah mual. Perutnya bergejolak, rasa susu dan asam naik hingga ke tenggorokan. Adiba pun bergegas lari ke belakang rumah dan muntah di sana.
Bu Mujibe dan Sutiyeh yang mendengar suara muntah-muntah itu sontak saling pandang. "Loh, Adiba kenapa tuh?" Mereka menoleh pada Krisna yang membalas tatapan mereka sama bertanya-tanya.
"Tadinya dia gak mau makan. Mungkin maag," kata Krisna.
Bu Mujibe jadi geregetan. "Hiih, Pak Dokter kok ngomong kayak gitu. Gak curiga apa kalau istrinya hamil?"
Krisna agak-agak tidak ingin terlalu berekspektasi. "Masa sih?" kekehnya salah tingkah.
"Eeeh, Pak Dokter malu nih yee," ledek bu Mujibe dan Fahmi.
Sutiyeh menimpali. "Iya nih. Dites aja dulu, Dok, mumpung saya ada. Nggak sampai 5 menit kok."
"Iya deh. Ntar saya panggil Adiba dulu." Krisna pindah ke rumahnya dan mendatangi Adiba yang sedang cuci muka di belakang rumah. "Dek, periksa sama Bu Mujibe dan Sutiyeh ya? Mungkin kamu hamil."
Adiba terpaku. Tangan dan kakinya gemetaran. "Ha-hamil?" Suara-suara asing terngiang dalam kepalanya. Teriakannya sendiri seperti teriakan orang lain. Bentakan-bentakan kasar seperti orang lain yang mengalaminya. Ia hanya menonton ketakutan dan tidak bisa melakukan apa pun.
Krisna lihat Adiba goyah karena baru saja muntah. Ia pegang tangan Adiba sehingga sorot mata amber itu bereaksi menatapnya. "Periksa dulu, ntar biar Mas bisa resepin obat yang pas buat kamu."
Tangan itu membuat tubuhnya terasa hangat. Tangan itu meyakinkan bisa jadi pegangan dan akan selalu menuntunnya tanpa pernah melepaskannya seorang diri. Adiba serasa mendapat tenaga. "I-iya, Mas," katanya. Ia mengikuti Krisna. Mereka berpegangan tangan ke ruang sebelah.
Sampel darah Adiba diambil dan menyerahkan sampel urinnya untuk diperiksa Sutiyeh. Tak lama kemudian, hasilnya keluar. Hasilnya memang positif. Adiba hamil.
"Waah, selamat ya, Diba, Dokter Krisna, akhirnya kalian bakalan punya momongan!"
Adiba terdiam terharu, sementara Krisna merangkul dan mengecup pipinya. "Selamat, sayang! Aduh, Mas senang sekali. Kamu mengandung anak kita," bisiknya.
Adiba lalu diperiksa oleh Bu Mujibe. Diperkirakan kandungannya berusia 8 minggu. Krisna meresepkan aneka multivitamin dan pereda mual untuk ibu muda itu. "Nah, sayang, kalau pun kamu malas makan, kamu harus makan untuk kesehatan anak kita," nasihat Krisna. "Mas bakalan bikin makanan sehat buat kamu. Kamu juga harus kurangi makan mie instan ya, demi anak kita."
Adiba diam saja karena masih merasa terlalu luar biasa baginya. Ia mendapat kesempatan hamil lagi. Dalam hati merapal doa agar yang kali ini ia bisa mengandungnya sampai melahirkannya dengan sehat dan selamat. Dijauhkan segala kejahatan dan niat busuk orang-orang padanya dan pada Krisna. Ia harap rahasianya tetap terjaga. Ia harap Krisna tidak dipisahkan darinya, apalagi dari bayinya. Ia tatap Krisna yang wajahnya berseri-seri sedang berbicara pada orang-orang soal kehamilannya dengan rasa bangga. Adiba hanya bisa berkata dalam hati saja. Mas, jangan beritahu orang tuamu, Mas. Tolong jangan beritahu. Sampai kapan pun jangan beritahu. Jangan ambil risiko mengira mereka akan menerimaku atau bayi ini. Mereka tidak akan melakukan itu, Mas. Aku tidak akan sanggup bertahan jika itu terjadi lagi. Aku akan mati, begitu juga bayi ini. Mereka akan membunuh kami. Kumohon, Mas, jangan biarkan kami dibunuh.
Kerisauan itu membuat pikiran Adiba kalut. Adiba beranjak dari klinik tanpa berucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang dan penglihatannya teralihkan. Seolah pasien-pasien yang datang dari pintu depan klinik itu adalah orang-orang suruhan ayah Diaz. Ia harus bersembunyi. Ia tidak boleh terlihat. Akal sehatnya berteriak, nasi sudah menjadi bubur, Adiba. Kuatkan dirimu. Di sini kau akan baik-baik saja.
Krisna memperhatikan saat Adiba menjauh. Ia permisi pada pegawainya, lalu mencari Adiba di ruangan sebelah. Ia tarik tangan Adiba sehingga istrinya itu tersentak dan tergagap berlinang air mata. "Ma-Mas?"
Segera Krisna tangkup wajah Adiba dan menenangkannya dengan berbisik mesra. "Hussh, jangan takut, Diba. Mas tahu apa yang kamu rasakan. Nggak, Mas nggak akan ngasih tau siapa pun kerabat Mas termasuk orang tua Mas soal kamu dan anak kita. Mas juga tidak ingin hari-hari kita terusik, apalagi di saat kamu sedang hamil. Mas akan rahasiakan ini selama mungkin. Kalau kamu yang meminta, baru Mas akan mengatakannya. Kamu paham?"
Adiba mengangguk beserta air mata semakin deras mengucur. Tangis lega karena Krisna bisa mengerti keadaannya tanpa ia harus menjelaskan. Krisna mengusap kedua pipi Adiba menghapus air mata itu lalu memeluknya erat-erat dan membisikinya. "Jangan nangis lagi, Dek. Perasaan buruk itu nggak baik buat perkembangan janin. Yang ceria ya, sayang. Kamu sedang membawa hadiah terindah ke dunia ini. Mas akan lindungi kalian dengan segenap jiwa Mas."
Adiba menahan isak tangisnya, tetapi lagi-lagi ia tidak bisa mengatakan isi hatinya yang berupa memanjatkan doa memelas seiba mungkin. Tolonglah ya Allah, dengarkan pintaku. Jika doaku tidak patut dikabulkan, setidaknya kabulkan doa Mas Krisna. Mas Krisna pria yang sangat baik, ia pantas bahagia. Bantu Mas Krisna mewujudkan keinginannya. Lindungilah dia. Lindungilah kami bertiga.
Bersambung...
Share this novel