Kenapa harus terjadi di saat seperti ini? Di saat semuanya baik-baik saja dan terasa sempurna. Di saat aku merasakan ... kebahagiaan? Apakah ini adalah hukuman? Apakah orang seperti aku tidak akan pernah bahagia?
Adiba merasakan lubang hitam yang sangat dalam dan dingin menyedot jiwanya. Ia membeku dan membisu meskipun di sekitarnya ramai manusia.
Hasan lewat di belakang Adiba. Adiba bisa mendengar pria itu menggerutu persis ketika ia berontak saat disekap. Ingatan kejadian hari itu masih jelas seperti sedang dialaminya padahal bertahun-tahun telah berlalu. Adiba melihat suami dan anaknya ada di sana, hanya beberapa meter darinya dan ia bisa menjangkau mereka, akan tetapi seluruh badannya tidak bisa bergerak, ia bahkan tidak berani bernapas. Ia takut ayahnya akan mengenalinya, lalu menangkapnya. Bagaimana ia akan meloloskan diri? Adiba berharap semua itu berlalu, para pria itu menghilang seperti tidak pernah muncul. Namun, ketika seorang pria menyodorkan selebaran memuat foto dirinya ke tangan Krisna dan Krisna menyambutnya, saat itulah Adiba tahu bahwa harapannya telah berakhir.
Adiba melihat tatapan Krisna jijik padanya, lalu Hasan mendatanginya sambil tertawa dan berkata, Tuan Mahmud akan sangat senang bertemu lagi denganmu, Nak. Prabu Nareswara muncul bersama para ajudannya, berdiri sambil menginjak Diaz di lantai dan mencemoohnya, bukankah pernah kukatakan padamu jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku?! Apa kau ingin Krisna diperlakukan seperti ini juga oleh ayahnya? Huh, perempuan benalu!
Kenapa orang-orang ini muncul? Kenapa mereka tidak membiarkanku hidup tenang? Siapa yang bisa menolongku? Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya adalah dirinya sendiri. Ia melihat sosok ibunya meratap di tanah dan berteriak padanya. Lari, Rani! Lari! Cepat pergi dari sini!
Adiba menjauh dengan langkah tertatih-tatih. Ke mana saja ia memandang, wajah-wajah orang itu tetap saja ada. Ia tutupi wajahnya menggunakan pashmina. Kemudian kakinya melangkah cepat dan semakin cepat hingga akhirnya ia berlari sejauh mungkin.
Krisna memegang selebaran dan menatap pria yang membagikan kertas cetakan itu. Seorang pria berusia sepantaran dengannya, berwajah keturkian, mata cokelat tembaga dan rambut keriting berpotongan pendek. Sekilas Krisna melihat kemiripan pria itu dengan seseorang, tetapi ia tidak begitu mempedulikan. Ia melirik pada selebaran di tangannya. "Apa ini?" tanyanya.
"Kami mencari gadis ini. Ia pelaku kriminal yang kabur dari penjara," jawab pria itu, yang tak lain tak bukan adalah Fadil, kakak Adiba.
Kening Krisna mengernyit, tak urung memperhatikan juga apa yang tertulis di kertas dan mengamati gambar gadis muda yang terpampang dalam cetakan tinta hitam putih. Sepertinya sebuah pas foto anak sekolah. "Septiana Maharani," gumam Krisna, sebelum memperhatikan saksama tampang gadis itu, Disna menarik kertas tersebut dan mengacak-acaknya. "Disna, Ayah masih mau liat sebentar," ujarnya dan mengambil lagi selebaran itu.
Fadil melanjutkan bicara, "Itu foto terakhirnya waktu berumur 16 tahun. Mungkin sekarang mukanya sudah agak berubah, tapi yang jelas rambutnya keriting dan warna matanya seperti mata saya."
Dua ciri-ciri itu langsung membuat Krisna terpaku pada sosok Adiba. Ia tatap sekilas pria itu dan gadis di foto bergantian. Tidak mungkin gadis ini Adiba, batin Krisna. Namun, wajahnya sangat mirip. Tidak ada yang meragukan, kecuali fotonya yang terlihat masih sangat anak-anak. Aliran dingin seakan merayap di tubuh Krisna Agak tercekat ia bertanya, "Apa ... yang telah dilakukan gadis ini?"
Dengan gamblangnya Fadil mengungkapkan, "Dia membunuh Tuan Muda kami. Putra juragan yang sudah banyak membantu keluarga kami. Ia bunuh begitu saja seperti pembunuh berdarah dingin."
Tidak mungkin! Itu pasti salah. Itu tidak mungkin Adiba. Adiba tidak akan pernah menyakiti seekor binatang, apalagi membunuh seseorang. Aku pasti salah mengenali orang.
Secara naluriah, Krisna menutupi kepala Adisna dengan tudung jaket sambil menatap lekat setenang mungkin pada pria di hadapannya. Ia tidak ingin rambut keriting anaknya menarik perhatian pria itu. "Sayang sekali ..., saya tidak pernah melihat gadis ini," kata Krisna.
Pria itu menoleh ke sekitarnya dan berujar tanpa menaruh perhatian pada Krisna dan bayinya. "Ya, sangat kecil kemungkinan Anda bisa bertemu dengannya di antara manusia sebanyak ini 'kan? Kami telah mencarinya 2 tahun ini dan belum menemukannya. Jika Anda mengenalinya, segera hubungi saya, ya. Nomor saya ada di lembaran itu. Jika kami berhasil menangkapnya, akan ada hadiah dengan nominal sangat besar untuk Anda."
"Eh, ya, tentu," sahut Krisna.
Pria itu lalu beranjak mengikuti beberapa orang yang sama tujuan dengannya. Mungkin ada 5 -7 orang, Krisna perhatikan satu per satu orang-orang itu dan rasa cemasnya semakin menjadi-jadi. Orang macam apa yang berurusan dengan gadis itu? Terlebih lagi, apakah benar gadis itu Adiba?
Krisna menatap foto gadis itu lagi sambil berusaha menjauhkannya dari jangkauan Disna. Bayi itu kukuh ingin menarik selebaran itu hingga Krisna menegurnya agak gusar. "Bentar dulu, Nak. Ayah masih mau baca ini."
Septiana Maharani, lahir di Jakarta, tanggal, bulan, tahun sekian yang jika dihitung sama dengan usia Adiba saat ini. Wajahnya pun sama, tipe rambut yang sama, sorot mata yang sama, meskipun di foto terlihat lebih bersemangat. Kabur dari penjara wanita Jakarta Timur. Karena membunuh? Krisna merasakan kepalanya sangat pusing seperti dihantam dari berbagai arah. Apakah ini rahasia yang disembunyikan Adiba darinya selama ini? Ia seorang pembunuh?
Sebaiknya kutanyakan ini pada orangnya langsung, pikir Krisna, maka ia berdiri dari duduknya sambil menggendong Adisna. Ia datangi toko tempat Adiba berbelanja dan mencari-cari sosok gadis itu, akan tetapi ia tidak bisa menemukannya. Ia melihat setumpuk barang-barang pilihan pembeli ditinggalkan begitu saja. Sementara pembeli lain dan pegawai toko sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Krisna yakin barang belanjaan itu milik Adiba, maka ia bertanya pada pegawai toko. "Perempuan yang mau beli barang ini mana ya?"
Para pramuniaga keheranan. "Gak tau, Mas. Tadi kayaknya sudah keluar dari sini," jawab mereka.
Krisna panik hingga napasnya jadi sesak sementara Adisna merengek gelisah. "Saya yakin ia tadi di sini. Gak mungkin dia hilang begitu saja!" bentaknya.
Satu pramuniaga segera memeriksa CCTV toko mereka dan memperlihatkannya pada Krisna. "Yang mana istri Mas?" tanyanya.
"Itu. Itu yang pakai kerudung warna salem," ujar Krisna. Mereka melihat Adiba yang mengenakan baju gamis dan kerudung warna salem, terlihat tegang di menit-menit terakhir, lalu keluar dari toko melalui sisi yang lain.
"Dia keluar dan pergi ke arah situ, Mas." Pelayan toko menunjuk ke arah Adiba pergi.
Krisna bergegas menyusuri arah itu sambil menggendong erat anaknya dan menentang tas perbekalan bayi. Hatinya berdebar-debar sangat cemas. Diba, di mana kamu, Dek? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu malah menghilang di saat seperti ini? Apa artinya ini? Mereka benar mencarimu? Tuduhan itu benar? Jelaskan semua ini pada Mas. Please, Diba, jangan pergi dari Mas!
Akhirnya Krisna berteriak sekeras-kerasnya hingga menggema di langit-langit deretan toko-toko. "Dibaaaa!"
Namun, tidak ada sahutan dan sosok yang dicarinya pun tak terlihat. Semua orang memperhatikannya dengan sorot bertanya-tanya. Krisna tidak tahu apakah ia menangis sungguhan atau dalam hatinya saja. Ia berdiri bagai orang terasing di tengah lautan manusia, sementara putrinya menangis menjerit. Tangisan Adisna tidak menyentuh Krisna. Ia terbelit dalam kekalutan. Bagaimana jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada Adiba?
"Mas? Kenapa, Mas? Itu loh, anaknya nangis kek gitu, masa dibiarkan?" tanya orang-orang di sekitarnya. Krisna tidak menggubris mereka. Ia lanjut berjalan sambil mencoba menelepon Adiba dan menenangkan anaknya. Langkahnya terhenti ketika mendengar bunyi ringtone dari dalam tas bayi. Krisna ambil ponsel itu dan terhenyak menemukan bahwa itu memang ponsel Adiba.
"Ibuuuu," rengek Disna, membuat Krisna berusaha menata pikirannya. Ia tepuk-tepuk anak di gendongannya. "Ntar ya, sayang. Ayah lagi cari ibumu," gumamannya bergetar. Ia lanjut menelepon Sonari, sopir yang menunggunya di parkiran. "Son, istriku ada ke mobil?"
"Maksud Dokter? Nggak ada, Dok. Saya di sini aja dari tadi. Memangnya Mba Diba ke sini duluan?" tanya Sonari.
Krisna merasa harapannya semakin tipis. Ia mempercepat langkahnya. "Ntar aku jelaskan. Kamu jangan ke mana-mana, aku segera ke sana."
Sambil terguncang-guncang karena langkah sang ayah, Adisna sedikit lebih tenang. Bayi itu mengisap jari mencari kenyamanan. Linangan air mata di pipinya terabaikan sampai mengering sendiri.
Sonari sontak ikut cemas melihat Krisna datang dalam keadaan panik. "Kita harus segera menemukan Adiba, Son. Aku tidak tahu ke mana dia pergi. Dia tiba-tiba saja menghilang," cecar Krisna.
"Tenangkan diri Anda, Dok. Ayo kita ke keamanan. Kita bisa minta umumkan di sana," pungkas Sonari berusaha menjernihkan situasi.
"I-iya, Son."
Mereka bergegas ke pos keamanan dan petugas di situ sigap menanggapi. Suara petugas berkumandang di seluruh penjuru gedung pertokoan. "Ibu Adiba Farhana, ditunggu anak dan suaminya di pos keamanan. Harap segera datang ke pos keamanan, Ibu Adiba Farhana!"
Selesai pengumuman dibuat, mereka menunggu dan petugas di sana iba melihat si kecil Adisna menangis sementara sang ayah tidak melakukan apa pun karena kalut kebingungan.
Salah satu petugas berinisiatif membantu Adisna. "Sini anaknya, Pak. Biar petugas kami mencoba menenangkannya."
Krisna pasrah membiarkan anaknya digendong orang lain. Satpam wanita datang dan mengurus Adisna di ruangan bayi. Satpam lain memeriksa CCTV area pintu keluar, sementara Sonari berbicara perlahan dengan Krisna.
"Kok bisa ada kejadian kayak gini, Dok? Apa yang terjadi?"
Pandangan Krisna tak menentu, tetapi bisa menjawab dengan baik. "Aku juga tidak tahu kenapa bisa begini, Son. Aku tidak bisa menjelaskannya." Kertas selebaran itu Krisna remas hingga kecil lalu disimpannya ke dalam saku celana.
Sonari mendesah gelisah. Nyaris 2 jam mereka di pos itu dan Adiba tidak muncul juga. Dari CCTV mereka menemukan rekaman Adiba keluar dari gedung pertokoan dengan gerak-gerik panik dan tergesa-gesa. Satpam sampai bertanya pada Krisna. "Bapak ada masalah sama istri Bapak?"
"Nggak ada, Pak. Kami baik-baik saja. Saya tidak tahu kenapa dia bisa pergi tiba-tiba seperti itu," jawab Krisna, terdengar jelas kelelahan.
"Bapak tadi katanya nginap di hotel 'kan? Bagaimana jika Ibu pulang ke hotel itu? Sebaiknya Bapak tunggu di sana. Jika tidak kembali juga, Bapak bisa buat laporan orang hilang ke kepolisian."
Kepolisian? Bukankah itu hal yang sangat dihindari Adiba? Krisna merasa skeptis, tetapi ia tidak membantah saran orang-orang itu. Ia berujar pasrah. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pulang ke hotel dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak dan rekan-rekan semuanya."
"Sama-sama, Pak. Jika ada perkembangan, Bapak akan kami kabari secepatnya."
"Iya. Kami permisi."
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Krisna melangkah sambil menggendong putrinya ke mobil mereka di parkiran. Selama di perjalan Krisna bisu seperti patung, sedangkan Adisna merengek-rengek ingin menyusu, tetapi tak ditanggapi.
Sonari tidak berani berkata apa pun karena ia tidak yakin bisa menghibur Krisna. Ia bantu membawakan barang Krisna ke kamar hotel dan di situ pun ia tak sampai hati meninggalkan ayah dan anak kecil itu berdua saja tanpa kehadiran sang ibu, sedangkan hari sudah malam. Krisna duduk mematung di tepi ranjang dengan anak dalam gendongan.
"Saya kabarin Dokter Syamsu ya, Dok? Mungkin beliau bisa membantu," saran Sonari. Krisna menjawab dengan anggukan lemah. Sonari mengabari ketua yayasan yang memang berumah di Surabaya.
Dokter Syamsu datang bersama istrinya. Nama istri Dokter Syamsu adalah Shelly. Wanita yang juga berprofesi dokter itu mengurus Adisna sementara suaminya bicara pada Krisna ditemani Sonari. Shelly jatuh iba melihat keadaan Adisna yang kelaparan serta pantatnya lecet bekas popok karena biang keringat dan kelamaan tidak diganti. Anak itu dimandikan dan diberi makan serta dot susu formula. Akhirnya Adisna bisa tidur lelap.
Pundak Krisna merah bekas gendongan, bahkan bisa dikatakan terasa nyeri, tetapi Krisna tidak merasakan sakit apa pun. Sekujur tubuhnya mati rasa, tetapi ia dipaksa bangun dan menghadapi kenyataan. Ia perlihatkan selebaran itu. reaksi Syamsu dan Sonari pun tidak jauh beda dengannya.
"Ini beneran Adiba? Masa sih?"
Krisna tidak bisa menjawab karena ia pun tidak tahu jawaban pastinya. Mereka lekas mengecek soal Septiana Maharani melalui ponsel mereka. Bermunculanlah laman Fa.ce.book yang memuat nama gadis itu. Satu sumber yang meyakinkan yaitu terkoneksi dengan sekolah SMP Negeri Jakarta Timur. Ada foto-foto sekumpulan remaja ABG sekitar 7-8 tahun yang lalu di mana salah satunya adalah Septiana Maharani. Gadis itu replika Adiba yang sangat pas, jika mereka dua orang yang berbeda. Rambutnya dan bola matanya, sangat tidak bisa dipungkiri mereka memang orang yang sama.
Ada beberapa foto Septiana menerima piagam serta piala, juga saat pementasan drama sekolah. Dari situ terlihat Septiana adalah murid yang berprestasi dan dari pancaran wajahnya, ia gadis yang ceria dan penuh semangat. Selanjutnya, semakin digali semakin bertambahlah informasi yang mereka temukan.
Syamsu membaca salah satu postingan. "Septiana (16) menjadi sugarbaby pria bernama Erkan (29) dan siapa sangka bahwa ternyata gadis inilah yang mengantar nyawa Erkan ke akhir hayatnya. Erkan tewas dengan luka tusukan benda tajam di bagian perut. Ia dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Septiana Maharani diringkus di tempat kejadian dan setelah penyelidikan polisi, ditemukan bahwa Septiana menghabisi Erkan karena cemburu pria tersebut punya sugarbaby lain."
Syamsu dan Sonari menggeleng-geleng setelah membaca berita itu. "Tidak mungkin. Ini sangat tidak masuk akal. Jika Adiba memang perempuan seperti itu, aku yakin dia akan terlihat sangat agresif dan tidak segan merayu laki-laki. Nyatanya, ia tidak seperti itu. Ia bahkan takut bertemu orang asing."
Krisna tidak bisa berkata apa pun. Ia seperti tidak mengenal Adiba lagi. Ia bukan pria pertama Adiba. Adiba tidak asing dengan yang namanya laki-laki dan berhubungan badan. Gadis itu bisa menjadi agresif di ranjang dan rayuannya adalah pura-pura polos, seolah tak sengaja mengumbar aurat. Adiba pernah berbohong dan bisa saja selama ini ia memalsukan segalanya.
Syamsu berusaha menenangkan Krisna. "Kau tahu berita, apalagi postingan di Fa.c sangat diragukan kebenarannya, kecuali kita selidiki lebih lanjut. Lagi pula, kita masih tidak tahu apakah Septiana dan Adiba orang yang sama."
Krisna menatap seniornya itu dengan perasaan sangsi. "Berapa persen kemungkinannya mereka bukan orang yang sama? Dan kenapa Adiba menghilang di saat bersamaan orang-orang itu muncul di hadapanku? Kenapa ia harus kabur jika ia benar-benar mencintai aku dan keluarga yang kami bangun?"
"Mungkin ... ia takut kau tidak akan menerima kondisi dia yang sebenarnya."
Krisna berdiri dan bersuara meninggi. "Aku mencintainya! Kurang apa lagi sayangku padanya? Kenapa ia tidak bisa mempercayaiku?"
"Aku tidak tahu!" balas Syamsu. Krisna terhenyak. Syamsu menarik napas dalam-dalam lalu bicara lebih lembut seraya mengusap pundak Krisna agar kembali duduk. "Kita tidak tahu pasti bagaimana perasaannya, Kris. Kita tidak tahu apa yang telah dilaluinya. Bisa saja lebih buruk dari yang diberitakan. Ia ketakutan, terancam ... entahlah, bisa apa saja. Kita tidak pernah tahu, kecuali ia ada di sini dan menjelaskan semuanya!"
Krisna sampai pada ambang batasnya. Ia tertunduk dalam, tangan bertumpu ke lututnya, meremas kuat kepalanya. Ia sembunyikan tangisnya, tetapi suaranya jelas gemetaran. "Kenapa aku harus mengetahuinya dengan cara seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Ke mana aku harus mencarinya?"
"Gimana kalau kita laporkan saja ke polisi?" celetuk Sonari, membuat Krisna sontak mengangkat wajah dan bangkit nyaris memberangusnya.
"Lalu membiarkan polisi menjebloskannya ke penjara? Kau pikir mereka akan memperlakukannya dengan baik? Lihat aku! Bagaimana aku dan Disna mesti hidup jika ia dipenjara?"
"Ta-tapi ...'kan katanya Septiana ini kabur dari penjara," kilah Sonari gugup.
"Kau lihat dia! Kau kenal dia! Dia membiarkan dirinya diam meringkuk seperti terperangkap dalam cangkangnya sendiri. Kau pikir orang seperti itu sanggup kabur dari penjara?!"
Suara keras Krisna membuat Adisna terkejut dari tidurnya sehingga menangis. Shelly menimang Adisna dan memperingatkan para pria itu. "Hei, tolong pelankan suara kalian!"
Syamsu segera mengubit pundak Krisna agar kembali duduk. "Sabar, sabar, Kris. Tenangkan dirimu. Kau kelelahan dan seharian tidak makan dan minum, tentu pikiranmu menjadi semakin kalut. Ayo kita keluar. Kita makan sekalian cari udara segar."
Krisna masih sangat emosi, tetapi manut digiring Syamsu dan Sonari ke restoran hotel. Malam tinggi sehingga restoran sepi, justru lebih baik bagi mereka sehingga bisa bicara lebih leluasa. Setelah minum dan makan ala kadarnya, Krisna merasa lebih tenang. Ia bertelungkup ke meja dan mendesah lelah. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak bisa berpikir lagi."
"Sabarlah, Kris, kami akan terus mendampingimu menghadapi semua ini," hibur Syamsu. "Mari kita tunggu beberapa hari. Mungkin Adiba sedang butuh menyendiri. Setelah ia tenang, aku yakin ia pasti kembali."
Krisna angkat wajahnya lagi. "Bagaimana jika ia tidak kembali? Berapa lama aku harus menunggu?"
"Kau tidak ingin ini dilaporkan ke polisi, aku rasa jalan satu-satunya adalah menyelidikinya sendiri. Mari kita terapkan azas tak bersalah. Kita anggap berita itu tidak benar sampai kita tahu yang sesungguhnya. Kita bisa mulai dengan memeriksa barang-barang pribadinya. Aku yakin pasti ada petunjuk mengenai siapa Adiba sebenarnya meskipun kecil. Kita hanya perlu lebih teliti."
Adiba tidak membawa apa pun kecuali barang yang melekat di badan. Krisna nyaris gusar lagi, tetapi teringat ponsel Adiba ada padanya. Ia keluarkan ponsel itu. "Ia meninggalkan ponselnya," ujar Krisna. Bahkan sandi kunci ponselnya pun angka yang mudah ditebak. Tanggal lahir Adisna.
Mereka memeriksa isinya. Tidak ada satu pun nomor di kontak ponsel yang tidak Krisna kenal. Pada keadaan seperti itu, Adiba ibarat kertas yang putih bersih. Sebagai suami ia tidak akan curiga apa pun terhadap Adiba. Ternyata ia seorang sugarbaby, pembunuh, dan buronan? Itu terlalu luar biasa.
Di bagian foto dan rekaman video ada beberapa berkas yang kebanyakan foto dan video Adisna, sedangkan Adiba-nya sangat sedikit, bahkan tidak ada foto diri penuh, dan dari foto serta rekaman video yang sedikit itu, dia terlihat sangat keki. Sampai di bagian rekaman suara, Krisna termangu sesaat. Ada sederet rekaman suara, entah kenapa Krisna jadi sangat gugup, enggan memencetnya. Apakah ia tidak siap atau takut kalau rekaman itu tidak memberikan petunjuk apa pun? Dengan kebulatan tekad, ia putar rekaman suara itu dan suara Adiba pun terdengar. Alunannya lembut dan sedikit gelisah.
"Aku tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan ini, Mas. Maafkan aku. Aku benar-benar takut."
Itu berarti sesuatu. Ketiga pria itu semakin telaten mendengarkan. Krisna mainkan rekaman suara yang lainnya.
"Kadang aku berharap aku menghilang saja dari dunia ini. Sungguh, benar-benar tidak ada gunanya aku hidup di dunia ini. Aku hanya bisa melarikan diri dan itulah yang kulakukan selama ini. Aku berusaha bertahan karena ada kamu, Mas, dan sekarang ditambah Disna. Aku senang. Rasanya aku mendapat kekuatan."
"Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan ini. Ini dosa terbesarku yang aku harap bisa kuhapus dan tidak pernah terjadi. Ini sangat menjerumuskanku. Aku malu pada diriku sendiri. Aku tidak sanggup menghadapimu jika kau tahu siapa aku yang sebenarnya. Ini terlalu mengotoriku hingga aku merasa tidak pantas bersanding denganmu. Keluargamu ... bahkan pada Disna. Aku bersalah pada kalian berdua. Maafkan aku. Aku tahu aku seharusnya jujur sejak awal, tetapi apa kau akan mendatangiku, jika kau tahu semuanya sejak awal?"
"Aku berusaha menjauhkanmu, 'kan? Aku sudah mengusirmu berkali-kali, tetapi kau tetap mendekatiku. Jadi, seharusnya ini bukan salahku. Mas, kau telah terjebak bersamaku."
"Aku harap Disna tidak pernah tahu hal ini. Dia pasti akan sangat malu punya ibu seperti aku. Dia akan membenciku. ... Tapi aku akan tetap menyayanginya. Aku seorang ibu. Tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Mereka yang tinggal di penjara tetap ingin jadi ibu dan merawat anak mereka dengan sepenuh hati. Konyol memang. Bagaimana bisa mereka punya bayi saat mereka harus mendekam dalam penjara? Syukurlah Disna tidak lahir di dalam sana. Aku mendapatkan pembebasanku lebih awal. Para pengacara itu mau membantuku. Mereka sangat baik hati."
Krisna, Syamsu, dan Sonari saling pandang dengan mata berbinar-binar. Setidaknya itu memberi mereka petunjuk bahwa Adiba tidak kabur dari penjara seperti yang disebutkan para pria keturunan Turki itu. Mereka lanjut mendengarkan rekaman berikutnya.
"Aku tidak bisa menceritakan hal itu. Itu terlalu berat dan ... aku tidak mau bersinggungan dengan mereka lagi. Cukup sekali dan aku tidak ingin itu terjadi lagi. Aku rasa mereka akan membiarkanku selama aku tidak dekat-dekat mereka lagi."
"Aku sudah pernah menikah ... seperti yang kau tahu. Aku tidak bohong soal itu, tetapi soal siapa dia, aku benar-benar tidak ingin mengingatnya lagi. Aku ingin melupakan semuanya."
"Kadang kala aku berharap aku mati saja. Malam itu. Pertama, di malam Om Erkan mati. Seharusnya aku yang mati, tapi aneh ya? Kenapa aku malah selamat? Ia pria berbadan besar dan juga sangat kuat. Itu benar, ayahku menjualku, ... pada pria itu. Aku rasa dibarter dengan uang. Maksudku sejumlah uang dan juga wilayah penjualan nar.koba. Dari yang kuketahui belakangan seperti itu. Keluarga Tuan Mahmud adalah keluarga yang berbahaya. Mereka punya ... banyak anak buah. Jadi, malam itu ibaratnya Om Erkan sedang apes. Kena grebek polisi dan kebetulan ia mati, maka kasus dianggap habis di situ. Aku, aku yang tertinggal dengan jasadnya ditangkap polisi dan mereka memasukkanku ke penjara. Jadi, itu tidak pernah niatku membunuh dia. Itu terjadi begitu saja, aku tidak tahu mereka di luar sana mengatakan aku membunuhnya karena cemburu. Aku nyaris tidak mengenal pria itu. Aku bahkan jijik padanya."
Jadi, Adiba bukan sugarbaby seperti yang dituduhkan. Krisna sangat lega mendengarnya.
"Aku divonis 15 tahun penjara dan sejak itu aku kira hidupku berakhir. Satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup adalah pelajaran menjahit. Tidak ada yang patut dibanggakan dari hal itu. Aku belajar menjahit dalam penjara. Setelah dipikir lagi, hidup di luar ternyata lebih berat daripada di dalam sana. Jika bukan karena uluran tanganmu, aku mungkin sudah punah dari dunia ini. Aku masih tidak mengerti kenapa aku dipertemukan denganmu. Kau sangat baik, sedangkan aku sangat buruk. Aku akan merusakmu. Sungguh, ini bukan kejadian pertama. Aku pikir, mungkin Tuhan sedang baik padaku. Ia memberiku jeda untuk menikmati rasa bahagia. Karena aku tahu itu bisa berakhir kapan saja."
"Tuan Mahmud ingin aku mati dan ia akan memastikan itu. Jika ada yang harus disakiti, biarlah aku saja yang menyandangnya. Kau dan Disna harus tetap aman dan selamat. Karena itu, jika aku menghilang nanti, jangan cari aku. Jangan sebut namaku. Anggap aku tidak pernah ada dalam hidup kalian."
"Nama asliku Septiana Maharani. Ibuku orang pribumi, ayahku keturunan Turki. Aku punya kakak laki-laki bernama Fadil. Dalam perjalanan hidupku, aku berganti nama menjadi Adiba Farhana. Semua untuk menutupi masa laluku. Aku seorang residivis pembunuhan tingkat II. Setelah bebas, aku ... hanya ingin jadi penjahit. Aku ingin menciptakan gaun yang indah karena aku percaya siapa yang mengenakan gaun indah, maka itu akan membawanya ke tempat yang indah pula."
"Rekaman suara ini mungkin menjadi hal terakhir yang akan kau dengar dariku. Kau mungkin bakalan membenciku, tapi tidak apa-apa, aku bisa mengerti. Karena tidak semua orang bisa menerima keberadaanku. Aku telah ditakdirkan dibuang dan dilupakan."
Krisna tidak berdaya lagi memegang ponsel itu. Ia biarkan tergeletak sementara wajahnya tertelungkup di lengan dan punggungnya berguncang. Ia menangis tanpa bersuara. Hanya dalam hatinya berteriak pilu. Adiba ... siapa pun kamu, apa pun dirimu, Mas minta jangan pergi! Jangan menghilang dari hidup Mas!
*** Bersambung….
Share this novel