BAB 22. Menjadi Groomsman

Romance Completed 9248

Pesan dari Krisna masuk ke ponselnya. Juga beberapa kali panggilan masuk yang jika dijawab tidak terdengar suara apa pun lalu putus karena jaringan hilang. Hari sudah malam, bukan waktu yang bagus untuk Adiba ke halaman dan mencari-cari sinyal hingga ke pepohonan. Lagi pula, kata orang, pamali duduk di bawah pohon saat malam hari. Adiba menatap ponselnya sambil rebahan bersama Sutiyeh dan Bu Mujibe. Bu Mujibe sudah tertidur, Sutiyeh yang menemaninya terjaga.

"Kenapa, Diba?" tanya Sutiyeh, keheranan melihat Adiba diam saja memandangi layar ponsel.

"Bingung, Mba, mau balas apa," jawab Adiba.

"Bingung? Emang pesan dari siapa? Apa katanya?"

"Dari Mas Krisna, tanyain Diba lagi ngapain. Kan panjang penjelasannya. Ditelepon gak bisa nyambung."

"Ya balas aja mau tidur, gitu. Kalau susah ngetik, kirim aja rekaman suara atau video. Ntar bisa diputar kapan aja, gak bakalan mengganggu kalau Dokter Krisna lagi sibuk."

"Ooh, bisa ya, Mba? Bagaimana caranya?"

Sutiyeh lalu mengajari Adiba merekam suara dan video, sekaligus cara mengirimnya. Adiba bisa melakukannya sendiri setelah beberapa kali percobaan. Adiba tidak percaya diri mengirim pesan video sehingga ia mengirim voice note saja. "Ingat janji Mas, sebelum bekas itu hilang, Mas harus balik! Kalau ingkar janji, Mas tanggung sendiri akibatnya!" ucapnya dengan nada mengancam, membuat Sutiyeh tersentak.

"Waduh, Diba, ganas juga rupanya."

"Eh? Nggak, Mba, itu tadi bercanda doang kok."

"Hah? Bercanda? Dokter Krisna tuh suka kayak diketusin gitu ya?"

"Nggak tau, Mba. Menurut saya biasa aja. Saya gak memperhatikan. Mungkin iya, mungkin tidak. Mas Krisna nggak pernah ngatur-ngatur macam-macam sih." Kecuali pada saat tertentu, Mas Krisna bisa sangat menuntut, tetapi Adiba tidak ingin membicarakannya dengan siapa pun. Ia tidak ingin membagi hal intim mengenai Krisna pada perempuan lain, karena ia tahu mereka sangat memuja suaminya.

Sutiyeh lebih merasa karena ia peduli pada Adiba. Ia jadi bertanya-tanya. "Kamu serius, Diba, gak merhatiin Dokter Krisna? Ih, bahaya loh kalau kamu gak perhatian, ntar laki itu bisa nyari perhatian ke perempuan lain."

"Seperti suami Mba?" Adiba balik bertanya yang membuat Sutiyeh tertampar.

"Aah, gak usah bahas suamiku lah. Dia emang sudah ajalnya mata keran.jang, tapi kalau kamu 'kan masih hitungan pengantin baru dan kamu butuh Dokter Krisna untuk hidup, jadi kamu harus mengurus Dokter Krisna sebaik mungkin." Tidak ada yang mau Dokter Krisna kepincut perempuan lain misalnya Dewi-Dewi itu. Malas kalau melihat Dokter Krisna berduaan dengan salah satu dari mereka, tapi kalau melihat sama Adiba tuh Dokter Krisna kelihatan ngademin banget dan tulus. Sudah begitu, gampang minta jahitin baju sama Adiba.

"Bagaimana cara memperhatikannya, Mba?" tanya Adiba yang lebih karena menghargai orang yang sudah menemaninya.

"Ya, misalnya masak yang enak dan cari tahu kesukaan-kesukaan suami, sama hobinya apa."

Adiba merenung. Soal memasak, ia menyerah saja, sedangkan soal kesukaan Mas Krisna sepertinya snack KitKat itu. Ia sampai marah besar gara-gara KitKat-nya dicuri. Padahal orang sekaya itu lho, juga murah hati, tapi kehilangan KitKat-nya bisa bikin dia berubah. Kalau soal hobi, sepertinya Mas Krisna suka kegiatan fisik dan outdoor. Ah, laki-laki yang tidak sulit dimengerti, bahkan oleh orang yang kemampuan berpikir terbatas seperti dirinya.

"Kalau begitu, ntar saya tanya ah kesukaan Mas Krisna apa aja. Juga apa-apa yang dia tidak suka. Kadang Mas Krisna suka ngambek gak jelas sih," gumam Adiba.

"Nah iya, itu. Kadang kala hal sepele bisa bikin laki bad mood."

Adiba mengangguk. "Mas Krisna kayaknya gak suka orang yang banyak omong deh. Habisnya dia betah diem tiduran."

Sutiyeh pikir itu benar adanya, karena itu Dokter Krisna nyaman bersama Adiba. Sutiyeh jadi ingat suaminya yang sering kena omelnya jika pulang ke rumah karena kelayapan saja, tidak membawa sepeser pun uang hasil kerja. Rumah lalu sunyi senyap karena mereka tertidur memikirkan suami masing-masing.

***

Minggu adalah hari yang dinanti-nantikan semua orang, terutama Keluarga Adimulya dan Nareswara. Pagi-pagi buta, orang -orang sudah sibuk menyiapkan acara, tak kecuali pegawai hotel, katering, penata busana, penata rias, serta kerabat keluarga. Mereka bersiap-siap tampil dengan penampilan terbaik mereka. Namun khusus Krisna, dia mendapat serangan fajar.

Krisna baru selesai mandi dia bertelanjang dada dan sedang menggosok rambutnya dengan handuk. Pintunya diketuk keras sehingga ia bergegas membukakan. Ternyata ayahnya yang datang dan langsung memburunya ke dalam kamar dengan tinju terkepal.

"Anak berengsek!" maki pria paruh baya yang mengenakan setelan jas untuk acara nikahan putrinya.

Wirya marah luar biasa melihat bukti nyata bahwa laporan Mitha tidak mengada-ada. Tubuh putranya penuh bekas ciuman yang sangat jelas.

"Apaan sih, Yah?" Krisna melangkah mundur seraya mengangkat tangan bersiap menangkis tinju sang ayah.

Untungnya, Yunita muncul dan menurunkan tangan suaminya. "Mas, sabar dulu toh, Mas. Ingat ini hari nikahan Mitha. Apa kata orang-orang ntar kalau liat wajah Krisna ada bekas pukulan?"

Wirya urung meninju putra kesayangannya, tetapi ia mengomel nyaring seraya menunjuk-nunjuk Krisna pada sang istri. "Kamu lihat sendiri anak ini. Kelakuannya bukan makin bagus, malah tambah be.jat aja. Gimana kalau dia tiba-tiba menghamili perempuan gak jelas dan punya anak haram? Mau ditaruh di mana mukaku ini? Orang pasti bertanya-tanya gimana hasil didikan orang tuanya. Atau tetiba ada perempuan ntar ngaku dihamili anak kita lalu minta nafkah dan ganti rugi? Kamu pikir gak ada kejadian begitu? Perempuan zaman sekarang kalau liat laki-laki berduit dan dari keluarga terpandang bakalan menghalalkan segala cara buat masuk ke circle kita dan memelorotin harta keluarga kita."

"Tapi Krisna ini dokter, Mas, dia pasti mikirin itu sebelum berbuat. Dia pasti pakai pengaman dan obat pencegah kehamilan," bela Yunita, yang berdiri di antara Krisna dan ayahnya.

Krisna sebisa mungkin menahan wajahnya agar tidak tersenyum. Ingin sekali padahal ia memberitahu bahwa itu semua tidak berlaku baginya yang sudah diam-diam menikahi wanita pilihannya. Namun, itu akan membuat ayahnya mati berdiri. Krisna diam saja dan membiarkan ibunya yang berbicara untuknya.

"Mas jangan terlalu keras lah, Mas pada Krisna. Dia baru pulang, bukannya disambut baik-baik, malah dimarahi karena sesuatu yang masih belum jelas kejadiannya. Bagaimana kalau Krisna kabur dan gak kembali ke rumah?"

"Biarin! Emang dia sanggup hidup sendiri?" Wirya menatap tajam putranya. "Kamu bukan apa-apa tanpa keluarga ini, Kris. Jangan sok slengean kamu ya. Kamu pikir kamu preman jalanan gitu sok sok kuat dan mandiri? Ayah polisikan kamu, baru kamu tahu rasa!"

Rahang Krisna mengeras. Adiba saja sanggup hidup dari sampah, kenapa ia sebagai laki-laki mesti takut?

"Mas, jangan bawa-bawa polisi segala!" rengek ibunya. "Mas tega mempermalukan anak sendiri? Krisna masih muda begini ya wajar saja dia sedang pencarian jati diri, Mas. Kita nggak bisa mengekang, yang ada malah makin berontak. Nasihatin aja lah, Mas. Ntar dia tambah dewasa, tambah pengalaman, masa-masa kek gini pasti berlalu."

Wirya terdiam menarik napas dalam-dalam meskipun wajahnya masih keras menatap sang anak. Krisna pun buka mulut. "Iya, Yah. Lagian Ayah mau main pukul aja tanpa bertanya-tanya dulu."

"Apa lagi yang mesti ditanyakan? Ayah juga pernah muda dan tahu betul bagaimana pergaulan anak muda sekarang. Ayah gak mau kamu terjebak."

"Lalu kenapa kalau Krisna terjebak? Memangnya orang lain tidak pernah melakukan kesalahan? Memangnya manusia harus hidup sesuai text book? Atau aturan-aturan yang Ayah buat?"

"Kamu ini!" Wirya mengangkat tangannya hendak menampar Krisna tetapi kembali ditangkap Yunita.

"Mas! Mas, sudah, Mas!"

"Ayah mau apa? Mau persekusi Krisna? Bagaimana kalau Krisna bilang Krisna tidak melakukan kesalahan apa pun? Krisna hanya ingin Paula berhenti mengejar Krisna. Jangankan sehari, sebulan, atau setahun, apalagi seumur hidup, Krisna tidak mau hidup bersama orang yang tidak Krisna cintai."

"Tahu apa kamu soal cinta?" bentak Wirya.

"Krisna tahu!" jawabnya lantang. Wirya terhenyak karena tatapan Krisna mengecamnya. "Jangan bilang kalau selama 30 tahun lebih pernikahan Ayah tidak pernah melirik wanita lain dan berselingkuh hingga membuat ibu menangis tiap malam dan menelan seluruh harga dirinya untuk melayani Ayah seolah tidak pernah terjadi apa-apa," ucap Krisna, yang bukan hanya membungkam Wirya, tetapi juga Yunita.

Mata ibunya membulat menatapnya lalu terbata-bata. "Kr-Krisna ... Kamu ...."

Krisna tetap menatap tajam ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sedetik saja pria itu kembali mendapatkan kendali. "Harta, tahta, wanita, Ayah sudah rasakan semuanya, bukan? Tidak sulit ditebak, Ayah. Ayah pun sama bejatnya sebagai seorang pria. Lalu Ayah ingin Krisna melakukan apa? Menjadi anak yang baik dan menyenangkan Ayah? Jika Ayah bijak, Ayah seharusnya membiarkanku melakukan apa yang aku senangi dan jika itu salah, maka biar aku belajar darinya. Semakin Ayah mengekangku, semakin aku membenci Ayah dan semakin aku akan menjadi seperti Ayah. Bersikap palsu di hadapan anak-anaknya."

Bergantian ibunya yang memelas padanya. "Krisna, Ibu mohon hentikan. Apa pun yang dilakukan ayahmu, kau harus tetap menghormatinya sebagai orang tua. Jangan memperparah masalah ini, Nak. Ini hari besar keluarga kita. Mari kita tetap bertahan sebagai keluarga. Kita harus saling menghargai dan menghormati apa pun perbedaan yang terjadi di antara kita."

"Ayah sangat beruntung memiliki Ibu sebagai pendamping. Ayah seharusnya berterima kasih pada Ibu. Jika Ibu tidak bertahan dengan sikap Ayah, keluarga ini sudah lama hancur. Ayah sadar itu? Bukan kekerasan tekad Ayah yang membuat keluarga ini bersatu, tetapi kesabaran Ibu."

Yunita rangkul putranya yang badannya jauh lebih tinggi darinya. "Sudah, sudah. Ayo, Kris, kenakan bajumu jadi kita bisa mulai menyambut tamu. Kamu juga harus bantu Diaz, dia mungkin butuh sesuatu."

Wirya kelu dan berdecih membuang muka. Tak pernah ia duga Krisna mengetahui segalanya meskipun anak itu tidak pernah mengkonfrontasi hal itu. Rupanya ia menyimpannya sebagai senjata pamungkas. Wirya sebal merasa terintimidasi. Yunita mendatanginya setelah Krisna mulai mengenakan setelan pengiring pengantin pria.

"Mas, sudahlah, jangan diperpanjang lagi soal ini. Percaya saja anak kita tidak akan segampang itu dikecoh perempuan. Biar dia menikmati masa keemasan dia, Mas. Mas dengar sendiri tadi, daripada dia semakin nekat, Mas mau kehilangan anak laki-laki satu-satunya?"

Kalau sudah soal itu, paling ditakuti Wirya. Namun, setelah ucapan Krisna, Wirya mungkin mulai merasakan bahwa yang paling ditakutinya adalah kehilangan sang istri. Ia pun mematuhi anjuran Yunita. Tanpa berkata apa pun pada putranya, Wirya meninggalkan kamar tersebut. Yunita bicara dulu pada Krisna sebelum menyusul suaminya. "Kris, Ibu percaya kamu gak sembarangan bergaul. Karena itu, kamu jaga diri baik-baik ya. Jangan main perempuan. Ingat semua perbuatan itu ntar ada karmanya."

Krisna tersenyum lembut. "Iya, Bu," jawabnya singkat, tetapi membuat Yunita terharu. Anaknya sudah dewasa dan banyak hal mulai tidak bisa dikontrolnya lagi sebagai orang tua.

Yunita bergegas keluar kamar untuk pergi ke ballroom bersama suaminya.

Acara pernikahan digelar pagi itu, di sebuah panggung yang dihias khusus dengan meja untuk ijab kabul. Orang tua kedua belah pihak pengantin terlihat akrab dan tersenyum sepanjang waktu. Para bridesmaids dan groomsmen asyik saling goda dan bercanda, terutama mengolok-olok Krisna yang lama menghilang ke pedalaman. Diaz bersikap dingin yang bagi semua orang menganggap itu pembawaan sikap dasar sang pengacara muda. Mitha tampil sangat memesona dalam balutan kebaya putih dan mahkota berkemilau. Dia sangat anggun dan cantik. Semua yang melihatnya terkesima, begitu juga Diaz, sang calon suami. Namun, Diaz tidak sampai terkesima terpukau jatuh cinta pada kecantikan calon istrinya itu karena ia tahu wujud asli Mitha, walau berdandan sebagai apa pun.

Diaz terkesima pada gaun yang dikenakannya. Sesuatu yang akan dibuat Adiba dengan sepenuh hati. Gadis yang berusia 18 tahun ketika pertama kali mereka bertemu sedang menggambar desain pakaian yang ingin dibuatnya, berkata padanya dengan mata berbinar-binar. "Saya punya mimpi, gaun buatan saya akan membuat siapa pun yang mengenakannya menjadi putri raja. Mereka akan pergi ke tempat indah dan bertemu pangeran impian mereka."

"Itu seperti kisah putri Cinderella. Bukankah itu sangat kekanak-kanakan?" komentarnya mengejek gadis itu.

Sorot mata indahnya berubah sendu. "Masa kanak-kanak saya berakhir ketika saya masuk ke tempat ini, Pak. Saya tidak tahu apakah saya bisa keluar dari sini dan hidup setelahnya. Jadi, bagi saya, punya mimpi saja rasanya sudah menikmati hidup. Boleh 'kan saya memilikinya? Meskipun hanya mimpi?"

Tadinya, ia pangeran yang akan mewujudkan impian itu. Namun, ia malah mewujudkan impian gadis kemaruk. Wanita jahat yang sudah punya segalanya, tetapi selalu merasa kurang. Mitha telah membuat semua orang di bridal salon and gown milik kenalannya bekerja terforsir hanya demi obsesinya yang tidak terpuaskan. Memang, hasilnya sempurna, tanpa cela, tetapi haruskah ia membuat semua orang menderita hingga titik darah penghabisan?

Nadeya, wanita berusia 40 tahun pemilik bridal turun tangan sampai subuh membenahi gaun-gaun pengantin Mitha sampai berkata padanya. "Kalau bukan karena kita teman akrab, aku tidak akan mempertahankan klien seperti calon istrimu ini, Diaz. Maaf saja, silakan marah padaku dan membenci aku setelah ini, tetapi tipe wanita seperti ini akan memberimu kehidupan di neraka. Camkan kata-kataku."

Ucapan Nadeya benar adanya, karena persis neraka itulah yang diberikan Mitha padanya. Sebuah pesta pernikahan yang mewah, megah, dan sempurna. Mempelai yang terlihat sempurna, cantik dan tampan luar biasa, tetapi tidak ada cinta di antara mereka. Jangan berpikir bahwa pernikahan ini adalah kisah yang berawal dari benci lalu menjadi cinta. Tidak akan pernah.

Selesai prosesi ijab kabul dan kedua mempelai bersiap ganti baju untuk resepsi, Diaz kembali ke kamarnya, diiringi penata busana dan rombongan groomsmen yang berbicara riuh membahas reaksi saat acara nikahan tadi. Ketegangan, keseruan, serta tamu-tamu atau tingkah kerabat yang menarik perhatian. Khusus yang masih bujangan, membicarakan soal gadis yang menarik perhatian mereka.

Diaz ke dekat jendela, melonggarkan kerah kemejanya sembari mengecek ponsel. Ia tidak membuka pesan-pesan ucapan selamat untuknya, melainkan ia membuka pesan teks dari ayahnya.

[Jika kau tidak melaksanakan malam pertama bersama istrimu, maka bersiaplah dengan konsekuensinya!]

Diaz menyimpan ponselnya. Ia tidak tahu pasti apakah ayahnya menyekap Adiba atau mengawasinya di suatu tempat, ataukah itu hanya gertakan, tetapi itu cukup menjadikannya bu.dak sang Prabu. Wajah Diaz semakin tegang yang membuat rekan-rekan groomsmen-nya keheranan, tetapi tidak berani mengusiknya. Diaz mengambil minuman keras dan menuangnya segelas lalu segera menenggaknya.

Penata busana membantu melepas setelan putih nikahan yang dikenakan Diaz untuk berganti dengan setelan jas selanjutnya.

Krisna asyik mengobrol, tidak ambil pusing lagi sikap Diaz karena Diaz dan kakaknya sudah resmi menikah. Keasyikannya tersela karena getaran ponselnya ada pesan masuk. Krisna periksa ponselnya dan sorot matanya berbinar melihat pesan suara yang berasal dari Adiba. Pesan-pesan teksnya tidak ada yang dibalas, tahu-tahu ia malah dapat voice note.

Krisna menjauh dari kerumunan sembari mendekatkan speaker ponsel ke telinganya untuk mendengar suara Adiba.

"Ingat janji Mas, sebelum bekas itu hilang, Mas harus balik! Kalau ingkar janji, Mas tanggung sendiri akibatnya!"

"Cie, cieee, Krisna udah ada yang nungguin ternyata," ledek teman-temannya yang sayup mendengar pesan suara itu. Krisna senyum-senyum saja.

"Lalu Paula gimana? Bukannya kalian dijodohkan? Kalian jadian? Nggak pernah ya?"

"Nggak lah. Paula itu sudah kayak adik kandung. Kami akrab aja. Lagian aku sudah punya cewek lain."

Diaz menoleh mendengarkan pembicaraan mereka.

"Siapa, Kris? Orang mana? Ada fotonya gak? I.G-nya ada? Yang kirim voice note tadi? Namanya siapa?"

"Nggak, ini bukan siapa-siapa. Dia pasien," jawab Krisna tersipu-sipu, tetapi mengirim voice note balasan pakai nada kesengsem. "Iya, iya, Mas tau!"

"Ya elah, pakai Mas lagi. Pasien apa yang nyebut dokternya Mas? Sengaja nih Krisna manas-manasin. Coba kasih liat orangnya mana? No pic, hoax!"

Krisna terkekeh. "Dia gak punya I.G. Gak punya sosmed. Gak ada fotonya."

"Astaga, Kris! Hari gini gak punya sosmed? Hidup di zaman apa dia? Emang dia orang suku pedalaman?"

"Gak! Suka-suka dia lah. Enak lagi bagiku dia gak kenal siapa pun jadi gak bisa kena pengaruh orang-orang kek kalian nih!"

"Eh? Tumben yang kali ini gak diumbar-umbar. Emang orangnya gimana sih, Kris? Cantik banget ya?"

"Au ah! Males ngomonginnya. Dah lah, aku keluar dulu. Hehehe." Krisna mencari jalan mengelak. Ia keluar dari kamar Diaz untuk mencoba menelepon Adiba. Pesannya terkirim berarti sinyal di sana sedang bagus. Mungkin Adiba sedang menunggu teleponnya di bawah pohon mangga.

Krisna ke ujung selasar hotel dan menelepon dengan suara direndahkan walaupun ia sendirian saja di jalur sepanjang itu.

"Kamu VN kok gitu? Gak bilang kangen kek sama Mas, 'kan manis dikit kedengerannya." Padahal Krisna senang dengan pesan ancaman itu, rasanya kayak diposesifin Adiba.

"VN? Ooh yg rekaman itu? Itu iseng aja. Malam tadi baru coba-coba, Mas. Masuk ya pesannya?"

"Hhhh ...." Krisna kecewa pesan itu rupanya karena iseng. Jadi, benar-benar Adiba tidak akan berkata kangen, rindu, atau sejenisnya? "Mas kangen banget sama kamu. Mas ntar pulangnya naik pesawat malam. Tiba di Surabaya mungkin istirahat dulu di mess yayasan. Besoknya baru lanjut ke Madiun."

"Iya, gak papa, Mas. Gak usah buru-buru, yang penting Mas selamat."

"Tapi kalau kelamaan ntar bekas kissmark-nya hilang dong. Adek bakalan marah 'kan?"

"Nggak juga sih. Apa yang mesti dimarahin soal itu? Kalau takut bekasnya hilang, merahin aja sendiri, Mas. Kan bisa pakai koin atau spidol."

"Ah, kamu, Dek, tidak memahami nilai sentimentilnya."

"Sentimentil? Aduh, Mas, itu kayaknya karena nafsu aja deh."

"Kamu itu ya kalau bicara to the point aja. Ah, Mas jadi gemes."

"Krisna?" Suara Paula terdengar di belakangnya.

Tubuh Krisna tegap tegang. "Sayang, ntar aku telepon lagi ya," kata Krisna lalu memutus panggilan dan berbalik menghadap Paula. "Ada apa, Paula?"

Paula hendak terisak. "Kamu kok gitu?"

"Gitu gimana?"

"Kayak aku tuh jadi pengganggu sekarang. Kata kamu sudah anggap aku adik. Sikap kamu sekarang sama aku dah kayak orang asing, tau gak? Segitu bencinya kamu sama aku? Setelah kenal cewek itu baru beberapa bulan, kamu sudah berubah sedrastis ini. Kamu bahkan melawan ayah kamu sendiri. Kenapa kamu jadi seperti ini, Kris?"

"Dengar, Paula, aku gak benci kamu. Kamu kan psikolog, aku yakin kamu sadar kamu sedang butuh istirahat dan mungkin makan yang enak. Aku sama ayah aku bicara biasa kok, kayak ayah dan anak seharusnya. Biasa aja kalau sesekali kami berdebat. Bukan karena kenal cewek lalu aku berubah. Aslinya 'kan aku memang selalu beda pendapat dengan Ayah, cuman sekarang aja momennya. Ayah lagi tegang mikirin acara ini, sementara aku bicara apa adanya. Lalu Ayah marah. Biasa, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Siapa sih yang ajarin kamu berasumsi berlebihan? Gila aja. Gak semua hal harus disinetronkan."

"Aku tuh takut, Kris kalau Om Wirya marah 'kan ntar kamu kena imbasnya. Gimana kalau kamu diusir dari rumah?" Paula hendak menangis. Ia tulus sekhawatir itu soal Krisna.

Krisna tepuk-tepuk pundak Paula sembari mengatakannya, "Lalu apa jika aku diusir dari rumah? Kamu takut aku gak bisa makan? Gak bisa cari uang? Jadi orang susah?"

Paula mengangguk. Ia mengusap tetesan di sudut matanya dan tersedu.

Krisna tarik tangannya dari Paula. Ia mencibir gadis itu. Jika ia diusir, Paula siap menampungnya lalu memanjakannya agar ia tidak kesusahan. Memangnya ia selemah itu jadi pria? "Agaknya benar kata orang. Seorang pria belumlah menjadi pria sejati jika belum pernah tidur di jalanan. Hidup susah bukanlah hina, tetapi merendahkan mereka yang sedang kesusahan itulah hina yang sebenarnya. Kau salah, Paula. Aku tidak takut dengan semua itu. Sekarang kau paham kenapa kita tidak bisa bersama?"

Paula tersedu sedan sendiri. Ia tidak bisa menjawab. Ia terlalu patah hati Krisna tidak mencintainya, bahkan tidak bersikap manis untuk sekadar menghiburnya. Tidakkah Krisna mengerti banyak orang mengharapkan mereka bersama? Hari pernikahan itu di mana Krisna sebagai groomsman dan ia seorang bridesmaid seharusnya menjadi momen menunjukkan pada orang- orang bahwa mereka akan menjadi mempelai selanjutnya. Namun, yang terjadi Krisna konstan menjauhinya. Mau ditaruh di mana mukanya?

Krisna mengembus napas lelah kemudian melangkah meninggalkan Paula tanpa berkata apa pun. Jika gadis itu tetap ngeyel, ia tidak tahu lagi harus sehalus bagaimana menolaknya.

Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience