Resepsi pernikahan Diaz – Mitha berlangsung meriah. Aneka acara digelar menghibur para undangan yang banyak dari kalangan pejabat, jutawan pebisnis, serta publik figur. Kedua mempelai juga terlihat mesra dan serasi. Diaz dan Mitha berpenampilan seperti pangeran dan putri kerajaan Eropa, melakukan dansa di tengah ruangan, bahkan berciuman mesra seolah mereka saling mencintai dan akan hidup bahagia selamanya.
Sikap Diaz sangat alami hingga Mitha terbuai angan bahwa hari ini akan menjadi awal mula Diaz mencintainya. Diaz sebenarnya agak mabuk dan berusaha menikmati pesta itu sebagai bentuk menyiksa diri. Ia mengalami langsung yang namanya pernikahan yang dipaksakan. Neraka sejak hari pertama. Ia merasa hampa dan menjalani hari itu dengan sebaik-baiknya karena menaruh harapan besar kelak akan tiba peluang bersama Adiba lagi. Juga, ia tidak ingin ancaman ditujukan pada wanita yang dicintainya itu.
Sementara Krisna menikmati pesta dengan leluasa. Acara itu kesempatan baginya berkumpul dengan teman-temannya di Jakarta. Mereka bercengkerama dan tertawa riuh yang menarik perhatian semua orang, tak terkecuali Mitha dan Diaz. Gerombolan anak muda itu asyik berfoto bersama dan merekam video kenang-kenangan. Jika ada yang mengenal Krisna, mereka menyempatkan menyapanya dengan sangat akrab.
"Eey, Krisna! Apa kabar, Bro?"
"Baik, baik."
"Beneran kamu sekarang di Madiun? Tinggal di perkebunan kopi itu? Wuih, pantesan kamu kelihatan lebih fresh, Kris. Kamu minum kopi langsung dari pembakarannya ya?"
Krisna semringah bahagia yang terpancar dari dalam hati. "Segar, alami, hawa pegunungan, serta pemandangan indah memanjakan mata sambil menikmati segelas kopi setiap pagi, itulah keseharianku, Bro," ujarnya.
"Dan dilayani gadis-gadis kembang desa," celetuk salah satu teman dan mereka tertawa bersama.
"Serius, Bro, kamu jadi kayak Jaka Tingkir dan 7 bidadari di sana, ya. Gila, meen. Kita-kita mesti main juga dong ke sana. Kapan, Kris? Ajakin kami dong!"
"Ya, kalian harus mendaki gunung dan lewati lembah, ntar ada sungai-sungai dan air terjunnya yang bagus banget! Kalian bakalan bisa ngalamin petualangan kayak Jaka Tarub itu. Beneran!" bual Krisna yang ragu teman-temannya akan pergi ke sana karena Desa Kare benar-benar masih wilayah terpencil dan alami. Tidak ada fasilitas yang memudahkan wisatawan publik seperti orang-orang kota itu. Harus benar-benar terjun ke alam kalau mau menikmati keindahan Desa Kare.
Mitha melihat dari sudut matanya Krisna betah bersenang-senang tanpa beban, menjadi ketus dalam hati. Rupanya ayah mereka tidak memarahi Krisna seperti dugaannya. Karena dia anak laki-laki? Coba kalau ia, anak perempuan yang datang dengan penampilan tubuh penuh kissmark seperti itu, apa Ayah tidak akan membunuhnya? Benar-benar pilih kasih!
Saat sore hari, Krisna hendak meninggalkan pesta itu. Ia pamit pada Mitha dan Diaz terlebih dahulu. Ia naik ke panggung pelaminan dan berhadapan dengan kedua mempelai. "Pesawatku berangkat malam ini, Mas, Mba. Aku mau ke mall dulu buat nyari barang-barang yang kuperlukan. Jadi, aku pergi duluan dari sini ya, Mas, Mba."
"Iya, Kris, hati-hati di jalan, ya!" ucap Mitha dan Diaz. Krisna peluk mereka bergantian. Di saat memeluk Diaz, Krisna membisikinya. "Selamat menempuh hidup baru, Mas. Apa pun tujuan pernikahan ini, aku senang Mas menjadi bagian dari keluarga kami. Mas sudah kuanggap kakakku sendiri dan hari ini meresmikan hal itu."
Diaz tercenung. Ia bisa merasakan Krisna tulus dan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jika ada yang hal yang bisa disyukurinya dari pernikahannya, yaitu memiliki Krisna sebagai adik. Sangat disayangkan, kenapa Krisna bisa punya huhungan darah dengan orang seperti Mitha dan ayahnya.
Diaz menepuk punggung adik iparnya itu. "Makasih, Kris," ucapnya lirih lalu sama-sama tersenyum saat melepaskan pelukan.
Tiba saat memeluk Mitha, kakaknya menanyainya. "Kamu ngomong apa sama suami aku?" tanya Mitha menyelidik.
"Aku bilang sabar dan semoga cepat dikaruniai momongan," kilah Krisna.
Mitha manyun saja dan melirik Diaz yang terlihat menatap Krisna dengan rasa sayang. Dari dekat, ia bisa melihat bahwa tatapan Diaz pada adiknya lebih simpatik daripada cara Diaz menatapnya. "Ya udah, pergi sana," gerutu Mitha. "Semoga langgeng juga sama pasangan kamu orang desa itu."
"Hehhe, makasih Mba," sahut Krisna senang.
Krisna lalu menemui kedua orang tuanya untuk sungkem. Mereka sedang duduk di meja makan bersama orang tua Diaz. Ayahnya membuang muka enggan menatapnya, tetapi ibunya menyambut dengan tangan terbuka.
"Lho, Kris, kamu mau pergi sekarang? Gak ikutan acara after party-nya?" tanya Yunita, yang tahu anaknya cukup menikmati acara seperti nge-dance dan clubbing nantinya.
"Nggak, Bu, Krisna mau jalan-jalan dulu nyari oleh-oleh buat pegawai klinik. Takutnya keteteran, jadi habis dari mall ntar Krisna langsung ke bandara."
"Ooh, begitu. Tapi ntar kamu izin cuti ke Jakarta lagi 'kan?"
"Iya, Bu, Krisna usahakan lebih sering, makanya jatah libur kali ini gak ngambil banyak-banyak."
"Iya deh. Hati-hati di jalan ya, Nak. Mudah-mudahan selamat sampai tujuan. Sering-sering dong telepon Ibu. Sepi banget rumah gak ada kamu, Kris."
"Iya, Bu, Krisna usahakan. Krisna sayang Ibu." Ia peluk dan kecup kedua pipi serta punggung tangan ibunya. Krisna lalu ke ayahnya dan mencium punggung tangan pria itu. "Ayah, semoga sehat terus, Yah," katanya yang disahut dehaman dalam dari Wirya.
Krisna kemudian bersalaman dengan Prabu Nareswara dan istri. "Om, Tante," sapanya sambil menunduk.
"Kris," sahut kedua orang itu. "Kerja di Surabaya ya sekarang kamu, Kris?" tanya Prabu sekadar berbasa-basi.
"Bukan di Surabaya-nya, Om, tapi di Desa Kare, kebun kopi Kandangan. Lebih dekat ke Madiun."
"Ooo, lumayan jauh juga ya dari kota besar."
"Banget. Tapi di desanya enak, Om. Krisna kayak punya seluruh perkebunan di sana. Hehhehe."
"Wuaah, jangan-jangan kamu beli tanah-tanah di sana, Kris?"
"Hehhe, maunya sih gitu, Om, tapi belum ada yang jual lagi. Krisna masih mikir-mikir juga sih."
"Nggak papa, bilang aja sama Om, ntar Om bantu."
"Oke deh, Om. Kapan-kapan Krisna hubungi Om," sahut Krisna kemudian.
Mendengar hal itu, Wirya jadi tertarik dan memperhatikan putranya. Jangan-jangan Krisna sedang merintis bisnis atau investasi di sana. Mungkin aku terlalu meremehkan gaya Krisna yang terkesan main-main. Bisa jadi karena tidak ingin kelihatan bersaing dengan Mitha. Ah, Krisna memang selalu merendah, tetapi bukan berarti ia bisa disepelekan. Seharusnya aku mendukung Krisna mulai sekarang.
Krisna salaman ala kadarnya dengan ibunya Diaz karena wanita itu bersikap dingin padanya. Ia hendak menjauh, tetapi tiba-tiba ayahnya memanggil, "Kris!"
Krisna menoleh. Wirya bangkit dari kursi dan mendatanginya untuk memeluknya. "Jaga diri kamu baik-baik, Nak. Maafkan Ayah kalau terlalu keras sama kamu. Kamu akan selalu diterima di rumah, Nak. Jangan sungkan kalau mau pulang."
Krisna berusaha tersenyum. "Terima kasih, Ayah," sahutnya datar.
Setelah berpamitan pada orang tua kedua belah pihak mempelai, Krisna merasa tidak enak tidak pamitan pada orang tua Paula, sehingga ia mampir ke meja mereka. Paula ada duduk bersama kedua orang tuanya. "Om, Tante," sapa Krisna seraya menyalami tangan mereka, tetapi sambutan mereka sangat dingin dan enggan bersuara apa lagi balas menyapa.
Namun, Paula masih mau menyapanya dengan ramah meskipun helaan napasnya terdengar gemetaran. "Hai, Kris. Kamu mau pergi sekarang?"
"Iya, Paula. Aku minta izinnya sampai hari Senin saja, jadi Selasa aku harus masuk kerja."
"Ooh. Sayang sekali."
"Namanya kerja ikut orang, ya mesti ngikutin aturan mereka," sahut Krisna seraya tersenyum hangat.
Paula jadi sungkan. "Iya, Kris. Hmm, anyway, semoga perjalanannya lancar, Kris."
"Thanks, Paula."
Paula menyikut ayah dan ibunya agar bicara sesuatu pada Krisna. Ia sudah menjelaskan pada mereka bahwa Krisna tidak ada keinginan bertunangan dengannya karena tidak yakin bisa memberikan kehidupan yang mapan baginya. Paula pikir itu ada benarnya, tidak ada perempuan yang mau hidup susah. Pun tidak ada orang tua kaya raya yang mau menyerahkan anak mereka kalau bakalan hidup susah. Namun, kedua orang tuanya menganggap itu alasan yang terlalu dibuat-buat. Paula jadi salah tingkah dan bicara lagi pada Krisna. "Semoga sukses dengan pekerjaanmu, Kris dan sehat selalu di sana."
"Iya, makasih doanya, Paula," sahut Krisna, selanjutnya bicara lagi pada kedua orang tua Paula. "Om, Tante, Krisna pergi duluan ya. Permisi."
Om dan Tante itu merasa tidak enak hati pada keramahan Krisna yang sudah mau meluangkan waktu menyapa mereka, jadi mereka menyahut kikuk. "Eh iya, Kris, hati-hati ya!"
Krisna beranjak menjauh sampai menghilang keluar dari ballroom. Paula mencebik pada kedua orang tuanya. "Mami, Papi, kok gitu sih sama Krisna?"
"Ya iyalah, Paula! Dia sudah nolak kamu, sombong sekali anak itu. Dia pikir dia siapa?" sahut mereka.
"Papi dan Mami mikir gak sih, kalau dia ngelakuin itu karena mikirin yang terbaik buat Paula? Meskipun kami tidak jadi tunangan, bukan berarti kita harus membenci Krisna, Pi, Mi. Paula masih ingin bersahabat dengan Krisna. Coba Mami Papi pikir, jika laki-laki lain sudah dari dulu memanfaatkan Paula, tapi Krisna gak pernah ngelakuin itu. Dia sangat baik pada Paula, dia menjaga Paula. Mami Papi percaya gak kalau jodoh gak akan ke mana? Kali ini boleh jadi Krisna tidak ada keinginan bertunangan, tapi kita gak tahu 'kan ke depannya bagaimana? Paula yakin Krisna pasti ingin pernikahannya sekali untuk seumur hidup. Tentunya ia tidak mau sembarangan dan pengen cari pengalaman hidup dulu agar ke depannya tidak mengecewakan banyak pihak. Kalau Paula bisa nunjukin ke dia bahwa Paula bisa bersabar dan tulus tetap jadi teman dia tanpa embel-embel, Paula yakin Krisna akan berubah pikiran. Paula akan menjadi teman dia di saat susah maupun senang."
"Tapi itu buang-buang waktu, Paula. Umur kamu makin nambah. Apa anggapan orang-orang kalau kamu gak nikah-nikah juga?"
Paula memutar badan dengan kesal agar tidak menatap kedua orang tuanya. "Ah, sudahlah! Males Paula kalau sudah disangkut-sangkutkan ke umur dan kata orang. Apa Mami dan Papi gak liat itu contohnya Mba Mitha? Nikah di umur 30, tapi liat karier dia udah mantap, posisi tertinggi di perusahaannya. Udah gitu, dia nikah sama pria idaman dia yang sama mapannya. Mami Papi lihat betapa bahagianya Mba Mitha. Paula pengen kayak gitu. Paula akan mengusahakan yang terbaik di karier dan naik pelaminan dengan pria yang Paula cintai dan juga mencintai Paula."
Kedua orang tuanya pun terdiam sambil menarik napas dalam-dalam. Zaman sekarang, memang tidak patut lagi memaksakan anak-anak mereka bertunangan kalau mereka tidak saling mencintai. Namun, kekayaan dan nama baik keluarga tetaplah hal utama dalam memilih pasangan hidup kelak. Bagaimana pun mereka berharap Krisna yang menjadi mantu mereka karena sudah jelas asal-usul dan kekayaan keluarganya.
Krisna meninggalkan pesta pernikahan itu dengan hati berbunga-bunga. Rencananya sepertinya berhasil membuat ayah ibunya melunak serta Paula mulai menerima keputusannya. Sekarang, ia akan kembali ke pelukan istrinya tercinta. Ia berganti baju di kamar hotel. Mengenakan pakaian kasual, ia tenteng tas ransel lalu check out dari hotel. Ia pergi ke mall membelikan oleh-oleh makanan ringan untuk orang lain, sedangkan untuk istrinya, ia membelikan barang khusus. Lingerie.
Bukan hanya wanita mura.han atau seorang selingkuhan yang pantas mengenakan pakaian dalam seksi. Istri pun harus didandani sekira menarik hati. Ia membeli pakaian dalam model khusus untuk Adiba. Lingerie renda yang cantik. Bagian segitiganya memiliki belahan yang bisa disibak saat menutupi bibir vulva. Little Krisna bisa keluar masuk melalui tirai tersebut tanpa Adiba perlu melepas celananya. Membayangkan Adiba membungkuk saat mengepel lantai misalnya, maka ia bisa mencelupkan Little Krisna-nya ke dalam kehangatan surganya sambil lewat.
Hisssh! Membayangkannya saja sudah membuat miliknya mengeras dan celananya tambah sesak. Krisna bergegas mengambil beberapa stel pakaian dalam itu dan membayarnya.
Perjalanan pulang membuat Krisna bersemangat penuh. Ia ingin bertemu Adiba secepatnya dan melihat reaksinya.
***
Bicara soal lingerie, malam itu, Mitha juga menyiapkan diri menghadapi malam pertamanya. Gaun pengantinnya dilepas oleh pegawai bridal yang akan menata khusus supaya gaun tidak rusak dan bisa disimpan untuk waktu lama. Ketika Diaz masuk ke kamar pengantin, berpapasan dengan pegawai bridal membawa gaun itu keluar. Tertinggal ia dan Mitha saja di kamar itu. Mitha mengenakan kamisol satin melintasi kamar sambil membawa jubah mandinya.
"Aku mau mandi dulu, Mas," katanya tanpa memperhatikan kedatangan Diaz yang membawa sebotol minuman beralkohol.
Diaz sudah minum-minum di kamarnya, ditambah lagi minum sambil menunggu Mitha selesai mandi, mabuknya semakin berat. Ketika Mitha keluar kamar mandi mengenakan lingerie seksi warna merah, Diaz menyentuhnya tanpa keberatan. Ia raih pipi Mitha seraya bersuara parau. "Kamu cantik banget, Dek!"
Mitha senang mendengarnya, tetapi sedikit kecewa mendapati Diaz mendatanginya dalam keadaan mabuk. Ia tepis tangan Diaz. "Kamu mabuk, Mas?" cecarnya untuk menyadarkan Diaz, tetapi dari tatapan nanarnya, Mitha tahu pria itu terlalu mabuk untuk berpikir normal.
Diaz terkekeh dan mengujari Mitha. "Apa yang kamu harapkan? Aku memang senang minum. Lagi pula ini 'kan pesta pernikahanku, wajar saja 'kan aku menikmatinya? Aku sudah banyak tekanan di hari-hari lain. Jangan buat aku tertekan di malam pertama kita, Mit. Kalau kau ingin bersenang-senang denganku, maka kau harus ikuti caraku!"
Mitha melangkah menjauhi Diaz sambil menyindirnya. "Mana bisa malam pertama kalau kamu mabuk begini? Berjalan saja sempoyongan, memangnya kamu bisa 'berdiri'? Kamu sengaja mau mengacaukan malam pertama kita?" Ia ke nakas mengambil ponselnya, sepertinya untuk menyampaikan keluhan pada ayah mertuanya.
Diaz tahu gelagat itu. Ia tertawa lalu mengecam Mitha. "Kamu meragukan keperkasaanku, Mitha?" Ia melangkah cepat mendatangi Mitha sambil membuka ikat pinggangnya. Ia tarik lengan Mitha. Ponsel Mitha terlepas dan jatuh ke karpet. Diaz empas Mitha ke ranjang, lalu menindih wanita itu dan menciuminya dengan kasar.
"Diaz!" pekik Mitha kesal dan menahan berat badan pria itu. Ia berusaha mengelak, tetapi Diaz mendesaknya.
"Gak usah banyak protes! Kamu yang memilih ini, maka kamu harus menerima apa pun sengketanya. What you see is what you get!" ujar Diaz membentak membuat Mitha terpana.
Sedetik kemudian, suara pekikan Mitha ribut dalam kamar itu. Diaz merenggut kasar seluruh pakaiannya lalu melepas paksa lingerie Mitha. Wanita itu ditindih dan disetubuhi kasar oleh Diaz. Mitha menangis kesakitan. Mitha merasakan nyeri karena gerakan Diaz tidak ada lembut-lembutnya, akan tetapi menjadi mendesah menikmati ketika permainan Diaz berlanjut berirama lebih intensif.
"Ah..., oh..., Mas Diaz ...," ucap Mitha terengah-engah. Ia tidak menyangka Diaz yang mabuk main seperti memerkosanya. Sesuai idamannya. Kasar, dingin, perkasa, menguasai, lama, sakit. Ia keluar berkali-kali, walaupun agak kesal karena Diaz tidak bisa diajak berkomunikasi. Pria itu asyik sendiri, menggerutu tidak jelas sepanjang pergumulan. Mitha tersenyum tidak jelas karena sedang tercandu. Walaupun ada beberapa hal tidak sesuai keinginannya, tetapi untuk urusan ranjang, Diaz tidak mengecewakannya. Meskipun Diaz terpaksa menikahinya, urusan bawah perut adalah urusan berbeda. Ia merasakan cinta dari Diaz, dari setiap gerakannya dan erangan beratnya. Mitha mendapatkan malam pertamanya yang sempurna.
Namun, angan itu tidak bertahan lama. Mitha terpaku ketika mendengar erangan Diaz sangat jelas menyebut nama perempuan lain saat sedang menyanggamainya.
"Sayang Mas .... Adiba ... Mas cinta kamu."
Mitha terguncang mentalnya bersamaan dengan guncangan dahsyat di ranjangnya.
***
Menjelang sore keesokan harinya Krisna tiba di kediamannya di Kandangan. Adiba menyambutnya di halaman rumah. "Mas," ucapnya lembut seraya menyalami tangannya ke dahi. Di belakang Adiba, menyusul Bu Mujibe dan Sutiyeh menyapa, "Pak Dokter, Alhamdulillah sudah sampai."
"Iya, alhamdulillah, Bu perjalanannya lancar, pesawatnya tidak delay dan cuaca bagus sepanjang hari," sahut Krisna. Ia lalu menyerahkan kardus bingkisan untuk mereka. "Ini oleh-oleh untuk kalian. Sekalian titip anterin ke rumah Fahmi."
"Waah, Dokter Krisna sampai repot-repot begini bawain kita oleh-oleh," ucap sungkan mereka sambil menyambut bingkisan itu.
"Justru saya yang ngerepotin kalian mesti jaga Adiba."
"Gak papa lah, Dok. Adiba juga sering bantuin kami, yang jelas sih bikinin baju. Hehhee. Lagian ibu hamil memang gak boleh ditinggal sendiri apalagi di wilayah sepi dekat hutan begini."
Kedua wanita itu lalu pulang diangkut mobil yang disopiri Sonari. "Makasih banyak oleh-olehnya loh, Dok! Kami permisi pulang. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam!" sahut Krisna dan Adiba melepas kepergian mereka. Mobil itu menjauh dan rumah kembali sepi karena hanya tinggal mereka berdua.
Adiba masih terpaku memandangi jalanan. Ia teringat pesan Sutiyeh untuk mencari tahu kesukaan dan ketidaksukaan Krisna. Di akhir pembicaraan di telepon kemarin, ia sempat mendengar suara perempuan memanggil Krisna. Bukan karena ia cemburu, tetapi Adiba jadi memikirkan seperti apa teman-teman suaminya, terutama yang perempuan. Apakah wanita kota yang modern dan modis serta bertitel? Sepertinya demikian. Adiba merasa rendah diri. Jika ia berada satu tempat dengan teman-teman suaminya itu, ia akan menyembunyikan diri seperti siput masuk ke dalam cangkang karena saking malunya.
Ya Allah, kenapa juga Mas Krisna mau menikahi aku? Padahal aku bukan istri yang bisa dibawa tampil ke orang banyak. Bukan hanya soal strata sosial, tetapi juga karena seseorang bisa mengenalinya sebagai kriminal dan orang-orang Tuan Mahmud sedang mencarinya dan akan membunuhnya.
Adiba tersentak karena Krisna mendekapnya tiba-tiba dan menariknya ke dalam rumah. "Dek!" sebutnya sambil menyunggingkan senyum penuh arti.
"Apaan sih, Mas?" Adiba bertanya agak gusar karena merasa tingkah Krisna bakal menjahilinya.
"Kita udah tinggal berduaan aja, masa kamu masih diemin Mas? Kamu gak kangen ditinggal Mas?" gerutu Krisna yang ketika di tengah rumah melepas jaket dan kemejanya sehingga bertelanjang da.da memperlihatkan tubuhnya yang masih sisa bebercak merah, mulai memudar. "Lihat nih, Mas gak bohong 'kan? Mas balik ke sini sebelum bekas ciuman Adek hilang."
Wajah Adiba merona. Tangannya menggerayangi tubuh kekar itu, menyentuh bekas-bekas yang dimaksud Krisna. "Iya, Mas. Mas hebat sudah nepatin janji Mas," ujarnya tersipu-sipu.
Krisna geregetan. Ia sambar bibir Adiba dan menciumnya kuat-kuat. "Mas!" Adiba sempat terpekik. Kepala Adiba terdongak lalu melenguh lembut. Krisna sibak kerudung Adiba sehingga rambut ikalnya tergerai berantakan. Tangan Krisna lalu bergegas menyingkap baju panjang istrinya. Adiba sampai mendesah protes karena nyaris kehabisan napas. "Mas!"
Suara Krisna berat mendesah. "Mas sudah gak tahan, kangen banget sama kamu, Dek!" Ia singkirkan baju Adiba lalu kembali mengecup bibirnya.
"Hummh ... masa sih?" bisik Adiba tak percaya. Tungkai kakinya terasa lemah membuatnya melingkarkan tangan di tengkuk suaminya. Bibir mereka saling mengemut mulai memanaskan tubuh.
"Ehm. Mas beliin oleh-oleh spesial buat kamu. Dipakai ya?"
"Dipakai?"
Bernapas berat, Krisna melepaskan Adiba. Ia ke ranselnya mengeluarkan bungkusan kantong kertas berlogo toko lalu menyerahkannya pada Adiba.
Adiba masih mengenakan lingerienya yang berwarna merah muda, tercenung menatap pakaian renda bertali-tali oleh-oleh suaminya. Model branya ada jendelanya,.bisa dibuka tutup buat mengeluarkan bagian bulirnya. Bagian celananya membuat muka Adiba merah padam. Apakah yang sedang dipakainya ini kurang seksi?
"Ini maksudnya apa?" Adiba tarik-tarik bagian tengah celana renda itu, yang bisa terbuka lebar karena ada belahannya.
"Ya biar Mas bisa masuk kapan aja," ungkap Krisna.
"Oh, astaga ...."
"Mas suka liat Diba pakai macam-macam lingeri gitu. Cantik banget, Dek. Adek pakai kalau ada Mas, ya. Kalau gak ada Mas ya jangan, pakai baju dalaman biasa aja."
Adiba menggaruk keningnya sebentar. Oke deh. Gak usah ditanyakan lagi apa aja kesukaan Mas Krisna. Ia suka pakaian dalam aneka model. "Kalau begitu, Diba ke kamar sebentar ganti baju ini ya, Mas."
Krisna mengangguk lekas. "Ya, ya Dek. Jangan lama-lama ya tapinya."
Adiba masuk ke kamar lain, sementara Krisna ke kamar tidur mereka dan menaruh barang-barangnya sekalian melepas sabuk jins agar lebih longgar. Ia tatap bayangannya di cermin lalu mengusap-usap badannya memuja otot-otot bidang penuh kissmark buatan istri tercinta. Ia menoleh ke belakang ketika Adiba muncul dengan penampilan mengenakan pakaian dalam barunya.
Wajah Krisna memanas beserta desiran merata di seluruh tubuhnya. "Wuahh ... untung Mas pilih ukurannya pas," gumamnya yang membuat Adiba tertunduk malu.
Tidak ada bedanya bagi Adiba mengenakan pakaian dalam yang mana pun, akan tetapi melihat reaksi Krisna, pakaian dalam rupanya sangat penting di mata Krisna.
Krisna tarik tangan Adiba hingga tubuh mungil Adiba mendempet padanya. Krisna usap seluruh lekukan tubuh Adiba, merasakan gesekan bahan-bahan renda berpaduan satin serta payet dan karet di tubuh itu. Kulit halusnya menyalurkan getaran lemah, tetapi mampu membangkitkan keperkasaan Little Krisna hingga harus dikeluarkan dari sangkarnya. Krisna membisiki Adiba dengan suara yang parau. "Dek, duduk sama Mas, yuk!"
Adiba tidak menyahut, tetapi mengikuti ajakan Krisna ke kasur. Pria itu duduk lebih dulu, memelorotkan celana jins lalu menyepaknya ke lantai. Ia tarik kedua tangan Adiba dan memandu gadis itu duduk di pangkuannya. Adiba berlutut dengan paha terbuka lebar. Jemari Krisna mencolek belahan hangat berlendir yang terdapat di antara renda. "Aaah ...," desah gemas Krisna merasakan engap-engapnya. "Punya Adek kangen juga dimasukin punya Mas?" tanya Krisna.
Adiba mengangguk lalu hendak gigit jari, tetapi segera ditangkap Krisna. Ia cium bibir Adiba, menyapu lekukan punggungnya, lalu kedua tangan menahan pinggul Adiba dan menekannya agar turun tepat memasukkan kepala Little-nya.
"Hummphh!" erang Adiba tertahan bibir Krisna. Rasa meregangnya luar biasa nikmat. Di antara cekikan renda, vulvanya dimasuki pasak keras padat tumpul berdenyut-denyut panas.
"Ahhh, Diba ...." Krisna mengembuskan napas di lekukan leher Adiba yang terdongak jauh saat ia masuk maksimal.
"Mas ...." Adiba terisak. Jemarinya dan jemari Krisna saling mencengkeram, menuntunnya menjajaki nikmat saat ia mulai bergerak turun naik. Pelan-pelan dahulu, tambah cepat kemudian.
Bahan renda yang halus lembut terasa kasar menggesek dadanya saat ia dan Adiba menyatu semakin erat. Krisna sebelumnya tidak pernah memahami kenapa pakaian dalam bisa penuh sensasi. Hanya setelah mengenal Adiba ia mengetahuinya. Setiap lekukan terbentuk oleh jahitan dan benang-benang tertenun apik bak kulit luar sebuah karakter. Benar kata Adiba, mengenakan pakaian yang indah, akan membawa orang tersebut ke tempat yang indah pula. Begitu juga jika mengenakan pakaian dalam yang indah, akan membawa mereka berdua ke tempat yang indah pula. Laksana sebuah taman tempat mereka memadu kasih. Gaun minim yang seksi menjadi dress code ke tempat itu.
Krisna meremas dua gundukan berlilit renda karet sambil tatapan terkesima melihat batangnya keluar masuk melewati belahan renda segitiga, sementara Adiba setengah berbaring mengangkang sembari mendesah frustrasi, mengacak-acak rambut keritingnya. "Mas ...."
"Hmm?" sahut Krisna singkat karena rahangnya sedang menggereget. Ia bergerak perlahan-lahan saja demi permainan yang lama dan memuaskan.
"Kalau rasanya senikmat ini, apakah artinya Diba cinta sama Mas?"
Pertanyaan itu membuat Krisna menatap ke wajah istrinya. Terlihat air matanya menetes yang Krisna tangkap dari ekspresi Adiba merasa bersalah. Kenapa Adiba mesti merasa bersalah?
Adiba mengira ia tidak akan pernah bisa mencintai pria lain lagi setelah Diaz. Sekarang, bersama Krisna, ia merasakan ruang hampa itu mulai bertumbuh bunga-bunga yang berwarna-warni indah. Ia merasa berkhianat pada diri sendiri. Ia takut bencana akan tiba. Setelah musim bersemi, maka siklus akan tiba ke musim selanjutnya di mana akan ada badai yang menghancurkan taman itu. Siklus yang berulang. Setelah hari-hari bahagia ini, siapa yang akan datang mengetuk pintu rumahnya lalu merenggut cinta dalam hidupnya?
Krisna terenyuh mengetahui Adiba merasakan apa yang ia rasa. Adiba pernah dikecewakan oleh cinta, wajar saja ia takut merasakan cinta kembali. Namun, sebagai pria baru Adiba, itu adalah tantangan yang harus ditaklukkannya. Sekarang, usaha itu sudah membuahkan hasil. Selain calon buah hati mereka, datangnya cinta tak dapat ditolak. Ia usap pipi Adiba sekaligus mengusap air matanya. Krisna tersenyum dan berkata lembut pada istrinya. "Mungkin saja itu cinta, Diba. Jika bersama Mas membuat kamu merasakan lagi cinta, maka gunakan saja tubuh Mas sepanjang malam, selama kamu mau. Biar kita sama-sama menyerah dan jatuh cinta. Mas akan bilang pertama kali. Mas cinta kamu, Adiba Farhana. Apa kamu juga cinta pada Mas?
Bersambung....
Share this novel