BAB 24. Saat Bersama

Romance Completed 9290

Mitha tahu Diaz tidak mencintainya. Mitha tahu Diaz terpaksa menikahinya. Ia pikir Diaz mudah dikendalikan, setelah selama ini manut saja. Namun, ternyata tidak semudah itu menundukkan hati seorang pria. Ternyata Diaz masih terkenang-kenang mantannya. Jika Mitha seorang perempuan berhati lemah, ia akan menjadi orang yang paling tersiksa dalam situasi itu dan tidak bisa berbuat apa pun selain menangis dan meratapi nasib. Namun, ia tidak punya perasaan semacam itu. Ia anggap Diaz bodoh tidak bisa membedakan mana emas mana dempul, serta menyebut nama wanita lain saat di atas tubuhnya, di malam pertamanya, Mitha menangis karena egonya terluka.

Apa Diaz sengaja melakukan ini? Ia ingin sekali memukuli Diaz, akan tetapi tak sanggup melakukannya karena perlakuan Diaz saat melepaskan seluruh hasrat sangat memukaunya. Ia memandangi Diaz yang tertidur lelap setelah percintaan mereka, sambil terisak dan menggigit selimut. Pria tampan ini tidak menganggapnya sama sekali. Sialan kau, Adiba! Jika aku menemukanmu, akan kuhabisi kau!

Pagi menjelang, Diaz mulai terbangun. Ia mengerang sambil menggeliat lepas. Ia merasa ranjangnya sangat lega, meskipun nanar ingatannya ia telah menikahi Mitha dan menidurinya. Jika wanita itu tak ada lagi di ranjangnya, ya baguslah! Ia bisa lanjut mengkhayalkan Adiba dan bersantai di kamar. Ia memeluk guling tanpa mengindahkan Mitha yang duduk di sebelahnya.

Melihat wajah pagi Diaz tersenyum-senyum jengah, membuat Mitha bertambah kesal sehingga ia memukulkan bantalnya ke wajah Diaz. "Berengsek kamu, Mas!"

Diaz terduduk bangun dan menghardik istrinya. "Apa-apaan sih kamu, Mit?!"

Mitha terkejut Diaz membentaknya. Jadi bertanya-tanya, ke mana Diaz yang kemarin kalem? Apa ia masih pemarah karena mabuknya? "Kamu sebut nama mantan gundik kamu sepanjang malam. Kamu sadar itu, Mas?!"

Diaz terhenyak sesaat. Bukan karena ia takut tertangkap basah istri karena masih cinta wanita lain, tetapi karena memikirkan apa dampaknya kelak pada Adiba. Namun, Diaz sudah sampai pada klimaks tekanan batinnya, ia ambil tindakan nekat saja. Ia bentak Mitha. "Memangnya kenapa? Kan kamu yang ngotot nikah sama aku, ya kamu harusnya tahu diri dong kalau aku gak ada rasa sama kamu! Kamu pikir semua pria segampang itu main di ranjang gak pakai perasaan? Masih untung aku mau menunaikan kewajiban aku sama kamu. Kalau kamu sama sekali gak kusentuh, mau ngomong apa kamu sama orang-orang kalau kamu gak hamil-hamil?"

Mitha merengut hingga menggigit dalam bibirnya nyaris berdarah. Ia raih ponselnya sembari mengancam Diaz. "Aku kasih tau Om Prabu kalau kamu masih ingat gundik kamu, bahkan mabuk-mabukan. Biar Om ngasih kamu peringatan sudah nyakitin perasaan aku!"

Diaz pukul tangan Mitha sehingga ponselnya terlepas. Mitha melotot padanya, segera ia bentak lagi. "Dikit-dikit lapor sama ayah aku. Kenapa kamu gak menikah sama ayah aku aja? Kamu mau jadiin aku dikebiri? Ini yang bikin aku ogah sama perempuan kayak kamu. Tukang adu dan gak ada hormat-hormatnya pada suami. Kamu gak tahu cara menjaga harkat martabat suami. Kalau begitu, aku juga gak akan susah payah bersikap sebagai suami kamu di hadapan orang-orang."

Mitha terperangah. Diaz turun dari ranjang tanpa menutupi kebugilannya, meninggalkan Mitha seolah mereka tidak ada hubungan apa-apa. Diaz berseloroh sambil mengambil handuk dan menuju kamar mandi. "Dan selamat menikmati bulan madumu sendirian karena aku tidak akan bersandiwara dalam pernikahan ini. Lebih baik aku pergi kerja daripada menghabiskan waktu bersama wanita yang bahkan tidak memperbolehkan aku bernapas tanpa izinnya."

Mitha gelagapan terbayang acara bulan madunya bakalan hancur total dan ia butuh anak dari Diaz sebagai pembuktian. Tertatih ia kejar Diaz, meskipun tubuhnya juga telanjang. "Jangan, Mas. Please! Aku gak akan cerita apa pun lagi sama Om. Aku bersumpah, aku akan biarkan Mas lakukan apa pun kesukaan Mas, tapi sebagai gantinya, jangan kacaukan pernikahan kita."

Mitha menarik siku Diaz, sehingga langkah Diaz terhenti. Diaz menoleh dan menajamkan matanya pada wanita itu. Mitha bisa jadi mengatur taktik baru, maka ia pun tidak akan lengah. Jika terjadi sesuatu pada Adiba karena keterlibatan Mitha dan ayahnya, ia akan memastikan mereka mendapatkan balasan yang setimpal. "Semua itu tergantung. Jika kau menyakiti seekor kucing, jangan kau kira ia tidak akan menggigitmu balik, apalagi seekor singa."

Mitha membasahi bibir. Ia tidak takut pada ancaman Diaz, melainkan ia berdebar-debar merasa tertantang. Diaz sukar ditaklukkan, karena itu ia yakin Diaz-lah orangnya, yang pantas bersanding dengannya. "Iya, Mas, aku mengerti," ucapnya lirih. Diaz menyentak tangannya sehingga terlepas. Dengan dengkusan ketus, Diaz berbalik dan melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.

Mitha menghela napas lega, kemudian kembali ke ranjang memungut ponselnya. Bukan, bukan untuk menghubungi ayah Diaz, melainkan ia menghubungi pihak travel yang mengurus perjalanan bulan madunya keliling Eropa. Mereka akan jalan-jalan di luar negeri sebulan penuh. Selama rentang waktu itu, akan ada banyak peluang hubungan mereka berubah. Akan ada banyak peluang membuat Diaz jatuh cinta padanya. Akan ada banyak peluang Diaz melupakan Adiba-nya. Mitha optimis pernikahan terpaksa ini akan mempersatukan mereka dalam ikatan cinta yang penuh gelora.

***

Lain Mitha, lain pula kisah cinta sang adik, yaitu Krisna. Laki-laki berusia 27 tahun itu sedang mabuk kepayang dalam pernikahan rahasianya dengan Adiba. Walaupun ia tahu Adiba tidak yakin dengan perasaannya sendiri, tetapi Krisna benar-benar berharap Adiba memiliki hasrat yang sama dengannya. Butuh bercinta dan memadu kasih sepanjang waktu. Adiba tidak pernah menahan diri jika puncak cinta diraihnya dan pasrah ditodong si Little Krisna.

Ia membuat anak bersama pria ini. Ia butuh sokongan uang dari Krisna dan ia tidak keberatan menjadi pelayannya dari segi apa pun, asalkan jangan memasak. Kurang apa lagi kasih sayang Krisna padanya? Adiba tidak tahu lagi rasa sayangnya pada Krisna apakah karena cinta atau ketergantungan, yang jelas keduanya memberikan rasa nikmat. Adiba mendesah tergelinjang. "Iya, Mas ... Uhhh, Diba cinta sama Mas ...."

Krisna kecup dalam bibir Adiba yang terbuka berusaha bernapas itu. "Ah, sayang Mas," ucapnya lalu kembali berkejaran napas sambil menghunjam tubuh istrinya hingga gadis itu harus berpegangan ke lengannya.

"Aahh, Mas ....!" Adiba terisak keenakan dan bermandi peluh bercampur cucuran peluh Krisna.

"Iya, Diba, ntar lagi Mas sampai! Iya, Dek ... ahh ... Ahhh ....!" Erangan panjang Krisna bersesuaian dengan semburan benih-benih dalam kehangatan istrinya. Ia tindih memepet erat tubuh Adiba agar luapan tetes terakhirnya tetap tersembur di dalam. Di muara vulva Adiba menggelegak kelebihan cairannya.

Adiba terpejam meredam rasa dunia berputar sangat cepat. Tubuh Krisna di atas tubuhnya membantu mempertahankan kesadaran bahwa ia masih di atas kasur, tidak sedang naik ke surga. Kecupan-kecupan Krisna menghujani wajahnya sembari menyebut namanya turut menyadarkannya. "Adiba ... Oh Adiba ... Sayang Mas ...."

Setelah gelombang pasang berahi itu mulai surut, Krisna berbaring di sisi Adiba, sama-sama terlentang mengatur napas. Adiba tidak berkata apa pun sehingga Krisna yang bicara. "Waktu Mas tinggal, Diba ngapain aja, Dek?" tanyanya. Ia lirik Adiba yang terpaku menatap langit-langit kamar.

"Bersih-bersih rumah, menjahit ...."

"Makan, siapa yang masakin?"

"Bu Mujibe."

"Masak apa aja?"

Adiba merengut. "Nggak enak, Mas. Masakannya hijau-hijau melulu. Diba gak bisa ngomong sih, terpaksa makan aja, padahal Diba mau mie soto."

Krisna terkekeh sembari ia cubit pipi Adiba. "Mie instan sekarang naik harganya, Dek. Kata mentri bisa sampai 3 kali lipat. Gimana ntar makanan kamu itu jadi makanan mahal loh."

Adiba menoleh dan sorot matanya mengiba. "Yah ..., jadi gimana dong, Mas? Kalau gak ada mie rasanya ada yang kurang."

Krisna tertawa sambil memainkan keriting per rambut Adiba. "Jangan-jangan rambutmu keriting kayak gini karena waktu hamil kamu dulu, ibu kamu makannya mie keriting ya?"

Adiba tarik rambutnya agar berhenti dimainkan Krisna. Ia mencebik kesal. "Ah, Mas ngejek rambut Diba melulu."

"Ih, sudah dibilang Mas itu suka rambut kamu. Suka banget. Malahan Mas ingetin ya, jangan dilurusin rambut kamu ini. Rambut ini sangat kamu, dengan segala keunikan dan pemberontakanmu. Kamu menonjol di antara bunga yang lainnya. Kalau mengembang tuh kayak bunga matahari Early Russian. Bahkan warna matamu serupa warna bunga itu."

"Bunga apa?"

Krisna tersenyum lalu beringsut sedikit mengambil ponselnya di kantong celana jins. Ia kembali berbaring di sisi Adiba dan mendempetkan kepalanya ke kepala si rambut kriwil itu lalu memperlihatkan layar ponselnya. Ia punya wallpaper koleksi aneka jenis bunga matahari. Ada 15 jenis dan salah satunya bernama Early Russian. Jenis bunga matahari yang berukuran terbesar. Tingginya bisa mencapai 2-3 meter dan diameter bunganya sebesar 30 cm.

"Ini yang namanya Early Russian, Diba."

"Ooh." Itu bunga yang terlalu indah menurut Adiba. Ia tidak mengerti kenapa bisa disamakan seperti itu. Mungkin itu hanya rayuan seorang pria. Pantas saja mereka dideskripsikan sebagai kumbang. "Kalau begitu, Mas juga suka bunga-bunga lainnya dong?"

"Ah?" Krisna terpaku sesaat. Entah maksud Adiba menyindir soal perempuan-perempuan yang pernah bersamanya ataukah benar-benar murni ini soal tanaman bunga. Krisna tertawa kikuk lalu mencubit gemas pipi Adiba. "Idiihh, kamu, Dek, maksudnya apa tanya kesukaan Mas?"

"Kata Mba Sutiyeh, Diba harus cari tahu apa yang Mas Krisna sukai dan tidak sukai supaya hubungan kita langgeng.

"Mas hanya suka Adek," gumam Krisna sambil kembali memindah-mindah layar ponselnya, pura-pura cuek.

"Selain itu, Mas. Mungkin sesuatu yang lebih wajar dan Diba belum ketahui."

Krisna mengembus napas lelah. Adiba tuh nggak bisa diajak bergombal-gombal. Krisna jadi berpikir serius. "Hmm, apa ya? Mas suka nongkrong, waktu masih sama temen-temen Mas, sih. Sekarang 'kan tinggal di sini, ya gak bisa nongkrong-nongkrong lagi."

"Mas sedih ninggalin teman-teman Mas?"

"Nggak juga sih. Mereka itu 'kan teman rame-rame aja, bukan temen yang gimana-gimana. Ya gak papa lah ditinggalin. Toh di sini Mas punya teman sehidup semati," ucapnya seraya melempar senyum tipis pada istrinya.

Adiba diam saja. Dalam hati mendesah, tidak ada teman sehidup semati, Mas. Kamu tidak mengalami apa yang pernah kualami. Aku harap itu tidak akan pernah terjadi padamu, Mas.

Lagi-lagi wajah Adiba tanpa ekspresi, sehingga Krisna keki dan memilih kembali menatap layar ponselnya. "Kamu mau liat foto-foto acara kemarin? Ada banyak teman-teman Mas ngumpul pas acara nikahan kakak Mas kemarin. Videonya juga ada. Nih!" Ia serahkan ponselnya ke tangan Adiba agar bisa menggulir sendiri foto-foto dalam galerinya.

Adiba melihat deretan foto Krisna dengan teman-teman sebayanya. Beberapa mengenakan pakaian seragam groomsmen dan bridesmaids. Mereka semua tampak memesona dengan dandanan dan gaun serta setelan yang indah. Adiba tidak bisa menatap mereka sebagai manusia, ia hanya memperhatikan baju-bajunya saja. Meskipun tidak bertatap muka langsung, Adiba merasa rendah diri melihat orang-orang itu. Mereka gambaran anak-anak muda yang punya kehidupan sempurna. Ia tidak sanggup melihat foto-foto keluarga Krisna, apalagi kedua mempelai yang sudah jelas merupakan manusia terpilih. Pasangan tuan putri dan pangeran kerajaan, sesuatu yang diimpikannya, tetapi tahu betul bahwa itu tidak akan pernah jadi kenyataan.

Adiba pencet keluar dari galeri dan mengembalikan ponsel itu pada Krisna sambil tersenyum. "Keren-keren, Mas. Meriah banget ya pestanya."

Krisna merasa nyeri ulu hatinya. Meskipun Adiba tersenyum, sorot matanya memendam kegetiran. Krisna menyesal memperlihatkan foto-foto itu. Bergegas ia mengalihkan topik. "Eh, kamu dah pandai merekam-rekam ya, Dek. Kita rekaman berdua yuk!" Ia hidupkan kamera lalu sebelah tangan merangkul Adiba dan membenamkan ciuman di bibir Adiba sambil mengaktifkan rekaman video. Adiba berusaha melepaskan ciuman itu sehingga Krisna menggigit gemas bibirnya.

"Hmmh, Mas ... apaan sih? Malu ah!"

Krisna dekap dia semakin erat dan mengecupi kilat bibir Adiba seraya terkekeh. "Malu apaan? Cium istri sendiri kok ya gak usah malu lah."

"Ya, tapi ...."

Adiba ingin protes, akan tetapi selalu disela kecupan suaminya hingga akhirnya ia menyerah. "Mas ah ...," desahnya sambil jemari menggerayangi da.da Krisna.

Krisna tidak menggubris keluhan Adiba. Ia bergerak bangun sembari mencumbui istrinya itu dan meletakkan ponsel di lokasi yang strategis merekam posisi ia dan Adiba sedang bermesraan. Krisna berbicara mengerang. "Ayolah, Dek, kita bikin satu biar bisa ngobatin kalau Mas kangen sama Adek ...."

"Ah, Mas ...," sahut Adiba yang pasrah saja disetubuhi lagi. Ia patuh saja diarahkan Krisna demi menghasilkan rekaman yang bagus dan fantastis menurut selera pria itu. Yang jelas mereka berdua menikmati proses syuting tersebut.

Setelah puas main dan Adiba tertidur pulas, Krisna melihat hasil rekamannya dan wajahnya bersemu sendiri karena menyaksikan raut wajahnya yang pasrah dan wajah Adiba saat benar-benar sang€ cantik luar biasa. "Iih, gak ada lugu-lugunya kamu, Dek!" kekeh Krisna berkomentar sendiri lalu ia melirik wajah tidur Adiba yang membuatnya tersentuh karena kelembutan ekspresi polosnya.

Ia sapukan bibirnya ke bibir Adiba yang merekah merah merona. Ia berbisik mesra. "Milik Mas. Entah kapan, tapi mudah-mudahan bisa segera Mas kasih liat ke keluarga Mas. Tak apa jika semua orang mencibir, tapi Mas cinta kamu, Dek." Ia cium dahi Adiba lalu ia pun turut tidur bersamanya.

***

Kebahagiaan bulan madu bukan karena ke mana suami istri itu pergi, tetapi bagaimana struktur dan kekuatan hubungan antar dua orang itu. Secara yang tampil di postingan sosial media, Diaz dan Mitha terlihat mesra dan menikmati liburan mereka ke berbagai negara dan destinasi wisata terkenal. Membuat iri banyak orang dan tak sedikit yang mengungkapkan turut berbahagia untuk kedua pasangan muda itu. Namun, di balik lensa, situasi yang sebenarnya berbanding terbalik dengan yang mereka tampilkan ke publik.

Mengetahui kebutuhan Mitha akan memiliki keturunan darinya, Diaz bisa sedikit leluasa memainkan kartunya. Diaz jarang bicara pada istrinya, kecuali menyangkut teknis apa yang mesti mereka lakukan di depan kamera. Jalan-jalan berdua, tetapi ketika kamera mati mereka jalan masing-masing. Nyaris setiap malam Diaz mabuk-mabukan dan sehingga tidak pernah Diaz mendatangi istrinya dalam keadaan sadar. Otomatis yang disebut-sebutnya selama bersanggama adalah nama Adiba, istri pertamanya.

Setelah usai bulan madu pun, kebiasaan itu terus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling menyiksa Mitha saat ditiduri itu. Namun, karena ia ingin punya anak dari Diaz, ia tahan semua sakit hatinya.

Jika menyinggung Adiba, Mitha selalu menyebutnya gundik, Diaz jadi curiga Mitha tidak tahu bahwa ia dan Adiba menikah secara resmi. Dari situ ia mempelajari bahwa ayahnya pun tidak tahu mengenai status Adiba. Mereka pikir karena hamil barulah ia akan menikahi Adiba. Bukannya apa-apa, hanya saja mengetahui hal itu membuat Diaz jadi punya semangat bahwa ikatan cintanya dengan Adiba belum punah. Adiba adalah istrinya dan itu akan dibawanya sampai tutup usia.

Sekarang ia hanya perlu menyelidiki apakah ayahnya tahu di mana Adiba serta kondisi dan situasi Adiba. Namun, karena ayahnya mengawasi tindak tanduknya, ia tidak bisa menggunakan jasa orang lain apalagi mencari tahu sendiri, sehingga ia bermain mengikuti arus saja.

Tiga bulan setelah menikah, Mitha hamil dan itu membuat fokus Mitha terpusat pada kesehatan kehamilannya yang bermasalah. Beriringan dengan itu, ayahnya mengalami sakit jantung sehingga sering bolak-balik ke dokter atau rumah sakit. Seolah alam semesta mulai menunjukkan kuasanya, Diaz mendapatkan angin segar di atas semua kemalangan itu. Setiap melihat dua orang itu ke rumah sakit, Diaz melihat secercah harapan bisa bersama Adiba lagi. Diba, sabarlah sayang. Tunggu Mas akan segera mencarimu. Kita akan bersama lagi, Adiba, sayang Mas.

*** Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience