BAB 25. Salahkan Aku

Romance Completed 9248

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan kehamilannya, akan tetapi keinginan Mitha anaknya kelak tumbuh sempurna, membuatnya ingin segala hal yang terbaik selama proses kehamilannya tersebut. Ia punya uang dan akses fasilitas kesehatan yang mudah, ia memeriksakan kandungan pada 4 dokter kandungan berbeda. Ia ingin memastikan setiap momen pertumbuhan janin terekam, ia sering USG dengan berbagai metode. Ia juga meminum segala jenis multivitamin yang bisa dibelinya. Ditambah Diaz tidak memperhatikannya, Mitha semakin menjadi-jadi mengekspose keseharian kehamilannya dengan berbagai aktivitas ke sosial media.

Hal itu membuat Paula jadi tahu apa saja yang Mitha lakukan, sehingga menghubungi Mitha untuk mengemukakan sarannya. "Mba, gak usah terlalu sering USG dan kebanyakan minum multivitamin, takutnya malah pengaruh buruk pada janin."

Bukannya berterima kasih, Mitha malah merasa digurui sehingga menanggapi ketus saran Paula. "Kamu mengharapkan bayiku kenapa-kenapa, ya? Tahu apa kamu soal kehamilan? Memangnya kamu pernah hamil? Aku 'kan konsumsi obat yang diresepkan dokter, bukan obat sembarangan. Mana mungkin obat multivitamin doang bisa berbahaya?"

"Bukan begitu, Mba. Cuman, apa pun kalau berlebihan itu tidak baik."

"Kamu 'kan gak merasakan apa yang aku rasakan. Buktinya aku baik-baik saja, gak ada muntah-muntah atau lemah letih kayak ibu hamil kebanyakan. Bayiku juga tumbuh sehat dan tidak ada kelainan. Kalau bukan karena dibantu vitamin-vitamin itu, lalu apa coba?"

Paula menghela napas dalam-dalam saat menelepon itu. Akhirnya ia berujar pasrah. "Baiklah, terserah Mba. Aku cuman ngasih saran, gak ada maksud apa-apa. Maaf kalau bikin Mba tersinggung."

"Ya, nggak apa-apa."

Paula mengucap salam, lalu mengakhiri teleponnya.

Mitha menaruh ponsel lalu mengusap-usap perutnya yang masih datar seraya mengujari janinnya. "Percayalah pada Mama, anakku. Mama akan selalu memberikan yang terbaik buat kamu."

Sementara Adiba sedang menjalani masa kehamilannya yang memasuki usia 5 bulan. Krisna membawanya dua kali ke rumah sakit di kota untuk USG sekalian membeli multivitamin untuk ibu hamil sekaligus persediaan selama beberapa bulan ke depan. Ia sedikit kelelahan karena kandungan mulai besar sedangkan ia malas makan. Adiba tidak suka sayur-sayuran dan susu, sehingga Krisna kerap harus membujuknya dengan memasak hidangan bervariasi. Adiba tidak sampai hati menolaknya, jadi mau tidak mau akhirnya ia makan. Jika Krisna tidak ada, barulah ia bisa makan atau tidak makan sesukanya. Hal itu membuat Krisna tidak akan lama-lama meninggalkan Adiba jika ia harus keluar kota. Selain itu, jika orang-orang mengoleksi foto-foto maternity shoot. Krisna dan Adiba justru banyak mengoleksi foto dan rekaman video Adiba mengenakan lingerie serta berhubungan badan dari awal kehamilan sampai perutnya membuncit. Mungkin karena mereka kerap terisolasi berduaan saja di tempat terpencil itu, sehingga kegiatan shooting seperti itu menjadi hal untuk mengisi waktu.

Klinik tutup dan sore harinya pasutri itu bersantai. Krisna tidak mengenakan atasan sehingga punggungnya terbuka, duduk mengasuh Adiba menghadapnya dan tentu saja si Little Krisna-nya masuk sarang surga tanpa perlu Adiba melepaskan pakaian gamisnya. Wajah Krisna bersemu hangat, begitupun Adiba yang meliuk gelisah di pangkuannya. Bibir mereka sesekali saling mengecap dan jemari menyelisik di helaian rambut. Duduk bercinta seperti itu merupakan posisi Lotus yang mereka lakukan dengan santai karena sambil bercakap-cakap.

"Mas .... Mas sudah punya banyak foto-foto dan video Diba, kenapa masih direkam segala sih?" gumam Adiba memelas.

"Setelah Mas pikir-pikir, lebih baik punya koleksi lengkap selama hamil 9 bulan sampai melahirkan nanti. Jadi, pertumbuhan anak kita terekam dari awal sampai akhir," jawab Krisna.

Dalam batin Krisna padahal berkecamuk keresahan. Ia tidak bisa membawa Adiba ke kehidupan rumah tangga yang lebih baik, padahal ia mampu. Hanya dengan cara ini yang aku bisa untuk menunjukkan betapa aku sangat mencintaimu, Diba. Jika situasi lebih mendukung nanti, aku akan minta bantuan kakak iparku untuk meringkus ayahmu. Pria itu harus dihentikan karena kehadirannya hanya merusak hidupmu. Sialan! Bagaimana bisa ada manusia sekeji itu?

"Mas kurang kerjaan banget," rengut Adiba. Ia bersungut ke leher suaminya untuk menyembunyikan wajah sekaligus menciumi area itu hingga ada bekas-bekasnya.

Krisna terkekeh dan mendekap erat istrinya. "Kan Adek kesukaan Mas, wajar toh Mas ingin mengabadikan setiap momen bersama Adek."

Kenapa kau berpikir seperti itu, Mas? batin Adiba. Apakah kau menyadari bahwa hubungan kita tidak akan bertahan lama?

Baru sedetik hal itu terbesit di hatinya, suara gedoran pintu depan rumah mereka membuat Adiba terperanjat. Krisna juga mendengar suara itu sehingga badan mereka berdua sama-sama kaku padahal sedang dalam posisi paling enak.

Gedoran itu terus menerus terdengar mendesak kemudian suara lantang laki-laki bernada kasar mengucap salam. "Assalamu'alaikum! Assalamu'alaikum!"

Adiba mematung karena sangat ketakutan. Ia menoleh ke arah depan rumah. Krisna yang sedang didudukinya mendesah kesal. "Coba kamu liat dulu keluar, Dek. Mas mau jinakin ini dulu." Krisna mencabut si Little Krisna dari liang Adiba, membubarkan penyatuan mereka. Makhluk kecil itu memang harus dijinakkan dulu sebelum Krisna bisa mengenakan celananya secara wajar.

Adiba ragu untuk melakukan suruhan Krisna. Ia masih berdiam diri di kamar sementara suara orang di luar semakin keras. Ia takut peristiwa di apartemen Diaz terulang kembali, tetapi tidak tahu cara mengelak atau menjelaskannya pada Krisna.

"Assalamu'alaikum, Dokter Krisna! Pak Dokter apakah ada di dalam?" ujar orang itu.

"Haduuh!" keluh Krisna yang masih berkutat dengan kekeraskepalaan Little-nya.

Mungkin ini pasien darurat, pikir Adiba lalu dengan tekad nekat, ia beranjak keluar kamar sambil merapikan baju, mengenakan kerudung dan menggunakannya sebagai cadar. "Ya, tunggu sebentar!" sahut Adiba. Ia mengintip melalui jendela sebelum membuka pintu.

Selain ada 2 pria warga lokal, di halaman depan ada 10 orang muda-mudi pendaki gunung. Ada 1 orang pemuda dan 1 orang gadis dipapah teman mereka, mengerang kesakitan serta terluka. Sepertinya kelompok mahasiswa pecinta alam itu mengalami musibah. Adiba segera membuka pintu. "Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?

Dua pria warga lokal menunduk sungkan padanya. "Tadi ngetok di sebelah, tapi sepertinya gak kedengeran, Bu. Pak Dokternya ada? Itu ada anak Mapala yang kepeleset jatuh dan luka-luka."

"Ada. Tunggu sebentar ya saya buka kliniknya," ujar Adiba. Ia menutup pintu rumahnya, lalu pindah ke klinik dan membukakan pintu di situ. Dua mahasiswa yang cedera dibaringkan di bed tindakan. Yang laki-laki luka robek yang cukup panjang di kaki kiri sehingga mengalirkan darah walaupun sudah dibebat seadanya, sedangkan yang perempuan luka-luka lecet saja. Total ada 4 perempuan dan 6 laki-laki di rombongan itu. Yang para perempuan menangis sesenggukan prihatin pada rekan mereka, tetapi di antara mereka tidak pernah lepas membuat rekaman video atau foto.

"Bentar Pak Dokter-nya akan ke sini," ucap Adiba lalu permisi ke rumah.

Krisna sudah tenang sehingga bisa mengenakan celana dan kaos oblong cukup rapi tetapi mengabaikan rambutnya yang acak-acakan. Ia sempat melihat kondisi orang yang cedera dari jendela kamar sehingga tidak ingin menunda-nunda menangani mereka. "Teleponin Fahmi, Dek, suruh ke sini," ujar Krisna seraya memasang jas praktiknya.

"Iya, Mas," sahut Adiba lalu segera ke halaman rumah mencari spot menelepon.

Krisna ke klinik dan memasang sarung tangan serta memulai memeriksa pasiennya sambil bertanya mengenai kejadian yang mereka alami. Bagi para gadis yang sedang syok, melihat ada pria setampan Krisna di tempat sesederhana itu, membuat mereka terhibur dan kembali bersemangat. Mereka bercerita saling menimpali.

"Kami mau turun ke air terjun, Dok. Batu-batunya 'kan licin bekas hujan. Tau-tau Rudi kepeleset dan Fitri yang kena tarik ikut jatuh juga."

"Oh iya. Saya tanganin Mas Rudi dulu ya. Ini lukanya lumayan lebar jadi harus dijahit biar pendarahan berhenti," ujar Krisna.

"Iya, Dok!"

Krisna lalu menyiapkan peralatan jahit serta cairan pembersihan luka. Sementara ia berbalik, para mahasiswi bergunjing. "Katanya tadi namanya Dokter Krisna ya? Aduuuh, cakep banget sih orangnya, kayak model. Dokter pula. Gak rugi deh pendakian kali ini. Tau ada dokter seganteng ini mah, setiap kali mendaki aku bakalan mampir ke klinik. Biar aja apa pun alasannya."

Mereka gigit bibir tatkala melihat merah bekas ciuman di leher Krisna. Jelas sekali bekas itu masih baru.

"Duuh, lagi ngapain tuh si dokter tadi? Pantesan dipanggil-panggil gak menyahut."

"Eh, perempuan bercadar tadi istrinya ya kayaknya?"

"Masa sih? Hah? Kenapa pria yang baik-baik sudah pada diambil semua sih?"

"Iiih! Lu harusnya gak usah nyebut-nyebut gitu deh ah! Kan jadi illfeel nih gue!"

Krisna mengenakan masker lalu membawa peralatannya ke dekat bed dan mulai merawat luka kaki si Rudi. Ia berkonsentrasi sehingga tidak menggubris pembicaraan orang-orang. Adiba menyamperinya untuk memberitahu. "Mas, Fahmi-nya OTW."

"Oke. Makasih, Dek!" sahut Krisna. "Bikinin minum buat mereka ini, Dek."

"Iya, Mas." Lalu Adiba menghilang ke sebelah.

"Kayaknya memang bener deh itu istrinya," bisik para mahasiswi. Mereka mengamati sosok terduga istri dokter ganteng itu saat Adiba kembali lagi membawakan mereka teh panas. Wajah Adiba ditutupi sehingga mereka tidak bisa mengatakan bagaimana rupanya.

"Widih, kalau punya suami segagah Pak Dokter Krisna, aku suka rela tinggal di desa terpencil seperti ini," bisik gadis-gadis itu.

Adiba tahu orang-orang kota itu bakal tertarik pada suaminya. Jika situasi berbeda, mungkin Krisna akan akan berteman dengan mereka atau malahan berjodoh dengan salah satunya. Kadang Adiba pikir Krisna lebih cocok berpasangan gadis kota dan berpendidikan tinggi. Mungkin suatu saat itu akan terjadi. Adiba menabahkan hatinya dengan berusaha bertingkah sewajar mungkin. Ia menyempatkan melihat pekerjaan suaminya saat menjahit luka mahasiswa itu. Krisna juga sangat piawai menautkan benang dan jarumnya untuk menyatukan lapisan kulit. Ia mengerjakan dengan telaten agar lukanya tertutup rapat dan tidak infeksi. Kemudian Fahmi datang sehingga Adiba bisa tenang berdiam diri di rumah karena sudah ada yang membantu Krisna.

Sebagaimana Adiba sangat perhatian pada jahitannya, Krisna juga mengerjakan menjahit luka penuh perhatian agar jaringan yang terbentuk tidak meninggalkan bekas yang je.lek. Ia tidak ingin kalah dari Adiba. Tiba giliran merawat luka si mahasiswi, gadis itu kesengsem berada berdekatan Krisna dan dipegang-pegang olehnya.

Fahmi yang mengukur tensi jadi berkomentar, "Tekanan darah Mba kok naik? Mba pusing atau apa?"

"Eh? Hmm, iya, saya sedikit pusing...," jawab gadis itu lirih.

"Fahmi, pasangin infus buat Mba ini ya?" ujar Krisna. Kemudian ia menjauh karena sudah selesai mengobati luka-luka gadis itu.

"Iya, Dok. Siap!"

Karena hari sudah senja dan kondisi kedua orang yang cedera perlu dipantau lebih lanjut, para pendaki itu diinapkan di klinik, sementara warga yang mengantar tadi pulang. Suasana malam-malam jadi riuh canda tawa. Mereka memasang tenda di halaman serta membuat api unggun lalu duduk-duduk main gitar dan menyanyi-nyanyi.

Krisna kembali ke rumahnya dan mendapati Adiba menonton muda-mudi itu melalui jendela. Matanya tidak lepas memperhatikan pasangan yang terlihat mesra berdempetan. Adiba teringat kegiatan berkemah seperti itu pernah dilakukannya saat Persami di sekolah SD dan SMP. Bagaimana kabar teman-teman sekolahnya dulu? Mungkin mereka sudah banyak yang menikah dan bekerja. Jika ia lanjut ke SMA lalu kuliah, tentu ia tidak akan jauh beda dengan para mahasiswa itu. Menikmati keseruan berteman dengan teman sepantaran dan mungkin berpacaran.

Krisna melepas atasannya lalu mendempetkan dadanya ke punggung Adiba. Krisna melongok di sisinya sembari melingkarkan tangan dari belakang Adiba dan mengelus-elus perut buncit istrinya itu. "Kenapa, Dek? Merasa terganggu karena malam ini ribut, tidak seperti biasa?" tanya Krisna lalu lebih memilih menyusupkan kepala di sela rambut Adiba daripada mengintip keluar.

"Uhm ... Mas gak kepengen nongkrong-nongkrong setelah melihat mereka?"

"Nggak lah. Mas udah sering dulu kumpul-kumpul kayak gitu semenjak sekolah dan kuliah."

"Oh. Seru ya, Mas," gumamnya.

"Iya, seru," ujar Krisna lalu menarik Adiba menjauhi jendela dan membawanya ke kamar.

"Mas...."

"Kita lanjut yang tadi yuk, Dek?" Krisna berbisik di telinga Adiba.

"Ehm. Bagaimana kalau mereka butuh Mas lagi?"

"Kan ada Fahmi. Dia bisa urus kok." Krisna tidak menghiraukan kilah Adiba. Ia terus menciuminya. Adiba pasrah. Mereka bercumbana semakin intim di kasur. Krisna berucap lirih di telinga Adiba. "Kita ML tapi Adek jangan bersuara ya. Bakalan kedengaran keluar soalnya."

"Iya, Mas," desah Adiba lalu mereka mulai main pepet-pepetan hingga pakaian tertanggalkan helai demi helai. Sementara di luar orang-orang menyanyikan lagu Kemesraan, bagi Krisna dan Adiba, nyanyian kemesraan mereka terbekap dengan saling mencium penuh nafsu.

Selesai meluapkan benih cintanya, Krisna masih betah menciumi istrinya bahkan sampai ke perutnya. Adiba belai rambut pria itu dan bertanya padanya. "Mas, anak yang aku kandung ini anak perempuan. Mas gak kecewa?"

Krisna tertawa kecil. "Kenapa kamu tanya begitu, Diba? Mas sayang sama kamu dan anak ini anak kita, mau laki-laki atau perempuan, gak ada bedanya bagi Mas. Mas akan tetap menyayanginya. Lagi pula, secara saintifik, jenis kelamin anak itu ditentukan oleh sper.ma si bapak, bukan dari sel telur ibu. Jadi, ibaratnya hasil anak laki-laki atau perempuan, itu tanggung jawab Mas, bukan Adek. Adek cukup mengandung dan menyusuinya saja."

"Ooh."

Krisna lalu mendekat ke kedua buah dara Adiba yang membesar selama kehamilan. "Dan ini, Mas rangsangin ya biar produksi ASI-nya banyak," goda Krisna yang dibalas anggukan kecil Adiba. Istrinya itu gigit jari terlihat imut dan malu-malu, ia biarkan saja karena itu bakal mencegah suara Adiba keluar. Krisna tidak bisa meredam suara Adiba nantinya karena mulutnya sibuk mencucup kedua puncak buah si calon ibu.

Pria itu melahapnya dengan rakus. Rasanya, kedua buah itu berdesir nyeri-ngeri sedap. Adiba terpekik halus serupa mendesah. "Ah, Mas!" Namun, pria itu menyahut terkekeh terbenam oleh sumpalan kelenjar empuk dalam mulutnya. Wajah Krisna terlihat sangat damai dan bersemu manja. Adiba tidak tega mengusiknya sehingga ia pun pasrah merasakan emutan kuat mulut pria itu. Ia bertanya lembut. "Mas ... keluarkah air susunya, Mas?"

Krisna mengangguk, melepas puncak itu sebentar untuk bicara. "Iya, Dek," katanya sembari meremas buah Adiba lalu memperlihatkan muara saluran ASI itu meneteskan cairan putih. "Lihat, Dek. Ini sangat murni dan alami buat Mas dan buah cinta Mas," katanya lagi, lalu kembali mencucupi kedua muara itu dan menjilati lelehannya karena tak ingin setetes pun terbuang sia-sia.

Adiba terkesima pada perhatian tak terkira dari suaminya. Sangat lembut dan pengasih, bahkan pada hal-hal sepele yang tak pernah terpikirkan olehnya. Adiba dekap erat pria itu lalu ia kecup dahinya. Selanjutnya, ia lirih berucap sembari hanyut memejamkan mata. "Makasih, Mas. Sudah kasih aku kebahagiaan seperti ini."

Krisna tidak menyahut karena ia pun terlena dalam dekapan sang istri dan menyesap sari-sari nikmat tubuhnya.

***

Di antara kesibukan pekerjaannya, Diaz mencuri-curi kesempatan mencari tahu kabar Bik Esah, sebagai orang yang terakhir terlihat bersama Adiba. Ia harus menemukan Bik Esah. Diaz sangat berharap mendapatkan informasi keberadaan Adiba, meskipun secuil. Samsudin, sopir pribadinya, bisa membantu. Suatu hari, keberadaan Bik Esah ditemukan dan Diaz mengundang wanita itu ke ruang privat sebuah restoran. Samsudin yang mengantarkan Bik Esah ke ruangan tersebut.

Ketika Bik Esah masuk dan melihat lagi bekas majikannya duduk dan berpenampilan gagah rupawan, tangis Bik Esah langsung pecah dan bergegas sungkem pada Diaz. "Bapak Diaz ...," Bik Esah terisak.

Diaz berdiri sembari menarik Bik Esah agar tidak berlutut padanya. "Sudah, Bik Esah, berdirilah. Saya lebih muda dari Bibik, gak pantes Bibik yang sungkem sama saya."

Bik Esah berdiri sambil mengusap air matanya. Ia berujar sesenggukan. "Nggak papa, Pak. Bapak dulu baiknya gak terkira sama Bibik. Bisa ketemu Bapak lagi dalam keadaan sehat walafiat, Bibik merasa sangat lega."

Diaz menuntun Bik Esah agar duduk dahulu. Tadinya bertatap muka dengan Bik Esah, Diaz ingin memcecarnya dengan berbagai pertanyaan. Namun setelah bertemu ia tidak sanggup mengutarakan semua pertanyaan itu karena terlalu takut mendengar jawabannya. Bagaimana kalau terjadi hal-hal buruk pada Adiba? Bagaimana kalau Adiba membencinya dan tidak ingin bertemu dengannya lagi seumur hidup? Semua hal buruk terjadi karena salahnya dan ia tidak mungkin bisa memaafkan diri sendiri.

Bik Esah sedikit keheranan setelah beberapa waktu mereka hanya duduk berhadapan. Bik Esah memberanikan diri bertanya. "Bagaimana kabar Pak Diaz sekarang?"

"Baik, Bik. Saya yakin Bibik sudah mendengar kalau saya menikah dengan Paramitha Adimulya."

"Iya, tapi setelah Bibik tahu Bapak masih berusaha mencari Bibik dan Non Adiba, Bibik yakin Bapak masih cinta sama Non Adiba."

Tarikan napas Diaz bergetar mendengar kalimat itu diucapkan orang lain. Setelah semua orang mengingkari kehadiran Adiba dalam hidupnya, masih ada orang yang mengakui keberadaannya. "Saya selalu cinta dia, Bik. Tidak pernah berkurang sedetik pun," ucapnya.

Air mata Bik Esah kembali menetes haru. "Setelah malam itu, Non Diba sempat dirawat di rumah sakit. Ia juga stress berat sampai tidak mau bicara dan makan. Non Diba keluyuran kayak orang gila. Bibik bawa dia tinggal di rumah kerabat Bibik dekat rel kereta api sampai tiba-tiba saja Non Diba minta uang buat ongkos lalu pergi dan ngelarang Bibik ikut."

Hati Diaz pilu perih mendengarnya. "Pergi ke mana dia, Bik?"

Bik Esah menggeleng pelan. "Non Diba gak bilang, Pak. Cuman kayaknya dia pengen naik kereta api. Setelah itu, Bibik gak tau lagi kabarnya."

Diaz menarik napas dalam-dalam. Setidaknya Adiba baik-baik saja, meskipun masih kemungkinan. Diaz bisa memaksakan senyumnya. "Makasih, Bik Esah masih jagain Diba. Maaf sudah merepotkan Bibi sampai datang kemari." Diaz sodorkan sekotak paket makanan dan selembar amplop berisi uang ala kadarnya kepada Bik Esah. "Ini, terimalah, Bik, sebagai rasa terima kasih saya."

Bik Esah menerimanya sebagai bentuk penghormatan pada Diaz. "Makasih banyak, Pak. Bibik selalu mendoakan agar Non Diba sehat dan selamat di suatu tempat. Jika masih berjodoh dengan Bapak Diaz, semoga kembali didekatkan entah bagaimana caranya Gusti Allah mengaturnya."

"Amin, Bik. Makasih atas doanya," sahut Diaz.

Bik Esah lalu undur diri. Samsudin kembali masuk ke ruangan untuk menuntun Bik Esah keluar restoran dan mengantarnya ke stasiun.

Diaz seorang diri duduk di ruang makan privat itu. Ia termenung memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Namun, renungan Diaz buyar karena tiba-tiba ada orang menyeruak masuk ke ruangannya.

Prabu Nareswara dan para ajudannya menyeret Bik Esah dan Samsudin masuk ke dalam ruangan. Kedua orang itu tertunduk dan menangis ketakutan. Diaz sontak berdiri dan menggeram. "Ayah!"

Prabu berjalan santai melintasi ruangan lalu duduk berhadapan dengan putranya. Bik Esah dan Samsudin dibuat berlutut dekat kakinya.

Diaz berdiri terpaku menghunuskan tatapan tajam. Kedua tinjunya terkepal kuat hingga memerah. Rahangnya gemeretak menahan marah.

Prabu jambak cepol rambut Bik Esah sehingga wanita itu tersedu kesakitan. "A-ampun ... Pak Prabu.... Ampuun."

"Ayah, hentikan!" bentak Diaz. Namun, dua pria segera meringkusnya. Kepala Diaz ditekan tertempel di meja dan kedua tangannya ditahan. "Aaargh!" teriak Diaz murka sekaligus sakit karena lagi-lagi ia tidak berkutik.

Prabu melepaskan Bik Esah, tetapi ia melempar seringaian pada Diaz. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kau coba lakukan, Diaz? Bukan salahku jika aku harus menzolimi orang-orang ini dan Adiba-mu kelak. Ini semua karena salahmu. Kau yang mengundang bencana bagi mereka. Kau tahu, Nak? Karena istrimu menyayangi wajahmu aku tidak akan memukulimu, tetapi sebagai gantinya, aku akan memukuli kedua orang ini!"

Bik Esah dan Samsudin merengek-rengek kesakitan karena ditarik-tarik ajudan Prabu dan diempaskan ke lantai.

Diaz sangat geram dan ingin sekali meludahi ayahnya, akan tetapi ia tidak ingin memperburuk situasi. Menelan seluruh harga dirinya, ia memelas pada ayahnya. "Ayah, kumohon, hentikan semua ini. Aku tidak akan melakukannya lagi. Kumohon, Ayah ...." Kedua ajudan yang menahannya melonggarkan tekanan mereka sehingga Diaz bisa menegapkan tubuhnya. Ia bergegas berlutut di depan kaki Prabu lalu kembali memelas menangis-nangis. "Kumohon, Ayah. Hentikan. Aku tidak akan mencari Adiba lagi. Ini yang terakhir kalinya. Aku bersumpah!"

Prabu menyengir lebar. Meskipun ia tidak percaya sepenuhnya pada sumpah Diaz, setidaknya putranya tahu bahwa ia diawasi terus menerus. Itu akan menciutkan nyali Diaz dan semakin waktu berlalu, perasaan Diaz pada mantannya akan pudar dan ia akan memikirkan keluarga saja. "Lain kali ... tidak ada lagi lain kali! Huahahaha!"

Prabu bangkit dari kursi ia memberi isyarat pada ajudannya dengan lirikan mata saja, mereka langsung berkumpul di sisinya. Samsudin dan Bik Esah merasa lega mengira siksaan Prabu Nareswara berakhir. Namun, rupanya hal itu tidak berakhir begitu saja. Prabu meninggalkan ruangan itu diiringi anak buahnya dan salah satu dari mereka menarik Bik Esah ikut bersama mereka keluar dari restoran itu.

Diaz dan Samsudin terperangah kengerian.

"Tidak ... Pak Prabu ... Ampun, Pak ... Jangan sakiti saya ...," ujar Bik Esah dengan derai air mata. Namun, Prabu Nareswara tidak mempedulikan hal itu. Bik Esah tetap dijadikan sandera sehingga mereka pergi diikuti tawa Prabu serta tangisan Bik Esah. Kotak bingkisan dan amplop untuk wanita itu tergeletak di lantai.

Diaz merasa getir sekali hatinya. Ia sangat marah, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. Memelas sudah, melawan hanya akan memperburuk keadaan dan Bik Esah yang akan kena imbasnya. Dalam kemelut amarahnya, ia mendoakan semoga Bik Esah baik-baik saja dan ayahnya hanya menggertak. Semoga demikian adanya atau Diaz akan dibuat gelap mata akibat perbuatan ayahnya.

Diaz tertunduk dalam sembari mengusap kasar wajahnya lalu menggeram keras dan meninju lantai. Tulang-tulang jarinya rasa remuk dan berpadu dengan rasa sakit hatinya. Dalam hati berkibar dendam membara. Tunggu pembalasanku, Ayah. Jika saat itu tiba, jangan salahkan aku karena kau sendiri yang membuatku melakukannya.

*** Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience