BAB 34. Pupus

Romance Completed 9248

Ketika memutuskan menikahi Adiba, pernah terbesit dalam benak Krisna, kamu membeli kucing dalam karung, Kris. Dan itu benar, akan tetapi sampai detik ini, ia memiliki Disna, setiap percintaan yang pernah mereka lakukan, setiap momen, setiap tawa dan tangis yang mereka alami bersama, tidak ada secuil pun rasa penyesalan dalam hati Krisna. Ia sungguh-sungguh mencintai Adiba. Bahkan kenyataan bahwa Adiba punya masa lalu kelam tidak menjadi masalah baginya.

Ia sanggup mengabaikan semua itu karena yang terpenting baginya adalah sosok Adiba yang setiap hari bersamanya. Ia tidak peduli catatan kriminalnya. Ia tidak peduli latar belakang keluarganya. Perse.tan dengan ayah dan kakaknya! Mereka manusia be.jat dan seharusnya dipenjara. Krisna bertekad menemukan Adiba sebelum orang-orang itu.

Krisna berdiri tiba-tiba membuat Sonari dan Syamsu tersentak. "Kris, kamu mau ke mana?"

"Ke kantor polisi. Aku akan laporkan ayah dan kakak Adiba karena telah menjualnya pada pria hidung bela.ng. Aku akan meminta polisi mencari Adiba, demi keselamatannya."

Syamsu dan Sonari mencegatnya. "Kris, ingat apa yang kau bilang sebelumnya. Apa kau pikir polisi bisa menangani ini? Bagaimana jika ada oknum yang bekerja sama dengan Tuan Mahmud dan memberitahu nama baru Septiana adalah Adiba? Tidak ada tempat aman lagi bagi Adiba. Kau beserta anak dan keluargamu bisa menjadi incaran mereka juga."

"Aku akan menelepon Mas Diaz dan memberitahukan soal ini. Aku yakin ia bisa membantu. Ia pasti tahu bagaimana solusi masalah seperti ini."

"Apa kau yakin, Kris? Diaz di luar negeri. Adiba tidak diketahui keberadaannya. Tuan Mahmud ini kartel nar.koba, Kris, kita tidak tahu sebesar apa jaringan mereka. Apa kau lupa hal yang paling ditakutkan Adiba?"

Untuk kesekian kali Krisna kembali terhenyak. Rasanya ke mana pun ia bergerak, ia membentur dinding penghalang yang sangat tebal. Krisna berpaling tak tentu arah. "Aku tidak bisa diam dan tidak melakukan apa pun. Adiba sendirian di luar sana dan ketakutan. Aku harus segera menemukannya. Ia harus tahu aku tetap mencintainya bagaimana pun masa lalunya."

"Kalau begitu, ayo kita cari dia! Mungkin ia masih di sekitar sini mencari jalan pulang."

Krisna tercenung. Ia paham betul Adiba tidak tahu tempat lain dan jika kebingungan ia cenderung mendatangi ke tempat yang dikenalnya atau yang dirasa aman baginya. "Mas benar!" cetusnya kemudian. "Ayo kita cari Adiba." Krisna berjalan dengan langkah lebih mantap. Sonari dan Syamsu mengiringinya.

Sepanjang selasar hotel, jalan menuju parkiran mobil, bahkan di sudut-sudut gelap halaman yang dilaluinya, Krisna memindai sekeliling dengan harapan menemukan Adiba meringkuk berusaha menyembunyikan diri. Namun, sosok itu tidak tampak jua. Mereka lanjut bermobil menyusuri jalanan kota Surabaya. Mereka singgahi tempat-tempat sunyi dan gelap, menyamperi orang di pinggir jalan demi menemukan Adiba. Mereka datangi stasiun kereta api dan memeriksa peron-peron, tetapi Adiba tidak terlihat di mana pun.

Sampai esok harinya dan siang bertemu malam lagi, mereka tetap tidak menemukan orang yang mereka cari. Syamsu dan Sonari sangat kelelahan. Mereka mengantuk, tetapi Krisna memforsir tetap mencari Adiba. Sonari yang mulai tidak bisa fokus menyetir, terpaksa angkat bicara. "Maaf, Dok. Saya butuh tidur. Saya akan bantu lagi setelah saya kembali segar. Saat ini saya benar-benar harus beristirahat."

Krisna tidak menjawab. Matanya terbuka lebar karena tidak ingin melewatkan apa pun yang tampak di jalanan. Syamsu terpaksa mengingatkannya. "Sonari benar, Kris. Kita semua harus istirahat. Kamu juga butuh istirahat. Jika terjadi sesuatu, kau harus selalu siaga. Kau juga harus mengurus anakmu."

Teringat Adisna membuat Krisna gamang. Ia tatap Syamsu dan matanya berkaca-kaca. "Adisna tidak pernah pisah dari Adiba. Bagaimana anakku hidup tanpa kehadiran ibunya?"

"Karena itu kau harus berpikir jernih, Kris! Gunakan akal sehatmu!"

"Bagaimana caranya punya akal sehat di saat di luar sana istri yang kucintai dalam bahaya?!" sahut Krisna berteriak sekencangnya di depan wajah Syamsu.

Syamsu balas meneriakinya. "Kau harus sadar Adiba punya 101 cara untuk menghubungimu ataupun kembali padamu saat ini juga, tapi ia tidak melakukannya. Kau tahu artinya itu? Ia pergi atas kemauannya sendiri. Ia memang tidak ingin ditemukan."

Wajah Krisna serasa ditampar keras. Ia menggeleng gusar. Ia ingin berteriak tetapi malah hanya membuka mulut tanpa sepatah kata pun terucap. Kenapa Syamsu menilai Adiba seperti itu? Apakah ini berarti aku harus berhenti mencari Adiba begitu saja? Aku harus menyerah?

Syamsu menghela napas lalu berkata lebih perlahan seraya menyentuh pundak Krisna. "Ini bukan berarti kita berhenti mencarinya, Kris. Bukan. Demi Tuhan, aku akan membantumu mencari Adiba dengan cara apa pun, tetapi Adiba bukan kabur biasa. Dia bukan istri yang merajuk lalu pergi agar kau kesal. Dia menghindari marabahaya. Kita harus berhati-hati agar nantinya tidak menjadi masalah bagi kamu ataupun Adiba. Kita harus mencari orang yang benar-benar bisa membantu kita di kepolisian dan mencari tahu lebih mendalam soal latar belakang Adiba. Jika kau perhatikan rekaman suaranya, ada banyak part yang dihapus dan ada satu nama yang tidak mau disebutkannya. Bahkan tidak ada petunjuk tentang orang itu. Dugaanku, ada orang dengan nama besar memiliki keterkaitan dengan masa lalu Adiba. Seseorang yang cukup berani menolong Adiba meskipun tahu Adiba menjadi incaran kartel nar.koba."

Suami pertama Adiba? Krisna terdiam seribu bahasa. Teringat kecurigaannya di awal bertemu Adiba. Alamat rumahnya di apartemen mewah, lingerie indah dan mahal, dan ... ya, pria itu juga yang menikmati keperawanan Adiba. Ada sedikit rasa cemburu bercampur gengsi terbesit dalam benak Krisna. Mungkinkah Adiba berusaha menghubungi orang itu? Aku tidak bisa menerima ini! Adiba lebih percaya orang itu dibanding aku?

Syamsu menasihati lagi. "Jadi, menurutku lebih baik kita pulang dulu. Kita istirahat dan kita pikirkan langkah berikutnya dengan kepala dingin. Bagaimana?"

Krisna membuang muka depan perasaan tersakiti. Syamsu menepuk pundaknya lagi. "Seperti yang sebelumnya kau pikirkan tentang Adiba, dia terlihat lemah, tetapi ia gadis yang sangat kuat dan pintar. Kita doakan keselamatannya dan semoga dibukakan pintu hatinya untuk menghubungimu atau siapa tahu ia sedang menuju kembali padamu."

Sebesar keinginan Krisna ucapan Syamsu akan jadi kenyataan, sebesar itu pula Krisna tidak ingin mengakui ucapan Syamsu ada benarnya. Krisna terdiam. Ia mendesah pasrah lalu bersandar dan melempar pandangan tak rela ke jalanan.

Melihat reaksi Krisna, Syamsu pun berujar pada Sonari. "Kita kembali ke hotel."

"Baik, Dok," sahut Sonari dan memutar setir ke arah bertolak belakang.

Mereka kembali ke hotel tempat Krisna menginap. Langkah Krisna gontai dan dalam pikirannya sebenarnya ia tidak tahu ke mana menuju. Semuanya terlihat gamang dan berbayang-bayang. Ia masih berharap melihat Adiba muncul dan tertunduk dalam mendatanginya seraya berucap lirih, maafkan aku, Mas, sudah bikin Mas cemas. Tetapi tidak demikian yang terjadi. Ketika ia masuk kamar, Adisna di gendongan Shelly berseru terisak seraya menjangkau ke arahnya. "Ayaaaah ... Hu hu hu ...."

Krisna sambut anak itu. Ia gendong Adisna dan mengusap-usap punggungnya. "Ya, ini Ayah datang, sayang," ucapnya pelan. Krisna pun menumpukan dagunya ke pundak Adisna lalu berjalan menjauhi Shelly.

Shelly terenyuh melihat ayah dan anak itu. "Makannya tidak karuan dan beberapa kali aku bikinkan dot, tidak pernah dihabiskannya, Kris. Ia belum terbiasa pisah dari menetek pada ibunya," terang Shelly. 

Krisna tersenyum sekilas. "Iya, saya ngerti, Mba," katanya. "Makasih atas bantuan Mba." Krisna memutar tubuh dan berjalan pelan menimang Adisna. Ia tidak ingin bicara apa pun lagi karena saking terpuruknya. Hanya karena ada orang lain dan Adisna yang butuh perhatiannya, ia berusaha tegar.

Shelly menghampiri suaminya. "Bagaimana hasil pencarian kalian?"

Syamsu menggeleng dan tertunduk lelah. Shelly berbisik padanya. "Aku harus pulang, Mas. Kasian anak-anak gak ada ketemu aku seharian. Mereka rewel kelamaan di rumah orang tuaku."

"Tapi gimana anak Krisna? Siapa yang bisa bantu urusin?" tanya Syamsu dengan suara dipelankan juga.

"Entahlah, Mas. Aku rasa mungkin Krisna tidak keberatan menyewa baby sitter."

"Pulang aja, Mba. Nggak papa, aku bisa urus Disna kok," ucap Krisna menyela mereka. Ia sadar diri, ia tidak bisa merepotkan orang lain karena masalah pribadinya.

"Kamu yakin, Kris? Aku pulang malam ini aja, besok pagi aku bisa ke sini lagi kok buat bantuin ngurus Disna."

Krisna menggeleng dan tersenyum tulus. "Nggak usah, Mba. Sebenarnya, aku dan Disna sudah biasa berdua kok. Adiba sering sibuk menjahit, jadi Adisna sering aku yang urusin. Maaf sudah merepotkan Mba dan Mas Syamsu. Lagian, kasian anak- anak Mba masih kecil-kecil, pasti juga gak terbiasa pisah lama dari ibunya. Pulang aja, Mba, gak papa kok. Adiba sangat sayang sama Disna, cepat atau lambat ia pasti kembali. Lagi pula, kalau kami masih jodoh, pasti akan bertemu lagi, ya 'kan?"

Shelly menelan ludah, lalu tersenyum kaku. Ia merasakan dalam hati Krisna tidak seyakin ucapannya, tetapi apa daya, mungkin itu yang terbaik di saat sekarang. Ia mencoba menyemangati Krisna. "Iya, Kris. Mba doakan semoga Adiba segera kembali dalam keadaan sehat wal'afiat. Ia pasti sangat galau dan butuh waktu menata diri, tapi Mba yakin cinta akan membawanya kembali pada kalian."

"Amiiin. Makasih, Mba."

Shelly lalu pamit pada suaminya. "Mas, aku duluan ya. Kamu temani aja Krisna di sini. Rumah sama klinik biar aku yang urus."

Syamsu balas seraya menggeggam tangan Shelly. "Iya, sayang. Makasih ya."

"Mas Syamsu pulang aja, gak apa-apa kok," sela Krisna lagi.

Syamsu tercenung. "Kamu yakin, Kris? Kamu udah kayak adik aku sendiri loh, Kris. Di saat-saat seperti ini justru aku gak bakalan biarin kamu sendirian."

"Makasih, Mas. Aku percaya Mas tulus, tetapi saat ini aku benar-benar butuh menyendiri, Mas. Aku perlu berpikir dalam-dalam. Adisna gak akan ngerepotin aku kok. Justru aku rasa saat ini, saat yang tepat kami memikirkan bagaimana ke depannya jika Adiba tidak kembali juga. Syukur-syukur jika Adiba tiba-tiba datang ke sini."

"Amiin, amiin ya Allah!" sahut Shelly. "Semoga dia datang, Kris, secepatnya."

Krisna tersenyum saja. Tangannya mendekap erat sang putri kecil yang bersandar padanya. Secara naluriah memberitahu putrinya, Kita bisa melalui ini, Disna. Ayah janji Ayah akan kuat!

Shelly lalu beranjak lebih dulu sedangkan Syamsu masih ragu-ragu. Ia tatap lekat Krisna. "Kamu yakin nih ditinggal sendirian?" tanyanya.

Krisna menyunggingkan senyum hangat dan menjawabnya. "Iya, Mas. Pulang aja, gak papa kok. Mas akan istirahat lebih baik jika di rumah sendiri daripada di sini."

"Ya udah deh, aku pulang. Kalau ada apa-apa segera kabari aku ya. Aku akan ke sini secepatnya."

"Iya. Gak usah khawatir. Sonari juga kan masih nginap di sini. Aku bisa hubungi dia lebih dulu."

Syamsu mangut-mangut. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Kris. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Syamsu dan istrinya keluar dari kamar itu, suasana pun berubah sunyi senyap untuk beberapa saat. Kemudian pecahlah tangis Krisna. Ia terduduk berjongkok sambil memeluk erat Adisna. Putri kecilnya turut menangis merasakan pilu hati sang ayah.

"Yayah...," rengek anak itu. Adisna juga merindukan sosok yang biasa mengemongnya dan menyusuinya hingga tertidur. "Ibuu .... Ibu mana.... Disna mau ibu ...," rengeknya lagi.

Krisna serak bersuara menahan isakan. "Ayah ... juga tidak tahu, Disna. Ayah benar-benar... tidak tahu ...."

"Huk huk hu ... Huaaaa ...."

Tangis Adisna semakin kencang, menambah luka hati Krisna serasa disayat-sayat. Suami macam apa aku, yang tidak bisa dipercaya istri? Ayah macam apa aku, yang membuat anaknya kehilangan ibu? Krisna memelas, "Maafkan Ayah, Disna. Maafkan Ayah."

Dalam kondisi itu, Krisna berusaha sekuat tenaga meneguhkan diri. Sebagai seorang pria, ia tidak perlu menangis, apalagi karena wanita. Tangisan adalah lambang kelemahan! Begitulah yang akan dikatakan orang-orang. Karena stigma seperti itulah lebih banyak pria menghabisi nyawa sendiri dan mati lebih cepat daripada wanita. Mereka menelan semua beban pikiran dan kesedihan lalu memperlihatkan pada semua orang bahwa mereka kuat dan dapat mengatasi segalanya.

"Kembalilah, Dek.... Kembalilah pada Mas secepatnya," lirih Krisna.

Namun, itu tidak serta merta terwujud. Tangis Adisna tak berhenti, setiap menit ia menangis, selama itu juga syaraf-syaraf di otak bayi itu rusak. Mengumpulkan akal sehatnya, Krisna berhenti nelangsa. Ia bangkit dan membawa Adisna mendekati nakas lalu melarutkan sekeping biskuit bayi dengan su.su formula. Ia mencoba memakani Adisna.

"Dimakan ya, sayang?" pinta Krisna seraya menyendok ke depan mulut Adisna. Alhamdulillah anak itu mau makan dan berangsur-angsur tangisnya berhenti. Sambil lanjut memakani, Krisna ajak anaknya mengobrol. "Ibu pasti pulang kok, sayang. Tapi, Disna harus pintar ya, nurut sama Ayah, makan yang banyak, lalu minum su.su.biar cepat gede. Ibu bakalan senang liat Disna ceria dan gak nangis lagi."

"Iya, Yah," sahut Adisna bersemangat.

Adisna lalu meraba-raba baju ayahnya sambil bergumam. "Hape ... Ibu. Hape Ibu."

Krisna tercenung. "Kamu mau ... telepon Ibu?"

"Humamamam. Hape Ibu!" desak anak itu.

Krisna pun mengeluarkan ponsel Adiba dan menyalakannya untuk Adisna. Layar itu memutar rekaman video Adisna bersama Adiba. Adisna disuapi makanan lalu Adiba memberikan kecupan di puncak kepala Adisna. "Ibu sayang Disna," katanya lembut. "Makan lagi ya, sayang? Anak pintar ...."

"Ibu sayang Disna," ulang Adisna sambil jemari menggerayangi ponsel itu sehingga belepotan. Ia tertawa-tawa menanggapi candaan ibunya di ponsel. Setidaknya melihat sosok sang ibu melalui layar, mengobati kerinduannya.

Krisna tersenyum haru. Ia tahan tangisnya, juga kegusaran dalam hatinya. Mencoba meresapi kejadian ini sebagai cobaan bagi jalinan cinta kasih mereka. Ia berbisik pada udara. "Mas juga sayang kamu, Diba. Semoga kamu terhindar dari bahaya di luar sana. Pulanglah segera. Mas tunggu kamu, sayang."

***

Siang malam, Adiba berjalan tak tahu ke mana arah tujuan di antara sekian banyak pejalan kaki. Ia bergamis dan bercadar, tampak normal, sehingga orang-orang tidak begitu memperhatikannya. Teriknya matahari, gelapnya malam, tanpa makan dan minum, membuat pikirannya dikuasai halusinasi. Semua memori buruk campur aduk sehingga ia tidak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang hasil imajinasinya sendiri. Seperti cemoohan Krisna padanya. "Memalukan! Aku telah ditipu olehmu. Kau penjahat! Pembunuh!"

Adiba menyahut dalam hati. Itu bukan salahku. Kau yang telah memilihku.

"Aku tidak sudi kau tinggal bersamaku lagi. Pergi kau dari sini!"

Lalu Prabu Nareswara yang menghantuinya dengan menyeret Diaz ke hadapannya. Ia paksa Diaz yang setengah sadar mendongak. "Lihat! Lihat perempuan ini, Diaz! Dia sumber kebodohanmu. Ia hanya akan merusak nama baik keluarga kita."

"Tidak, Ayah. Kumohon, jangan sakiti Adiba ...," ratap Diaz, tetapi tidak digubris sang ayah. Prabu menghardik Adiba. "Kau tidak pantas mengandung anak itu. Gugurkan sekarang juga!"

Tidak! Tidak! Tidaaaak!

Suara kencang peluit kereta api memekakkan telinga Adiba, hingga ia tersadar dengan sekelilingnya. Semeter darinya adalah lintasan kereta api dan lampu kereta api malam menyilaukan matanya. Adiba terpana. Ia berseru dalam hati, inilah saatnya! Aku bisa pergi sekarang juga. Cepat dan sesuai tujuan. Ibu, anakku ... aku segera datang!

Kelopak mata Adiba bergetar berusaha menutup. Senyum samar tersungging di bibirnya. Perlahan tapi pasti, ia merentangkan tangan dan kaki melangkah menyongsong kereta api malam.

***

Terlalu lelah akhirnya membuat Krisna tertidur bersama Adisna. Putri kecilnya turut terlelap bersungut ke rusuknya. Namun, meskipun matanya terpejam, tidur Krisna tidak senyenyak seperti seharusnya. Alam bawah sadarnya tetap gelisah memikirkan Adiba. Ia berharap Adiba menghubunginya dengan suatu cara. Ia bertanya-tanya kenapa Adiba begitu sukar menghubunginya. Apakah sesuatu menghalanginya? Apakah orang-orang menangkapnya? Ataukah dia cedera di suatu tempat tanpa ada seorang pun menolongnya? Atau ini memang benar-benar pilihan Adiba?

Sejak awal kau sudah tahu ini akan terjadi 'kan? kecam Krisna. Terngiang ucapan Adiba di malam pernikahan. "Aku tidak ingin jatuh cinta dalam hubungan ini, Mas. Kau tahu hubungan yang nyaman menjadi menyakitkan jika kita saling jatuh cinta."

Hubungan yang nyaman?

Jadi, kau tidak punya cinta untukku? Bahkan setelah kita punya anak? Adisna bahkan tidak menyentuh hatimu untuk tetap berdiri di hadapanku tanpa memikirkan apa pun anggapanku tentangmu? Kenapa? Karena kau telah menyerahkan seluruh hatimu pada pria pertama dalam hidupmu?

Aku tidak pernah menyakitimu, bahkan berkata kasar sekali pun. Aku selalu mengutamakanmu, memperlakukanmu dengan baik. Apakah itu masih belum cukup untuk membuktikan kesungguhanku sewaktu aku bilang aku menerimamu apa adanya?

Demi Tuhan, Adiba, tolonglah, hubungi aku dengan cara apa pun. Walaupun kau teramat malu bertatap muka denganku, setidaknya beritahu aku kalau kau baik-baik saja!

Krisna bangun tersentak dan langsung mencari Adisna. Ternyata anak itu ada di sisinya meringkuk mengisap jari dan pipinya berbekas air mata kering. Rupanya Adisna sudah lama bangun dan menangis, tetapi tidak ada satu pun yang mengemongnya sementara Krisna tidur tepar tidak mendengar apa pun.

Melihat putrinya dalam kondisi seperti itu, Krisna jadi merasa bersalah. Ia angkat Adisna ke dekapannya. "Maafin Ayah, Disna," ucapnya. Bayi itu merengek. Popoknya penuh dan mulai berbau, sangat tidak nyaman.

Krisna bawa putrinya ke kamar mandi sambil mengecek ponsel kalau-kalau ada pesan dari Adiba, tetapi hanya pesan biasa yang diterimanya. Selain dari orang di Jakarta, ia mendapat pesan dari pegawai di Desa Kare, Syamsu, dan Sonari yang menanyakan kabarnya hari ini. Ia terpaksa mengabari orang di Desa Kare karena harus menunda kepulangannya ke sana. Untungnya mereka mengerti dan bersimpati padanya. Yayasan Bisa Kita juga memaklumi kejadian itu sehingga memberinya keleluasaan waktu.

"Ibu ...," rengek Adisna padanya saat dimandikan dalam bak menggunakan air hangat. Anak itu selalu ingin mengisap jari sehingga Krisna segera membasuh tangan mungil itu. Tangan yang terbiasa memegang tangan kedua orang tuanya, sekarang kehilangan salah satunya.  Mata Krisna berkaca-kaca. Ia bujuk Adisna, meskipun pahit dalam hatinya. "Sabar ya, Disna. Ibu belum bisa pulang. Dia butuh waktu, mungkin. Kita doakan semoga dia baik-baik saja ya, Nak, dan menemukan jalan pulang."

***

LANJUTANNYA ada di K.a.r.ya.k.a.r.s.a dengan judul yang sama. Impromptu Affair by Chamomile Tea. Harganya murah kok. cukup beli paket 1 kali bisa baca seluruh episode. harga cuman Rp.15K. BELI LEWAT WEB Karyakarsa.com, lebih mudah dan banyak pilihan metode pembayaran. Yang mau ikutin lanjutannya silakan ke sana, sekalian traktir Chamomile ya biar semangat buat nulis teruss.

Terima Kasih (???•???•???)??

LANJUTANNYA ada di K.a.r.ya.k.a.r.s.a dengan judul yang sama. Impromptu Affair by Chamomile Tea. Harganya murah kok. cukup beli paket 1 kali bisa baca seluruh episode. harga cuman Rp.15K. BELI LEWAT WEB Karyakarsa.com, lebih mudah dan banyak pilihan metode pembayaran. Yang mau ikutin lanjutannya silakan ke sana, sekalian traktir Chamomile ya biar semangat buat nulis teruss. Terima Kasih (⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)⁠❤

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience