Setelah klinik tutup siang Sabtu itu, Krisna berada di halaman depan rumah untuk menelepon kakak perempuannya yang akan bertunangan esok hari. Ia bicara di telepon sambil menyobek-nyobek daun mangga.
"Maafkan Krisna, Mba, nggak bisa menghadiri acara spesial Mba sama Mas Diaz."
"Tidak apa-apa, Kris. Mba bisa ngerti, tapi acara nikahannya kamu mesti datang ya. Dua bulan lagi. Kamu mesti sempat dong lowongin waktu buat acara itu," sahut Paramitha Adimulya yang sedang berbaring di ranjang spa untuk perawatan seluruh tubuhnya.
"Iya, Mba. Pokoknya Krisna usahakan, biar gak ada izin-izin lagi bulan ini, jadi bisa ambil cuti buat ke nikahan Mba."
"Janji, ya?"
"Janji, Mba. Untuk kali ini Krisna ucapin selamat aja dulu ya, Mba. Akhirnya Mba berhasil meluluhkan hati Mas Diaz. Memang kakakku satu ini gigih banget mengejar pria idamannya."
"Ya dong, Kris. Kalau Mba pernah ada ragu akan apa yang Mba inginkan, gak mungkin Mba bisa jadi CEO di usia semuda ini. Mba yakin banget sama Mas Diaz. Dia cinta sejati Mba. Bagi Mba, dia hanya menguji Mba karena dia pikir Mba wanita yang mudah menyerah, tetapi Mba berhasil membuktikan bahwa dugaannya salah. Bertahun-tahun bertahan dengan penolakannya, akhirnya ia melihat kegigihan Mba dan menyetujui perjodohan kami. Kalau memang jodoh pasti akan bersatu juga asalkan diperjuangkan."
Krisna mangut-mangut senang atas kebahagiaan kakaknya, meskipun dalam hatinya sangat menyayangkan kekerasan hati Mitha. Kakaknya menolak beberapa pria yang pernah melamar, yang menurutnya lebih cocok dengan kakaknya daripada Diaz yang sejak lama bersikap dingin. Tapi mungkin pada dasarnya perempuan senang dengan pria dingin dan arogan. Khusus kakaknya, sepertinya sangat terobsesi dengan Diaz hingga rela tetap single meskipun usianya sudah 30 tahun. Untung saja penantian itu tidak sia-sia.
"Kamu kapan menyusul, Kris?" celetuk Mitha. "Paula sudah mengirim sinyal kuat buat kamu. Bahkan belakangan ia sering main ke tempat Mba, supaya ketularan keberuntungannya katanya. Dia pengen kamu melamar dia."
"Ooh, soal itu ...." Krisna terkekeh salah tingkah. Ia melirik ke arah rumah di mana di dalam sana istrinya sedang sibuk menjahit. Ingin ia mengatakan bahwa ia sudah punya seseorang, tetapi itu akan merusak suasana bahagia di keluarganya. Krisna pun segera berkilah. "Nanti dulu ah, Mba. Aku baru pindah kerja. Mau menikmati suasana baru dulu."
"Huuu, kamu masih betah main-main aja nih. Kasihan Paula kamu anggurin terus. Kalau dia digaet orang, ntar menyesal kamu, Kris," ledek Mitha.
Krisna membatin justru itu yang diinginkannya, tetapi ia kembali terkekeh. "Ya, semoga Paula lekas ketemu jodohnya aja lah, Mba. Biar dia nggak galau menunggu-nunggu aku yang nggak pasti."
"Eh, serius kamu, Kris? Aku sampaikan pada orangnya ntar loh, gimana kalau dia beneran pindah ke lain hati?" Mitha menertawakan Krisna lalu meledeknya, "Tapi menurut Mba sih, Ayah yang bakalan marah besar. Kamu jangan bikin ulah lah, Kris. Ntar kamu dicoret dari wasiat, tau rasa kamu!"
Krisna tertawa hambar. Seandainya semudah itu bisa lepas dari kendali orang tua, tetapi ia juga tidak ingin dicap durhaka. "Ah, nggak gitu juga kali, Mba. Krisna yakin Ayah bisa mengerti," katanya sekaligus harapan yang tersirat dalam ucapan itu.
"Hhh, ya kamu enak, kamu anak laki-laki sih. Sejak dulu Ayah sayang banget sama kamu dan apa yang kamu mau mesti diturutin."
Krisna jadi merasa tidak enak hati. Ia buru-buru ingin mengakhiri panggilan. "Ah, Mba ini ngomong apa sih? Justru Mba hebat bisa bikin Ayah bangga dengan prestasi Mba, dan sekarang punya calon suami dari keluarga terpandang. Mba bisa menaikkan derajat Keluarga. Sangat luar biasa, Mba, sedangkan aku belum apa-apa."
"Ah, kamu bisa aja, Kris, memuji-muji. Ya sudah, doain acaranya lancar ya dan aku sama Mas Diaz langgeng."
"Iya, Mba. Pasti aku doain. Oke deh, Mba, selamat menantikan detik-detik peresmiannya. Aku mau nelpon Mas Diaz juga buat ucapin selamat."
"Oiya, kamu harus ngomong sama dia. Thanks, Kris. Bye, bye, my little brother!"
"Bye, Sis!"
Kemudian senyap sesaat. Krisna memutuskan panggilan lalu mencari-cari nomor Diaz Nareswara di daftar kontaknya. Sebagai adik yang baik, ingin sekali ia memperingatkan Diaz agar tidak mempermainkan kakaknya. Pria itu pernah menolak kakaknya berkali-kali, ia pikir justru itu adalah bendera merah bagi Mitha sehingga sekarang justru menjadi tanda tanya besar kenapa tiba-tiba Diaz mau bertunangan dengan kakaknya itu. Dan sahutan dingin Diaz menguatkan firasat itu.
"Halo?"
"Halo, Mas. Ini Krisna."
"Iya, Kris. Ada apa?"
"Aku mau ngucapin selamat dulu ya, Mas, atas pertunangan Mas sama Mba Mitha. Aku mohon maaf banget tidak bisa datang di acara besok karena aku masih ada kerjaan di Madiun."
"Iya, nggak apa-apa. Terima kasih atas ucapannya."
Krisna jadi kelu. Ia tahu Diaz aslinya tidak sekaku atau sedingin ini, akan tetapi sikapnya kali ini benar-benar memberikan nuansa yang tidak nyaman. Ingin ia menginterogasi, akan tetapi apa haknya mengecam Diaz. Ia yakin kedua pihak keluarga sudah berbicara panjang lebar sehingga akhirnya Diaz memilih bertunangan dengan kakaknya. Lagi pula, ia tidak boleh menimbulkan hal yang akan mengganggu hubungan mereka. Tiba-tiba Krisna teringat satu hal. "Eh, Mas Diaz punya apartemen di Imaginary Land, 'kan?"
"Sudah kujual. Kenapa? Apa kau mau beli unit di sana?"
"Eh? Nggak sih. Sekadar nanya aja. Ada kenalan pernah tinggal di sana. Eh, aku mau ngomong itu aja tadi, Mas. Maaf mengganggu kalau Mas lagi sibuk. Semoga lancar acara besok ya, Mas. Sinyal di sini susah, jadi kalau bisa nelepon, kudu buru-buru."
"Iya, nggak apa-apa."
"Oke, Mas. Bye!"
Klik. Panggilan diputus begitu saja tanpa sahutan dari Diaz membuat Krisna terkejut keheranan. Namun, ia langsung mengabaikan hal tersebut, karena yang penting niatnya sudah tercapai. Krisna kembali ke dalam rumah sambil bersenandung. Ia panggil istrinya. "Diba ...."
Adiba tidak menyahut karena berkonsentrasi pada jahitannya, tetapi Krisna sudah terbiasa dengan sikap tidak mau tahu itu. Ia lihat Adiba berdiri merapikan gaun di meja mesin. Segera Krisna dekap dari belakang dan mengecup pipinya. "Sayang," sebutnya.
"Mas, ah, apaan sih?" gerutu Adiba.
"Kamu nggak lapar?"
"Nggak, Mas. Aku mau menyelesaikan baju ini. Aku gak merasa lapar."
"Yah, berarti aku makan sendiri dong."
"Iya, makan aja sendiri."
Krisna cemberut, tetapi melepaskan dekapannya. Adiba tidak beranjak dari jahitannya, bahkan menoleh padanya pun tidak. Krisna jadi sebal. Ia ke meja dapur dan mengaut nasi sendiri, lalu makan sendiri pakai lauk ikan goreng pemberian Bu Mujibe.
Bunyi mesin jadi terdengar sebagai white noise yang membantu fokus. Berjam-jam hanya ada suara itu di antara mereka. Krisna diam memandangi Adiba. Kaki gadis itu sibuk menginjak pedal, kedua tangan bergerak mengarahkan kain. Seingatnya, ia pernah menyebut soal acara pertunangan kakaknya, tetapi Adiba tidak ada niatan bertanya soal itu, apalagi soal keluarganya. Benar-benar gadis yang tidak bertele-tele. Namun, jika dibicarakan pun, sepertinya hanya akan membuat Adiba tidak nyaman. Diamnya Adiba mungkin menghindari hal itu.
Mengusir rasa resahnya, setelah makan dan membereskan bekasnya, Krisna olah raga lari keliling di sekitar rumah, lalu sit-up dan push-up beberapa sesi demi menjaga bentuk otot badannya. Ketika hari mulai gelap, ia masuk rumah dan senang mendapati Adiba selesai menjahit.
Adiba menghentikan mesinnya, memotong benang, lalu merentangkan gaun sambil berseru lega. "Ah, sudah selesai!" Matanya berbinar-binar ceria. Gaun gamis yang sangat indah berhasil dibuatnya.
Krisna mengakui kemampuan menjahit dan mendesain Adiba sangat bagus, sehingga ia pun turut tersenyum bangga. "Bagus, Dek. Kamu ngerjainnya cepat ya. 1 hari aja selesai satu baju."
"Iya, Mas. Soalnya besok aku off menjahit. Kita 'kan mau ke Madiun," sahut Adiba dan kali itu ia mengerling pada suaminya yang lewat dengan handuk di pundak hendak mandi.
"Ooh, kalau soal begitu kamu jadi semangat ngerjain apa-apa ya. Terus, kalau Mas ini gimana? Masa dianggurin aja, padahal 'kan Mas yang bakal bawa kamu ke Madiun dan beliin mesin bordir."
Adiba bergegas menyelesaikan melipat gamis itu dan mengemasnya dalam plastik bening, sambil ia bicara pada Krisna. "Mas mau dikerjain kayak malam tadi?"
"Ya pastilah. Enak, tahu!" gumam Krisna yang tidak menahan lagi gundukan dalam celananya membesar membentuk tonjolan khas.
Begitu Adiba berbalik menghadapnya, matanya langsung tertuju ke tonjolan tersebut. Pipinya bersemu, bola mata indahnya segera berpindah ke arah lain. "Mandi dulu sana!" katanya.
"Hmm." Krisna manut. Ia mandi dan ketika selesai, giliran Adiba yang mandi sore.
Setelahnya ibadah Maghrib bersama, kemudian makan malam dan lanjut salat Isya. Pas Adiba salaman padanya, Krisna balas dengan kecupan di kening lalu mendekap erat istrinya itu hingga terdekap di pangkuannya.
"Mas, aku masih pakai mukena," protes Adiba.
Krisna senyum-senyum dan bersuara parau membisikinya. "Cepetan ganti. Mas tunggu di kamar."
"Masih belum terlalu malam, Mas. Masa iya mau tiduran sekarang?"
"Emangnya apa lagi yang mau kamu kerjakan? Malam pokoknya giliran genjot Mas!"
Adiba merasa suhu tubuhnya meningkat oleh ajakan sederhana Krisna. Ia mengulum bibirnya dan tertunduk. Krisna menyukai ekspresi itu, tetapi ia berlagak tidak mau tahu. Pria itu beranjak meninggalkan sajadah, membiarkan Adiba merapikan peralatan salat mas kawinnya dan menyilih mukena di kamar sebelah.
Saat melihat pantulan dirinya di cermin, Adiba terkesima melihat begitu jauh perubahannya setelah menikah. Rambutnya tergerai dan mengenakan daster batik panjang berkerah rendah berbentuk V memperlihatkan selangkanya. Badannya lebih berisi dan rona wajahnya malam itu terlihat lebih berbinar dari biasanya. Ia berdebar-debar menunggu hari esok, serta memikirkan bakal melayani keinginan Krisna dengan gaya seperti apa lagi.
"Ah, sudahlah. Ikuti bagaimana gaya Mas Krisna saja," gumamnya. Adiba ke kamar utama di mana suaminya menunggu di peraduan.
Krisna yang sudah menahan-nahan sejak sore, jadi kesengsem melihat ayunya sang istri dalam penampilan yang sederhana. "Ayolah, Diba, cepat buka baju kamu. Mas udah gak tahan nih!" ucap Krisna yang sedang berbaring. Ia melepas celana panjangnya tanpa bangun dan menyingkirkan dari kakinya bersama celana dalamnya. Si Little-nya langsung tegak berayun-ayun saat ia bergerak. Adiba terpaku memandangi sambil menggigit bibir. Krisna bergerak melepas kemeja piama sembari berbaring miring bagai model di pantai. Lekukan padat petak-petak perut dan dadanya mendukung atraksi itu.
Adiba melangkah mendatangi pria itu. Ia menurunkan pundak dasternya sehingga selangkanya terbuka lebar dan daster merosot dari tubuhnya berakhir teronggok di mata kaki.
Malam itu malam Minggu. Adiba mengenakan lingerie merah menyala seperti malam pertama mereka. Penampilannya dalam balutan lingerie seksi seperti manekin yang sangat cantik. Penampilan yang segera memanaskan sekujur tubuh Krisna bagai berada di sisi bara api. Matanya terpicing dan rahang bergemeretak.
Adiba merangkak di tubuh Krisna. Kedua gundukan berkemasan renda merah ditangkup pria itu dan dikecupinya banyak-banyak. Adiba mengerang lirih, "Mas ...."
"Hm?" Krisna memenuhi mulutnya dengan mengicip bulir mungil Adiba. Tanpa perlu membuka matanya lebar-lebar, jari Krisna mencolek ke bagian segitiga berenda untuk menemukan tanda kesiapan mulut di sana menyambut miliknya. Basahnya sudah cukup untuk melumasi jalan masuk. Ia arahkan kepala Little Krisna menyelip di celah renda. Ia memasukinya tersendat-sendat.
Adiba meringis mengempit pahanya seraya menaik-turunkan pinggul. "Aduh, Mas ... sumpek banget! Ahh, Mas, tolong, milik Mas terlalu keras ...."
"Hussh ... Nggak papa, Dek. Gerak aja terus ... Iya. Uhhh!" Genjotan berat di awal, berangsur-angsur cepat dan mulus membuat kamar riuh suara kersak kasur serta engahan lembut berpadu suara kasar serak.
"Ah, Mas.... Hiks ..."
"Ya, Dek? Mau keluar?"
Adiba mengangguk cepat lalu kembali mendongak kala di atas tubuh Krisna ia mencapai puncak penyatuan hasrat. Kedua tangan Adiba bertumpu ke dadanya seperti memegang tali pacu. "Aaah, Maaas ...!"
Krisna tersenyum haru bercampur me.sum karena senang Adiba tidak menggigit jari. Gadis itu bebas bersuara sedu sedan berbahagia. Krisna belai tengkuk dan untaian rambut ikalnya yang megar berguncang. Ia biarkan Adiba meraih kebebasannya beberapa kali sampai lelah.
Engahan Adiba melambat setelah debaran jantungnya lebih normal. Ia mulai bisa menatap Krisna di antara pelupuk matanya yang berembun keringat. Posisi istirahatnya duduk dengan kedua kaki terbuka bagai mata gunting menjepit pinggul Krisna. Giliran pria itu yang menggojlok pinggulnya.
Krisna menyeringai melihat kepasrahan Adiba saat ia memegang kendali. "Ahh, Mas, lebih dalam, Mas! Lebih cepat!" pinta Adiba.
"Ugh!" Krisna tarik kedua kaki Adiba sehingga Little Krisna-nya menyeruduk maksimal ke kedalaman rahim Adiba. Ia lakukan berkali-kali hingga Adiba terbaring tepar. Krisna mengangkangi tubuh istrinya dan ia cengkeram pinggul Adiba agar ia leluasa menumbuk konstan hingga klimaksnya, benihnya berceceran dalam rahim Adiba.
"Aaarrhh!" Krisna menggeram tatkala tubuhnya gemetaran mulai tulang belakang mengikuti pelepasannya. Ia lemas lega, menangkup tubuh Adiba dengan tubuhnya. Ia ciumi pelipis, kening, dan pipi Adiba, membiarkan bibirnya terisak menangisi kesempurnaan percintaan mereka. "Makasih, Dek. Mas puas banget," desah Krisna terengah-engah.
Adiba mengangguk saja tanpa sanggup membuka matanya yang berair. Rasa kantuk sangat kuat menyerangnya. Ia tak sanggup berkata-kata, tetapi bisa merasakan sapuan bibir suaminya membelai tepian wajahnya dan sesekali memberikan kecupan seraya membisikinya, "Tidur yang nyenyak, sayang. Besok kita berangkat pagi-pagi. Mudah-mudahan gak ada kendala."
Suara Krisna terdengar makin sayup. Adiba pun jatuh tertidur sambil bermimpi menyenangkan, jalan-jalan, melihat-lihat sepanjang perjalanan bermobil dengan Krisna di sisinya, tersenyum sepanjang waktu.
***
Sementara di kediaman mewah di Jakarta, Diaz memendam diri dalam kamarnya dengan perasaan putus asa. Pandangannya menerawang ke arah jendela. Gordennya terbuka sehingga tampak pekatnya langit malam itu. Pikirannya terjaga penuh memikirkan sosok perempuan yang benar-benar dicintainya. Bukan Paramitha Adimulya calon tunangannya, tetapi Adiba Farhana, istrinya. Ia berusaha melupakan hari esok dengan menenggak wiski dari stok minuman di lemari bar, akan tetapi para ajudan menghentikannya dan menyeretnya ke kamar atas perintah ayahnya.
Prabu Nareswara menggertaknya. "Jangan coba-coba bertingkah untuk mengacaukan pertunanganmu besok, Diaz. Jika kau membuat ulah, ingat apa yang bisa Ayah lakukan pada mantan gundikmu!"
Diaz memejamkan mata berusaha tidur karena hanya itu pelarian satu-satunya di mana ia bisa leluasa melihat lagi sosok Adiba. Air matanya menetes. Ia bergumam perlahan. "Mas selalu mendoakanmu, Diba. Semoga kamu selamat dan sehat selalu. Mas gak bisa menjaga kamu, Dek, tetapi semoga ada seseorang yang selalu menjaga kamu sebaik-baiknya. Mas gak bisa berbuat apa-apa lagi. Maafin Mas. Mas cinta kamu, Diba. Selamanya."
***
Untuk kedua kalinya Adiba mengalami perjalanan yang membuatnya bersemangat. Namun, yang kedua ini rasanya sangat berbunga-bunga sehingga senyum tak hilang dari wajahnya selama di perjalanan. Meskipun ia tidak membicarakannya, Krisna melihat perasaan itu dari pancaran seri wajahnya. Krisna mengajak serta Fahmi dalam perjalanan mereka ke Madiun sebagai sopir sehingga ia bisa merangkul Adiba di kursi belakang dan Adiba tidur bersandar padanya, tidak meringkuk seperti kebiasaannya.
Di pasar di Madiun, mesin bordir dan mesin cuci didapatkan. Dus besar dan berat itu dinaikkan ke bak mobil. Di pasar itu juga, Krisna membeli sekardus sereal Milo kesukaannya. Mereka juga membeli beberapa keperluan lain seperti mie, gula, minyak, sabun cuci, dan sebagainya. Tak ketinggalan bahan dan alat jahit. Krisna yang membayar semuanya. Adiba terlihat kalem selama mereka berbelanja di pasar Madiun. Adiba tidak akan bicara panjang lebar membahas isi hatinya, sehingga Krisna harus pandai-pandai memancing percakapan.
Ketika di toko kain, Krisna bergumam pada istrinya. "Dek, kamu bisa bikin jas laki-laki, toh?"
"Iya, Mas, bisa. Kenapa?"
"Jas praktik Mas udah usang, kelihatan dekil jadinya. Bikinin Mas yang baru dong, Dek!"
"Ooh," sahut Adiba singkat. Ia mengitarkan pandangan ke sekeliling mencari bahan yang pas buat jas sneli. Ia pilih bahan platinum, serat kain yang lembut, lemas, adem, warna putih terang kebiruan. "Kalau bahannya yang ini gimana? Mas suka?" tanyanya. Krisna sentuh bahan kain itu dan mengangguk.
"Kain ini dua meter, Mba," kata Adiba pada penjual. Kain itu diukur, dipotong, lalu dilipatkan dan dikantongi. Setelahnya, mereka ke mobil bersiap pulang ke Desa Kare.
Dalam perjalanan pulang, Krisna mengajak singgah di sebuah restoran bernuansa gazebo dan kolam-kolam ikan yang bisa mereka mainkan sambil menunggu makanan disiapkan. Tempat asri alami itu ramai oleh pengunjung. Beruntung mereka menemukan spot kosong dan bisa memesan makanan sambil bersantai menikmati suasana unggulan restoran tersebut. Adiba terkesima dengan tempat itu dan ia kegirangan bermain memberi makan ikan-ikan. Krisna menikmati pemandangan istrinya bergembira, sementara Fahmi menikmati pemandangan Dokter Krisna yang sedang kasmaran.
Fahmi heran bisa-bisanya dua orang yang sangat berbeda dunia, menjadi sepasang suami istri. Jodoh yang diatur Tuhan memang misterius.
Fahmi pamit sebentar mau ke WC. Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka datang, berupa ikan bakar ukuran besar, sayur asem serta lalapan dan sambal, tak ketinggalan nasi putih. Krisna panggil Adiba yang asyik melongok di tepi kolam. "Diba, makan dulu, Dek! Nanti lanjut lagi mainin ikannya."
Kalau perutnya lapar, tidak susah menunggu respons Adiba. Segera saja ia duduk di sisi Krisna dan membiarkan pria itu menata isi piringnya. Bukan karena apa, tetapi ia tidak tahu tata cara makan di tempat itu dan ia tidak ingin menarik perhatian pengunjung lain karena tingkah udik.
Justru pengunjung lain, terutama kaum hawa jadi memperhatikan karena perilaku Krisna yang terlihat sangat memanjakan sang istri. Ada rombongan ibu-ibu yang makan di restoran itu setelah datang dari wisata ziarah.
"Aduh, Yu, boro-boro bojoku nyiapin makan buat aku. Yang ada malah buat dia sendiri saja lambat sedikit disiapin marah-marah," bisik para ibu-ibu.
"Lah iya to. Jangankan pas lagi sehat, pas lagi sakit aja aku mesti ngambil sendiri makanku. Gila ya kita kok masih mau sama suami modelan gitu ya?"
"Ya eyalah, soalnya kita belum ketemu sama yang lebih perhatian. Wkwkwk."
"Emang kalo ada kamu mau, Jeng?"
"Yang pasti aku gak bakalan nolak, laah, apalagi kalo gantengnya kayak Mas-mas itu loh!" tunjuk ibu-ibu itu dengan dagunya ke arah Krisna. Mereka lalu cekikikan membahas suami masing-masing sambil menikmati hidangan.
Krisna menyuapi Adiba ikan bakar bagian perut yang menurutnya bagian paling enak dari ikan tersebut. Adiba mengunyahnya walau tersipu-sipu. "Gimana, Dek? Enak gak?" tanya Krisna.
Adiba mengangguk. "Enak, Mas."
Fahmi kembali dan mereka makan bareng seperti biasa.
Lelah, bahagia, dan kenyang, membuat Adiba lekas tertidur saat melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Kare yang butuh waktu tempuh selama kurang lebih 3 jam. Senja hari mereka tiba di rumah klinik itu lagi. Barang-barang diturunkan dan ditaruh dalam rumah. Fahmi pamit pulang mengendarai sepeda motornya sendiri. Tertinggal Adiba dan Krisna berduaan lagi di rumah itu.
Adiba memandangi dus mesin bordirnya. Krisna lewat saja di belakangnya, membongkar-bongkar dus berisi bahan makanan lalu menyusun mie dan bahan pokok lainnya di lemari makanan. Adiba menoleh pada pria itu dan diam-diam memandangi lekat punggungnya. Krisna tidak terusik bahkan ketika Adiba mendekatinya perlahan-lahan. Hanya ketika tangan Adiba menyusup melingkari pinggangnya, barulah Krisna terdiam dan menoleh ke belakang, tetapi Adiba menyembunyikan wajah dengan mendekap ke punggungnya.
"Eeeh, tumben...," ledek Krisna. Ia meletakkan barang, kemudian tangannya menggenggam tangan Adiba di pinggangnya. "Sudah punya mesin bordirnya, kamu senang 'kan?" Terasa kepala Adiba bergerak menggeleng sehingga Krisna keheranan lalu buru-buru berbalik. Ia desak Adiba. "Kok enggak senang? Kenapa?"
Air mata malah mengalir di pipi Adiba dan terisak, membuat Krisna panik. "Loh, kok nangis? Diba, ada masalah apa? Kenapa kamu nangis, sayang?"
Adiba bersuara sungkan. "Hari ini .... Diba pikir Diba nggak akan pernah merasakan perasaan ini lagi, ternyata Diba masih diberi kesempatan. Hari ini Diba bahagia sekali, Mas. Terima kasih banyak."
Krisna tersenyum. Ia hapus air mata Adiba lalu menggantinya dengan kecupan ringan di pipi itu. "Sama-sama, istriku," ucapnya gemas. Kemudian ia kecup kuat bibir Adiba hingga Adiba terdongak dan melenguh. Tangannya menarik da.da kemeja Krisna.
Krisna terus melahap seisi mulut Adiba hingga kaki gadis itu lemas dan berpegangan kuat padanya. Ia dekap erat Adiba sembari menyeret langkahnya ke kamar. Ia bersuara parau. "Kalau Adiba senang, Mas minta genjot lagi malam ini, mau 'kan, Dek?"
"Mau, Mas," sahut Adiba tak kalah serak suaranya karena ia akan melakukan yang terbaik agar hari itu kebahagiaan mereka semakin sempurna.
Keduanya bersatu tubuh seperti tiada hari terbaik selain hari itu. Saling mengasihi sepanjang malam dan melupakan segala sumber keresahan mereka.
Di sebuah ballroom hotel acara pertunangan Diaz dan Mitha, orang-orang ramai memberikan ucapan selamat untuk dua orang itu. Sepanjang hari, Diaz memasang topeng berwajah senyuman bahagia padahal dalam hatinya benar-benar bermuram durja. Ketika senja ada waktu rehat Maghrib, Diaz pergi menyendiri. Mitha membiarkannya saja karena ia tahu persis apa yang membebani perasaan Diaz.
Mitha berada di kamar hotel untuk istirahat sekaligus membenahi dandanannya dan berganti gaun malam. Wirya dan Yunita, istrinya masuk ke kamar itu, menyuruh semua orang keluar karena ingin bicara pada putrinya. Mitha santai saja duduk di depan cermin mematut dirinya mengenakan perhiasan kristal. Di belakangnya, ayahnya menggerutu.
"Kenapa Diaz itu? Sikapnya seperti orang mau dihukum mati saja. Orang-orang jadi bergunjing."
"Sabar, Mas. Mungkin Diaz kecapean," bujuk Yunita.
"Iya, Yah, jangan dipikirkan. Mas Diaz itu sedang forsir banyak menangani kasus, supaya bisa cuti panjang buat bulan madu kami. Yang penting acaranya lancar. Sudah syukur dia mau hadir, Yah," ujar Mitha agar Diaz tidak berkesan terlalu buruk di mata sang ayah.
Wirya pun kelu. Yunita membujuknya lagi. "Mending kita ke kamar kita, Mas, istirahat dulu di sana. Biarlah urusan ini urusan antar mereka saja. Mereka sudah sama-sama dewasa juga. Kita sebagai orang tua mengamati saja."
"Huh!" Wirya menggerutu, tetapi mengikuti saran istrinya. Mereka keluar dari kamar Mitha meninggalkannya sendirian.
Mitha menatap diri dan tersenyum miris. Meskipun sudah resmi bertunangan, ia sadar hati Diaz belum sepenuhnya menjadi miliknya. Rasanya sedikit mengesalkan ada laki-laki yang susah sekali diubah pendiriannya. Ia teringat ucapan Diaz saat meminta bertemu berduaan saja. Ia kira ucapan itu telah mengubah seluruh hidupnya.
"Hentikan obsesimu padaku, Mit. Aku sudah menemukan orang yang benar-benar aku cintai dan dia sedang hamil anak aku. Aku akan hidup bersamanya dan memulai keluarga kami."
Namun, sekarang keadaan berbalik. Ia berhasil mengubah keadaan. Diaz harus hidup bersamanya karena memang demikian takdirnya. Mitha menatap tajam diri sendiri. Muka Mitha bertambah dingin ketika ada telepon masuk dari calon ayah mertuanya.
"Diaz ada sama kamu, Mitha?" tanya Prabu Nareswara.
"Nggak ada, Om," jawabnya.
"Berengsek! Ke mana lagi anak itu?"
Mitha tersenyum dan berujar tenang. "Jangan emosi, Om, tenang saja, Mas Diaz nggak bakalan ke mana-mana, kok. Mitha jamin. Palingan dia lagi butuh merokok sebentar."
"Oh. Kamu yakin, Mitha?"
"Yakin, Om. Mas Diaz calon suami Mitha, Mitha harus belajar memberinya kepercayaan dan ruang untuknya. Peringatan dari Om sudah cukup membuat dia jera kok. Cuman, Mitha minta satu hal, Om. Jangan sampai Mas Diaz tahu kalau Mitha yang minta gugurin kandungan perempuan itu. Lagi pula, gak pantes banget anak seorang Diaz lahir dari rahim bekas narapidana. Kan bakalan malu-maluin keturunan Om."
"Iya, Mitha. Jangan khawatirkan soal itu. Om paham dan mendukung kamu sepenuhnya."
Wajah Mitha kembali berseri-seri. "Makasih, Om," ucapnya riang.
Bersambung...
Share this novel