Saat jatuh cinta, hidup ini memang terasa yang indah-indahnya saja. Apalagi dengan kehadiran putri kecil mereka, Krisna merasa hidupnya semakin sempurna. Hari-harinya bersama Adiba bertambah mesra sehingga tidak ada waktu merasa risau. Untuk sejenak Krisna melupakan soal keluarganya di Jakarta. Ia hidup bahagia di tempat terpencil yang berasa surga.
Sementara di kota besar dengan kehidupan yang serba ada, tidak membuat seorang Diaz Nareswara bahagia. Ia merasa hidupnya benar-benar tidak bermakna. Walaupun di mata publik ia adalah sosok suami ideal, pekerjaannya sebagai pengacara sangat sukses, akan tetapi ia merasa hampa. Diaz kerap minum-minum untuk mengisi kekosongan itu.
Sampai kapan aku harus begini? Tanya itu belakangan sering terbesit dalam benak Diaz. Malam itu, Diaz duduk dengan kepala bertelungkup di meja bar, memandangi gelasnya yang separuh berisi bourbon. Semenjak Mitha hamil, ia sudah pisah ranjang. Ditambah Mitha hamil besar, mereka tidak pernah berhubungan badan lagi. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan Mitha memanfaatkan momen itu untuk tampil sebagai korban dengan segala tangisan dan teriakannya. Bahkan wanita itu tidak segan membuat beragam rekaman yang membuat kesan ialah penyebab semua pertengkaran itu. Jika Mitha bicara ke publik dan membeberkan rekaman-rekaman itu, semua netizen, terutama kaum ibu-ibu akan dengan mudah menghakiminya dan menganggapnya pria berengsek. Apalagi Mitha sangat populer di sosial media, Diaz sudah pasti akan dirujak netizen.
Sering menyendiri, memberi banyak ruang bagi Diaz merenung. Putranya akan segera lahir. Meskipun ia tidak mencintai Mitha, tetapi anak itu tidak perlu merasakan kebenciannya. Anak itu berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang darinya sebagai ayah. Diaz tidak ingin putranya melihat ia sebagai sosok yang hobi mabuk dan kejam. Ia tidak ingin menjadi sosok pria seperti ayahnya yang tidak punya belas kasih pada darah daging sendiri. Lagi pula, mungkin jika ia bersikap lebih lunak, Mitha bisa menimbang rasa dan setelah melahirkan nanti, mereka bisa bercerai dengan baik-baik.
Diaz pun meninggalkan bar tanpa menghabiskan minumnya. Ia ke parkiran di mana sopirnya sudah menanti. Diaz masuk dan Samsudin bersiap dengan tangan di kemudi. Samsudin heran Diaz keluar dari bar lebih awal dari biasanya. "Kita mau ke mana, Pak?" tanyanya.
"Pulang," jawab Diaz bergumam.
Kening Samsudin mengernyit dan mulai mengemudi. "Apa terjadi sesuatu di rumah, Pak?" tanyanya lagi karena khawatir.
Diaz bersandar seraya mengembus napas lelah. "Nggak. Cuma kepengen pulang aja. Malam ini malas minum," jawabnya.
Samsudin merasa lega mendengarnya. Dalam hati ia berharap itu pertanda Diaz berhenti minum-minum sebelum merusak kesehatannya.
Mereka tiba di kediaman rumah mewah yang dimilikinya bersama Mitha. Diaz ingin langsung tidur saja, akan tetapi Mitha mencegatnya di ruang tengah. Wanita itu menatapnya sinis dan bersedekap sehingga perut buncitnya semakin jelas, sambil mencecarnya. "Tumben kamu sudah pulang, Mas. Mulai merasa minum-minum bikin kamu lemah syahwat?"
Diaz mendengkus. "Please, Mit, aku gak mau bicara hal gak bermakna sama kamu." Ia lanjut berjalan, akan tetapi Mitha bersuara lantang padanya.
"Gak bermakna? Mas, aku perlu kamu lebih peduli sama aku. Aku ini istri kamu dan kamu punya kewajiban memenuhi hak aku!"
Diaz memunggungi Mitha dan menarik napas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan diri. Ucapan Mitha benar-benar bisa memutar kenyataan bahwa sejak awal pernikahan ini tidak pernah mutual. Ia menoleh sekilas. "Kamu sudah hamil anak aku, apa lagi yang kau inginkan?"
"Perlakukan aku seperti layaknya ibu dari anak kamu, Mas. Ini kamu sama sekali gak ada ngasih perhatian ke aku, apalagi ke anak yang aku kandung ini. Bentar lagi dia lahir. Aku pikir kamu bisa berubah sedikit-sedikit, tetapi kamu benar-benar tidak berperasaan. Apa kamu pikir hanya gundik kamu itu yang layak diperhatikan?"
Diaz diam saja karena sejak awal niatnya pulang tidak ingin memperkeruh suasana. Namun, ucapan Mitha malah semakin memprovokasi.
"Jika kamu punya anak dari perempuan lain kamu akan lebih sayang ke anak haram itu daripada anak sah kamu. Kalau begini aku semakin yakin apa yang kulakukan benar. Aku tidak sudi gundik itu melahirkan anak kamu. Dia pantas dienyahkan bersama janin yang dikandungnya."
Sontak Diaz berbalik dan menghunuskan tatapan tajam pada Mitha. Ia geram. "Apa kamu bilang?"
"Ya, aku yang minta ayah kamu menggugurkan kandungan perempuan itu," ucap Mitha dengan dada terbusung penuh rasa bangga. Ia telah berhasil menghancurkan ambisi gadis itu dan Diaz tidak berkutik.
Seketika Diaz kalap. Ia mendatangi Mitha sangat cepat dan mencekik wanita itu. "Kau ... perempuan biadab!" teriak Diaz. Terbayang lagi malam penuh siksaan itu. Di mana nyawa Adiba dan anaknya dianggap sampah, ia kehilangan keduanya secara harfiah. Ternyata semua itu dipicu oleh wanita bertampang bidadari ini? Seburuk-buruknya Mitha, Diaz tidak pernah menyangka seorang perempuan bisa sekeji itu. Segila-gilanya Mitha, ketidakempatiannya sudah tidak wajar. Di mana hati nuraninya?
"Uhukkh!" Mitha tersedak oleh cengkeram Diaz. Ia memukul-mukul tangan pria itu karena tak bisa meronta. Dalam hatinya bersorak girang. Ya, seperti inilah seharusnya seorang laki-laki, Mas. Lawan aku! Jangan jadi anak cengeng dan penakut! Buktikan keperkasaanmu dan harga dirimu, pecundang!
Saat itu, Diaz bisa saja menghabisi Mitha. Demi Tuhan, ia sangat ingin melakukannya, meski masih terdapat pertentangan dalam sanubarinya. Apa ini bagian dari rencana manipulatif Mitha? Menghancurkan dirinya secara keseluruhan? Menyalurkan dendam dan obsesinya melampaui batas yang bisa diterka nalar? Mitha sakit jiwa!
Cengkeraman Diaz melonggar bersamaan bentakan keras yang sudah sangat akrab di telinganya.
"Diaz, apa yang kau lakukan?!" Suara Prabu Nareswara lantang bergema.
Sekejap kemudian tangan Diaz ditarik sehingga badannya berputar menghadap Prabu dan tinju keras menghantam wajahnya. Tanpa bisa membela diri, Diaz terteleng dengan hidung mengeluarkan darah dan terhuyung-huyung. Dua ajudan Prabu menahan Diaz seperti meringkus buronan.
"Ayah!" Mitha berseru terisak sembari berlari ke dekapan Prabu.
Prabu Nareswara merangkul anak menantunya itu sambil lanjut menghardik Diaz. "Jadi begini kelakuanmu pada istrimu? Dia lagi hamil kamu beginiin. Mau jadi apa kamu, hah?! Gak punya otak! Kamu mau merusak reputasi keluarga kita di mata keluarga Mitha? Kamu nurutin hawa nafsu saja tanpa mikirin secara logika?"
Mitha menambah drama dengan merengek mengadu. "Mitha yakin Mas Diaz masih mikirin perempuan lain itu, Yah. Mas Diaz sama sekali gak menanggapi perhatian Mitha. Semua yang Mitha lakukan selalu salah di matanya."
Prabu berusaha membujuk Mitha. Ia usap-usap pundak Mitha. "Tenang, Mitha. Kamu harus tenang. Ingat kandungan kamu, ya sayang. Masalah ini biar Ayah yang mengurusnya. Kamu ke dalam saja dulu. Tenangkan diri kamu."
Diaz pandangi dua orang itu dan ia menyengir samar. Ayahnya dan Mitha benar-benar sejoli sehati seirama. sampai detik itu ia heran kenapa Mitha tidak menikahi ayahnya saja? Tapi orang sakit jiwa seperti Mitha sepertinya memang mengincar orang yang bisa diintimidasinya terus menerus.
Diaz tatap lekat Mitha. Perempuan itu berjalan menjauh sambil tersenyum tipis dan sorot mata mengejeknya. Diaz tahu ia akan dihajar habis-habisan oleh ayah dan ajudannya, akan tetapi kali ini ia tidak gentar sedikit pun. Malah ia tersenyum tipis juga. Terbuka pikirannya bahwa ayahnya dan Mitha adalah dua makhluk yang tidak akan pernah merasa bersalah akan apa pun yang mereka lakukan. Mereka sakit jiwa dan menyiksa orang adalah kesenangan mereka. Diaz sempat menyesal tadinya ia pikir untuk rekonsiliasi dengan istrinya. Namun, sekarang tidak perlu menyesal dan merasa bersalah membenci ayahnya dan Mitha karena mereka memang pantas untuk itu.
Diaz dipukuli oleh para ajudan dan dihardik sang ayah, tetapi ia diam saja menerima semua itu. Ia tidak peduli apa yang dialaminya karena pikirannya menerawang pada kekasih hatinya. Mengenyampingkan semua tragedi yang mereka alami, Diaz merasa ada hikmahnya Adiba menghilang. Gadis itu tidak perlu menghadapi ayahnya dan perempuan gila bernama Mitha. Adiba juga tidak perlu melihat kekejaman mereka serta tekanan konstan yang mereka lakukan padanya. Adiba juga tidak perlu melihat betapa besar kebencian tumbuh dalam dirinya pada ayahnya sendiri. Adiba tidak perlu melihat apa yang akan dilakukannya pada dua orang ini kelak.
Oh, Adiba sayangku, akan tiba waktunya aku akan mengakhiri semua ini dan kita bisa bersama berdua selamanya tanpa ada seorang pun akan mengganggu kita, sayang. Saat itu akan tiba. Tunggulah Mas, Dek. Mas akan mendapatkanmu kembali setelah semua ini usai.
***
Hari-hari berlalu. Usia Adisna akan memasuki 3 bulan. Tumbuh kembangnya sangat bagus dan sehat karena asupan ASI yang melimpah penuh nutrisi. Krisna senang memasak menu sehat. Ia mempelajari nutrisi dan resep masakan diet karena keperluan fitness supaya memiliki tubuh yang atletis. Hal itu berguna untuknya mendikte Adiba agar makan sehat. Adiba mau tidak mau memakan sayur dan buah-buahan yang banyak. Dampaknya, ibu dan anak itu menjadi sangat sehat.
Disna mulai terlihat punya ciri khas turunan dari orang tuanya. Rambutnya sudah mulai terlihat bakal keriting seperti Adiba. Wajah dan matanya lebih menyerupai sang ayah yang rupawan. Garis alis yang datar tipis dan bibir mungil ranum mirip milik sang ibu.
Adapun Krisna sangat memanjakan putrinya itu. Ia yang paling sering menggendong Disna, menidurkannya, mengajaknya berjemur serta jalan-jalan. Giliran Adiba yang memandikan dan menyilih popok Disna. Krisna takjub pada kemahiran Adiba pada hal itu, seolah ia sudah patuh mengurus bayi. Selebihnya, hari-hari Disna tidur nyenyak diiringi suara mesin jahit sang ibu.
Malamnya, Adiba rebahan sambil menyusui Disna di kasur satu-satunya yang mereka miliki. Setelah Disna terlelap, Krisna memindahkan anak itu ke boks bayi lalu ia kembali pada Adiba sambil senyum-senyum. Ia pandangi Adiba sedang membenahi pakaiannya sehabis menyusui. Buah matang itu membesar hingga terlihat berat dalam cengkaman bra.
Adiba tidak bicara apa pun, sehingga Krisna yang bersungut mendekapnya. "Dek ...," rengek Krisna memelas.
"Apaan sih, Mas?" Adiba bertanya jengah karena napasnya agak sesak oleh da.da yang berat ditambah pelukan Krisna serta ciuman bergerilya ke leher dan sekelilingnya.
"Udah lebih 40 hari, Dek .... Jahitannya juga sudah sembuh, masa Adek belum bolehin Mas masuk sih? Mas kan rindu pengen nyoblos lagi. Gimana gitu rasanya rumah baru Little Krisna setelah direnovasi."
Adiba mendesah seraya berpaling karena saking malunya. Ia gigit jari. "Diba masih takut, Mas. Kalau terasa lagi perihnya kayak waktu malam pertama Diba .... Ah!" Adiba merasa menyesal terlepas ucapan itu, tetapi tidak bisa meralatnya. Ia sangat takut karena saat malam pertama selain nyeri, juga karena banyak keluar darah dari kelaminnya yang bukan karena haid. Bagaimana jika gara-gara dimasuki Krisna, jahitannya robek lalu berdarah lagi? Ia tahu ia tidak bisa menghindari keinginan Krisna selamanya, tetapi ia butuh waktu untuk meyakinkan diri.
Konotasi malam pertama membuat Krisna nafsu sekaligus cemburu. Ia bertambah gencar menuntut Adiba. "Gak bakalan, Dek. Mas akan berhati-hati, kok. Mas bakal pelan-pelan saja masukinnya. Sekadar menjenguk sebentar liat-liat suasana baru. Kalau aman-aman aja, ntar kita bisa lanjut seperti biasa."
"Mas ah! Ngomong apaan sih? Kayak petugas patroli saja," rutuk Adiba.
"Ya iyalah, Dek. Mas harus rutin inspeksi rumah kecil Mas. Paling enak emang keluar di dalam sini, Dek," goda Krisna sembari tangan merambah ke sela celah renda segitiga dikempit paha Adiba.
Wajah Adiba merona merah. Ia terpejam dan mendesah pasrah. "Mas ah ...."
"Hmm?" sahut Krisna sibuk mengecupi pundak Adiba. Kehangatan tubuh Adiba adalah sumber kenyamanan malam-malamnya di tengah kawasan pegunungan yang dingin. Krisna lalu berbisik, "Mau ya, Dek, Mas masukin? Ntar Mas mau ke Jakarta. Kalau gak ninggalin stok di dalam sini, ntar Mas keganjenan bagaimana?"
Sebenarnya, seandainya setiap Krisna ke Jakarta lalu main perempuan pun, Adiba tidak bisa memverifikasi hal itu. Kenapa? Karena bukan kapasitasnya mengkonfrontasi Krisna mengenai apa pun yang dilakukannya. Ia sadar status dirinya yang bukan siapa-siapa ini. Krisna menyantuninya saja, ia sudah sangat bersyukur. Dan alasan Krisna cukup kuat untuknya berserah diri demi kepuasan pria itu.
"Memangnya ke Jakarta dalam rangka apa, Mas?" tanya Adiba yang sudah setengah mabuk berahi dibelai-belai jemari suaminya di celah empuk hangatnya.
"Hmm .... Acara tasmiyah dan aqiqah anaknya kakak Mas. Gak enak 'kan Mas mangkir terus tiap acara keluarga. Sesekali kalau bisa, Mas usahakan hadir."
Adiba gigit jari. Krisna mengangkat wajah dan melihatnya melakukan itu, segera ia tarik tangan Adiba dan menahannya ke samping badan. Ia tegaskan pada Adiba. "Jadi, Mas boleh 'kan?"
Adiba menyahut polos. "Boleh apa? Pergi ke Jakarta? Ya silakan aja, Mas. Itu kan kewajiban Mas sebagai anggota keluarga. Diba bisa memahaminya."
"Aduh, bukan soal itu, tapi soal masuk ke dalam. Mas sedang butuh itu. Eh, tapi ke Jakarta iya juga sih. Mas juga kudu minta izin Adek. Pokoknya keduanya deh! Kalau Adek izinin Mas bakal lebih senang."
Tingkah Krisna yang pemaksa bak anak ABG kadang membuat Adiba gemas. Padahal sehari-harinya ia adalah sosok dokter yang berwibawa dan disegani masyarakat, tetapi kalau sudah di ketek istri, manjanya minta ampun. Adiba mengembus panjang. "Iya deh. Boleh masuk ...."
Krisna langsung semringah.
"Tapi ...," sergah Adiba, "percobaan aja dulu ya, Mas. Kalau Diba kesakitan, Diba minta gak jadi, gak apa-apa 'kan?"
Kalau sudah terdesak, laki-laki itu sanggup menjanjikan segalanya. Krisna lekas mengangguk. "Iya, gak apa-apa, Dek. Mas rela, ikhlas, kalau Adek minta berhenti, Mas gak akan paksa."
Ekspresi wajah Adiba melembut dan netra ambernya menyorot sayu. Krisna melepaskan tangannya segera ia membuka pakaiannya hingga tahap tanpa ada sehelai kain pun menghalangi ia dan Krisna bersentuhan.
Inspeksi Little Krisna ke rumah barunya benar-benar dengan jalan yang perlahan dan berhati-hati. Bagian dalamnya lapisan yang sangat lembut dan hangat, menyelimutinya. Sementara lubang masuknya sangat erat mencengkeram karena gugup.
"Mas!" desah pendek Adiba tatkala wajahnya terhimpit oleh da.da Krisna yang menindihnya. Ia gigit bibir, takut berteriak karena tidak ingin mengecewakan suaminya yang rupanya sangat kelelehan.
Krisna mengembus napas panjang menyapu rambut Adiba. Ia terpejam menyerah dan mendesah, "Aduh, Dek .... Enaknya ...." Rasanya penantian panjang berlalu dan ia bisa istirahat sejenak. Tanpa banyak bergerak, ia menumpahkan maninya di dalam sana tanpa menahan-nahan. Adiba terisak merasa kepenuhan yang hangat dan mengalir terpencar ke mana-mana dalam 'rumah' Little Krisna. Begitu juga puncak buah asihnya yang mengeluarkan tetesan-tetesan murni, basah belepotan ke mana-mana.
Sambil terisak itu Adiba protes, "Mas, kenapa tadi gak pakai pengaman? Diba juga gak dikasih KB. Mas Krisna sengaja?"
Pria itu terkekeh. "Iya. Mas pengen kita punya anak lagi secepatnya. Biar repotnya sekalian dan besarnya barengan. Jadi, Disna langsung punya temannya."
Adiba memukul-mukul imut dada Krisna. Selangkangannya penuh dijejali seluruh milik pria itu. Buah asihnya sedang matang-matangnya, ditambah rencana anak kedua di saat anak pertama belum apa-apa, kepala Adiba langsung pusing tujuh keliling. Ia menggerutu dalam ketidakberdayaannya. "Aduh, Mas, kamu ... ngebet banget sih, Mas ...?"
Lagi-lagi Krisna terkekeh. "Gak ngebet, sedikasihnya saja. Kalau jadi ya syukur, kalau nggak ya gak apa-apa," kilahnya. Krisna lalu bangkit sekaligus mencabut Little-nya dari liang sanggama. Krisna lalu memeriksa liang itu dengan membeliaknya menggunakan dua jari. Pria itu semringah dan wajah berbinar-binar melihat cairan miliknya belepotan di sana. Tidak ada luka, hanya sedikit kemerahan bekas gesekan di area itu.
"Aduh ... Apa lagi sih, Mas?" desah Adiba merasa jengah diekspose sedemikian rupa.
Krisna mengacungkan jempol padanya lalu berkata penuh keyakinan. "Aman, Dek! Rumah Little Krisna sudah bisa ditempati. Ntar balik dari Jakarta kita main di dalam lagi ya?"
Uh, si dokter ini ngomong sesuatu tuh kayak main-main aja bagi dia. Adiba manyun seraya memiringkan badan agar bisa mengalihkan wajahnya dari tatapan jahil Krisna. Pria itu tertawa kecil lalu kembali berbaring mendempet punggungnya dan melingkarkan tangan di pinggangnya. Adiba bersikap tenang ingin tidur saja daripada semakin tidak habis pikir dengan kemanjaan Krisna.
Krisna tersenyum tipis memandangi wajah tidur Adiba. Tak ingin lagi ia melihat Adiba tidur meringkuk seorang diri. Sudut hatinya nyeri menyaksikan. Ada anak-anak yang menemani Adiba sepeninggal dirinya agar ia tidak cemas lagi Sungguh ia berharap setelah ayahnya punya cucu dari Mba Mitha, pria itu mulai membuka hati bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, tanpa embel-embel besarnya kekayaan dan status sosial. Agar ia bisa memboyong Adiba dan Adisna ke Jakarta dengan rasa bangga.
*** Bersambung....
Share this novel