Prabu tidak ingin nama baiknya rusak disebabkan masalah sepele sehingga ia menyuruh anak buahnya menakut-nakuti Bik Esah lalu menurunkan wanita tua itu di pinggir jalanan sepi. Itu cukup membuat Bik Esah memilih tutup mulut dan tidak akan berani lagi berurusan dengan keluarganya.
Diaz pulang ke rumahnya saat malam hari dalam keadaan lelah dan sedih. Mitha yang sudah menunggu-nunggu kedatangannya langsung mencecar Diaz sambil memukulinya. "Kamu keterlaluan sekali, Mas! Kamu tega! Aku sudah biarin kamu nyebut-nyebut nama perempuan itu setiap kali kita bersama. Ternyata kamu masih juga mau nyari dia. Sampai kapan kamu mau terus begini, Mas? Kita bakalan punya anak, seharusnya kamu mulai mikirin tanggung jawab kamu sebagai ayah, bukannya ngejar-ngejar perempuan mura.han! Kamu gak perlu punya cinta sama aku, tapi jaga nama baik keluarga kita. Kamu mau dicap tukang selingkuh? Kamu mau karier kamu hancur? Kalau aku angkat isu ini ke publik, hancur kamu, Mas!"
Diaz yang bungkam sambil menahan pukulan Mitha dengan menggunakan tangannya sebagai tameng, jadi gusar. Ia tangkap kedua tangan Mitha dan membentaknya. "Hentikan, Mitha! Biarkan aku sendiri. Kamu ngancam aku, kamu pikir aku gak bisa balas kamu? Aku bisa laporin kamu dengan tindakan KDRT. Aku punya bukti-buktinya. Jangan lupa aku ini pengacara. Aku bisa speak up atas nama diriku sendiri."
"Oh ya? Siapa yang akan percaya? Mana ada sejarahnya laki-laki ngadu ke polisi karena dipukuli istri? Yang ada kamu yang bakalan malu. Dasar laki-laki lemah!"
"Jaga mulutmu, Mitha! Aku tidak lemah, tapi karena aku pantang memukul perempuan."
"Alasan! Pukul aja aku kalau berani! Ayo, pukul! Pukul!" tantang Mitha dengan muka didoyongkan ke hadapan Diaz.
Diaz geram sekali dengan istrinya itu. Ingin sekali ia pukul Mitha. Namun, karena ia sadar Mitha bisa menjadikan itu sebagai senjata menyerangnya balik, Diaz mundur. "Kau gila!" dengkusnya lalu menjauh menuju kamarnya sendiri. Kamar yang terpisah dari kamar tidur Mitha.
Mitha masih saja meneriakinya. "Gila lebih baik daripada jadi laki-laki pengecut seperti kamu!"
Diaz masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Ia mengurung diri dalam kamar itu sambil menyumpal telinganya dengan headset agar tidak mendengar lagi suara teriakan Mitha.
"Suatu saat kamu akan kena karmanya, Mas! Kamu dan pelacurmu itu, kalian akan mendapat balasan setimpal. Aku sudah berkorban banyak untuk kamu, bukan untuk diperlakukan seperti ini, Mas. Kalian udah nyakitin perasaan aku!"
Mitha mengambil ponselnya dan menatap layar ponsel dengan amarah meluap-luap. Jempolnya sudah siap menelepon ayah mertuanya. Ia ingin meminta agar mereka bersekongkol membunuh perempuan itu, akan tetapi tiba-tiba saja terngiang pesan Krisna padanya. Sabar, kata adiknya itu.
Mitha pun batal menelepon ayah mertuanya. Ia menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Daripada kemarahannya merembet menjadi tindakan kriminal yang akan menghancurkan ia dan ayah mertuanya, Mitha pikir akan ada cara lebih jitu membalas Diaz dan perempuannya jika kejadian mereka bersama lagi. Akan ia bawa ke internet dan selanjutnya doa sejuta umat netizen yang akan mendatangkan bala bagi mereka. Dengan demikian, maka ia yang akan keluar sebagai pemenang dalam konflik ini.
Mitha tersenyum menyeringai. Sambil memegang erat ponselnya ke da.da, Mitha bergumam sendiri dengan mata membelalak tajam. "Lihat saja, Mas. Siapa yang akan lebih dipercaya orang-orang di antara istri yang tersiksa dan suami tukang selingkuh? Jika kalian bersama lagi, aku akan hancurkan kalian berdua sekaligus. Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia walau sedetik pun!"
***
Semakin bertambah usia kehamilannya, Krisna semakin memanjakannya, akan tetapi itu tidak bisa meredam kegelisahan yang dipendamnya. Adiba merasakan banyak orang dendam dan sedang mendoakan hal buruk terjadi padanya. Adiba jadi berandai-andai jika malam itu ia berserah diri saja diperkosa Om Erkan, yang menderita pasti hanya dirinya seorang. Kemudian ia akan mati muda. Mungkin dibunuh Om Erkan atau penyebab lainnya, yang jelas masalahnya berakhir di situ. Ia tidak perlu bertemu Diaz. Tidak perlu bertemu Krisna. Tidak perlu berada di sini dengan semua beban berat di punggungnya yang siap runtuh menindihnya kapan saja. Tidak perlu melihat awan kelabu pembawa badai setiap ke mana saja ia melangkah.
Bagaimana hidup anakku nantinya? Apa ia siap menerima latar belakang ibunya yang seperti aku ini? Apa Mas Krisna bisa memperlakukanku dengan cara yang sama seperti saat ini?
Adiba melamun saat menggantung cucian baju di tali jemuran. Memandang langit yang berawan mendung, Adiba merasa gelisah. Apa jemuran bisa kering dalam cuaca seperti ini? Jika cucian tidak dijemur ia akan merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Suara Krisna memanggil membuyarkan lamunannya. "Dek, Mas mau berangkat ke Kertoembo. Mas mau ajak Adek, tapi ntar kelelahan, jadi, Adek di rumah aja ya? Mas usahain sebelum gelap sudah balik."
Adiba menoleh pada suaminya dengan wajah bersemu lembut. "Iya, Mas, hati-hati di jalan ya," katanya. Krisna mendatanginya untuk bersalaman. Ia cium punggung tangan pria itu dan dibalas dengan kecupan di dahi lalu di bibir.
Karena mereka berada di halaman belakang rumah, tidak akan dipandangi siapa pun, Krisna bisa melakukannya tanpa sungkan. "Ntar siang makan ya? Jangan gak makan. Kasian Dede-nya ntar kelaperan," ujar Krisna dengan bibir dimanyunkan.
"Iya, Mas," sahut Adiba lirih.
Kening Krisna mengernyit. "Kenapa kok kamu keliatan sedih hari ini, Dek?"
Adiba tersenyum berat hati. "Gak papa, Mas. Mungkin gak semangat ya karena itu tadi, harus makan lebih banyak biar bertenaga."
"Nah, kamu tau 'kan manfaatnya?"
"Iya, Mas."
"Ya udah. Mas berangkat dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Adiba pandangi punggung Krisna sampai tak tampak lagi lalu ia melanjutkan kegiatannya sehari-hari.
Klinik dijaga oleh Bu Mujibe dan Sutiyeh sehingga Adiba ada teman sepanjang siang yang gerimis itu. Mereka makan siang bersama. Selesai jam kerja, mereka pulang ke rumah masing-masing. Tertinggal Adiba sendirian di rumah.
Itu bukan pertama kalinya ia ditinggal sendirian karena Krisna bertugas di dusun yang lebih terisolir. Adiba tidak berpikiran macam-macam karena ia fokus menjahit. Adiba mulai merasa gelisah setelah hari beranjak malam, Krisna belum pulang juga dan hujan gerimis terus turun. Adiba menutup rapat semua jendela dan pintu serta menyalakan lampu. Tak ada yang menyiapkan makan malamnya, barulah Adiba merasa galau. Ia pegang ponselnya, berpikir untuk mencoba menelepon suaminya. Adiba ke penjuru rumah mencari sinyal, tetapi tidak mendapatkannya. Maka, dalam keadaan hujan itu ia berpayung ke halaman rumah dan mencari sinyal di sana. Rupanya cuaca muram saat itu turut mengganggu keberadaan sinyal. Setelah beberapa saat tidak menemukannya, Adiba pun kembali ke dalam rumah lalu duduk meringkuk berdiam diri dengan mata terpaku pada mesin. Krisna melarangnya menjahit di malam hari. Selain lampu tidak cukup terang, sepanjang hari ia sudah menjahit, malam saatnya istirahat. Karena itu juga Adiba tidak suka ada pesanan yang dadakan atau mendesaknya harus selesai secepat mungkin. Ia akan tolak pemesan seperti itu tanpa bertele-tele.
Saat sunyi sepi itu, suara sepeda motor pretelan berada di depan rumah mengejutkan Adiba. Kemudian para pria bercakap-cakap mendebatkan sesuatu sambil berjalan mendekat. Adiba beringsut menjauhi pintu depan. Ingin ia segera bangkit lalu bersembunyi dalam kamar, akan tetapi kakinya seolah kaku setelah lama ditekuk.
Pintu depan diketuk-ketuk dan orang itu mengucapkan salam berkali-kali. "Assalamu'alaikum. Assalamu'alaikum."
Adiba tidak berani melakukan apa pun tanpa ada Krisna di sisinya. Ia gigit jari sambil menahan tangis. Memandangi pintu menunggu terbuka sendiri.
Suara-suara itu terhenti. Kembali senyap, tetapi kedua pria itu tidak beranjak dari teras. Mereka saling pandang. "Bagaimana ini?" gumam salah satunya. Temannya angkat bahu. Beberapa saat kemudian sebuah mobil hutcback tiba di halaman itu dan orang-orangnya turun dari dalam mobil.
Mendengar suara mobil tersebut, Adiba pikir suaminya sudah tiba sehingga ia segera berdiri dan membuka pintu. "Mas!" ucapnya, akan tetapi sekejap kemudian Adiba diam membeku karena yang datang ke rumahnya adalah orang lain dan beberapa dari mereka tidak dikenalnya sama sekali. Para pria itu sebagian warga lokal, sebagian lagi petugas berseragam BASARNAS.
Seorang pria tinggi tegap menyapanya sambil memberi hormat. "Selamat malam, Ibu. Apa benar Ibu istri Dokter Krisna Adimulya?"
Entah disadari Adiba atau tidak, dalam hati ia menjawab iya, tetapi pada kenyatannya ia diam seperti patung.
Pria itu melanjutkan dengan kalimat penuh kehati-hatian. "Kami dari Basarnas. Kedatangan kami kemari untuk memberitahukan pada Ibu, mobil yang ditumpangi Dokter Krisna dan asistennya jatuh ke jurang dan tertimbun tanah longsor."
Adiba mendengar jelas, akan tetapi dalam kepalanya justru pengang suara peluit kereta api dan guncangan rel saat kereta itu melintas di depan matanya. Berkecepatan penuh, kendaraan besar itu melindas semua rintangan yang ada di hadapannya tanpa ada satu pun bisa menghentikan lajunya.
Apakah ini akhirnya? lirih Adiba dalam batinnya. Aku tidak ingin melalui ini sendirian. Mas, bawa aku bersamamu. Jiwa kecilnya menciut, masuk ke dalam lubang cangkang terdalam dan tak berani keluar lagi. Ia tutup lubang itu rapat-rapat. Meskipun gelap gulita, ia tidak takut. Ia aman, tak ada yang mengganggunya lagi.
*** Bersambung....
Share this novel