Peribahasa 'Darah lebih kental daripada air' seharusnya menjadikan Diaz punya ikatan yang kuat dengan ayahnya, Prabu Nareswara, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Namun, semakin ia dewasa, kekentalan darah itu membuatnya tercekik dan menenggelamkannya, seolah napasnya dibuat berhenti.
"Aku datang untuk menghentikanmu menghancurkan hidupmu, Diaz," ujar sang ayah dengan rahang terkatup rapat.
Diaz berusaha merendahkan suaranya agar tidak membuat Adiba khawatir. "Ayah, tolong. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas soal ini. Aku sudah dewasa, Ayah. Aku berhak menentukan sendiri apa yang ingin kulakukan."
"Omong kosong!" hardik Prabu.
Ayahnya, orang yang paling dihormatinya, malah mendorong pintu rumahnya hingga terbuka lebar dan melangkah masuk bersama 5 orang centengnya. Pintu tertutup rapat di belakang mereka.
Diaz berdiri di tengah selasar dengan tangan terentang dan bersuara lantang. "Aku minta Ayah berhenti! Pergi dari sini karena ini properti pribadi, Ayah!"
Adiba mendengar suara riuh sehingga ia mengintip ke pintu depan. Jantungnya berdebar cepat karena takut jangan-jangan Tuan Mahmud yang datang. Namun, mendengar ucapan Ayah, sedikit membuat Adiba keheranan.
"Anak kurang ajar!" bentak Prabu seraya melayangkan tinju ke wajah Diaz. Bunyinya sangat keras dan tidak tanggung-tanggung membuat Diaz terhunyung ke belakang.
"Mas!" Adiba berteriak seraya berlari mendatangi Diaz lalu menahan tubuh suaminya agar tidak roboh. Sepasang kekasih itu terduduk di lantai, mendongak menatap pria yang berkacak pinggang di hadapan mereka.
"Belum jadi apa-apa kau sudah berani melawan Ayah, hah? Semua karena perempuan ini!" cerca Prabu lalu dua anak buahnya bergerak ke belakang Adiba dan menarik gadis itu.
"Mas!" pekik Adiba berpegangan erat ke tangan Diaz, begitu juga Diaz memegangnya.
"Adiba!" desah Diaz.
Pegangan keduanya terlepas saat Adiba ditarik lebih keras hingga diseret ke dalam. "Maas!" Gadis itu berteriak sambil jemarinya berusaha mencakar lantai marmer.
"Lepaskan Adiba!" teriak Diaz sambil berusaha bangun. Ia melangkah sempoyongan menyerang salah satu pria yang menarik istrinya. Namun bogem keras dari dua tiga orang lainnya menghantam wajah Diaz. Ia ditekan hingga terkapar di lantai, perutnya ditendang serta mukanya dipukuli hingga bonyok.
"Tidaaaak! Maaas!" Teriakan Adiba menggema. Penglihatannya kabur kepenuhan air mata. Dilihatnya darah menyembur dari mulut Diaz dan setengah sadar akibat dipukuli. Dalam pikiran Adiba merasa itu semua hanya mimpi. Orang-orang itu pasti anak buah Tuan Mahmud karena ... tidak mungkin Ayah Mas Diaz memukuli anaknya sendiri sampai sedemikian rupa. Ini pasti bohongan. Ini pasti tidak mungkin terjadi.
Namun, mimpi tidak berakhir sampai di situ. Bik Esah muncul dan terpekik melihat Tuan dan Nyonya majikannya diperlakukan sekejam itu. Bik Esah gemetaran hendak menelepon, tetapi seorang pria merebut ponsel Bik Esah lalu melemparnya sehingga hancur berkeping-keping. Bik Esah dipukul wajahnya sehingga jatuh berlutut lalu didorong ke sisi Adiba.
Adiba melekap di lantai dengan kedua tangan direntangkan paksa dan punggungnya ditekan dengan lutut oleh tiga pria yang mengerubutinya. "Maaas ...," erang Adiba memanggil Diaz yang tetap saja dipukuli.
Diaz dipaksa bersujud di kaki Prabu lalu darah segar muncrat dari mulutnya, terpercik ke sepatu lars dan celana ayahnya. Prabu berjongkok lalu memaksa kepala Diaz menoleh pada Adiba. "Demi perempuan ja.lang ini kau mengkhianati keluargamu sendiri. Aku sudah cukup sabar membiarkanmu, tetapi semakin hari kau semakin menjadi-jadi. Berpikirlah smart! Dia hanya ingin hartamu, Diaz. Perempuan dari kalangan dia tidak lebih dari seekor lintah. Ayah sedang menyelamatkanmu dari cengkeraman dia. Lihat dia baik-baik karena Ayah akan mengakhiri hubungan kalian. Perempuan ini tidak akan pernah lagi menjejakkan kakinya di hidup kamu."
Prabu lalu berdiri tegap dan melangkah ke arah Adiba. Diaz mengerahkan sisa tenaganya dan bicara dengan mulut bengkak memelas pada ayahnya dan berderai air mata. "Jangan ... Ayah ... Jangan sakiti dia. Aku akan melakukan apa pun keinginan Ayah, tapi jangan sentuh dia ...."
Prabu berhenti melangkah, tetapi itu tidak menghentikannya memerintah anak buahnya. "Lakukan!" titahnya.
"Non ... Non ...." Bik Esah bersuara gemetaran saat ia ditarik menjauh dari Adiba.
Tiga orang pria menarik Adiba hingga berlutut, kepala dipaksa mendongak dan membuka mulut. "Aaakhh!" Adiba mengerang kesakitan lehernya terjepit sementara kedua tangannya dicekal. Beberapa pil dijejalkan ke dalam mulutnya lalu air botol dituangkan sekaligus membekap mulut Adiba. Dia terbatuk-batuk, tetapi kembali menelan air dalam mulutnya.
"Ayaaaah! Tidaaakk! Adibaaa...," teriak Diaz memilukan seraya berusaha meraih istrinya, tetapi seorang pria menahannya tetap di lantai, bahkan tak kuasa ia lawan.
Bik Esah berlinang air mata tanpa suara, terhenyak tak bisa beranjak dari lantai.
Adiba dilepas hingga terkapar sendiri di lantai, megap-megap mencari napas. Pikirannya kalut tidak kentara. Hati kecilnya bersuara, bahkan ketika dalam penjara ia tidak pernah mengalami atau melihat perlakuan sekejam ini, tetapi kenapa sekarang ... di rumahnya ... di hadapan seorang ayah ... di hadapan bapak-bapak terhormat ini, ia diperlakukan seperti anjing gila. Ia toleh pada Diaz dan berusaha tersenyum karena tak percaya pria itu menangis. Jemarinya bergerak lemah berusaha menggapai Diaz, tetapi kenapa terlihat sangat jauh.
Kelopak mata Adiba berkedip sangat cepat. Rasa sakit teramat sangat terjadi dalam perutnya. "Gyaaaaah ...." Tubuh Adiba berguling hingga meringkuk sangat rapat. Sakit hingga seluruh tulangnya rasa diremukkan membuat Adiba menyedekap perutnya seerat mungkin. "Aaaahhh ...." Erangannya sangat nyaring, ingin berteriak minta tolong, tetapi tak sanggup. Sayup-sayup didengarnya isakan Diaz memanggil namanya.
"Adiba ...."
Remang-remang ia lihat ayah suaminya berjongkok di dekatnya hanya untuk menyeringai. "Kau mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan jalangmu, perempuan mu.rahan! Huahahaha ...."
"Aaaahhh...." Adiba berteriak sambil badannya bergulung-gulung tak terkendali. "Maasss ... Sakit, Mas ...," erangnya, tetapi tidak ada satu pun sentuhan sayang didapatnya. Dalam keadaan setengah sadar, ia merasakan diseret ke kamar mandi tamu, lalu didudukkan di toilet seperti kursi pesakitan. Di kursi itu ia dipaksa duduk tegap oleh dua pria yang menahan tubuhnya. Bawahannya disingkap dan celananya dipelorotkan. Ia melihat darah yang amat banyak di kain itu, hingga terlihat hitam menggumpal. Juga di kedua kakinya, dan seluruh lantai yang dipijaknya. Setiap detik rasa sakit menderanya bersamaan dengan gumpalan-gumpalan darah beku yang keluar dari mulut rahimnya. Tidak ada tulang dapat menyangga tubuhnya. tidak ada air mata dapat diteteskan. Seluruh pori-porinya menangis bulir-bulir air sebesar biji jagung.
Selanjutnya hanya suara tangis berteriak Adiba yang terdengar selama berjam-jam. Seluruh isi rahimnya dikeluarkan paksa oleh obat tadi. Dia tersiksa antara hidup dan mati. Dia kehilangan banyak darah, calon bayinya juga kewarasannya.
Diaz sampai gemetaran sekujur tubuh dan air mata berlinang bersama darah dari luka dalamnya. Prabu melangkah santai bolak-balik di depan Diaz sambil menyulut cerutu. Ia menasihati putranya itu. "Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kebodohan, Diaz dan kau telah mengalaminya. Ayah harap setelah ini kau belajar untuk lebih bijaksana lagi bagaimana menghabiskan uangmu dan waktumu. Aku tidak mengajarkanmu untuk hidup terlena dengan cinta. Kau malah membuang-buang energimu seperti ini. Benar-benar perbuatan yang sia-sia."
Diaz tidak peduli perkataan ayahnya. Dalam kepalanya mendengung suara teriakan istrinya.
Entah berapa lama waktu berlalu, teriakan Adiba berhenti. Bunyi air mengalir deras terdengar cukup lama, kemudian pintu kamar mandi dibuka. Adiba yang berkulit seputih mayat digotong keluar lalu dijatuhkan di hadapan Bik Esah. Bik Esah mematung syok. Ia kira nyonyanya telah tewas.
Wajah Adiba tertoleh ke arah Diaz dan mereka saling tatap. Wajah Diaz memelas dan terisak menangis pilu sementara wajah Adiba dingin tanpa ekspresi, mata terbuka lebar tetapi menatap kosong. Diaz melihat bulir bening menetes dari mata amber cantik itu, yang justru menusuk hati Diaz lebih perih dari sembilu yang telah ditancapkan sang ayah terlebih dahulu. "Diba ...," lirihnya putus asa.
Prabu tidak peduli semengenaskan apa kondisi istri simpanan Diaz, tetapi sudah diduganya gadis itu tidak akan mati dengan mudah. Seperti lintah, adalah benalu yang sulit dimatikan. "Ayah menyelesaikan masalahmu dengan tuntas, Diaz, jadi, berhenti merengek seperti anak kecil!" tegur Prabu. "Lihat perempuan itu! Ia bahkan tidak cengeng sepertimu." Prabu menoleh pada pembantu rumah. "Urus dia!" ujarnya.
Gelagapan Bik Esah merangkak mendekati Adiba lalu memeriksa badannya yang sangat dingin. Bajunya basah dan penuh bercak darah. Dibantu satu pria, Bik Esah membawa Adiba ke dalam kamar. Sambil menangis, Bik Esah mengganti pakaian Adiba dengan gamis hitam yang langsung terlihat tersampir di kapstok. Ia pakaikan Adiba pembalut dan terakhir merapikan pakaian Adiba selayaknya orang hidup. Bik Esah lalu menangis bersimpuh di sisi Adiba yang terbaring tak berdaya di karpet seperti menangisi jenazah. Pria yang membantunya berbisik secara sembunyi-sembunyi. "Bik, kuatkan diri Bibik. Bibik satu-satunya orang yang bisa bantu gadis ini." Lalu ia bergegas menjauh karena ada rekannya melongok. Pria itu lalu keluar kamar. Diaz rupanya mengamuk dan harus dihajar lagi.
Sayup-sayup terdengar teriakan Diaz, begitu juga suara pukulan dan hantaman yang diterimanya. "Ayah berengsek! Kenapa harus menyakiti Diba? Bunuh saja aku, Ayah! Bunuh aku! Aaargghh!"
Bik Esah membisiki Adiba. "Non, dengar itu, Non. Kuatkan diri Non. Nggak papa, setelah kita pergi dari sini, kita akan baik-baik saja ...." Bik Esah lalu ke nakas mengambil dompet kecil milik Adiba dan menyimpan dalam sakunya.
Adiba hanya menelan ludah. Matanya masih terbuka lebar enggan berkedip. Ia masih tidak bisa menerima segala yang dilihat dan dialaminya adalah kenyataan. Ia takut jika memejamkan mata, ia tidak akan bisa membukanya lagi, maka ia akan terperangkap selamanya dalam derita. Ini bahkan lebih buruk dari malam kematian Om Erkan. Ini bukan kenyataan hidupnya. Ini pasti hidup orang lain. Ia hanya kebetulan ... melihatnya. Tetapi kenapa sakitnya sangat nyata?
Tenggorokannya tak mampu lagi bersuara. Bahkan tangan dan kakinya tak bisa bergerak karena terlalu lelah. Rahimnya masih berdenyut-denyut nyeri dan ia merasakan aliran hangat darahnya mengucur.
"Bawa perempuan itu ke sini!" Suara lantang itu terdengar dari luar kamar.
Bik Esah bergegas kembali ke sisi Adiba. Dua pria masuk ke kamar dan kembali menyeret Adiba ke hadapan kaki Prabu. Adiba nyaris bersujud di kaki pria itu, tetapi tangannya bisa bertumpu. Ia tertunduk dalam, untaian rambutnya menutupi penglihatannya pada Diaz yang tertelungkup ditahan dua pria di lantai. Mulut Diaz dibekap dengan saputangan karena telah memaki ayahnya.
Adiba diam saja karena tahu tidak ada gunanya bicara. Sebuah amplop gemuk dijatuhkan di hadapannya, membuat Adiba tersentak.
Prabu bersuara, "Ambil itu. Aku rasa itu harga yang cukup pantas untuk perempuan sepertimu. Pergi dari sini dan jangan pernah temui putraku lagi! Tidak ada lagi yang mengikatmu dengan Diaz, jadi baik-baiklah mulai hidupmu di tempat lain."
"Diba ...," tangis Diaz meskipun mulutnya tersumpal.
Mata Adiba mengerjap nanar. Ia berusaha menahan air matanya karena jika ia menangis Diaz akan sangat menderita melihatnya. Diaz akan tahu ia sangat hancur padahal Diaz menganggapnya perempuan yang kuat dan pemberani. Ia tidak ingin merusak citra itu.
Adiba berdiri walaupun nyaris tak bertenaga. Ia ambil amplop itu lalu memeriksa isinya. Uang sungguhan yang tidak seberapa dibanding kehilangan yang dialaminya. Tidak penting apa isi amplop itu, yang jelas Adiba mengambilnya dan membawanya keluar dari rumah. Langkahnya terseret, tetapi jauh lebih baik daripada berlutut melewati Diaz dan ayahnya.
Bibir Adiba gemetaran digigitnya kuat-kuat. Ia tidak ingin mengucapkan Selamat tinggal, Mas. Tidak ingin .... Tidak akan pernah!
Ia akan pergi dan menghilang tanpa pesan apa pun. Ia tahu ia akan dilupakan karena ia bukan siapa-siapa. Ia hanya sampah.
"Non, tunggu Bibik, Non. Bibik ikut ...." Bik Esah menyusulnya sambil membawa bundelan kain berisi barangnya yang tak seberapa.
Adiba tidak menolehnya karena tidak ingin melihat Diaz lagi atau ia akan menangis. Pintu dibukakan untuknya agar ia bisa pergi ke luar sana dan hidup mandiri seperti impiannya. Untuk pertama kalinya ia diberi kebebasan, ternyata sebuah 'kebebasan' yang menyakitkan.
Bik Esah berada di sisi Adiba. Punggung tua itu justru memapah si gadis yang tak berdaya. Bik Esah menangis sementara Adiba diam saja dengan tatapan tak terfokus. Sepanjang melangkah Bik Esah terisak menghibur Adiba atau mungkin menghibur dirinya sendiri. "Sabar, Non .... Sabar .... Hidup ini masih panjang, Non.... Dunia ini luas .... Semoga Non dapat ganti yang lebih baik .... Sabar, Non Diba ... Hu hu huuu."
Malam, untungnya jalanan sepi, lengang. Adiba berjalan menyusuri pinggiran jalan raya tanpa rasa takut lagi. Ia tersenyum dengan bibir gemetaran. Jika bertemu penjahat atau orang Tuan Mahmud sekaligus, ia tidak takut. Ia siap mati. Apa lagi gunanya hidup di dunia ini? Ia ingin menyusul Ibu dan bayinya. Pasti damai tinggal bersama mereka.
Dan sepertinya, keinginannya terwujud. Karena perlahan semuanya menjadi benar-benar gelap gulita. Mas Diaz, aku tidak perlu menderita lagi 'kan, Mas?
Bersambung...
Share this novel