BAB 27. Anganku Semata

Romance Completed 9248

Bu Mujibe dan Sutiyeh datang ke rumah Krisna bersama suami mereka, beriringan mobil BASARNAS tiba. Kegundahan juga sedang dialami keluarga Fahmi. Namun, karena mereka tahu Adiba sendirian, kedua wanita itu datang untuk menemani Adiba dan memberikan dukungan.

"Adiba!" pekik Bu Mujibe dan Sutiyeh bersamaan tatkala melihat Adiba terkulai lemas tak sadarkan diri. Untung saja bapak-bapak di dekat Adiba sigap menyambut dan mereka bawa gadis yang sedang berbadan dua itu ke dalam rumah.

"Sabar, Diba. Kuatkan dirimu, cah ayu," ujar Bu Mujibe dan Sutiyeh. Keduanya menangis sesenggukan sambil merawat Adiba. Adiba dibawa ke klinik dan dibaringkan di bed. Ia dipasangi infus. Pundak, tangan, dan kakinya dipijat-pijat agar menjadi lebih hangat. Adiba terlihat sangat pucat dan benar-benar tak sadar, tetapi kedua wanita itu tetap menyemangatinya. "Pak Dokter orang baik, Gusti Allah pasti melindunginya. Kita doakan Pak Dokter pulang dengan selamat dan sehat wal'afiat."

Adiba mendengar suara itu, akan tetapi ia tidak bisa memberikan reaksi. Ia tidak sanggup membuka mata dan kembali melihat dunia. Yang dibutuhkannya hanyalah Krisna datang dan membantunya menghadapi kenyataan. Ia butuh pria itu untuk menjadi pengganggu yang mengusiknya agar ia keluar dari persembunyian. Ia ingin bersama Krisna lebih lama. Ia ingin memberikan kebahagiaan untuk Krisna sebagai balasan semua kebaikannya. Adiba penuh sesal dalam hati. Kenapa orang sebaik Krisna harus mengalami musibah? Bukankah Tuhan sedikit tidak adil? Kenapa Ia tidak mengambil nyawaku saja?

Kabar musibah itu cepat tersebar di lingkungan Kandangan. Warga sangat terkejut dan prihatin atas apa yang terjadi, apalagi mereka mengenal Krisna sebagai dokter yang baik, murah senyum, dan tidak segan hidup di desa, ditambah sang istri sedang hamil, mereka ingin melakukan sesuatu untuk membantu. Sebagian warga pergi ke lokasi kejadian untuk membantu evakuasi, sebagian lagi berkumpul di rumah Krisna untuk menggelar doa bersama. Sayup-sayup di rumah itu pun berkumandang suara warga melantunkan ayat suci Al-Qur'an, memohon pada yang kuasa agar menyelamatkan dokter mereka.

Sesungguhnya, dalam setiap musibah dan cobaan, ada kasih sayang Tuhan di sana. Dan setiap amal perbuatan akan mendapatkan balasannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketika berada dalam momen genting, setiap makhluk yang bernyawa akan menyadari pada saatnya akan tiba menghadap Sang Pencipta. Begitu juga Krisna. Saat mendengar suara gemuruh dan tanah bergetar, Krisna langsung menyadari saat kematiannya telah tiba. Dalam sekejap mobil yang ditumpanginya terbolak balik lalu terempas oleh dorongan keras. Untuk sepersekian detik, seakan seluruh kehidupannya dirangkum dalam satu kalimat. Ia sadar dirinya bergelimang dosa, akan tetapi semenjak bertemu Adiba dan hidup bersamanya, ia merasa telah menemukan penebusan dosa.

Ia berdoa dalam hatinya, jangan ambil aku sekarang, ya Allah. Beri aku kesempatan membahagiakan Adiba serta membesarkan buah hati kami bersama. Aku ingin melihat anak-anak kami terlahir ke dunia. Aku ingin menua bersamanya. Aku ingin memberikan ciuman setiap kali ia membuka mata di pagi hari, agar Adiba tahu ia disayangi dan dijaga dengan baik. Aku ingin menguatkannya agar ia tahu tidak ada yang perlu ditakuti. Aku ingin selalu ada di sisinya, agar ia tahu ia tidak sendirian.

Entah berapa lama Krisna pingsan, akhirnya ia membuka mata sambil mengerang merasa kesakitan seluruh tubuhnya. Penglihatannya remang-remang dan kepala terasa pusing. Mobil mereka terbalik dan barang-barang berhamburan di sekelilingnya. Kaca tertutup rapat dan tertimbun tanah sehingga cahaya dan udara dalam kabin mobil sangat minim.

"Uggh!" Krisna mengusap samping kepalanya merasakan sedikit bengkak. Dahinya juga benjol dan menemukan bercak darah meskipun tidak terlalu banyak. Ia berusaha bangun dan meraba-raba, ternyata ia terbaring di bagian langit-langit mobil. Ketika menggerakkan kakinya, ia mengenai tubuh Fahmi yang meringkuk memunggunginya.

"Fahmi? Fahmi?" panggil Krisna sambil menyenggol Fahmi dengan kakinya karena ia belum bisa bergerak sepenuhnya. Krisna mencoba merangkak mendekati Fahmi. Meskipun dengan tubuh yang terasa remuk, Krisna bisa melakukannya dan ia segera memeriksa kondisi vital Fahmi. Tidak terlihat luka terbuka, tetapi di kepala Fahmi juga mengalami benturan seperti yang dialaminya. Krisna benahi posisi Fahmi sehingg telentang dan ia guncang tubuh Fahmi. "Fahmi, bangun! Fahmi!"

Fahmi tersentak dan ketika berusaha membuka mata langsung kesakitan dan mencengkeram kepalanya. "Auchh! Pak Dokter, kita kenapa?" erang Fahmi.

"Alhamdulillah, kau sadar, Fahmi. Kita kecelakaan. Sepertinya tertimbun tanah longsor," jawab Krisna. "Bagaimana keadaanmu?"

"Kayaknya saya terbentur saja, Dok. Tidak ada yang serius. Kepala Dokter malah yang berdarah," ujar Fahmi.

Mereka mengecek ponsel yang tersimpan aman di saku. Tidak ada sinyal, tetapi sentarnya bisa digunakan untuk pencahayaan. Mereka mencari-cari barang yang bisa digunakan untuk pertolongan pertama. Ada obat-obatan dan bahan habis pakai medis, serta tabung oksigen kecil dan air minum yang berguna untuk bertahan hidup.

Untung di mobil ada radio walkie talkie yang berfungsi baik. Krisna berusaha menghubungi radio komunikasi terdekat sementara Fahmi merawat lukanya dan memasangkan perban.

"Ini Dokter Krisna Adimulya yang bicara. Apakah ada yang mendengarkan?" ucap Krisna. Ia ulang beberapa kali, akan tetapi tidak mendapatkan respons.

Krisna terdiam berpikir keras sementara Fahmi mulai terisak. "Bagaimana jika tidak ada yang datang menolong kita?"

Krisna juga khawatir demikian, tetapi ia berusaha optimis. "Pasti akan ada yang menolong kita, Fahmi. Warga pasti ada yang melihat longsor ini dan polisi hutan juga rutin patroli. Seseorang pasti menemukan kita dan melaporkan."

Fahmi tidak lagi bersikap cengeng. Ia pun berdoa dan merekam pesan-pesan untuk keluarganya jikalau ia tutup usia. Krisna juga melakukan hal yang sama. Ia ungkapkan rasa cintanya yang tak terhingga pada Adiba.

"Dek, kalau kamu denger pesan ini, mungkin Mas sudah tiada. Mas ingin memberitahu kamu, kalau anak kita sudah lahir nanti, kasih dia nama Adisna, gabungan nama Adiba dan Krisna."

"Adiba, sayang Mas, kamu tahu kenapa Mas jatuh cinta sama kamu. Kalaupun Mas tak ada lagi di dunia ini, cinta Mas akan selalu menyertai kamu dan anak kita. Karena itu kamu harus kuat dan tabah menghadapi semuanya. Setiap kesedihan akan berlalu. Kamu jangan takut lagi, sayang. Jangan putus asa. Hiduplah yang bahagia, Diba. Mas cinta kamu selamanya."

Lelah bicara dan menunggu, Krisna mencoba lagi berkomunikasi lewat radio. "Ini Dokter Krisna Adimulya. apakah ada yang mendengar? Mobil kami tertimbun longsor dan kami butuh bantuan untuk mengeluarkan kami dari sini." Ternyata usahanya mendapatkan respons.

Suara kersak-kersak radio lalu muncul suara pria menyahut. "Krisna, ini Syamsu. Kamu bisa dengar aku?"

"Bisa. Bisa, Mas Syamsu!"

Krisna dan Fahmi sontak bersemangat seolah mendapat energi baru.

"Syukurlah kau masih hidup, Bro. Bagaimana dengan Fahmi?"

"Fahmi juga selamat."

"Oh, syukurlah. Kondisi kalian bagaimana?"

"Kami baik-baik saja. Hanya benjol akibat terbentur dan luka sedikit."

Fahmi menimbrung. "Iya, Dok. Saya baik-baik saja. Tolong kabarin anak dan istri saya secepatnya ya, Dok."

"Iya, ya, Mas Fahmi. Ini sudah ada orang yang akan pergi ngasih kabar ke rumah kalian. Kalian jangan panik, ya. Kami sedang berusaha mengevakuasi. Alat berat dan orang-orang dari BASARNAS sudah bekerja. Estimasi 2-3 jam bisa menyingkirkan semua tanah yang menimbun mobil."

Seolah semuanya dipermudah bagi mereka. Saat kejadian ada warga yang melihat dan langsung mencari bantuan. Alat berat kebetulan ada di Kandangan, BASARNAS cepat datang dan tidak ada kendala susulan, posisi jatuhnya mobil itu pun tertahan oleh tumpukan tanah sehingga tidak terperenyek. Meskipun tertimbun, bagian bak mobil terlihat sehingga lokasinya mudah ditemukan dan penggalian bisa terkonsentrasi ke titik itu.

"Iya, Mas. Makasih, Mas. Kami optimis bisa bertahan. Kami punya tabung oksigen dan air minum," lanjut Krisna.

"Alhamdulillah. Sabar ya, Kris, Fahmi."

"Iya, Mas. Ehmm ... Apa istri aku tahu kejadian ini?"

"Iya, dia udah tahu."

"Bagaimana keadaannya?"

"Dia pingsan, tapi baik-baik saja. Ada Bu Mujibe dan Sutiyeh yang nemenin dia. Di rumahmu juga ramai orang baca doa bersama. Aku mau lanjut ngasih kabar ini pada keluarga Fahmi. Ntar aku cek lagi kalian tiap 10 menit."

Syamsu sepertinya hendak beranjak, Krisna segera menyelanya. "Mas, Mas, sebentar, Mas."

"Iya, Kris? Ada apa?"

"Keluargaku di Jakarta ... sudah dikasih tau?"

"Belum. Aku ingin memastikan situasimu dulu, setelah ini aku akan mengabari mereka."

"Jangan, Mas, gak usah. Aku gak ingin mereka tahu soal ini."

"Loh?" Syamsu keheranan atas permintaan Krisna, meskipun ia sedikit bisa mengerti, tetapi, masa sih di keadaan segenting ini Krisna tidak ingin mengabari orang tuanya? "Gak bisa gitu, Kris. Amit-amit nih ya, kalau terjadi apa-apa dan kami dianggap teledor lambat ngasih kabar, bagaimana?"

Krisna juga tidak suka hal ini, akan tetapi ia tidak ingin situasi lebih buruk dialami Adiba. Ia pun mengungkapkan kerisauannya. "Aku gak mau mereka tahu soal Adiba, Mas. Please, aku gak bisa jelasin, tetapi jikalau terjadi sesuatu padaku dan Mas mesti ngasih tau orang tuaku, tolong sembunyikan Adiba, Mas."

Syamsu berada di atas bersama ketua tim BASARNAS yang turut mendengarkan jadi saling pandang. Sama-sama mengerti urusan laki-laki, ketua tim itu lalu bersuara, "Kami prioritaskan menyelamatkan korban terlebih dahulu. Urusan pada keluarganya kami serahkan pada sampeyan," kata bapak itu pada Syamsu lalu ia beranjak untuk mengomando anak buahnya.

Syamsu menepuk muka dan mendesah panjang. Ia lalu bicara lagi pada Krisna melalui radionya. "Baiklah, karena di sini juga tidak ada sinyal untuk menelepon, aku gak akan kabarin mereka dulu, tapi jika situasi jadi tambah buruk, aku harus mengabari mereka."

Krisna tidak punya pilihan lain. Ia pun setuju dengan saran Syamsu. "Baiklah, Mas, tapi aku minta tolong banget, sembunyiin Adiba."

"Astagfirullah, Kris, bisa-bisanya kamu di saat seperti ini." Syamsu geleng-geleng. "Ya sudahlah! Aku beneran gak tau harus ngomong apa. Pokoknya kamu kudu selamat, jadi aku gak pusing mikirin ini."

"Iya, Mas," ujar Krisna dengan suara yang terdengar sangat tenang untuk seseorang yang dalam kondisinya.

Berkat doa-doa dan kerja keras semua orang, Krisna dan Fahmi berhasil dievakuasi dalam waktu 10 jam setelah kejadian. Kaca mobil dipecahkan dan keduanya keluar dan dipindahkan ke atas dalam keadaan selamat meskipun sekujur tubuh sakit bekas terbentur-bentur dalam mobil. Walaupun badan mereka penuh lumpur tanah, para penyelamat dan warga yang membantu memeluk Krisna dan Fahmi sebagai ungkapan rasa gembira.

Kabar Krisna dan Fahmi berhasil diselamatkan sampai ke rumah Adiba. Semua orang memanjatkan puji syukur dan bergegas bersiap-siap menggelar syukuran.

Pagi pun tiba. Orang-orang sibuk menyiapkan aneka makanan dan menyembelih ayam. Tidak ada lagi terlihat suasana sedih. Keadaan berganti riuh riang masak memasak. Namun, di dalam ruang klinik, Bu Mujibe dan Sutiyeh bersedih karena prihatin pada kondisi Adiba. Gadis itu sudah tersadar dan membuka matanya, akan tetapi ia diam saja seperti benda mati. Dia duduk mematung dengan pandangan kosong. Adiba tidak ada makan maupun minum semenjak kemarin, membuat orang yang menjaganya khawatir. Bu Mujibe sampai menangis-nangis. Sambil menggenggam kedua tangan Adiba, beliau bicara, "Nak Diba, sadarlah. Pak Dokter katanya sudah selamat dan sedang menuju ke sini. Kalau kamu diam begini dan gak mau makan, Pak Dokter ntar sedih liat kamu."

Adiba bergeming sehingga Sutiyeh merangkul Bu Mujibe dan mengajaknya menjauh. "Sudahlah, Mba Yu, kita biarkan saja dulu Diba sendirian. Mungkin dia masih syok dan butuh waktu. Moga-moga saja setelah melihat Dokter Krisna ntar, dia bisa sadar sepenuhnya."

Kedua perempuan itu beranjak dari sisi Adiba. Bu Mujibe menghapus air mata dan masih sesenggukan. Mereka ke bagian rumah bergabung dengan ibu-ibu lain menyiapkan hidangan.

Adiba mendengar suara keramaian bercakap-cakap dan suara memasak. Ia ingin ikut berada bersama mereka, akan akan tetapi tubuhnya menolak bereaksi demikian sehingga hanya dalam pikirannya saja ia berusaha bergerak dan itu tidak membawanya ke mana pun. Seolah ia ingin menyeberangi rel kereta api, tetapi kereta yang sangat cepat dan besar tidak ada henti-hentinya melintas sehingga ia tidak tahu apakah ia bisa menyeberang atau tidak. Ia melambai agar kereta itu tahu ia ingin menyeberang, akan tetapi kereta itu tidak memberikannya peluang.

Di depan rumah, mobil hutchback BASARNAS dan milik yayasan tiba membawa Krisna pulang ke rumahnya. Orang-orang bergegas menyambutnya. "Dokter Krisna... Fahmi ...," sebut mereka para wanita sambil meneteskan air mata haru. Fahmi tetap di dalam sementara Krisna turun dari mobil. Walaupun sekujur badannya kotor, mereka tidak mempedulikan hal itu. Mereka memeluknya seperti memeluk anak sendiri. Yang bapak-bapak menepuk pundaknya dengan rasa bangga.

"Alhamdulillah, puji syukur Gusti Allah memang selalu memberikan pertolongan pada orang baik. Fahmi dan Pak Dokter selamat. Aduh, Dok, betapa bahagianya kami, Dok."

"Iya, Pak, Ibu. Terima kasih banyak," ucap Krisna. Ia membalas ucapan mereka semua dengan ramah, walaupun sebenarnya ia kesakitan. Ia mendapatkan perawatan ala kadarnya dari Dokter Syamsu dan karena merasa baik-baik saja, Krisna cukup optimis bisa mengobati diri sendiri.

Tim BASARNAS dan yayasan lanjut mengantar Fahmi. Krisna dipapah berjalan ke dalam rumah. Padahal ia ingin sekali berlari menemui Adiba. "Mana Adiba, Bu?" tanya Krisna pada Bu Mujibe.

Orang-orang terharu melihat dokter muda itu langsung mencari istrinya. Namun, mereka waswas karena mengetahui kondisi Adiba yang agak aneh.

"Ada di klinik, Dok," jawab Bu Mujibe.

Krisna melihat kerisauan dari wajah wanita itu sehingga ia bertanya lagi. "Kenapa? Apa terjadi sesuatu pada Adiba?"

"Dia sempat pingsan, Dok, tapi pas sudah sadar, dia diem aja. Gak ada ngomong apa-apa, ditanyain pun gak menyahut."

Krisna tercenung cemas. Ia menepis tangan orang-orang yang memapahnya lalu melangkah sendiri meskipun tertatih-tatih. "Loh, Dok? Hati-hati jalannya. Pak Dokter barusan cedera," tegur mereka dan ingin membantunya berjalan lagi, tetapi Krisna menampiknya.

"Tidak apa-apa. Saya mau menemui Adiba. Tolong biarkan kami berduaan sebentar," pintanya. Orang-orang itu pun membiarkan Krisna berjalan sendiri menuju ke klinik.

Ia melangkah sambil meraba dinding. Ketika ia membuka pintu dan melihat Adiba duduk termangu di bed, Krisna tersenyum haru. Ia tahu dalam pikiran Adiba sedang terperangkap dan ia harus meraihnya. Krisna menutup pintu di belakangnya lalu mendekati istrinya sambil menyapa lembut. "Diba, ini Mas, Dek. Mas sudah pulang."

Namun, tidak ada reaksi dari gadis itu. Krisna genggam tangan Adiba lalu menyentuhkannya ke pipinya. "Lihat Mas, Diba. Ini beneran Mas kamu," desahnya.

Adiba merasakan sepasang tangan dingin dan kotor memegangnya lalu meraba-rabanya. Krisna menciumi pipi, kening, dan bibir Adiba. Pandangan Adiba yang terpaku pada bayangan kereta api berangsur-angsur beralih menatap pria yang bersuara memelas padanya. "Lihat Mas, Diba. Dengerin apa kata Mas. Mas sekarang sudah ada di sisi kamu. Kamu gak usah takut lagi. Mas akan lindungi kamu dan sayangin kamu, juga anak kita."

Suara pria itu dan sentuhan-sentuhannya sangat mengganggunya sehingga Adiba merespons. "Mas?" sebutnya. Sorot matanya nanar berusaha menemukan fokus.

Krisna tangkup wajah Adiba dan ia arahkan ke matanya. "Iya, ini Mas, suami kamu, Krisna."

"Krisna?" Mata Adiba mengerjap-ngerjap lalu terbuka lebar terpana. "Mas!" Adiba memeluk erat Krisna dan tangisnya pun pecah. "Mas, ini beneran kamu, Mas? Mas udah balik dan benar-benar hidup? Katakan padaku ini bukan mimpi, Mas. Tunjukkan padaku kalau ini kenyataan, bukan anganku semata."

Krisna tersenyum lega walaupun tubuhnya tambah sakit karena dipeluk istrinya, ia bisa menahan itu semua. Ia balas memeluk dan mengusap-usap punggung Adiba. "Kamu gak mimpi, Dek. Ini beneran Mas. Alhamdulillah longsornya tidak banyak dan mobil Mas juga jatuhnya tidak terlalu dalam, jadi cepet diketemukan."

Adiba menangis saja. Ia tidak peduli hal lainnya karena tidak bisa memikirkan. Ia terlalu gembira Krisna benar-benar kembali dalam keadaan hidup.

"Ugh!" desah Krisna menahan sakit. Ia hampir tidak kuat lagi sehingga kakinya lemas dan nyaris jauh. "Diba, bentar, bentar, lepasin Mas dulu, badan Mas sakit semua."

Adiba terhenyak. Ia segera melepaskan pelukannya dan memandangi Krisna dengan mata berkaca-kaca cemas. Ia baru menyadari baju Krisna sangat kotor, bahkan ada kasa perban menempel di sela rambutnya. Adiba bergegas turun dari ranjang dan mempersilakan Krisna naik ke bed.

"Panggilin Bu Mujibe, Dek. Mas mau minta suntikin obat," pinta Krisna dengan erangan tertahan.

"Iya, Mas." Adiba melepas infusnya dan menutup bekasnya dengan plester luka, lalu ia ke ruangan sebelah.

Bapak-bapak dan ibu-ibu di sana lega melihat Adiba muncul. Gadis itu tersipu-sipu dan bersuara perlahan mencari Bu Mujibe. "Dicari Pak Dokter," ujarnya dan Bu Mujibe bergegas mendatangi Krisna tanpa banyak tanya. Adiba mengikutinya.

Krisna minta disuntikkan obat penahan sakit serta antibiotik melalui infus. Ia bisa memejamkan mata sejenak dan membiarkan obat bekerja sampai rasa sakitnya berkurang.

Bacaan syukuran dan makan bersama digelar di rumah itu. Adiba turut hadir sebagai tuan rumah dan turut bersantap. Setelah acara itu usai, ia mengantarkan para warga itu pulang dan tak lupa berterima kasih pada mereka semua. Bu Mujibe dan Sutiyeh pulang belakangan karena membantu bersih-bersih rumah kecil itu. Selanjutnya, mereka berpamitan pada Adiba. "Pak Dokter kelihatannya sudah baikan sih, tapi kalau ada apa-apa, segera aja telepon kami. Kami akan segera ke sini secepatnya."

"Iya, Bu, Mba. Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya gak tau mesti bagaimana membalas kalian semua."

"Gak usah dipikirkan, Diba. Ini keselamatan Dokter Krisna loh. Ya kami wajib bantu. Dah, kamu fokus rawat Dokter Krisna saja. Kami mau bantu padahal soal ini, tapi kayaknya Pak Dokter mau berduaan saja sama kamu. Yo wes lah, kami pulang saja," sengir Bu Mujibe dan Sutiyeh.

Adiba tersenyum kecil saja lalu melepas kepergian kedua perempuan itu bersama suami mereka. Rumah pun sunyi senyap dan Adiba kembali masuk ke dalam. Hari sudah senja sehingga ia tutup rapat pintu dan jendela serta menyalakan lampu, barulah ia melihat keadaan Krisna di klinik. Pria itu terlihat tidur tenang meskipun badan dan pakaiannya belum bersilih padahal sangat kotor.

Adiba mengambil bangku untuk duduk di sisi bed itu. Ia berpangku tangan ke bed sambil lekat memandangi wajah Krisna. Ia hanya berucap dalam hati, aku kira hidupku berakhir tanpamu, Mas. Terima kasih aku masih diberi kesempatan hidup bersama kamu. Jika boleh aku mendapat anugerah, maka kamulah anugerah itu.

Adiba tersentak ketika Krisna membuka mata lalu tersenyum tipis padanya. Tangan pria itu bergerak perlahan membelai rambutnya. "Kamu betah sekali ngeliatin Mas, Dek. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Mas. Mas mau makan? Ibu-ibu tadi bikin soto ayam. Masih ada sisanya cukup buat Mas kalau mau makan," jawabnya lugas.

"Syukurlah kalau begitu. Mas makannya ntar aja. Kalau anak Mas gimana kabarnya?" Krisna lalu mengangkat tangan Adiba agar berdiri, maka ia bisa membelai-belai perut buncit Adiba.

"Baik, Mas. Tadi pas Diba makan, dianya gerak-gerak sangat kuat. Diba pikir ia pasti juga lemas karena Diba belum makan, jadinya pas dapat makanan, dia langsung bertenaga."

Senyum Krisna tulus terharu. Ia tatap ke dalam mata Adiba dan berucap lembut. "Waktu kecelakaan itu terjadi, Mas cuman bisa mikirin kalian. Mas masih diberi kesempatan hidup pastinya karena kalian." Ia berharap Adiba akan meluapkan emosinya berair-air, akan tetapi Adiba seringkali menghindari mengungkapkan perasaannya.

Adiba menyunggingkan senyum yang sangat singkat, lalu ia menoleh ke arah lain sembari berlagak sibuk memeriksa isi infus. "Mas mau makan dulu atau bersihin badan, Mas?"

"Bersihin badan dulu lah, tapi asli, badan Mas sakit banget semuanya. Adek bantuin Mas mandi, ya?"

"Iya, Mas," jawab Adiba yang terdengar ringan diucapkan. Ia bersemangat membantu Krisna ke kamar mandi dan melepas seluruh pakaiannya. Adiba sedikit gentar ketika melihat memar-memar merah biru yang tersebar di seluruh tubuh Krisna.

Supaya tidak capek berdiri, Krisna duduk di bangku dan dimandikan. Ia basuh berhati-hati tubuh Krisna, juga kepalanya yang ada luka dan bekas darah kering bercampur tanah. Adiba ingin menangis yang ditahannya kuat-kuat, sehingga suaranya bergetar ketika bicara. "Mas ngasih tau orang tua Mas kejadian ini?"

"Nggak," jawabnya santai. "Mas baik-baik saja kok. Ngapain ngabarin mereka? Ntar bikin heboh saja, lalu Mas gak diperbolehkan lagi kerja di sini. Kan gak seru."

"Oh?" Benarkah hanya karena itu? Adiba ragu dengan jawaban Krisna, tetapi di sudut hatinya ia tahu alasan Krisna bukan itu semata. Adiba merasakan kelegaan luar biasa. Senyumnya bisa terkembang secara alami dan Krisna melihat wajah berseri-seri istrinya melalui pantulan cermin.

Setelah selesai mandi dan krim anti memar dioleskan di badan Krisna, Adiba membantu mengenakan baju piama. Selanjutnya ia makan dan minum obat yang kesemuanya disuapi Adiba. Ia tinggal tidur agar bisa beristirahat maksimal. Krisna ke kamar tidurnya dengan membawa serta infus dan tiangnya. Ia berbaring santai sambil memandangi Adiba berganti baju.

"Ssh ... ah!" Krisna mendesah kesal. Little Krisna-nya mengacung, tapi tidak keras-keras amat karena obat penahan sakit membuatnya lemas dan mengantuk. Lagi pula, tubuhnya bakalan tambah remuk jika memaksa bertunggangan dengan gadis seksi itu.

Adiba mendatanginya dengan tubuh berbalut gaun tidur tipis, menerawangkan tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian dalam. "Kenapa, Mas?" tanyanya ketika melihat wajah Krisna cemberut.

"Dek, Mas nih kepengen, tapi gak bisa karena badan Mas sakit semua," gerutunya.

"Memangnya Mas kepengen apa?" tanya Adiba yang duduk di sisinya sambil menyisiri rambutnya dengan jemari.

"Tuh, liat anu Mas. Kurang jelas apa lagi? Kamu nih, Dek, sok sokan gak paham," ujar Krisna geregetan.

Adiba melirik sekilas kerucut di celana yang dibentuk si Little, lalu kembali menatap Krisna dengan tampang datar. "Kalau lagi gak bisa, ya diredam dong, Mas," katanya seolah segampang itu meng-on-off-kan syahwatnya.

"Gimana bisa diredam, Dek kalau kamu gak pakai daleman begitu," ucap Krisna dengan tatapan menelusuri seluruh tubuh Adiba, apalagi jarak mereka sangat dekat. Area segitiga liang surganya serta dua gundukan berat berbiji icip-icip menggemaskan itu terlihat menggelap.

Ia biasa telanjang bersama Krisna dan ketika malam itu mereka tidak bisa ngapa-ngapain, Krisna jadi gelisah sendiri. "Kalau pakai baju, aku kepanasan, Mas. Gak bisa tidur jadinya. Apa aku tidur di kamar sebelah aja?"

Krisna mencebik. "Ya janganlah! Aku lagi sakit kok masa ditinggal sendirian."

"Daripada ntar membawa mudharat, Mas."

"Ah!" desah ketus Krisna. Ia berpikir sebentar, Adiba diam memandangi menunggu keputusannya. Krisna lalu bergumam, "Ya sudah, kelonin aja punya Mas pelan-pelan sampai kita tidur."

"Kelonin bagaimana?"

"Pegangin dan dibelai-belai sambil Adek tiduran sama Mas."

Adiba tidak menyahut, melainkan lekas berbaring di sisi Krisna lalu tangannya membelai-belai si Little. Krisna terpejam sambil mengembuskan napas panjang. "Aduh, Dek, enaknya ...."

Apakah dibelai saja cukup? Tentu tidak. Ia tidak bisa bergerak, tetapi ia masih lugas berbicara. "Cium Mas, Dek!" pinta Krisna, maka Adiba menyetorkan bibirnya ke mulut Krisna.

Seolah mereka tidak ada kurang-kurangnya bercinta, dalam keadaan sakit itu pun tidak menghalangi Krisna terpenuhi haknya. Terengah-engah meminum sari kasih sayang istrinya, Krisna bergumam nanar seperti pandangannya. "Mas cinta kamu, Dek."

"Diba juga cinta Mas," jawab Adiba yang sama nanarnya. Ia merasakan batang Krisna padat memuncak siap meledak dalam kocokan tangannya. Biasanya si Little itu menjejal liangnya, kali ini di tangan saja, liang itu seolah meronta-ronta ingin dimasuki.

Krisna pun butuh cengkeraman menyeluruh yang hangat, lembut, dan mengisap-isap. Ia mendesah serak pada Adiba. "Masukin aja, Dek, biar keluar di dalam. Huffhh, Mas sudah gak tahan lagi nih, ntar lagi sampai."

"Mas yakin? Diba juga pengen, Mas, tapi kalau Mas kesakitan gimana?"

"Ya udah, masukin aja. Gak bakalan kenapa-napa. Mas yakin," bujukan mendesak Krisna.

Adiba pun sigap bangun lalu mengangkangi tubuh Krisna tanpa mengubah jarak di antara mereka. Perlahan-lahan ia memasukkan kepala si Little Krisna ke dalam rahimnya dan ketika sudah masuk seutuhnya, makhluk itu menyemburkan bibit-bibit cintanya membuat Adiba terpekik halus yang terdengar sangat menikmati.

"Mas ...!"

Sementara Krisna mendesah lepas dan nyaring dengan bola mata berputar mengikuti bintang-bintang yang dilihatnya. "Aah, leganya ...."

Asalkan batang itu memenuhinya walau hanya beberapa detik, Adiba merasa lega luar biasa. Ia pun kembali berbaring di sisi suaminya dengan cairan pelepasan meleleh di sela bibir penyatuan mereka. Krisna mencium dalam bibir Adiba lalu melepaskannya sembari mendesah, "Makasih, Dek. Mas bisa tidur tenang sekarang."

"Sama-sama, Mas. Diba juga," balas Adiba.

Krisna langsung tertidur lelap hingga mendengkur halus. Adiba pegang tangan Krisna dan menautkan jemarinya. Adiba lalu menyusulnya terlelap mimpi indah bersama. Adiba bisa membayangkan ia dan Krisna berjalan bergandengan tangan bersama putri kecil di antara mereka. Ada harapan kemungkinan besar itulah wujud masa depan yang tak pernah diduga bisa dimilikinya.

Namun, akankah terwujud semudah dan seindah itu? Apa saja aral halang rintang yang akan dialami Adiba dan Krisna? Stay tune episode berikutnya...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience