Malam itu, bukan hanya Adiba yang hancur dihempaskan kenyataan. Diaz Nareswara juga mengalami kehancuran yang sama. Melihat Adiba melangkah pergi dienyahkan dari hidupnya, membuat Diaz mati rasa. Dia diam tak bergerak terlekap di lantai, tak berkedip menatap ceceran darah di ruang tengahnya. Pintu kamar mandi terbuka sedikit dan Diaz bisa melihat seorang pria di sana menyiram toilet berkali-kali karena tersumbat lalu menggunakan tongkat pembersih mengenyahkan sumbatan itu. Cairan kemerahan meluap di bibir toilet. Ia tahu penyebab toilet tersumbat itu. Gumpalan besar darah dagingnya yang disingkirkan ayahnya bagai kotoran. Perasaan Diaz lebih buruk daripada mati. Ayahnya sendiri berkelakuan lebih buruk dari binatang.
Bagian terburuknya, walaupun ia tahu pasal-pasal tindakan kriminal yang dilakukan ayahnya, ia tidak bisa melakukan apa pun. Istrinya disiksa dan diusir. Calon anaknya dibunuh dan dibuang seperti kotoran. Ia dipukuli seperti pencopet jalanan. Namun, tidak ada secuil hal pun bisa dilakukannya. Ia telah gagal sebagai suami, ayah, dan manusia. Hukum yang selalu dijunjung tinggi olehnya gagal melindunginya. Ayah yang menjadi panutan dalam hidupnya menjadi penjahat terkejam yang pernah ditemuinya.
Prabu Nareswara menatap mencemooh putranya yang setara dengan telapak kakinya. "Jika kau berpikir akan mencari perempuan itu dan mencoba melawanku lagi, kau bukan hanya akan mendengar kabar tentangnya, tetapi kau juga akan melihat jasadnya. Ayah akan buru dia dan memusnahkannya selamanya dari dunia ini. Camkan itu, Diaz. Seorang singa tidak membesarkan seekor kucing. Yang telah terjadi hanya kerikil kecil dalam hidupmu. Jadi, berhenti cengeng!"
Diaz bergeming tak menjawab, karena tahu itu sia-sia. Hanya dalam hati ia bisa memelas. Maafkan Mas, Diba .... Maafkan Mas ....
Diaz tidak bereaksi ketika anak buah ayahnya menelentangkannya. Dari suram menatap lantai yang merah, ia kesilauan oleh cahaya lampu kristal di atas sana. Sayup-sayup ia dengar suara gema tawa ayahnya. Ia lebih mendengar suara teriakan Adiba meskipun gadis itu sudah lama pergi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Adiba mengatasi penderitaannya. Diaz meratap dalam sesal tiada berguna.
Prabu merasa malu pada anak buahnya melihat putranya selembek itu. Ia berujar pada mereka. "Kita pergi dari sini. Biar putraku meresapi pelajaran yang didapatnya hari ini."
"Baik, Pak!" sahut kelima orang itu.
Kemudian rombongan itu berlalu dari hadapan Diaz bersama tawa terbahak-bahak Prabu Nareswara. Pintu berdebam lalu keadaan pun sunyi senyap. Barulah Diaz bersuara. Ia berteriak sekeras-kerasnya bersama derai air mata. "Aaaarrrggghhh!"
Tidak ada seorang pun datang untuk menolongnya. Namun, ia hanya minta satu hal. Seseorang menolong Adiba-nya.
***
Pagi menjelang menerangi penjuru kota Jakarta seperti harapan baru kehidupan yang lebih baik. Jika Adiba berharap kematian datang menjemputnya, maka kehidupan belum mau melepaskannya. Ia pingsan di pinggir jalan dan untungnya ditolong orang-orang baik yang mengais rezeki di kota Jakarta semenjak dini hari. Adiba dibawa ke Rumah Sakit Cinta Sejati dan sedang dirawat di ruang gawat darurat. Bik Esah yang setia mendampinginya disuruh duduk di bangku tunggu selama paramedis melakukan tindakan. Perempuan tua itu tidak henti-hentinya menangis tersedu-sedu.
"Pasien kehilangan banyak darah post abortus, Dok," kata perawat pada dokter perempuan yang memeriksa Adiba. Dokter itu membaca-baca hasil laboratorium pemeriksaan darah, lalu membuat nota. "Siapkan transfusi untuk golongan darah B negatif," katanya
"Baik, Dok!"
Perawat lalu ke meja untuk menelepon ke bagian bank darah. "Hah? B negatifnya kosong ya? Aduh, mana pasiennya drop banget lagi."
Di sambungan telepon menyahut. "Iya, nanti siang para pendonor baru bisa datang. Aku akan menelepon beberapa orang yang memiliki golongan darah B negatif supaya datang lebih awal."
Krisna yang baru selesai shift-nya di bagian anak lewat di situ dan tertarik melihat kegelisahan perawat itu. "Kenapa, Sus?" tanyanya.
"Eh, anu, Dok, ada pasien butuh transfusi segera, tetapi stok darahnya kosong."
"Memangnya apa golongan darahnya?"
"B negatif."
"Wah, kalau begitu pakai darah saya saja. Kebetulan saya pendonor darah B negatif. Baru kemarin medical check up. Darah saya aman-aman aja sih," ungkap Krisna.
"Serius, Dok? Tapi 'kan Dokter Krisna baru selesai dinas malam. Dokter nggak capek?"
"Nggak lah. Kalau dugem aja kuat, masa mendonor keok," ledek Krisna.
"Ah, Dokter bisa aja," gemes perawat itu. Bergegas ia berdiri untuk mengarahkan Krisna. "Mari, Dok, kita ke unit bank darah."
Jadilah pagi itu, Krisna menyalurkan darahnya untuk menyelamatkan pasien tadi. Namanya Adiba Farhana, tetapi saat itu Krisna tidak mengetahuinya. Ia juga tidak tahu bahwa di kemudian hari, ia menikahi perempuan itu.
Setelah mendapat transfusi 3 kantong darah, Adiba mulai sadar dan mendapati diri berada di kamar rumah sakit yang nyaman, ia terhenyak. Penglihatannya nanar. Ia bergerak gelisah, tetapi sangat lemah. Tidak mungkin aku masih hidup, rutuk batinnya. Aku sudah sehancur ini, kenapa aku masih diberi hidup?
"Non? Non sudah sadar? Non?" suara Bik Esah sambil mengguncang-guncang lengan Adiba.
Adiba meringis. Kenapa suara itu sangat mengganggu?
"Alhamdulillah Non Diba sudah sadar. Hu hu huhu, Bibik sangat takut, Non ...."
Adiba melihat sekelebat bayangan para pria mendekatinya. Ia panik dan merasa sedang berteriak-teriak. Tidak! Tidak! Jangan lagi! Jangan dekati aku! Menjauh dariku! Ia berusaha berlari menjauhi mereka. Padahal kenyataannya ia bergerak tak karuan di ranjang, menarik infusnya dan memukul tiang infus. Benda-benda metal berbenturan menimbulkan kegaduhan.
Bik Esah mendekap Adiba sambil menangis keras. Jika tidak dipegangi, ia takut Adiba akan jatuh dari ranjang. "Non, sadar, Non. Kita ini di rumah sakit. Sudah nggak apa-apa lagi, Non. Jadi, Non jangan takut lagi ... Bibik jamin ... Non nggak bakalan kenapa-kenapa lagi .... Huk hu hu hu ...."
Suara Bik Esah terdengar seperti tangisan ibunya ketika berusaha menyelamatkannya dari sang ayah. Adiba kembali lemas, tetapi sedikit lega hingga air matanya berlinang. Rasa sesak di dadanya berkurang dan ia bisa menarik napas dalam-dalam. Sorot mata Adiba hampa. Perlahan badannya bergerak meringkuk lalu mulai gigit jari.
Bik Esah terisak iba melihatnya. Ia selimuti Adiba, menutupi tubuh ringkihnya yang mengenakan gaun pasien. Perawat datang memeriksa Adiba dan membenahi infusnya. Bik Esah yang menjawab semua pertanyaan dari perawat.
"Suaminya sudah dihubungi, Bu?"
"Eh, nggak bisa, Sus. Soalnya, anu ... Non Diba ... istri muda," jawab Bik Esah berbohong, karena terlalu banyak pertanyaan yang akan mengungkap siapa suami Adiba. Bik Esah cukup sadar apa dampaknya nanti bagi ia dan Adiba.
"Ooo," sahut perawat itu pergi tanpa bertanya-tanya lagi setelah menyelesaikan tugasnya. Seolah sudah lumrah lah yaa jika istri muda kena musibah.
Adiba dirawat inap dua hari dan selama itu ia tidak bisa diajak bicara. Ia tidak menjawab jika ditanya dan sibuk menggigit jari. Makan minum pun harus disuapi kalau tidak, dia tidak akan mengonsumsi apa pun.
Uang dari hasil pengusiran banyak terpakai untuk biaya rumah sakit. Adiba keluar dari rumah sakit atas permintaan sendiri. Adiba mau bicara sedikit-sedikit meskipun tatapan ke arah lain jika berhadapan lawan bicaranya. Adiba dibekali obat untuk diminumnya beberapa hari ke depan.
Bik Esah telaten mengurusnya. Ia pakaikan Adiba gamis dan cadar. Ia tuntun Adiba berjalan. Mereka turun naik angkot beberapa kali, lalu berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Di kawasan itu, Bik Esah mendatangi kerabatnya untuk menumpang menginap sampai tahu apa yang harus mereka lakukan berikutnya.
Adiba sama sekali tidak menggubris sekitarnya. Dia berkelakuan seperti orang sakit jiwa. Berdiam dalam satu tempat dan posisi dalam waktu yang lama. Kadang ia berjalan tanpa tujuan lalu memungut makanan yang dibuang orang dan memakannya. Kadang ia mengais-ngais sampah seperti mencari-cari sesuatu miliknya yang dibuang paksa. Bik Esah akan menuntunnya pulang ke gubuk kecil tempat mereka menumpang.
Hampir sebulan di situ, selain tangisan Bik Esah, Adiba juga mendengar gerutuan sanak famili pemilik gubuk itu. Bagaimana tidak menggerutu? Mereka hidup memulung, rumah juga hanya sepetak 3x3, harus ditinggali 6 orang termasuk Adiba dan Bik Esah, sedangkan keduanya tidak bisa membantu apa pun. Bik Esah juga tidak bisa bekerja karena harus mengurus Adiba. Selama seminggu Adiba berdiam diri di rumah itu. Ia rebahan meringkuk di depan gubuk beralaskan kardus. Siang malam, itu saja yang dilakukannya. Tidak bergerak, memandangi kereta api seliweran. Merasakan getaran tanah dan jagijugijagijug bunyi roda kereta api. Itu membawanya pada kenangan lama tatkala ia masih sekolah dan mengamati ibunya menjahit dalam posisi persis sama dengan dirinya sekarang.
Ibunya nyaris tidak pernah pisah dari mesin jahit. Duduk di bangku bulat dan menatapnya. "Kamu jadi ikut pentas drama sekolah, Nak?"
"Iya, Bu! Rani jadi Putri Salju, Bu."
"Sini, ibu bikinkan kostumnya. Akan ibu buatkan seindah mungkin supaya anak ibu seperti Tuan Putri sungguhan."
"Wuaaah!" Septiana Maharani bertepuk tangan dan sangat gembira Ibu mengukur badannya.
"Anak gadis harus pakai baju yang indah supaya dikagumi orang-orang layaknya Tuan Putri," kata ibunya lagi.
"Benar begitu, Bu?" Anak gadisnya bertanya antusias.
"Iya. Kalau kita pakai baju yang bagus, orang-orang akan segan dan lebih hormat pada kita. Nanti banyak yang memuji dan menyukai kita."
"Waah, hebat ya, Bu. Pantesan baju-baju bikinan ibu selalu bagus-bagus. Rani mau ah bisa kayak Ibu, bikin baju sendiri jadi Rani bisa pakai baju bagus kapan saja. Rani bakalan pergi ke pesta dan berdansa dengan pangeran impian Rani," ucap anak itu sambil berputar seolah mengenakan gaun mengembang.
Ibunya tertawa haru. "Kamu ini, Rani, mengkhayalnya kejauhan," gumamnya.
Itu bukan sepenuhnya khayalan semata. Setiap baju buatan Ibu yang dikenakannya selalu mendapat pujian. Para ibu-ibu berbondong-bondong mengupahkan jahitan pada ibunya karena ingin dibuatkan gaun yang indah untuk putri mereka juga untuk mereka sendiri.
Septiana kecil akan menunggui ibunya menjahit sampai tiduran di lantai. Bunyi mesin jahit menjadi sangat fasih di telinganya. ia bahkan terlelap mendengarkan bunyi mesin jahit.
"Ibu, aku mau jadi seperti Ibu."
Ibu menghentikan mesinnya sebentar untuk menoleh dan tersenyum padanya. "Iya, Nak. Iya. Nanti bikin gaun yang indah-indah, ya Nak!"
"Iya, Bu."
Lalu mesin jahit lanjut berbunyi. Bunyinya menjadi persis dengan bunyi kereta api yang melintas.
Jugijugijugijug.
Suaranya sangat keras hingga menutupi suara omelan orang-orang di sekitarnya.
"Jual saja perempuan itu. Pasti ada aja yang mau sama dia."
"Tega sekali kamu ngomong begitu, Jeng. Kasihan Non Diba. Dia orangnya baik. Non Diba itu polos. Dia nggak tau apa-apa."
"Polos? Kok ya ngambil suami orang to. Bagus 'kan dia kena karmanya. Makanya sing hidup susah to ya jangan sampai nyusahin orang!"
Bik Esah tertunduk dalam, tidak bisa berkata-kata apa pun.
Adiba sudah sering mendengar ucapan itu. Awalnya ia bingung karena tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa. Teringat kisah salah satu napi tentang kota asalnya, Madiun. Bagaimana perempuan itu menjelaskan cara menuju ke sana, Adiba jadi punya gambaran apa yang harus dilakukannya. Perlahan ia bangun dari lapak. Duduk sebentar karena sangat pusing akibat terlalu lama tiduran dan kurang makan. Adiba lalu berdiri dan perlahan melangkah ke dalam rumah.
Bik Esah dan perempuan kerabatnya menoleh keheranan. Adiba menadahkan tangannya dengan wajah tanpa ekspresi. "Minta uang, Bik. Saya mau pergi dari sini."
Bik Esah terperanjat. "Loh, Non mau pergi ke mana?"
"Bibik nggak usah tahu. Kita jalan masing-masing saja mulai sekarang. Saya minta uang buat ongkos saja."
Tangan Bik Esah gemetaran mengeluarkan amplop yang yang isinya beberapa lembar saja lagi. Adiba ambil selembar dan sisanya ia kembalikan kepada Bin Esah. "Non, kok...?"
"Buat Bibik saja. Maaf, Bik, saya nggak bisa ngasih lebih." Kemudian Adiba berbalik dan tidak mempedulikan panggilan Bik Esah lagi meskipun perempuan tua itu menangis-nangis.
Katanya, jodoh itu misteri Ilahi. Siapa sangka setiap langkah yang ditempuh Adiba, membawanya kepada pria yang telah menyelamatkannya. Lagi.
***
"Melamun, Dek?" Krisna menegur Adiba seraya senyum-senyum sendiri. Ia tatap sangat dekat wajah Adiba, tetapi gadis itu diam saja seperti patung.
Adiba tersentak dan mau melanjutkan menjahit lagi, tetapi Krisna menarik tangannya dan membuatnya berdiri dari bangku jahit.
"Makan dulu dong! Kita kan belum makan gara-gara kesiangan tadi. Itu, Mas sudah bikinin mie kesukaan kamu."
Krisna tuntun istrinya bak mempelai menuju wahana makan yang tertata di karpet. Keduanya duduk melantai dan bersama-sama memulai bersantap. Krisna perhatikan Adiba makannya kalem padahal ia tahu betul Adiba sangat kelaparan. Krisna jadi curiga apa yang dipikirkan Adiba sangat berat hingga makannya tak dianggap. Krisna penasaran sehingga bertanya. "Ada apa, Dek? Kamu mikirin apa?"
"Nggak ada apa-apa, Mas," jawab Adiba pelan nyaris berbisik. Ia menunduk pada mie untuk menghindari tatapan Krisna.
Krisna ingin sekali menaruh mangkoknya, menangkup wajah Adiba, dan mengajak Adiba bicara, tetapi juga khawatir hal itu memicu kegelisahan Adiba. Ia mengembuskan napas panjang, kemudian lanjut menyantap meskipun dalam hati bertanya-tanya atas sikap pendiamnya Adiba.
Sampai malam hari, ia ajak Adiba telanjang dan ditindihnya di kasur serta dihunjamnya menggebu-gebu, reaksi Adiba juga tidak terlalu responsif. Meskipun napas Adiba mendesah cepat mengikuti gempuran keperkasaan Little Krisna, tetapi enggan menatapnya. Krisna jadi gemas. Ia kecupi seluruh sisi wajah Adiba, ia seruput bibir ranumnya, dan membelai rambutnya sambil berguncang, sikap Adiba tetap dingin.
Krisna mendesah seraya menyapukan bibirnya di kening Adiba yang basah keringat. "Diba sayang ... katakan saja pada Mas apa yang kamu pikirkan. Mas gak suka kamu diam begini. Berasa Mas ada salah sama kamu."
Desahan Krisna terdengar nyaris merengek membuat Adiba tidak enak hati. "Ngg... Nggak, Mas ... Hmmh, bukan karena Mas ...," jawabnya sambil pipi merona karena mengulek pinggulnya.
Krisna terpejam nanar. "Lalu kenapa, sayang...? Hmm? Ngomong sama Mas ... Mas ini suami kamu ... Nggak perlu ada rahasia lagi di antara kita ...."
Batang Krisna sangat enak menumbuknya, sehingga Adiba jadi merasa kepalang tanggung hendak mengeluh. Ia mulai terisak oleh siksaan ternikmat. "Diba ... Nggak mau hamil ... Mas .... Diba ... takut...."
Sontak nikmat bercintanya bercampur gusar. Krisna jadi sedikit membentak. "Kenapa baru bilang sekarang, Diba ...." Ia cengkeram pinggul Adiba dan menambah tempo pompaannya. "Hissshh... Ahhh, Mas keburu keluar nih. Ahhhh ... Diba .... asshhh!"
Krisna terdongak mengerang mengikuti kocoran kumpulan benihnya. Terasa kencang mengocor berkali-kali di dalam sana. Sehabisnya ia tambah dengan tumbukan kuat berkali-kali sambil ia amati si Little Krisna yang diliputi lendir penyatuan mereka keluar masuk di lubang Adiba. Bayangan Adiba yang dingin bakalan merengut cerewet kesal karena perut buncit mengandung anaknya terlihat sangat menghibur. Krisna menggerutu puas. "Dah terlambat, Diba ... Kamu sudah Mas buat hamil anak Mas. Kamu sudah mutlak jadi milik Mas. Huahaha ...." Krisna tidak tahu kenapa ia tertawa. Rasanya begitu bahagia.
Bersambung...
Share this novel