Setelah kejadian itu, Diaz lebih memperhatikan istrinya. Ia ajari Adiba belanja online dan mengisi saldo e-wallet-nya dengan jumlah uang yang banyak. Ia juga membuat pertemuan mereka bergaya kencan candle light dinner atau duduk di balkon menikmati kue dan minuman kekinian disirami cahaya matahari dan dimanjakan sepoi-sepoi angin.
Adiba mendapatkan alat sulam dan sebagainya melalui belanja online. Paket akan diantarkan ke apartemen tanpa ia perlu keluar rumah. Itu kehidupan yang menyesakkan sebenarnya. Impiannya sewaktu dalam penjara adalah melihat dunia luar seluas-luasnya. Jalan-jalan ke mall, taman rekreasi, atau mengikuti pameran UMKM. Namun, ia harus bersabar dengan kehidupan yang sekarang. Penghiburan terbesarnya adalah cinta Diaz yang begitu dalam padanya dan ia juga mencintai pria itu.
"Sibuk apa, Dek?" tanya Diaz seraya mendekap belakang istrinya yang sedang duduk di sofa tamu, menyelisik sehelai kain dengan jarum dan benang.
"Ini, Mas, cuman bikin sulaman nama Mas dan nama Diba di saputangan."
Diaz melihat tulisan 'Adiba Diaz' bergaya handwriting di sudut kain linen. "Bagus, Dek. Buat Mas, ya?"
"Nggak. Cuman buat iseng saja."
"Ah, astaga, Mas kena PHP lagi!" Diaz kecup geregetan pipi istrinya.
Adiba mengernyitkan pundak. "Ah, Mas ... geli!"
Diaz melingkari erat pinggang Adiba. "Geli apa? Gelisah? Gelinjang? Geli-geli basah dan geli-geli telanjang?"
"Ih, Mas me.sum ah!" Adiba mengulum senyum dan pipinya merah merona.
Diaz bersuara parau di tepi telinga Adiba. "Kita ke kamar yuk, Dek! Biar Mas tambah me.sum," pintanya.
Adiba agak sungkan, tetapi rela ditarik ke kamar tidur. Ia meninggalkan sulamannya di sofa. Di kamar, Diaz menghilangkan jarak di antara mereka. Ia pepet Adiba hingga rebahan di ranjang. Diaz melepas kemeja dan celana bahannya dengan tangkas lalu menerjang Adiba yang terlihat gugup tetapi menanti. Bibir Diaz memagut bibir terkasihnya hingga Adiba pasrah. Seluruh pakaiannya dilucuti dan jatuh di pinggir ranjang. Diaz mengungkung Adiba sambil bergerak resah memasukkan batang pengaduk rahim istrinya. Sebelah tangannya menggiling-giling kedua buah kenyal Adiba disertai miliknya memenuhi rongga surga terindah gadis itu.
Diaz capek bicara sana sini sehingga ketika mencumbu Adiba, ia hanya ingin mendesah dan bernapas di atas tubuh istrinya. Adiba tidak pernah protes akan apa pun yang mereka berdua lakukan. Hanya ekspresi wajahnya yang menunjukkan nikmat dan rela. Diaz sangat memuja wajah itu. "Adiba, sayang Mas ...." Diaz menunduk mengecup bibir Adiba, lalu menelusuri semakin jauh ke bawah lehernya.
Saat nanar dan terombang ambing gai.rah, Adiba berucap lirih. "Mas ... Diba nggak haid ... sudah seminggu."
"Hm?" sahut Diaz yang sedang asyik mencucupi kedua buah kesayangannya.
"Kata Bik Esah ... mungkin ... Diba hamil, Mas."
"Wah, Mas mesti pelan-pelan dong mainnya kali ini," kekeh Diaz. Ia merasakan hangat menjalar dalam aliran darahnya setelah mengetahui penyerbukan benihnya membuahkan hasil. Agak lama Diaz keasyikan memainkan puncak-puncak mungil Adiba dengan lidahnya, barulah Diaz menatap lekat gadis itu dengan sepasang mata sayu mesra. Diaz tersenyum tipis. "Ntar kita tes. Adek siap 'kan kalau hamil anak Mas?"
Adiba mengangguk, lalu kembali hanyut dibawa deburan keperkasaan pria itu.
Hari itu juga mereka melakukan tes kehamilan dengan test pack yang dibeli melalui kurir online. Adiba yang telanjang, berjalan melintasi kamar membawa test card setelah dari toilet. Ia memperlihatkan test card itu pada Diaz. Ada garis dua membentuk +. Hasilnya ternyata memang positif.
"Kamu beneran hamil, Dek! Alhamdulillah, senangnya Mas." Diaz memeluk erat Adiba, menciuminya sambil digendong berputar-putar. "Ntar kita ke dokter, ya? Mas usahakan waktunya secepat mungkin."
"Iya, Mas."
Diaz lalu menurunkan Adiba dan duduk di pinggir ranjang menatap takjub test pack tersebut. Adiba pamit ke kamar mandi. "Mas, Diba mandi dulu ya?"
"Iya, Dek."
Diaz tertinggal sendirian di kamar itu. Masih memandangi hasil tes urin istrinya, senyum dan wajah berseri-seri Diaz berangsur-angsur berubah menjadi tegang dan pelipisnya berkedut-kedut. Ia sadar pernikahan rahasianya akan terus berkembang dan tidak bisa disembuyikan lagi, sedangkan kemungkinan Adiba diterima keluarganya semakin kecil. Ia akan dijodohkan dengan putri rekan bisnis ayahnya, Paramitha Adimulya. Kenalan lama. Diaz kenal seluruh anggota keluarga Adimulya. Ia menganggap Krisna dan Mitha seperti saudara. Ia tidak menyangka Paramitha masih ingin bertunangan dengannya, padahal ia sudah pernah menolak. Sekarang, Adiba hamil dan itu akan menjadi prioritasnya.
Diaz meletakkan test card itu di nakas lalu wajahnya kembali ceria melihat Adiba yang keluar dari kamar mandi setelah mandi wajib. Rambut keritingnya jadi lemas seperti mie keriting. Adiba berdiri menghadap cermin, mengosok rambutnya dengan handuk.
Diaz mendekati lalu mendekap dan memainkan untaian rambut di tepi telinga Adiba. "Tau gak, Diba? Mas pengen Diaz-Diaz kecil atau Adiba-Adiba kecil punya Mas kelak, rambutnya kayak kamu."
Adiba tercengang. Ia melirik suaminya lalu tertawa jengah. "Masa sih, Mas? Susah lo ngurus rambut kayak gini. Belum lagi ntar diledeki dan dikerjain orang-orang." Sekelebat mata Adiba nanar teringat teman selnya pernah mengguyur kepalanya dengan makanan sisa. Membersihkannya susah minta ampun. Adiba buru-buru mengenyahkan ingatan itu. Ia kembali tersenyum.
Diaz menatap bayangan mereka berdua di cermin. "He-eh. Mas suka rambut Adek. Anti-mainstream."
"Apa maksudnya, Mas?"
"Melawan arus."
"Bukannya berat diongkos? Kata mereka yang nyalon tuh, ngelurusin rambut kayak gini paling susah dan perlu banyak obat. Jadi, jatuhnya mahal."
"Ck. Mas gak suka kalau rambut kamu diubah-ubah. Ingat ya, jangan pernah lurusin rambut kamu! Ntar kalau rusak malah makin mahal ongkos perawatannya."
"Yah, padahal Diba pengen, Mas."
"Nggak!" tegas Diaz. "Lagian kamu lagi hamil. Obat-obat salon berbahaya buat ibu hamil. Jangan dimacam-macamin rambut kamu. Cuci dan dirawat seadanya saja."
"Iya, Mas, iya ...," kekeh Adiba. Ia lalu memutar badan menghadap Diaz. Mengusap-usap bidang dadanya sembari berujar manja. "Mas, Diba jadi ingat Ibu. Boleh nggak ntar Diba ziarah ke makam ibu Diba? Diba nggak tau tempatnya sih. Diba minta tolong Mas cari tau. Kalau sudah pasti, baru anterin Diba ke sana."
Diaz terenyuh. Ia mengangguk lalu mengecup kening Adiba. "Mas usahakan, sayang. Sabar ya."
"Iya, Mas."
Diaz lalu melepaskan pelukannya. Ia meraih handuk dan menuju kamar mandi. "Giliran Mas mandi. Mas nggak nginap malam ini. Ada acara keluarga."
"Iya, Mas."
Adiba lanjut berpakaian, berdandan sedikit, lalu merapikan ranjang, juga merapikan setelan bekas yang akan dikenakan lagi oleh suaminya. Adiba sering mendengar Diaz menyebut acara keluarga, tetapi pria itu tidak pernah menceritakan siapa dan apa latar belakang keluarganya. Adiba menyimpulkan sendiri bahwa orang tua Diaz adalah orang berpengaruh di pemerintahan.
Saat Diaz berpakaian, Adiba membantunya merapikan kerah dan memasang dasi. Diaz menatap bayangannya di cermin dengan pikiran menerawang.
"Mas ganteng," ucap Adiba membuat Diaz tergegau.
"Hah? Apa? Kok tiba-tiba."
Adiba tertawa kecil sambil beranjak menjauhi Diaz. Pria itu malah mengekornya sampai keluar kamar. "Eh, Dek, kenapa kamu kok tiba-tiba merayu Mas? Tumben amat."
"Diba nggak merayu. Itu 'kan kenyataan," jawab Adiba. Ia memungut sulamannya lalu membentangkan saputangan itu untuk mengagumi hasil karyanya. "Ah, lumayan ... eh?"
Saputangan itu ditarik Diaz lalu disusupkannya ke saku kemeja dan dilapisinya dengan jas. "Ini buat Mas saja. Mas ambil sebagai hadiah dari kamu."
"Tapi itu belum selesai, Mas. Masih ada yang mau Diba tambahin," rengek Adiba.
"Ditambahin apa lagi? Sudah bagus kok itu tadi."
"Kurang bentuk love sama talinya, Mas."
"Ah, biarlah nggak usah. Sudah masuk kantong Mas, malas Mas keluarin lagi," ledek Diaz. Adiba memanyunkan bibir, Diaznya malah tersenyum. Ia cubit pipi Adiba sembari menggodanya. "Bikin baru aja lagi, istriku... biar kamu ada keisengan."
Diaz berhenti mencubit. Ia ke depan cermin di ruang tengah, merapikan kancing lengan jasnya. Di belakangnya, Adiba mencibir sambil melengos, "Baik, Pak Diaz ...."
"Kamu yaa ...," lirik Diaz. Seandainya tidak buru-buru, Diaz ingin sekali membalas ledekan Adiba. Selesai merapikan bajunya, Diaz kejar istrinya itu lalu mengecup pipinya sekaligus berpamitan. "Mas pergi dulu, sayang. Ntar Mas telepon."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya."
Diaz meninggalkan apartemen dengan perasaan berbunga-bunga, begitu juga Adiba yang ditinggalkan.
***
Malam itu, Adiba tertidur di sofa, menunggu telepon suaminya. Meskipun hal itu sudah biasa dialaminya, Adiba terkejut ketika dini hari bukan telepon yang membangunkannya, melainkan Diaz langsung yang datang dan mengangkatnya dari sofa. Pria itu menggendongnya ke kamar tidur.
"M-Mas?" Adiba tergegau. "Kok Mas ada di sini, bukannya ...."
"Sst. Sudah tidur aja lagi," bisik Diaz. "Lagian kamu kenapa tidur di luar sih? Ntar masuk angin bagaimana? Kamu 'kan sedang hamil, Diba. Jaga kesehatan kamu dong, sayang ...."
Diaz menurunkan Adiba di ranjang. Adiba beringsut menyelimuti diri. Ia pandangi Diaz yang bergegas melepas pakaiannya, menyisakan bokser, lalu turut bergabung di balik selimut.
"Mas nginap di sini?" tanya Diba.
"Iya, juga hari-hari selanjutnya."
Adiba tersentak oleh rasa gembira sekaligus waswas. "Maksud Mas?"
Diaz menatapnya dengan mata mengantuk dan tersenyum tipis. Ia rangkul Adiba agar berbaring tenang ke pundaknya seraya memberitahu, "Mas sudah bilang sama orang rumah kalau Mas mau mandiri dan pisah rumah. Jadi, Mas bakalan tinggal di sini, Diba. Kamu mau 'kan menerima Mas?"
Adiba hendak bangun lagi karena saking senangnya. "Beneran, Mas? Serius? Ya jelaslah Diba mau menerima Mas. Ini 'kan rumah Mas. Mas ini ngomong apa sih?"
Diaz rangkul lagi Adiba, semakin mesra ke dekapannya. Ia kecup kening Adiba. "Kali aja, Dek, kamu lebih senang tanpa Mas."
"Mas ih ngomongnya kok begitu?" cebik Adiba sambil mencubit pinggang Diaz. Kemudian ia bersungut manja. "Gak ada istri yang senang tinggal terpisah dengan suaminya. Diba lebih senang ada Mas kok. Kalau Mas nggak ada, Diba sering kepikiran. Diba takut kelompok Tuan Mahmud tahu Mas yang bantu bebasin Diba."
"Soal itu, Mas yakin nggak. Kalau pun ketemu kelompok Mahmud ntar, kami ketemunya di pengadilan," sahut Diaz menenangkan Adiba. Ia usap-usap rambut Adiba lalu mengecup lama keningnya. "Tidur, Dek," ucapnya.
"Iya, Mas." Adiba memejamkan matanya lalu tak lama berselang keduanya tertidur pulas.
Hari-hari mereka tinggal satu atap pun dimulai dan jadinya, sangatlah mesra dan selalu berbunga-bunga lebih dari sebelumnya. Diaz berangkat kerja dilepas oleh sang istri, pulangnya disambut dengan riang gembira. Tiada hari tanpa bercinta dan bermesraan. Bahkan, Diaz mulai membawa Adiba keluar rumah seperti berbelanja ke minimarket terdekat, juga mengunjungi dokter kandungan. Diperkirakan kehamilan Adiba baru tiga minggu dan tidak ada masalah, tetapi Diaz dinasihati agar tetap main pelan-pelan pada istrinya.
Suatu malam, setelah makan malam, Diaz dan Adiba sedang bersantai di depan TV. Mereka berpelukan dan berciuman intim sebagai pemanasan. Bik Esah sudah masuk kamar sehingga tidak mengganggu kemesraan mereka.
Suara bel pintu berbunyi membuat Diaz menghentikan cumbuannya. "Siapa sih malam-malam begini?" gerutu Diaz. Ia melirik jam tangannya menunjukkan pukul 10 malam. Tidak terlalu malam memang, tetapi ia tidak mengharapkan tamu datang ke apartemennya.
"Dilihat saja dulu, Mas. Mungkin teman Mas yang tinggal di lantai atas," saran Adiba.
"Bisa jadi," gumam Diaz. Ia pun beranjak ke pintu depan dan memeriksa layar kamera keamanan. Ternyata tidak ada gambar yang tampil karena kamera mati. Dari pengeras suara bel, terdengar petugas kemanan memberikan salam. "Permisi, Pak Diaz. Kamera di unit Bapak ada yang rusak. Jadi kami mau melakukan pengecekan."
Diaz hendak mengomeli petugas itu, jadi ia buka pintu, akan tetapi yang ditemuinya di depan pintu rumahnya ternyata bukan hanya satpam seorang. Melainkan ada 5 pria sebayanya bertubuh kekar, serta satu pria paruh baya yang berwajah tampan berwibawa, tetapi memasang raut muka sangar. Mata Diaz menyipit dan ia menghela napas seraya mengangkat dagu lalu menyapa pria itu. "Ayah? Dalam rangka apa kemari?"
Bersambung...
Share this novel