Adiba menjadi lebih tenang setelah janji Krisna akan menjaga rahasia pernikahan mereka dan juga kehamilannya. Krisna tidak ingin bertindak ceroboh. Adiba saja belum siap menceritakan seluruh latar belakangnya, boro-boro mengungkapkan mereka sudah jadi suami istri dan sedang menantikan anak pertama. Krisna yakin keluarganya tidak siap menerima hal itu. Bukan berarti ia skeptis. Hanya saja belum saatnya.
Krisna sedang mabuk asmara dengan istrinya. Ia takjub pada perasaannya sendiri, tak pernah menduga akan jatuh cinta dengan seseorang penuh misteri seperti Adiba. Jatuh cinta, sebuah kata ajaib yang bisa melukiskan dengan tepat apa yang sedang dirasakannya. Untuk apa seorang pria rela mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya kepada wanita yang tidak dikenalnya kalau bukan karena cinta? Kepelikan hidup Adiba, kesedihan yang dipendamnya, serta kekuatannya untuk bangkit dan melawan, menjadikan Adiba berbeda dari wanita-wanita yang pernah dikenalnya.
Ia memuja Adiba, setiap jengkal tubuh dan untaian rambutnya, juga setiap desahan saat hati mereka menyatu dalam gelora persetubuhan. Bukan kata-kata atau cerita pengalaman hidup yang mereka bagi, melainkan keringat dan napas jiwa yang paling murni, yang telah Tuhan ciptakan dari yang terserak di antara mereka. Ia tidak bisa mengucapkan kata cinta itu, tetapi ia bisa menunjukkannya. Ia kecup punggung Adiba hingga ke lengkungan tulang belakangnya. Gadis itu tidak berhenti mengindik pinggulnya, sehingga kamar riuh oleh suara tepukan pantatnya dan engahan. Krisna mengeratkan geligi dan memegang erat pinggang Adiba. Ia menggeram resah, "Dek, genjotannya jangan terlalu rancak. Mas bakalan keluar cepat nih."
Adiba mengurangi kecepatan. "Maaf, Mas," katanya seraya melirik Krisna dengan penglihatan nanar. Tadi terlalu enak sampai ia lupa diri. "Diba hanya ingin menyenangkan Mas, karena Diba juga sedang senang."
Krisna balas dengan suara parau memelas karena tempo lambat membuat isap-isap vulva Adiba lebih terasa. "Ah, kamu bikin Mas gemes aja, Dek. Mas ingin kita main lama-lama supaya Mas tahan rindu sama Adek, soalnya Mas mau ke Jakarta beberapa hari."
Adiba terdiam, ibarat mesin berhenti beroperasi. Benar-benar diam, hanya terasa hangatnya bekas dipakai, sementara tuas Krisna masih menancap dalam tubuhnya. "Ngapain, Mas?" tanya Adiba waswas.
Krisna tersenyum lalu ia usap sepanjang rambut Adiba dan punggungnya, bak membelai surai tunggangan. "Nikahan kakak Mas. Mas pernah cerita 'kan, kakak perempuan Mas namanya Mba Mitha, Minggu ini dia mau nikah sama tunangannya. Gak enak 'kan kalau Mas gak hadir. Lagian Mas mau nengok Ayah dan Ibu Mas, biar mereka gak terlalu kepikiran anak laki-lakinya kok gak pulang-pulang."
Adiba merasa serba salah. Mereka baru menyambut kehamilannya, Krisna sudah hendak meninggalkannya. Ia bingung bagaimana menyesuaikan diri tanpa Krisna. Ia ingin marah, ingin menarik diri pun rasanya percuma karena Krisna mengunci posisinya. Pinggul Adiba berkial-kial kesal. Krisna semakin erat memeganginya. "Uhhfff, Diba, jangan dipilin punya Mas, ntar mengecrot beneran," desah Krisna.
Adiba mulai mengentak-entak pantatnya, mengirim sensasi Krisna hingga merem keenakan. "Mas beneran pulangnya cuma untuk itu? Nggak lama-lama 'kan?" desak Adiba.
"Iya, sayang, cuman 3 hari. Beneran. Mas bakalan balik ke sini secepatnya. Mas pengen ajak kamu, tapi apa kamu mau ke Jakarta? Kota yang paling kamu hindari."
Kekesalan Adiba reda tiba-tiba. Krisna benar, ia tidak akan menginjakkan kaki di Jakarta dengan alasan apa pun. Krisna mendekapnya erat, berbicara mesra di telinganya. "Mas ngerti perasaan kamu, makanya jangan khawatirkan Mas, Dek. Mas akan kembali ke Adek secepatnya. Gini aja deh, tinggalin bekas-bekas ciuman Adek di tubuh Mas. Mas akan balik sebelum kissmark itu hilang."
Terdengar sangat bodoh, tetapi Adiba menyukai ide itu. Ia memutar badan berhadapan dengan Krisna. Pria itu merangkak di atasnya sambil menyetubuhinya dengan hunjaman pelan. Bola mata Adiba berbinar disertai berkaca-kaca karena keringat. "Mas serius mau dibikin tanda-tanda itu?" tanyanya.
Krisna manyun. "Apa pun asal Adek tenang. Gak papa, bikin aja kissmark yang banyak. Tubuh ini milik Adek."
"Kalau dilihat orang bagaimana?"
"Biarin aja dilihat orang, paling mereka malu sendiri."
"Mas percaya diri banget sih?" tukas Adiba malah membuat Krisna tertawa.
Krisna jumput seuntai rambut keriting Adiba. "Kamu percaya gak sih kalau orang berjodoh itu, biasanya sifat mereka bertolak belakang? Mas sekarang adalah imam kamu dan bakalan mengimami anak-anak kita, ya pastilah Mas harus percaya diri. Kalau nggak, kita gak bakalan jadian, Diba."
"Ya, baiklah, Diba percaya penuh pada Mas. Ingat ya, balik ke sini sebelum bekas merahnya hilang." Adiba lalu mendongak ke leher Krisna.
"Iya, iya, Dek," sahut Krisna yang suaranya berubah serak karena bibir Adiba menyesap lekukan lehernya. Krisna terpejam menghayati setiap ciuman yang didapatnya. Sesekali ia menyapu rambut Adiba dengan bibirnya dan berbisik merdu, "Diba, sayang Mas. Istri Mas...."
***
Subuh Sabtu Krisna mandi wajib bersama sang istri. Krisna tertawa penuh kebanggaan ketika memandangi tubuh polosnya di depan cermin. Leher, dadanya yang padat, perutnya yang berkaveling, hingga ceruk pubis wilayah Little Krisna, bertebaran bercak merah bekas ciuman Adiba. Warnanya merah tua, kecil-kecil tapi banyak. Puas tertawa, Krisna merogoh ke dalam boksernya untuk mengatur posisi gundukan Little Krisna agar lebih nyaman, barulah ia mengenakan celana panjang jins dan kemeja lengan pendek yang akan dilapisinya dengan jaket bomber di perjalanan nanti. Adiba yang lewat di belakangnya setelah menyerahkan baju itu melirik dengan wajah tanpa ekspresi melihat kepongahan suaminya.
"Istri Mas kemaruk juga rupanya. Huahaha...,"goda Krisna mendapat cibiran Adiba.
"Nggak ada kemaruk. Mas aja yang bilang terus, lagi, Dek! Lagi, Dek! Pipi Diba kempot rasanya."
Krisna terkekeh senang seraya berbalik, ia raih wajah Adiba dan mengecup bibirnya yang telah bekerja keras sepanjang malam. "Habisnya kamu gemesin banget, Dek. Lagian, Mas pengen liatin bekas ini malam-malam biar keingetan Adek terus."
Adiba balas ciumannya. "Humm. Kembali secepatnya ya, Mas. Ingat janji Mas," cebik Adiba.
"Iya, iya, Diba, Mas ingat. Kamu juga! Selama Mas pergi, jangan malas makan, ya. Vitamin yang Mas kasih juga diminum. Fahmi, Mba Sutiyeh sama Bu Mujibe akan nemenin kamu, jadi jangan takut sendirian, ya?"
"Iya, Mas."
Adiba menyalami tangan suaminya saat di depan rumah sebelum Krisna naik ke mobil. Krisna tidak mengenakan cincin kawinnya. Cincin itu disimpan di kamar saja dan akan dikenakannya kalau ia sudah kembali. Krisna diantar Sonari, driver dari yayasan, ke Surabaya dan dari sana, ia akan naik pesawat terbang ke Jakarta. Pagi-pagi mereka berangkat. Adiba melepas kepergian Krisna dengan diiringi doa dalam hati, suaminya selamat tiba di tujuan dan kembali padanya tidak kurang sesuatu pun. Segala hal bisa terjadi dan berubah dalam sekejap. Bisa saja ada hal yang akan membuat Krisna berubah pikiran, itu yang sangat ditakutkan Adiba.
Sekitar setengah hari bermobil, Krisna tiba di bandara. Sonari driver yayasan yang berkantor di Surabaya, sehingga bisa menjadi antar-jemputnya di kota itu.
"Makasih ya, Son!" ucap Krisna ketika diturunkan di teras lobi keberangkatan.
"Sama-sama, Dok. Semoga selamat sampai di tujuan. Telepon saya saja lagi kalau Dokter Krisna sudah balik, ntar saya anterin lagi ke Kandangan," kata Sonari.
"Pasti, Son. Daah, sampai jumpa!" Krisna melambai hingga mobil hutcback Sonari melaju.
Krisna memasuki bandara lalu menuju ke gateway pesawat yang akan membawanya ke Jakarta. Selama menunggu, ia duduk santai dengan headset terpasang. Ia mengirim pesan ke ponsel Adiba memberitahukan posisi terbarunya. Meskipun pending, tetapi Krisna yakin pesan itu akan masuk ke ponsel Adiba.
Penampilan Krisna sangat menarik sehingga tak sedikit orang-orang meliriknya, akan tetapi melihat di sela kerah kemejanya bertanda-tanda bekas ciuman, mereka urung mendekati, palingan bisik-bisik saja dengan teman mereka. Hal itu juga terjadi dalam pesawat. Pramugari dan penumpang yang meliriknya jadi sungkan sendiri. Mereka senyum-senyum menggunjingkan pria tampan satu itu. Entah permainan seksi bagaimana yang dimainkan bersama partnernya. Imajinasi mereka mengembara.
Tiba di Jakarta malam hari, Krisna langsung menuju hotel tempat pernikahan dan resepsi akan diselenggarakan. Mitha dan Diaz juga menginap di sana. Banyak kerabat kedua pihak keluarga menginap di hotel itu, termasuk para pengiring pengantin pria dan wanita.
Sebelum ke kamarnya, Krisna mampir ke kamar Mitha untuk menyapa kakaknya itu. Mitha rupanya tidak sendirian di kamar itu. Ada Paula menemaninya, juga beberapa orang dari salon dan pengurus baju pengantin sedang menata gaun-gaun dan aksesories yang akan dikenakannya besok. Mitha sedang berdiri di depan cermin untuk final fitting gaun pengantinnya.
"Wuaah, adik Mba sudah datang rupanya! Kenapa gak bilang-bilang sih?" seru Mitha tanpa beralih dari cermin. Krisna mendekatinya, memeluk dan mencium kedua pipi Mitha.
Paula terpana melihat kedatangan Krisna hingga ia mematung.
"Surprise!" jawab Krisna. Ia lalu menyapa Paula dengan merangkulnya dan mengecup kedua pipinya. "Hai, Paula. Bagaimana kabarmu?"
"Ba-baik, Kris." Paula limbung menatap lekat wajah Krisna, masih tak percaya pria itu muncul tiba-tiba.
"Ah, kamu, Kris. Kalau surprise bawa kado apa buat Mba?" todong Mitha.
Krisna menjauh dari Paula. Ia berdiri di samping cermin untuk memandangi Mitha dan meledeknya. "Yee, Mba, masa adik sendiri diperas. Kasihanilah adikmu ini, Mba. Mba Mitha lebih kaya dibanding Krisna, jadi Mba gak butuh hadiah apa pun lah dari Krisna. Krisna kasih nasihat pernikahan aja deh buat Mba. Kuncinya yaitu sabar."
Mitha mencibirnya. "Kamu kayak sudah pengalaman nikah aja. Emang sudah ada calon? Sama Paula aja kamu main kucing-kucingan, Mba gak yakin kamu ada niat menikah kayak orang-orang."
Krisna terkekeh saja lalu memperhatikan kesibukan para penata gaun. Ada 3 stel gaun berbeda yang terpajang di manekin, sementara yang dipaskan di tubuh Mitha gaun kebaya putih yang bertaburan payet kristal Swarovski. Krisna semringah terbayang kesibukan seperti itu hal yang sangat disukai Adiba.
"Kenapa masih sibuk fitting, Mba? Gaunnya gak disiapin jauh-jauh hari? Ini rendanya masih ada yang belum dijahit," celetuk Krisna sambil meneliti renda bagian da.da salah satu gaun.
"Eh, kok tumben kamu pengertian soal baju, Kris? Iya, ini Mba mau semua payetnya handmade. Kamu tahu 'kan, Mba mau semuanya perfect, tapi Mas Diaz itu susah banget diajak kompromi soal pernak pernik nikahan ini. Mba kira dia nanggapin permintaan Mba lalu nerusin ke bridal punya temen dia itu, ternyata Diaznya diem aja, ya akhirnya semua dikerjakan serba mendesak, tapi malam ini kelar kok. Ya 'kan Mba?" ujar Mitha yang lalu bersuara tegas pada para penjahit di sekitarnya.
"Iya, iya, Mba, pasti, Mba," jawab mereka. Dalam hati mengedumel padahal semua keteteran karena Mitha yang suka menambah-nambah ornamen gaun maupun hiasan pesta di luar paket dan pembicaraan mereka saat rapat.
Krisna mangut-mangut. "Hehhee, bener 'kan kata Krisna, Mba. Mba itu harus sabaaar." Para penata gaun terlihat mengembuskan napas lega mendengar ucapan Krisna. Beruntung pria itu muncul membawa suasana lebih nyaman dan wajah tampannya cukup menghibur mereka. Kok bisa dari nona cerewet ini punya adik yang sangat simpatik.
Mitha merengut dan mendelikkan matanya ke atas. Diliriknya Krisna yang santai berdiri bersedekap. Mitha membatin betapa enaknya Krisna sebagai anak laki-laki bisa sesantai itu dan bisa berbuat semaunya. Namun, mata Mitha terpicing ketika melihat bercak merah di leher Krisna. "Apaan itu, Kris? Coba sini, Mba lihat."
"Apaan, Mba?" sahut Krisna kembali mendekati kakaknya. Mitha menarik kerah kemejanya.
Mata Mitha terbelalak melihat banyaknya kissmark di leher, selangka, dan da.da Krisna. "Astaghfirullah haladziim! Kamu ngapain sebelum ke sini, Kris? Habis Pesta se.ks?"
Paula terhenyak mendengar hal itu. Ia tatap tak percaya pada Krisna.
Krisna tarik kerahnya lalu mundur seraya semringah. "Hehehe, nggak lah, Mba, cuman habis seru-seruan aja. Banyak gadis-gadis cantik di Madiun."
"Haduuh, pantesan kamu betah banget di sana dan ngebet banget pindah kerja. Biar bisa gituan ya sama gadis-gadis desa?"
"Ehehehe, bukan cuman gadis-gadisnya loh, Mba. Jandanya lebih menggoda."
Mitha geleng-geleng kepala. "Astaga, kamu Kris! Yang bener aja, kalau Ayah tahu habislah kamu, Kris!"
"Ya jangan kasih tau lah, Mba. Lagian aku masih normal kok, ya wajar aja lah aku senang-senang."
"Hidih, kamu dah jadi playboy, Kris. Gak ketulungan!"
"Ah, gak usah kolot lah, Mba. Aku mau puas-puas dulu mumpung masih bujangan. Daripada habis nikah aku selingkuh, coba, gara-gara wanita yang aku nikahi bukan fetish aku, bagaimana?"
"Alasannya ada aja. Dasar Krisna!" rutuk Mitha yang lalu kembali fokus pada penampilannya. Sejujurnya, ia tidak peduli. Semakin hancur kelakuan Krisna justru semakin baik baginya. Biar ayahnya berhenti membangga-banggakan anak lelakinya.
"Eh, aku mau nengokin Mas Diaz dulu ya. Katanya aku salah satu groomsman dia. Aku mesti fitting jasnya dulu kalau begitu," gumam Krisna.
"Ya, ya, udah, ke sana aja kamu. Sana, ngegosip sesama pria, tapi awas ya jangan recoki Mas Diaz dengan 'fetish' kamu itu. Dia calon suami Mba!"
Krisna berujar sambil lalu. "Hhh, tuaan Mas Diaz daripada aku, kok bisa mikir aku yang pengaruhin dia? Mana tau dia lebih ekspert."
Mata Mitha melotot. Krisna mengejek, "'kan mana tau."
Mitha ambil bantalan jarum pentul yang ada di dekatnya lalu melemparnya ke arah Krisna. "Ih, sialan lu, Kris. Datang-datang kok bawa tingkah ngeselin gini sih?"
Krisna buru-buru ke pintu dan menjulurkan lidah mengejek Mitha. "Ingat, Mba. Kuncinya adalah sabaaar." Lalu ia kabur dari situ.
"Sabar sa karepmu!" seru Mitha kesal, tetapi tak didengar Krisna lagi karena pintu tertutup rapat. Ia mengedumel sendiri. "Dasar Krisna. Tampangnya aja sok kalem, kelakuannya kayak kucing garong!"
Para penata gaun dan orang salon terkikik geli dan mereka berceletuk. "Tapi ada benernya juga sih adik Mba itu. Daripada jadi pria hidungbelang sesudah menikah, mendingan senang-senang dulu deh sampai puas. Ntar kalau sudah ketemu jodohnya, pastinya bakalan full cintanya dong ya."
Mitha senyum-senyum saja, dalam hati membenarkan ucapan mereka. Contohnya Diaz, Mitha yakin Diaz sudah kapok berpetualang dan dia adalah istri terbaik yang akan didapatkan Diaz karena semua wanita itu tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.
Paula yang syok diabaikan Krisna, matanya berkaca-kaca, berpamitan pada Mitha. "Mba, aku mau nyusul Krisna dulu ya, Mba."
"Ooh iya, ya, Paula, silakan!" sahut Mitha lalu ia tersenyum mencibir setelah Paula keluar dari kamarnya. Gadis yang malang, batinnya.
Di selasar, Paula bergegas mengejar Krisna sambil memanggil-manggilnya. "Kris, tunggu aku. Krisna!"
Krisna berhenti melangkah sekaligus menunggu elevator. "Ada apa, Paula?" tanya Krisna ramah, tetapi Paula terlihat lelah seolah penuh beban.
"Kamu ... serius jadi playboy seperti ini?"
Kening Krisna mengernyit. "Maksud kamu?"
Paula menggenggam tangan Krisna dan memelas. "Ini bukan kamu. Kamu tidak seperti Krisna yang kukenal. Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan masa mudamu hanya menjadikan perempuan objek bersenang-senang semata."
Krisna melepaskan tangan Paula dan tertawa kecil mengejek gadis itu. "Paula, Paula, meskipun kita kenal lama dan akrab, bukan berarti kau mengenalku seutuhnya. Manusia berubah, kau tahu itu. Jadi, jangan coba mendikteku. Jadilah adik yang baik, oke?"
Elevator tiba dan terbuka. Krisna melangkah masuk, sementara Paula terpaku di tempat. Gadis itu menyempatkan bersuara lantang pada Krisna. "Aku tidak mau menjadi adikmu lagi, Kris. Aku ingin kau menganggapku sebagai wanita, calon istri!"
Krisna menggeleng. "Nggak, Paula. Sampai kapan pun nggak akan pernah. Sorry."
Pintu baja tertutup memisahkan dua orang itu sehingga menatap bayangannya masing-masing. Paula menangis kesal, sementara Krisna mendesah lelah. Ia benci mengatakan maaf pada Paula karena adalah haknya mengemukakan perasaan yang sebenarnya. Paula mendesaknya menjadi seseorang yang jahat padahal dari dalam lubuk hatinya ia benar-benar tidak bisa menjadikan Paula seorang calon istri apalagi punya hasrat padanya. Paula mulai menjadi seperti Mitha dan ia berharap tidak demikian akhirnya, karena itu akan menyakiti Paula sendiri. Lama-lama ia bisa membenci Paula. Krisna mengusap dadanya, merasakan debaran dari balik kemeja. Aliran darahnya berdesir untuk seseorang yang berada jauh di sana.
Krisna segera membuang jauh-jauh soal Paula ketika ia tiba di lantai menuju kamar Diaz. Ia mengetuk pintu sebuah kamar dan keheranan Diaz sendiri yang membukakan, sedangkan suasana sunyi senyap, bahkan wajah Diaz terlihat mengantuk. Diaz seorang diri di kamar itu.
"Oh, hai, Kris. Mau masuk?" tanya Diaz.
Krisna melangkah ke dalam kamar itu dan mengendus bau alkohol ketika ia melewati Diaz. "Sendirian aja, Mas?" tanyanya.
Diaz mengangguk lalu lekas melangkah melewatinya sambil bergumam, "Tadi udah pada ke sini, temen-temen aku, beberapa temen kamu juga. Aku males rame-rame. Ribut. Dah sumpek kepalaku tiap hari ketemu banyak orang berdebat-debat sampai saling teriak. Besok 'kan hari nikah aku ya aku mau istirahat total dulu lah."
Krisna mengiringi dan melihat dalam kamar Krisna ada sederet kapstok setelan jas para pendamping pengantin pria yang bernuansa abu-abu dan sulaman silver. Selebihnya kamar itu tertata agak berantakan. Ada beberapa botol minuman di nakas sisi ranjang Diaz.
"Tinggal punya kamu tuh belum dipas," ujar Diaz lagi menunjuk ke gantungan baju dengan dagunya. Ia menuang segelas minuman lalu mengangkat gelas ke arah Krisna. "Mau? Aku kadang butuh minum biar bisa tidur nyenyak," katanya kemudian menenggak minuman tersebut.
"Nggak, Mas," tolak Krisna. "Aku fitting bajunya dulu ya," ujarnya kemudian mengambil satu setelan masih berlapis plastik dan ada label namanya.
Sebenarnya, fitting di kamar itu biar Diaz ada banyak teman dan memberikan support menjelang nikahan, tetapi agaknya Diaz tidak butuh semua itu. Krisna lepas atasannya lalu mengenakan kemeja dari pakaian pengiring di depan cermin. Diaz yang selonjor di ranjang sambil minum dan menonton TV, menoleh pada Krisna dan berseru takjub melihat bercak ciuman di tubuhnya. "Wow, ada yang kelewatan bersenang-senang rupanya!"
"Hehehe." Krisna menyengir dan menyahuti Diaz dengan muka merona. Rona yang bisa dipahami sesama pria bahwa mereka sedang kasmaran. "Aku ketemu seseorang, Mas dan aku tergila-gila padanya." Suara Krisna jadi berat saat mengungkapkan hal itu.
Entah kenapa, Diaz merasa terhibur. Ia tersenyum tipis. "Oh ya? Siapa?" tanyanya.
"Ada deh! Aku gak bisa kenalin, Mas, masih penjajakan," jawab Krisna lalu sibuk mengenakan jas abu-abu itu seraya menoleh lekukan badannya dan mengangankan jika Adiba membuatkan setelan mewah itu untuknya.
Diaz memble. "Penjajakan. Sudah sejauh itu hubungan kalian masih kamu sebut penjajakan? Tapi terserah kamu aja sih. Puas-puasin aja sebelum ayahmu turun tangan," ucapnya yang menjadi sangat pelan di penghujung kalimat. Diaz kembali menyesap minuman.
Krisna sedikit merasakan ucapan itu bermakna mendalam bagi Diaz. Ia yakin Diaz menyukai seseorang karena itu nekat menolak kakaknya, tetapi sepertinya hubungan itu tidak berlanjut. Pada akhirnya, seorang pria mesti berkorban demi keluarga. Namun, Diaz pasti sadar itu yang terbaik.
Krisna berbalik agar ia bisa sungguh-sungguh menatap Diaz. "Pernikahan ini, Mas serius? Yakin mau menikah dengan Mba Mitha? Kalau Mas tidak bersedia, aku siap mendukung Mas."
Diaz menghela napas dalam. Lidahnya kelu untuk sesaat. Minuman keras yang tadinya berasa manis menjadi sangat pahit. "Mudah bagimu bilang begitu, Kris, tapi terima kasih. Benar-benar tidak ada yang bisa kau lakukan. Pernikahan ini harus dilakukan, suka atau tidak, aku tidak berada dalam posisi di mana aku bisa memilih. Mari kita anggap ini sudah takdir. Ada banyak keuntungan didapatkan dari pernikahan ini." Diaz bersulang sambil menyeringai.
Prabu Nareswara akan punya dukungan modal untuk pemilihan berikutnya. Paramitha Adimulya ekspansi perusahaannya dan akan memegang posisi komisaris salah satu BUMN. Karier Diaz semakin melesat dan kekayaan melimpah bagi kedua keluarga. Krisna sebagai penonton saja dan berharap terus demikian adanya. Ia tidak akan tahan berkutat dalam intrik seperti itu. Ia hanya ingin hidup tenang dan bahagia bersama Adiba dan anak-anaknya kelak. Eh, semoga mereka berambut kriwil seperti Adiba. Ya Tuhan, mereka akan jadi anak-anak yang sangat lucu.
Krisna buru-buru tersenyum. "Semoga sukses, Mas dan penikahannya juga langgeng."
Diaz terkekeh. "Makasih, Kris!"
Krisna selesai mengepas bajunya, maka ia pasang lagi setelan itu di kapstok dan mengenakan kemejanya kembali. "Aku tadi dari bandara langsung ke sini, jadi aku mau istirahat dulu, Mas. Bajunya kubawa ke kamarku aja. Kita ketemu lagi besok pagi, Mas."
"Oke," sahut Diaz yang sudah mulai santai akibat minuman dan hendak rebahan.
Krisna meninggalkan kamar Diaz membawa setelan dan tas ranselnya lalu ke kamar yang berada di deretan yang sama dengan Diaz.
Diaz seorang diri di ranjang, meredupkan lampu kamarnya, lalu memeluk erat guling dan membawanya bergerak-gerak bergumul. Suaranya serak meracau, "Diba, sayang Mas. Mas rindu kamu, Dek." Air matanya menetes sedikit saat ia terisak terkenang calon bayi yang tersingkir dengan cara mengenaskan. "Jika ada kesempatan kita bersama lagi, Dek, Mas akan bikin bahagia kamu dan anak-anak kita. Please, Dek, di mana pun kamu berada, berdoa agar kita bisa bersama lagi, Dek. Bagaimana pun caranya. Mas nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu satu-satunya cinta Mas."
Satu pria merapal doanya dengan putus asa. Di kamar yang lain, ada satu pria juga, yang tidak berdoa, tetapi dia sedang berbunga-bunga mengkhayalkan istrinya. Krisna mencoba menelepon berkali-kali, tetapi rupanya sinyal di Desa Kare tidak bisa diajak kompromi. Krisna menikmati malam merancap sambil memandangi kissmark di tubuhnya, membayangkan wujud Adiba merangkaki tubuhnya kala membuat seluruh tanda itu. "Ah, Diba, sayang Mas ...," desahnya saat menuju puncak.
Bersambung...
Share this novel