Setelah kepergian Diaz, situasi di rumah keluarga Adimulya sedang tidak baik-baik saja sehingga Krisna menunda kepulangannya ke Surabaya. Wirya jadi emosi dan meluapkannya pada Krisna. Pagi harinya, di ruang makan, berkumpul bersama ayah ibu dan Mitha, Krisna dicecar. Wirya mengemukakan keinginannya. "Sikap Diaz seperti ini adalah pertanda bahwa Ayah tidak bisa mengandalkan menantu laki-laki untuk membangun kejayaan keluarga kita. Sekarang kamu satu-satunya harapan Ayah, Kris. Kalau kamu menikah nanti, harus dari kalangan konglomerat atau sultan. Jadi, nama keluarga kita tetap terangkat. Kalau perlu Ayah carikan kamu calon istri dari kesultanan Brunei Darussalam atau Malaysia."
Krisna terperangah. "Ayah, tolong diingat-ingat, Yah, aslinya keluarga kita hanya warga biasa yang kebetulan dikasih Allah rezeki lebih. Status seperti itu tidak menjamin kehidupan rumah tangga yang langgeng."
"Kamu gak usah sok bijak, Kris. Kalau kita tidak punya kekayaan dan jabatan penting, kamu pikir dari mana semua yang kamu miliki sekarang berasal? Dari mana kamu punya rumah, kendaraan, fasilitas mewah yang bikin hidup kamu enak selama ini? Jangankan hidup di jalanan, kamu ke mana-mana aja gak pernah jalan kaki panas-panasan di luar sana, 'kan?"
Krisna bungkam seribu bahasa. Ingin membantah pun rasanya percuma karena memang benar sejak dalam perut ia tidak pernah hidup susah. Kakek-neneknya, ayah-ibunya juga tidak pernah hidup susah, tapi memang dididik keras soal keunggulan jadi orang kaya dan pentingnya status sosial. Mungkin ibunya saja keturunan yang paling berjiwa sosial dibanding yang lainnya dan Krisna bersyukur sifat itu menurun pada dirinya. Jika tidak ada rasa kasih sayang itu, mungkin ia tidak akan jatuh cinta pada Adiba.
Pikiran Krisna jadi mengembara ke anak-istrinya. Mereka adalah sumber kebahagiaannya. Rumah kecil dan tanpa internet, tapi hati bahagia.
Krisna beranjak dari hadapan ayahnya sambil bergumam, "Ucapan Ayah seperti ini yang bikin Krisna malas nikah, tau gak, Yah?"
"Anak bandel! Melawan kamu ya?!" hardik Wirya seraya melempar serbet ke arah Krisna, tetapi tetap diabaikan anak itu. Ia tetap menjauh.
Yunita memegangi tangan suaminya dan membujuk, "Sudah, sudahlah, Mas, jangan direcoki lagi soal nikah pada Krisna. Mungkin ini fasenya dia masih pengen sendiri. Ntar sadar sendiri kok."
"Kalau dia gak nikah-nikah juga, kukurung dan kupaksa nikah Krisna itu, biar tahu rasa. Wong ini demi kebaikan dia sendiri kok!" gerutu Wirya sembari membenahi duduknya.
Yunita mendesah, tetapi tidak menyela ucapan suaminya karena pria itu lanjut menyantap sarapan dan tidak membahas Krisna lagi.
Mitha yang memperhatikan saja sambil makan, menyengir-nyengir sendiri, dalam hati meledek ayahnya, Lagi-lagi membanggakan Krisna. Lihat aja ntar, Yah. Justru Krisna yang bakalan bikin Ayah hancur dan terpuruk. Entah bagaimana caranya, Mitha yakin itulah yang akan terjadi. Secara implisit ia melihat ada kemiripan antara Krisna dan Diaz. Mungkin dari sisi jiwa sosial yang terlalu tinggi.
Melepaskan kekesalannya, Krisna berlatih bearing pulley dengan alat home gym di kamarnya. Setelah beberapa sesi, tubuhnya penuh keringat, ia ke balkon dan melepas kaosnya untuk mendinginkan badan. Tubuh berlengan kekar itu bertumpu siku ke pagar sambil mengetik pesan di ponselnya. Ia semringah saat berbalas pesan dengan Adiba, tidak menyadari Mitha masuk ke kamarnya sambil menggendong Emil yang tertidur pulas.
"Lagi ngapain, Kris?" tegur Mitha, mendatangi adiknya di balkon.
Krisna buru-buru menutup layar ponselnya. "Cuman chat ama temen," jawab Krisna lalu berbalik menghadap Mitha. Ia mengipas-ngipasi badannya dengan kaos supaya lelehan peluh cepat hilang.
Mitha perhatikan saksama di da.da dan punggung Krisna ada bekas ciuman yang mulai pudar. Ia berceletuk, "Masih sama gandengan kamu yang dulu? Having fun melulu. Ntar kamu kena jebak kayak Diaz, tau rasa lo! Cewek yang maunya enak aja. Bisa dipake siapa aja asal mau ngasih duit."
"Ntar dulu. Ini beda lagi!" sengir Krisna.
"Beda gimana? Kamu gak pernah kasih tunjuk orangnya, Mba yakin karena 100% Ayah gak akan setuju sama dia atau kamunya main-main aja, iya 'kan?"
"Hehhe, iya sih. Makanya, Mba gak usah bilang-bilang Ayah deh. Ngerusak kesenangan aku aja ntar."
Mitha mendelik ke sekeliling sementara dalam hati menyeringai. Semakin rusak tabiat Krisna di mata ayahnya, ia semakin suka. Kemudian ia bercetus pada adiknya itu. "Upah Mba tutup mulut, temenin Mba jalan-jalan. Jenuh Mba di rumah terus. Mana Diaz begitu lagi. Kurang ajar bener jadi laki. Mba bakal kasih liat, tanpa dia, Mba masih bisa having fun!"
Krisna antusias menanggapinya. "Oke! Mba mau ke mana, Krisna anterin. Apa sih yang nggak buat Mba-ku yang tersayang?"
"Kita ke mall, yuk! Aku mau belanja baju-baju sama aksesoris buat Emil."
Kebetulan Krisna juga ingin beli baju mall buat anaknya. Ia segera menyetujui ajakan Mitha sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya. "Siap! Aku mandi dulu ya, Mba!"
"Oke," sahut Mitha. Ia lalu ke kamarnya juga untuk bersiap-siap keluar serta mendandani Emil yang akan ikut bersama mereka.
Jalan-jalan di mall, Krisna mendorong kereta bayi dan Mitha berjalan di sisinya. Keduanya mengenakan kacamata hitam dan berpenampilan modis, terlihat seperti pasangan muda bersama newborn mereka. Orang-orang yang memandangi mereka terkagum-kagum. Bagi yang tidak kenal, menganggap mereka pasangan muda ideal. Cantik dan tampan, kelihatan berkelas, serta buah hati yang rupawan. Bagi yang kenal, jadi bertanya-tanya, Diaz mana?
Hal itu terjawab di story instgram Prince Emil yang dibuat Mitha sambil nongkrong di mall. Memadukan gambar Emil dan ibundanya, lalu gambar Diaz yang berdiri di jalanan dengan latar belakang menara Eiffel, diberi caption 'Daddy aku sedang berjuang meraih cita-citanya. Good luck, Daddy! We will always support you. Miss you ?????? Cepet balik ke Indonesia yaa!'
Di instgram Mitha juga menampilkan hal yang serupa hanya dengan caption emot ?? diiringi lagu 'Pergilah Kasih' cover suara Tami Aulia. Postingan itu langsung banjir komentar yang memuji Mitha atas kesabaran dan keteguhannya. Juga ungkapan-ungkapan motivasi seperti yang bisa kalian baca pada komentar di video tersebut di Youtuv. Juga pertanyaan apakah sesuatu terjadi pada hubungan Mitha dan Diaz karena lagu tersebut terasa menyimpan duka untuk jadi musik pengantar.
Mitha membalas komentar-komentar itu dengan bijak, seperti, 'Makasih banyak. Mohon doa yang terbaik, Bun. Semoga Allah menjaga Mas aku di sana. Kami boleh berjauhan, tetapi hatinya tetap milik aku dan Emil'.
Followers segera menanggapi dengan emot nangis dan terharu.
"Kuat banget," kata mereka.
"Istri yang solehah. Mendukung pekerjaan suami, meskipun berat. Salut buat Mba Mitha."
"Ujian sebagai istri ya, Mba. Baru punya anak, sudah harus terpisah. Semoga lekas bersatu kembali. Ku yakin dengan ridho istri, ridho Allah akan menyertai."
Mitha menyengir senang melihat respons pengikutnya. Jika Diaz macam-macam, akan mudah ia menyebarkan keburukan suaminya itu biar diganyang netizen. Toh mereka pasti butuh asupan menghujat seseorang. Apalagi masalah pelakor. Ha! Paling gampang menyulut emosi.
Melihat Mitha asyik dengan instgramnya, Krisna mengecek melalui ponsel dan terhenyak melihat postingan itu. Ia lalu meninggalkan laman tersebut tanpa bisa berkomentar apa pun karena sudah tahu tabiat kakaknya. Tidak ada yang salah dengan postingan Mitha dan mungkin doa-doa netizen akan dikabulkan. Hanya saja, alih-alih membuat postingan yang bagus, lebih baik andai kata Mitha introspeksi diri dan terapi sifat narsistik histrioniknya yang menjadi-jadi.
Setelah beberapa saat Mitha berkutat dengan sosmed, Krisna mengingatkannya. "Mba, yuk kita lanjut ke toko baju bayi. Katanya mau beli baju buat Emil."
"Iya, ya, Kris. Yuk!"
Mereka lanjut menyisir toko-toko yang menjual baju serta perlengkapan bayi. Mitha membeli banyak baju dan aneka mainan serta perangkat bayi yang sudah pasti harganya mahal. Krisna tidak ambil pusing soal itu karena itu uang Mitha sendiri dan suka-suka dia mau beli apa. Krisna jadi tergiur membeli untuk putrinya juga, tetapi segan ada Mitha. Ia memilih-milih di rak pakaian bayi perempuan. Gaun-gaun mungil yang lebih beragam model dan warna, banyak hiasan renda serta pita-pita. Mitha menyikutnya. "Ponakan kamu laki-laki loh, Kris. Kenapa kamu milih-milih baju perempuan?"
"Ooh, ini ... buat anak cewek lucu-lucu ya, Mba. Banyak pilihan," sahut Krisna.
"Di mana-mana juga barang-barang cewek emang lebih bervariasi. Kayak pakaian dalam misalnya. Eh, kamu gak tertarik beliin oleh-oleh buat 'pacar rahasia' kamu itu? Ayo, Mba anterin! Sama Mba ke toko lingerie biar kamu gak tengsin."
Sebenarnya, sudah pernah ia membelikan Adiba pakaian haram, aneka model dan warna pula. Kali ini, ia tidak perlu beli itu lagi. Dengan sungkan Krisna menolak. "Nggak usah, Mba. Ah, males aku beli begituan. Nggak segitu-gitunya kok aku sama dia. Iseng doang. Aku gak serius. Palingan ntar aku ganti cewek lagi."
Mitha senang mendengar pengakuan itu. Ia melengos ke rak lain. "Ya udahlah kalau begitu. Aku mau lanjut belanja ya?"
"Iya, Mba. Lanjut aja. Aku masih mau liat-liat di sini. Err ..., anak buah aku ada yang baru melahirkan, anaknya cewek. Aku mau kasih oleh-oleh buat dia."
"Ya, ya, terserah kamu," sahut Mitha tanpa menoleh pada Krisna. Ia menghilangkan di deretan rak pakaian.
Namanya perempuan, kalau sedang memilih-milih tuh, istilah kata terjadi gempa bumi, selama toko belum runtuh, mereka gak akan beranjak sebelum menemukan barang yang iya banget. Mumpung Mitha keasyikan, Krisna bisa membeli beberapa stel baju ukuran mini yang spesial untuk putrinya. Kantongnya ia gulung-gulung agar tidak terlihat banyak belanjaan.
Saat membayar belanjaannya, Mitha senang mendapati Krisna menunggunya di toko itu tanpa tanpa terlihat bosan ataupun mengeluh. Malah adiknya itu dengan senang hati menjaga Emil lalu pas jalan pulang, membawakan semua belanjaan menggantung di kedua lengan berototnya.
"Duh, enaknya belanja bareng kamu, Kris. Beneran cowok yang pengertian banget kamu," puji Mitha.
Krisna semringah. "Mba gak tau aja. Aku nih senang belanja loh," katanya. Pada kenyataannya memang demikian. Segala keperluan rumah tangga dan kebutuhan anak istri, ia yang belanja. Adiba tahunya beli keperluan menjahit saja. Istrinya itu bahkan tidak tahu soal masak memasak. Bahkan makan atau tidak pun ia tidak terlalu memikirkan. Btw, Adiba sudah makan belum ya? Hhhh .... Kan? Jadi kangen istri, 'kan?
"Ooh. Semenjak kamu tinggal sendiri ya?" gumam Mitha.
"Iya."
"Baguslah. Kamu jadi cowok mandiri gini, Mba seneng! Kita bisa sering-sering hang out kayak gini lagi," ucap Mitha sembari menyikut Krisna, membuat adiknya itu tertawa.
"Siap, siap, siap!" ujar Krisna yang turut senang kebersamaan itu menjadikan mereka tambah akrab.
Meskipun kepulangannya tertunda, Krisna senang bisa membawakan oleh-oleh barang bagus untuk anaknya.
Sementara Adiba menikmati waktu berduaan dengan putrinya. Ketika malam hari sebelum ada yang datang bermalam menemani mereka, Adiba mengusap rambut Adisna yang terlelap dalam dekapannya. Ia berbicara pada putrinya sambil merekam suara dan air matanya menetes.
"Jika suatu saat Disna mengetahui masa lalu Ibu dan Disna merasa malu atau membenci Ibu, tidak apa-apa. Ibu tidak berharap Disna akan mengerti karena itu bukan sesuatu yang mudah dimaklumi. Ibu sendiri pun membenci apa yang telah Ibu lakukan. Namun, Ibu hanya ingin Disna tahu, Ibu akan selalu sayang dan cinta pada Disna. Pada Ayah Disna. Ibu minta maaf karena punya nasib yang buruk. Ibu harap itu tidak akan pernah terjadi pada kalian berdua. Semoga kalian selalu baik dan bahagia. Saling menjaga dan saling menyayangi."
Tidak seperti yang dialaminya. Dijual serta dikhianati ayah dan kakak kandungnya. Tidak punya seorang pun tempat mengadu apalagi minta perlindungan. Ke mana aku harus bersembunyi? Ke mana aku harus pergi?
Pikiran buruk mulai menghantuinya lagi. Sejenak perhatiannya tersedot ke dalam pusaran gelap depresi. Ketukan dan seruan dari pintu depan membuyarkan lamunannya.
"Assalamu'alaikum! Diba, buka pintunya," ujar Sutiyeh yang datang untuk menginap selama Dokter Krisna belum balik.
Adiba menaruh Adisna di boks bayi lalu bergegas mendatangi suara itu. "Iya, Mba, bentar!" ucapnya seraya membuka kunci dan pengaman tambahan.
"Kirain sudah tidur," ujar Sutiyeh sembari melangkah masuk. Suaminya pergi dari situ setelah mengantarnya. Sutiyeh melepas jaket sehingga tampil mengenakan piama tidurnya.
"Belum, Mba. Tadi menidurkan Disna. Makasih, Mba udah datang nemenin kami," ujar Adiba, kembali mengunci pintu lalu menyiapkan kasur tambahan untuk Sutiyeh.
Saat bersiap tidur, Adisna menangis keras sehingga mereka buru-buru mengambil bayi itu dan menggendongnya supaya tenang. Namun, Adisna masih rewel. Adiba harus menimangnya sambil goyang-goyang. Tangis Adisna berangsur-angsur berhenti.
"Kayaknya kangen bapaknya nih," celetuk Sutiyeh. "Tiap malam nangis terus. Biasa tidur di tangan bapaknya ya?"
"Iya, Mba. Ni anak lengket banget sama bapaknya ya?" resah Adiba.
"Ya bagus dong! Gak kayak anak-anakku loh umuran segini gak tau menau bapaknya. Aku sendirian yang urus."
"Oh," seloroh Adiba yang kemudian diam saja daripada komentarnya bakalan menyinggung Mba Sutiyeh. Wanita itu boleh bercerita apa saja tentang keburukan suaminya, tetapi belum tentu mau mendengarkan ucapan orang lain. Adiba cukup bersyukur dalam hati saja bahwa tingkah manja Krisna juga dibarengi ia senang memanjakan anak mereka.
"Kapan Pak Dokter pulang?" tanya Sutiyeh lagi.
"Katanya sih besok. Semoga gak ada halangan lagi." Adiba menjawab sambil sibuk menimang anaknya.
Sutiyeh mangut-mangut, lalu berujar tiba-tiba. "Eh, Diba, pernah kepikiran gak misalnya Pak Dokter tuh ternyata dinikahkan sama seseorang oleh keluarganya di Jakarta?"
"Ah? Ngg ... Gak tau lah, Mba. Gak pernah kepikiran. Mba Sutiyeh kenapa bertanya begitu?"
"Kali aja. Kan mungkin aja terjadi. Banyak cerita di Fa.c sama di novel-novel tuh kejadian kayak gitu, Diba. Banyak yang terinspirasi dari kisah nyata. Oleh-oleh dari mertua ternyata istri muda."
"Aduh, Mba, saya gak tau ada yang begituan. Saya gak suka baca-baca. Takut, Mba, kalau-kalau terbaca berita yang enggak-enggak."
"Ah kamu, Diba, ada-ada aja yang ditakutin. Misalnya kejadian nih, Dokter Krisna dinikahkan sama orang lain, gimana menurut kamu?"
"Diba gak tau lah, Mba. Semua Diba serahkan pada Mas Krisna. Asalkan bisa tetap menjahit, rasanya semua tidak masalah."
Sutiyeh mangut-mangut. "Bener-bener aneh jalan pikiran kamu, Diba, tapi ada benernya juga sih. Ada hal yang jauh lebih baik daripada mikirin suami ya, Diba."
"Mungkin," sahut Adiba seraya berbalik ke boks bayi untuk menaruh Adisna yang kembali tertidur. "Disna-nya sudah tidur, Mba. Yuk kita tidur juga," lanjut Adiba agar Sutiyeh tidak melanjutkan pembicaraan tadi.
Rumah pun senyap karena penghuninya lelap berselimut, kecuali Adiba. Ia meringkuk dalam selimutnya, diam menggigit jari. Dalam benaknya penuh hal-hal yang membuat gelisah. Campur aduk hingga ia tidak tahu mulai dari mana dan harus bagaimana. Satu hal yang muncul ibarat sebuah penuntun jalan baginya yaitu Krisna. Hatinya menyebut-nyebut hingga tertidur. Mas Krisna, cepatlah pulang ....
***
Esok sorenya, kedatangan Krisna sangat ditunggu-tunggu Adiba. Ia mondar-mandir gelisah di tengah rumah. Adisna di ayunan merengek-rengek, diayunnya sesekali supaya tidak tambah rewel. Ketika mobil hutcback putih mendekat, Adiba bergegas keluar rumah dan bersiap menyambut karena tahu itu suaminya yang datang.
Krisna turun dari mobil membawa ransel dan sebuah tas jinjing, berwajah berseri-seri, mata berbinar melihat istrinya terlihat bersemangat menanti bersentuhan dengannya. Namun, ia harus berterima kasih dulu pada sopir yang mengantarnya. "Makasih, Son. Salam buat Mas Syamsu ya, sekalian titip oleh-oleh buat dia."
"Iya, sama-sama, Dok. Saya langsung aja ya, biar gak kemalaman balik ke Surabaya," sahut Sonari.
"Yoi. Hati-hati ya. Semoga selamat di perjalanan!" Krisna melambai mengantar kepergian mobil itu.
Adiba mendekat ke sisi Krisna, ketika pria itu berbalik, langsung ia raih tangannya dan menciumnya. "Mas," sebut Adiba. Krisna balas dengan mengecup kening Adiba lalu bibirnya.
"Mas kangen, Dek. Yuk ke dalam," ucapnya terdengar berat karena desakan dalam tubuhnya menginginkan bermesraan. Adiba lekas membawakan tasnya. Ia rangkul Adiba lalu bersama-sama masuk ke dalam rumah.
Namun, bukannya mencumbu sang istri, karena ada anak, Krisna melepas ranselnya dan segera mendatangi Adisna yang sedang di ayunan. Ia angkat bayi itu lalu menciuminya dengan khidmat karena aromanya sangat lembut. Adisna berceloteh riang. Jari-jari mungilnya menyapu wajah sang ayah.
"Anak Ayah, apa kabarnya? Kangen Ayah ya?" ucap gemas Krisna.
"Iya, Mas. Setiap malam rewel, apalagi pas mau tidur," kata Adiba.
Krisna menoleh pada istrinya sambil tak melepaskan pipinya dari Adisna. Mau ia gigit-gigit pipi tembam bayi itu. "Waah, Disna bikin Adek kewalahan dong?"
"Nggak juga. Dia mudah aja ditenangkan," sahut Adiba yang mengernyit sungkan ketika Krisna malah bersungut ke telinganya dan berbisik, "Tenang aja, sudah ada Mas. Disna gak bakalan rewel lagi, tapi malam ini, Mas yang bakal bikin Adek kewalahan. Hehehe...."
"Mas ah!" desah Adiba tersipu-sipu menyikut suaminya. Ia buru-buru mengalihkan perhatian pada barang bawaan Krisna. "Mas bawain apa? Kok cuman ini? Oleh-oleh buat Mas Fahmi, Bu Mujibe, dan Mba Sutiyeh mana?"
"Udah tadi Mas kasihkan pas mau ke sini. Mas gak lupa soal itu. Mas juga beliin oleh-oleh buat Disna. Buka aja, tuh ada dalam tas itu," ujar Krisna.
Adiba duduk di lantai, membongkar bawaan Krisna. Selain barang-barang pribadinya, Adiba juga menemukan beberapa keping KitKat dan Milo Choco Bar favorit suaminya. Kemudian yang tampak asing adalah bungkusan plastik berlogo toko bayi. Adiba membukanya dan melihat pakaian-pakaian bayi buat Adisna. "Wuaah cantik-cantik bajunya, Mas. Ini pasti baju mahal ya?" Memang, terlihat di label harganya.
"Iya loh. Bisa buat referensi Adek kalau mau bikin baju anak-anak. Mas pikir Adek pasti bosan kalau bikin baju yang kayak gitu-gitu aja."
Adiba tatap Krisna dan terpaku pada wajah tampan serta sorot mata penuh sayang itu. Ia terharu, nyaris meneteskan air mata. Namun, tidak ada satu kata pun terucap. Krisna terkekeh. Ia berjongkok lalu mencondongkan wajah memberikan kecupan di dahi Adiba. Ia bersuara perlahan. "Mas tau apa yang Adek butuhkan dan yang Mas butuhkan cuman Adek."
"Kalau Disna, Mas?" tanya Adiba lirih.
"Disna mah sama kayak Mas. Butuh Adek juga. Jadi, kami dua-duanya butuh Adek."
Adiba tidak dapat berkata-kata. Dadanya sesak oleh rasa gembira. Rasanya diri ini berarti sesuatu dan sangat berharga. Krisna menambah kecupannya menjadi ciuman dalam haus rindu. "Nantinya, bukan hanya Disna. Mas mau tambah lagi. Dua, tiga, atau empat, berapa saja Adek bisa kasih."
Wajahnya rasa memanas. Adiba tertunduk dalam, bibir Krisna menyusulnya sehingga ia mendongak lagi. "Mas ...," desahnya di sela-sela ciuman.
Mereka bisa keterusan bercumbu, jika saja Adisna tidak menangis. Krisna menghentikan cumbuannya, menyisakan bekas basah di bibirnya dan bibir Adiba yang ranum membengkak.
"Diba beresin barang-barang ini dulu, Mas." Adiba tersipu-sipu beranjak dari duduknya sementara Krisna mengendong Adisna.
"Iya, Dek," sahut Krisna. Kemudian ia berdiri sambil bersenandung menenangkan putrinya. Sesekali ia membisiki Adisna. "Anak Ayah, Ayah mau rapel kerjaan malam ini, bareng Ibu kamu. Jadi, jangan rewel ya! Hehhee...."
Dan malamnya, sesuai harapan kita semua. Setoran full hasil rapelan setelah beberapa hari absen menginspeksi. Krisna tunggangi gadis berpakaian lingerie rekreasi yang tak pernah gagal memacu ereksinya. "Masya Allah, nikmatnya, Dek ...," gumam Krisna dengan suara serak, meracau di antara engahan cepat Adiba.
Adiba sebenarnya waswas karena bekas melahirkan dan Krisna juga mainnya tidak terlalu keras, siapa tahu kurang nikmat, akan tetapi ia lega suaminya bisa mencapai klimaks setelah cukup lama berpacu di peraduan. Wajah pria itu sayu dan sorot mata redup menatapnya seakan terkesima. Ia tampak sangat tampan. Tampan yang menenangkan oleh binar kebahagiaan.
Pinggul Adiba serasa lumer sehingga melingkupi kerabat kecil pria itu penuh penyerahan diri. Air mata menetes dari sudut mata ambernya, berbarengan keringat di keningnya. "Maafin Diba, Mas," ucapnya.
Krisna jadi keheranan. "Kenapa minta maaf, Dek?"
"Diba tahu Diba gak pantas merasa demikian, tapi kalau Mas Krisna nikah lagi sama perempuan lain, Diba akan sangat cemburu, Mas."
Krisna nyaris batuk akibat menahan tawa. "Apaan sih kamu, Diba? Astaga ... sempat-sempatnya mikir gituan." Tadinya ia hendak mencabut Little Krisna-nya, malah ia dorong lagi semakin dalam mumpung masih keras. "Rasakan nih punya Mas senang di dalam sini, masa iya toh kepikiran nikah lagi sama orang lain?"
Adiba jadi malu sendiri. Ia menoleh tak karuan ke arah lain. "Kadang-kadang ... kan bisa aja kejadian," rengut Adiba.
Krisna tertawa kecil dan merasakan desiran kecil si Little menyemprotkan sisa-sisa maninya. Kekhawatiran Adiba sangat beralasan dan Krisna merasa senang ada kecemburuan itu. Ia tangkup sebelah pipi Adiba dan ibu jari mengusap tulang pipinya, menyingkirkan aliran air mata. "Diba, oh Diba. Mas beneran gak tau mesti ngomong apa soal itu, tapi terus terang dalam hati Mas selalu berdoa keluarga Mas bisa menerima Adek. Biar kita bisa ke Jakarta bareng dan Adek bisa sungkem pada ayah dan ibu Mas. Jadi, kalau mau nikah lagi, rasanya sangat, sangat jauh dari pikiran Mas."
Adiba diam menatapnya dengan sorot polos mengiba. Ia kecup kening Adiba lalu menatapnya sangat dekat dan bicara lagi. "Mari kita selalu berdoa, sayang. Allah bilang, satu hal yang bisa mengubah takdir yaitu doa. Mas yakin, doa-doa itu yang akan selalu menyatukan kita dalam ikatan suci bebas dari pengganggu, apalagi pelakor-pelakor di luar sana. Perselingkuhan terjadi bukan karena hadirnya orang ketiga, tapi memang niat pelakunya. Semoga kita selalu ditetapkan hati saling mencintai seperti ini."
Adiba diam saja, tetapi Krisna bisa melihat skeptis dari sorot matanya. Ia mendesah pasrah. "Kedengerannya Mas sok bijak, tapi sebenarnya Mas justru belajar banyak soal kehidupan dari Adek."
Ia mainkan seuntai rambut keriting Adiba sambil bergumam, "Semua yang Mas inginkan bisa Mas dapatkan dengan mudah. Uang, pamor, peluang, bahkan Mas mengira menemukan Tuhan dalam sorotan kemilaunya dunia. Namun, Mas tersadar bahwa cahaya itu justru membutakan Mas. Sekarang, setelah semua yang terjadi, semua mimpi dan kilauan cahaya itu tidak ada artinya jika Mas tidak bisa memiliki kamu."
Krisna sentuh bibir Adiba, lalu berkata padanya tegas tetapi lembut. "Kamu, Adiba Farhana, yang membuat semua dalam hidup Mas menjadi berarti."
Susah. Sangat sulit untuk mengungkapkan, terlebih lagi mengekspresikan bagaimana takjubnya ia mendengar pernyataan itu. Rasanya aliran otaknya mampet karena beragam perasaan berdesakan. Adapun, Krisna cukup melakukan satu hal untuk menyempurnakan malam itu. Ia kecup bibir Adiba lalu berkata, "Mas cinta kamu, sayang."
*** Bersambung....
Share this novel