BAB 30. Dunia Ini Panggung Sandiwara, Ceritanya Mudah Berubah

Romance Completed 9248

Krisna tiba di Jakarta pada siang hari saat acara tasmiyah sekaligus akikah putra pertama Diaz dan Mitha sedang berlangsung. Rumah Keluarga Adimulya dihiasi bunga-bunga serta tirai bertema warna putih dan biru. Sebuah panggung pelaminan dibangun untuk singgasana sang bayi. Halaman rumah mereka ditata bak sebuah garden party, ramai oleh para undangan bercengkerama. Di antara orang-orang itu, tampak orang tua dari kedua pihak keluarga membaur. Sementara Diaz dan Mitha bersanding di sisi keranjang bayi, tampak sangat serasi dan mesra. Fotografer dan kameraman siaga mengabadikan momen-momen penting mereka.

Krisna harus menyembunyikan rasa getirnya dari orang-orang karena tidak bisa mengadakan acara serupa untuk kelahiran putrinya. Di situ, ia adalah seorang paman bujangan yang berbahagia atas kelahiran keponakan pertamanya. Melihat Diaz dan Mitha berpose menggendong anak mereka dan tersenyum pada kamera, membuat Krisna berpikir rumah tangga Mitha dan Diaz pastilah sangat harmonis. Apalagi setelah memiliki buah hati, keduanya harus menguatkan komitmen.

Krisna menyapa kedua orang tuanya terlebih dahulu. Ia sungkem pada ayahnya, kedua orang tua Diaz, lalu terakhir pada ibunya. Wirya menggerundel karena putranya itu datang dengan penampilan kasual dan bahkan rambutnya agak berantakan karena mulai panjang. "Kamu ini kok keliatan kayak gembel aja, Kris. Rapian dikit dong, kita ini menghadapi banyak tamu, tau gak?"

Krisna menyengir saja. Ia lalu menghadap ibunya. Yunita menyambut Krisna dengan memeluk hangat. "Alhamdulillah kamu bisa datang, Nak. Gimana penerbanganmu tadi? Dari bandara kamu langsung ke sini ya? Ibu kira kamu akan terlambat atau datang setelah acara selesai," katanya dengan perasaan iba, terpikir putranya pasti kerepotan di sana dan tidak ada yang mengurus sehingga penampilannya urakan.

Padahal penampilan Krisna boleh dibilang sangat carefree. Sehelai kemeja yang dikenakannya membuat bahu bidangnya terlihat jelas. Helaian rambut menjuntai di kening dan tepi telinga, membingkai wajahnya yang tampak jahil tetapi menawan. Krisna tersenyum tipis dan menanggapi ibunya sembari mengecup punggung dan telapak tangan wanita itu. "Alhamdulillah lancar, Bu. Makasih, doa-doa Ibu buat Krisna selalu diijabah, Krisna bisa selamat dan sehat wal'afiat sehingga bisa tiba di sini. Lagian 'kan ini acaranya ponakan pertama Krisna. Krisna gak mau ketinggalan dong! Sekalian ketemu teman-teman Krisna juga sebelum balik lagi ke Surabaya," ujarnya.

Yunita terenyuh, merasa keheranan setiap kali pulang ke Jakarta, Krisna tidak menyediakan waktu khusus hang out bersama teman-temannya. Bawaannya selalu buru-buru hendak balik ke Surabaya. "Ya udah, kamu sapa temen-temen kamu deh. Mereka juga kayaknya kangen sama kamu jadi bela-belain datang ke acara ini. Habis itu, kamu istirahat saja di dalam. Kamar kamu sudah Ibu siapin loh buat kamu nginap."

"Iya, Bu, makasih."

Krisna lihat Mitha dan Diaz masih sibuk pemotretan sehingga ia menyapa segerombolan teman-temannya. Setelah kabar Krisna menolak jadian dengan Paula, banyak dari mereka beranggapan Krisna tidak berminat serius berkomitmen. Apalagi melihat penampilannya saat itu, mereka mengejeknya. "Et dah, ini dia buaya kita abad ini."

Kening Krisna mengernyit. "Buaya?" gumamnya. Jika menyamakan sifat main-main perempuan sebagai seorang buaya sebenarnya sangat tidak tepat, karena pada faktanya, buaya adalah hewan yang paling setia pada pasangan. Buaya jantan hanya kawin dengan satu betina dan sangat menjaga betina serta anak-anaknya. Bahkan jika betinanya mati, buaya jantan tidak akan kawin lagi sampai akhir hayatnya.

"Ya iyalah, lo sudah menghempaskan Paula setelah bertahun-tahun kamu temenan sama dia."

"Loh? 'Kan itu kejadiannya sudah lama, kenapa masih diungkit-ungkit sih? Kalau gak jodoh, emang bisa dipaksakan?" gerutu Krisna. Jika hal tersebut masih dipermasalahkan, ia yakin ada pihak yang masih suka mengompori atau istilah kata, ada yang belum move on.

Beberapa teman perempuan bergumam dengan wajah masam. "Harusnya jadi laki-laki kamu yang gentleman dong, Kris. Masa ada perempuan sudah banyak berkorban buat kamu tapi malah kamu tolak. 'Kan gak fair! LIhat Paula sekarang jadi tertutup. Acara apa-apa dia gak mau ikutan lagi. Karena malu. Kamu udah mempermalukan dia!"

Krisna jadi paham. Rupanya ada para SJW yang mau sok membela sesama perempuan, menganggap setiap laki-laki harus bertindak sesuai keinginan mereka. Jika yang terjadi sebaliknya, apa mereka akan akan membela pihak laki-laki? "Aku malas bahas ginian," ketus Krisna. "Terserah kalian mau bilang apa, yang jelas aku gak mau nikah kalau aku gak cinta. Aku gak mau merusak anak orang dengan nikahin dia hanya karena omongan orang-orang seperti kalian ini!"

Krisna lekas berbalik untuk meninggalkan mereka, akan tetapi ternyata Paula ada di belakangnya dan mereka terdiam bertatapan muka. Tadinya, jika bertemu Paula, Krisna akan menyapanya dengan ramah dan akrab, akan tetapi setelah percakapan tadi, ia tidak sudi berbicara dengan Paula. Nanti dikira memberi harapan lagi. "Permisi!" seru Krisna sembari berlalu dari hadapan Paula.

"Kris!" Paula terkesiap, berujung memandangi punggung Krisna yang menjauhinya sementara orang-orang di belakangnya berbisik-bisik bergunjing. Paula segera menyusul Krisna. Ia berlari kecil di belakang Krisna dan berhasil meraih tangan pria itu. "Kris, tunggu! Dengerin aku dulu! Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku tidak tahu kenapa mereka berkata seperti itu, tapi I swear, Kris, aku tidak sering nongkrong lagi bareng mereka karena aku sibuk kuliah S2."

Krisna diam membiarkan Paula bicara, tetapi mata jauh memandang ke arah lain. Ia berkata dingin pada gadis itu. "Selamat dan semoga berhasil dengan kuliahmu, Paula, tapi ada baiknya kita jaga jarak aja supaya tidak berkembang spekulasi yang menyudutkan salah satu pihak. Aku kira tidak ada di antara kita ingin diingat orang karena hubungan yang kandas ini. Ini bisa menghalangi kau atau aku untuk hidup tenang dengan pasangan kita nantinya."

Paula tertunduk seraya melepaskan tangan Krisna. Pria itu lanjut melangkah sedangkan ia tidak punya nyali lagi mengikutinya. Paula tidak rela hubungan pertemanan mereka bubar begitu saja. Namun, di tengah banyak orang saat itu, ia juga tidak mau terlihat dikasihani.

Krisna ke pelaminan untuk menyapa Diaz dan Mitha serta bayi mereka yang diberi nama Emir Perdana, yang berarti pangeran memesona, diikuti nama belakang sang ayah, yaitu Nareswara.

Sembari berjabat tangan dan cipika-cipiki, Mitha mendengkus pada adiknya. "Kamu apain lagi Paula, Kris? Kayaknya dia gak jera juga dipermalukan sama kamu."

Krisna agak kaget dengan komentar kakaknya, tetapi ia berusaha bersikap netral. "Biasa lah, Mba. Mungkin karena lama gak ketemu jadi mau dibuat drama ala-ala sinetron gitu. Dah ah, aku datang ke sini bukan buat nemuin dia, tapi demi ponakanku ini ...." Krisna semringah, tanpa segan mengangkat bayi berusia 21 hari itu dari dalam keranjang, lalu menimangnya tanpa mengusik si bayi. "Masya Allah, gantengnya ponakan Om. Ntar main sama anak Om ya ...."

"Halah kamu, Kris. Nikah aja kamu gak kepengen, gimana kamu mau punya anak?" sergah Mitha.

Krisna tersentak sekilas karena keceplosan, tetapi untungnya Mitha dan Diaz tidak menanggapinya serius.

Diaz menyeletuk. "Mungkin Krisna tidak seperti yang kita kira. Siapa tahu? Sepertinya Krisna berjiwa kebapakan. Lihat aja cara dia menggendong Emil, sudah kayak profesional."

Krisna terkekeh. "Aku dulu 'kan tugas di bagian anak, Mas, jadi ngurus anak-anak kayak gini ya biasa lah," kilahnya.

Ketika Diaz dan Krisna berbicang-bincang, ekspresi Diaz sangat ramah, berbeda 180 derajat jika bicara padanya. Mitha jadi kesal. "Kemarikan Emil. Aku aja yang gendong," katanya sambil bergegas mengambil bayinya dari tangan Krisna.

"Sabar, Mba, sabar ...," gumam Krisna. Ia membiarkan Emil berpindah tangan lalu geleng-geleng kepala pada tingkah kakaknya yang buru-buru mengambil tanpa mengindahkan kenyamanan bayi itu.

Mitha membawa bayinya untuk dipamerkan kepada kenalan-kenalan bisnisnya. Diaz yang tertinggal bersama Krisna di pelaminan, merangkul adik iparnya itu. "Kamu baru sampai 'kan? Kita makan dan minum dulu yuk! Sekalian aku mau istirahat. Udah capek berdiri di sini."

Krisna manut saja. Mereka duduk di pojokan yang jauh dari kerumunan sehingga bisa makan dan minum dengan tenang serta berbicara berdua tanpa didengar orang lain. Setelah menyeruput es sirop mawar, Diaz menatap gelasnya yang basah oleh embun es seraya bergumam, "Besok aku mau pergi, Kris."

"Pergi ke mana, Mas?" tanya Krisna santai, meskipun dalam hati keheranan kenapa nada dan wajah Diaz terlihat sangat serius.

"Ke Prancis."

"Oh," sahut Krisna singkat sambil lanjut memamah sepotong kue brownies. Ia kira hal biasa Diaz pergi untuk urusan bisnis atau berlibur ke luar negeri. "Sama Mba Mitha dan Emil? Tapi 'kan masih baru banget, Mas. Apa gak riskan buat kesehatan keduanya?"

"Nggak. Aku pergi sendirian dan aku gak akan kembali ke sini lagi. Setidaknya tidak dalam waktu dekat."

Krisna tercenung, ia tatap saksama Diaz. "Maksud Mas?"

Diaz tidak segera menjawab. Ia tatap lekat Krisna, berharap adik iparnya itu bisa memahami tekanan yang dialaminya selama ini tanpa ia harus bercerita.panjang lebar. "Kau tahu pernikahan kami tidak dilandasi rasa cinta. Aku terpaksa dan sesuatu yang sangat berharga telah direnggut dariku. Aku tidak bisa menyebutkan apa, tetapi itu menyebabkan aku hidup segan mati tak mau. Aku tidak mau terus-terusan hidup seperti ini."

"Mas!" seru Krisna nyaris membentak. Sesaat ia beranggapan Diaz sangat tidak gentleman, akan tetapi apa pantas ia menghakimi Diaz kalau ia juga dianggap baji.ngan karena menolak cinta seseorang. Mungkin Diaz sudah berusaha, mencoba mencintai kakaknya, tetapi itu malah membuatnya tertekan.

"Aku tahu kau akan menganggap aku jahat atau pengecut atau apalah anggapanmu dan keluargamu. Aku tidak memintamu membela atau mendukungku. Ini adalah tindakan yang akan kuambil apa pun risikonya atau aku akan jadi gila. Aku tidak bisa menjelaskan, aku bahkan tidak berharap kau melihat apa dan bagaimana aslinya Mitha dan ayahku. Demi Tuhan, aku berharap hanya aku yang tahu. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku tidak memilih jalan ini secara tiba-tiba dan jika kau diposisiku, kau akan melakukan hal yang sama."

Krisna benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ia pribadi akan berkata, jika itu maumu, aku tidak akan menghalangimu, Mas. Namun, bagi kakaknya beserta seluruh jajaran keluarganya tentu tidak akan menerima hal ini begitu saja. Apakah Diaz memberitahu ini supaya aku menjadi penengah saat pertengkaran keluarga terjadi? Sepertinya begitu. Oh, ya Tuhan ... apa yang akan terjadi nanti? Krisna tidak ingin berharap yang terburuk.

Malam itu, setelah acara usai dan beberapa pembantu sedang bersih-bersih di lantai bawah, mereka mendongak ke atas karena dari lantai atas terdengar suara Mitha berteriak-teriak histeris dan perpecahan barang-barang terjadi. "Kamu berengsek, Mas! Bajingan kamu! Pengecut! Kenapa kamu melarikan diri dari pernikahan ini? Kenapa gak kamu bunuh aja aku dan anakmu sekalian daripada kau perlakukan sekeji ini?!" ujar Mitha sambil melempari Diaz dengan berbagai barang mulai dari kosmetik, botol-botol parfum, dan lotion serta barang pecah belah lainnya.

Diaz tidak mengelak, hanya mengernyit sedikit jika barang-barang itu mengenainya. Beling dan benda-benda itu berserakan di lantai tempat Diaz berdiri sementara di kamar itu ada kedua orang tua Mitha, Krisna, dan kedua orang tuanya sendiri menyaksikan dalam keadaan syok. Bayi Emil tadinya sedang tidur, segera dibawa pengasuhnya ke kamar lain.

Mitha terus mencecar Diaz dengan beragam makian. Ia sangat kesal bisa-bisanya Diaz memilih momen itu untuk berseteru dengannya. Seluruh keluarganya ada menyaksikan dan itu membuat Prabu juga tidak berkutik. Tidak mungkin Prabu bertindak seperti Jenderal menyuruh ajudan menghabisi Diaz.

Wirya terlalu terkejut dan tidak habis pikir kenapa Diaz sampai hati hendak meninggalkan putrinya. Ia bertanya, "Kenapa kau melakukan ini, Nak Diaz? Apa salah kami padamu? Apa salah Mitha?"

Diaz diam seribu bahasa. Dijelaskan bagaimana pun, tetaplah kesalahan akan ditimpakan padanya. Namun, hatinya sudah menjadi batu jika berhadapan dengan kedua keluarga ini. Ibaratnya, ia lebih baik mati karena berusaha daripada menjadi tawanan dua orang sakit jiwa yang ingin membuatnya sakit.

Mitha tahu Diaz tidak akan buka mulut karena harga diri, maka ia tidak segan bicara, "Karena Mas Diaz masih sangat tergila-gila pada wanita simpanannya, Ayah."

"Apa?!" Wirya terperangah. Ia menoleh pada putrinya yang wajah basah oleh air mata.

"Iya. Mas Diaz dulu punya gundik yang disimpan di apartemennya. Perempuan itu sampai hamil pula! Belum tentu dia hamil anak kamu, Mas. Huh, yang begitu mau dipiara?" ucap Mitha sambil tatapan terpaku pada suaminya dan perlahan mendekati pria itu. Diaz enggan menatapnya dan itu membuat Mitha yakin Diaz masih dalam intimidasinya. Ia lanjut mencecar soal wanita simpanan Diaz. "Perempuan itu pasti memeletnya sampai-sampai Mas Diaz lupa diri seperti ini. Orang kampungan seperti itu sudah pasti main dukun, makanya kamu harus sadar, Mas, kamu sudah dibikin sesat sama dia. Istighfar, Mas! Jangan biarkan pikiran kamu dikuasai nafsu setan yang bakalan menghancurkan hidup kamu!"

Mitha berlutut di depan Diaz dan memeluk kedua kaki pria itu sambil menangis berderai air mata. "Ingat, Mas, aku ini istri sah kamu, anak kamu baru lahir, dia butuh ayahnya ada di hidupnya. Kamu boleh gak cinta aku, kamu boleh benci aku, tapi jaga nama baik keluarga kita, Mas."

Diaz mendelik pada Mitha dan nyaris mendengkus sinis pada akting teraniaya wanita itu. Diaz berusaha melepaskan tangan Mitha perlahan-lahan. "Ini bukan soal perempuan lain. Aku sudah cukup berkutat soal perempuan dan aku tidak akan terjerumus lagi. Aku ingin mewujudkan cita-citaku yang sempat tertunda. Berada di Prancis memudahkanku praktik hukum internasional Uni Eropa. Jika aku tetap tinggal di sini, kau terus menerus mengontrol semua tindakanku. Kapan aku bisa maju? Kau ingin menginjakku terus menerus?"

Wirya dan Yunita yang tadinya terkejut, menjadi kebingungan setelah mendengar alasan Diaz. Mitha terperangah karena tidak menyangka Diaz mengingkari soal perasaannya dan malah menyindir sikapnya yang terlalu posesif. "Mas ... kamu bilang apa? Aku nggak begitu. Aku ini sayang kamu, Mas. Aku peduli sama kamu. Aku ingin yang terbaik untukmu."

Kau hanya peduli pada dirimu sendiri, batin Diaz sehingga membuat wajahnya nyaris meringis.

Wirya tampak lebih lega. Ia mendekati Diaz untuk menepuk pundak menantunya itu. "Nak Diaz, kalau soal itu seharusnya tidak perlu sampai ribut-ribut seperti ini. Kan bisa dibicarakan baik-baik ...."

"Saya tidak ribut! Putri Bapak yang langsung heboh. Emosinya labil, sebaiknya dia segera dibawa ke psikiater sebelum jadi lebih parah," tegas Diaz, membuat Wirya sekaligus Prabu dan Mitha kelu.

Wirya tersinggung sehingga ingin membela anaknya. "Ma-maksud kamu ... kamu bilang Mitha gila?"

"Saya tidak ingin mengatakan begitu, tapi coba saja Bapak tanya Krisna. Dia 'kan dokter, tentu lebih bisa meng-asessment kakaknya ini seperti apa," jawab Diaz.

Tidak ada ucapan istri atau nama Mitha keluar dari mulut Diaz membuat Wirya merasakan Diaz sangat menjaga jarak kekerabatan mereka. Sungguh sangat miris jika sampai seorang suami bersikap seperti itu pada istrinya, Wirya jadi malu memikirkan seburuk apa perlakuan Mitha pada suaminya.

Krisna pun angkat suara meskipun segan. "Eh, anu ... mungkin akibat kehamilan dan pasca melahirkan memperburuk mood swing Mba Mitha. Mas Diaz juga banyak tekanan pekerjaan, apalagi setelah kasus pelecehan di sekolah Selamat Malam Indonesia, mungkin Mas Diaz juga butuh rehat. Udahlah, kalau Mas Diaz mau pindah ke Prancis, ya biarin aja lah, Mba, Yah, Bu, Om, Tante. Hitung-hitung keduanya cooling down. Kalau kangen 'kan bisa aja Mas Diaz pulang atau Mba Mitha yang ke Prancis."

Sialan! Kalau begini Diaz bakal lepas dari cengkeramanku, batin Mitha. Ia berharap Prabu akan mendukungnya, akan tetapi ayah mertuanya itu diam saja dan sang istri yang menggamit lengannya, sama-sama berwajah datar.

Mitha hendak memelas pada ayah mertuanya, tetapi keduluan Krisna berucap. "Om, Tante, bagaimana menurut kalian? Kalau Mas Diaz ingin mengembangkan potensi diri, bukankah kita harus mendukungnya?"

Prabu diam saja walaupun sorot matanya tajam terhunus pada Krisna. Krisna mengerti pria itu tidak suka ada yang ikut campur urusan keluarganya dan bersikap mengecamnya, tetapi itu tidak membuat Krisna gentar karena ia bisa memahami Diaz. Ia juga tidak ingin dikekang keluarga. Krisna balas dengan senyum percaya diri. "Kayaknya Mas Diaz bukan anak kecil lagi. Dia berhak memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Calon pengacara internasional loh. Masa iya berkecimpung di Indonesia saja?"

Ibunya Diaz tiba-tiba bicara. "Kalau itu mau Diaz, silakan, Ibu tidak keberatan. Mumpung dia masih muda, lagi pula, tawaran jadi rekanan di sana tidak selamanya ada. Bisa jadi ada pengacara berbakat lainnya yang muncul, Diaz bakal diabaikan."

Prabu pun akhirnya menjawab singkat, "Ya sudah, kalau itu mau Diaz, pergi sana!"

Tangan Mitha jadi lemas. Diaz melepaskan diri darinya dengan mudah. Lalu tanpa berkata apa-apa, bahkan sekadar berpamitan, tidak dilakukannya. Diaz pergi dari kamar itu bak burung lepas dari sangkar. Cepat dan tidak menunda-nunda. Ia benar-benar pergi, meninggalkan Mitha tercenung tengah berlutut di lantai. Yunita bergegas membantu putrinya berdiri dan menuntunnya duduk ke ranjang.

"Sudahlah, kamu harus sabar, Mitha," bujuk ibunya. "Diaz orangnya keras, gak bisa disikapi keras juga. Kalau mau awet rumah tangga kalian, kamu harus banyak mengalah ...."

Sungguh, nasihat itu cuma numpang lewat di telinga Mitha. Jika ia tidak sedang masa pemulihan setelah melahirkan dan kehadiran bayinya bisa diabaikan, ia ingin membuntuti Diaz. Tunggulah! Ia pulih nanti, ia akan kembali kuasai Diaz. Dan jika Diaz ada main perempuan, akan ia binasakan perempuan itu atau Diaz-nya sekalian.

Krisna lega Diaz mendapatkan keinginannya. Ia menarik napas dalam. Namun, ketika Prabu dan istri lewat di hadapannya, Krisna tercenung mendengar selentingan ucapan pria itu merutuk Diaz. "Dasar anak tidak berguna!"

Istrinya mencoba menenangkan. "Sudahlah, Mas. Diaz pernah melakukan kesalahan dan sekarang sedang memperbaikinya. Kita pikirkan saja bagaimana ke depannya supaya mereka berdua tidak bercerai. Kita bicarakan sama Bapaknya Mitha." Kedua orang itu lalu keluar kamar bersama Wirya dan berbincang-bincang di ruangan lain.

Krisna tinggal di kamar karena tidak tahu mesti melakukan apa. Rasanya tidak patut jika pergi ke kamar begitu saja di tengah suasana kacau itu meskipun ia butuh istirahat. Ia turut menemani Mitha yang sedang ditenangkan ibu mereka. Mitha menangis terisak sembari menjawab pertanyaan ibunya.

"Itu beneran, Mit, Diaz pernah hidup bersama perempuan lain?"

"Iya. Orang tanpa status, Ma, mau hidup enak aja dengan menggaet pria kaya. Itu tuh, Mas Diaz itu orangnya mudah iba, makanya mudah kepincut perempuan mura.han."

"Lalu anaknya? Kata kamu dia sampai hamil."

"Keguguran."

"Ooh. Kok kamu tahu, Mit? Kamu denger dari siapa semua kejadian itu?"

Mitha jadi manyun-manyun. "Pokoknya Mitha tau lah, Bu. Mana mungkin coba Mas Diaz betah menjomlo kalau bukan karena udah ada perempuan yang ngelonin dia."

"Astaghfirullah. Ya sudahlah, Mit, kalian sudha terlanjur menikah, sabarin diri kamu, Nak. Laki-laki ini udah jadi pilihan kamu, jadi kamu yang harus banyak bersabar dan berdoa, mudah-mudahan dia insyaf dan tumbuh rasa kasih dalam hatinya agar mencintai kamu dan anak kalian."

"Iya, Bu, Mitha tahu itu. Mitha akan terus berusaha. Jodoh terbaik tidak didapat dengan mudah. Pasti ada ujiannya."

"Iya, betul, Nak. Ibu juga akan mendoakan kalian."

"Makasih, Bu. Mudah-mudahan segera dikabulkan Allah SWT."

Mendengar celotehan Mitha, Krisna jadi menahan diri ingin curhat juga. Untung saja pengasuh datang membawa Emil yang menangis. Krisna ambil bayi itu. "Biar aku aja yang gendongin, Mba," katanya.

"Eh, beneran Den Krisna bisa?" tanya babysitter yang bernama Susi itu. Orangnya masih muda belia, disewa dari agensi pengasuh yang terpercaya.

"Bisa dong! Ya, Emil ya. Sama Om Krisna dulu ya?" ucap Krisna membecandai bayi Emil. Pengasuh lalu pergi dari ruangan itu.

Tangis Emil berhenti saat di tangan Krisna. Mata anak itu terbuka dan mendelik ke atas dengan bibir mungil memunjung memgembuskan napas bayi yang harum. Krisna ciumi wajah Emil. "Duh, ganteng banget sih! Kamu mau nyaingin Om ya? Kecil-kecil udah pinter gaet cewek," ujar Krisna yang mengetahui ponakannya itu sudah dibuatkan Instgram oleh sang ibu dan memiliki ribuan followers.

Mitha masih menangis, tidak ada niat menggendong bayinya. Yunita pikir Mitha sangat terluka dengan keputusan Diaz, padahal sebenarnya Mitha emosi karena kesal tidak bisa menghujat Diaz secara langsung lagi. Mungkin Mitha butuh waktu menyendiri. Yunita pun beranjak dari sisi Mitha dan mendekati Krisna sekalian menyapa cucunya. "Lihat kamu seperti ini, udah pantes banget kamu gendong bayi, Kris. Ayo nih, kapan kamu nikah? Biar kamu bisa gendong anak kamu sendiri."

"Hmm, ntar dulu lah, Bu. Errr, Krisna ogah ah kalau misalnya bakalan seperti kejadian Mba Mitha ini. Maaf, tapi ... suami istri kok kayak musuh bebuyutan gitu loh," ucap Krisna sembari dalam hati merasa bersyukur dipertemukan dengan Adiba. Jika dibandingkan Mitha, ya boleh dibilang Adiba perempuan bodoh, tetapi perempuan itu menyenangkan hatinya. Mitha mungkin terlalu mendominasi dan terbawa posisinya sebagai pimpinan perusahaan sehingga merasa Diaz bisa diperlakukan semena-mena seperti para bawahannya.

Malam itu, Krisna menyadari bahwa kenyataan tidak seindah feed Instgram. Mitha memalsukan tampilan di setiap postingan agar semua orang bisa melihat betapa hidupnya membuat iri orang-orang di luar sana. Krisna harap kakaknya introspeksi diri dan mau ikut konseling kejiwaan.

Krisna jadi kangen anak dan istrinya. Ia mengantar tidur dengan menonton video-video mereka dan teriring harapan tak lama lagi bisa memboyong mereka ke Jakarta.

Sementara itu, Diaz sudah mantap dengan tekadnya. Ia berada di Paris, duduk di meja kafe outdoor di kawasan Eiffel tower. Sambil menikmati suasana cerah kota itu, Diaz menatap ponselnya yang menampilkan wajah Adiba. Jempolnya mengusap gambar gadis berambut ikal itu dan ia bergumam seolah bicara padanya. "Tanpa kamu, dunia ini tidak lagi sama, Dek, tapi itu tidak akan mengubah perasaan Mas pada Adek. Maafin Mas duluan ke sini. Mas janji ini tidak akan sia-sia. Mas akan enyahkan siapa pun yang mencoba memisahkan kita. Jika kita bersama lagi, Mas akan bahagiakan kamu seumur hidup Mas."

Apa rencana Diaz? Akankah berhasil? Lalu bagaimana perjalanan cinta Adiba dan Krisna? Dengan siapa Adiba akan berakhir? Krisna atau Diaz? Silakan komen dan stay tune untuk episode berikutnya!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience