BAB 12

Family Completed 22120

LANA:

Tante Andjani dengan mata besarnya yang berkesan rapuh dan lugu, menatapku. Sejenak aku mengerti apa yang terlintas di pikirannya. Dan tiba-tiba, aku merasa begitu kasihan. Apa yang telah dikorbankannya ketika memutuskan menikahi Papa?

Kuliahnyakah? Kehidupan masa muda yang mestinya direguk sepuas-puasnyakah? Lalu kini, sebentar lagi dia akan menghadapi kepahitan seperti yang dialami ibuku.

Ah, laki-laki memang makhluk paling brengsek di muka bumi!

Tiba-tiba, bahkan rasanya di luar kehendakku, aku bangkit, dan dengan patuh bergerak menuju kamar. Aku tidak berpura-pura dia tidak ada, aku berpura-pura tidak mendengar yang dia katakan. Meski belum dapat menguasai diriku untuk setidaknya mengangguk atau memberi jawaban singkat, aku tidak berniat menyiksanya lagi dengan sikapku.

Pernah kudengar bahwa hidup itu bagaikan bumerang. Apa yang pernah kita lakukan terhadap sesama suatu saat akan berbalik kembali. Kurasa bumerang yang pernah dilemparkan Tante Andjani (ya, mulai sekarang akan kusebut namanya) tengah berbalik ke arahnya. Dan meski loyalitasku kepada Mama membuatku sulit bersikap ramah, aku tetap tidak dapat mencegah rasa kasihan yang mulai muncul di hatiku.

IMRAN:

“Kata mamamu kamu sekarang sedang dekat dengan si Ferry ini. Jadi boleh dong kalau Papa ke Jakarta nanti kamu perkenalkan Ferry kepada Papa?”

“Buat apa?”

“Kok buat apa, kan Papa ingin tahu dia orangnya baik apa nggak….” “Apa gunanya? Sopan atau nggak kan nggak memberi jaminan dia nggak akan menyakiti Lana.”

Kalau tidak ingat bahwa aku harus menjaga wibawaku di depan kerabat-kerabat jauh Andjani yang membantu-bantu di rumah kami, aku sudah akan menghardik putriku. Nada suaranya terdengar begitu kurang ajar di telinga. Sikap Lana memang bertambah aneh setelah kunjungan kami ke Maros tadi siang.

Aku merasa dia secara halus berusaha menghindar dari keramahan Rima. “Lana main-main dong ya ke rumah Kak Rima nanti.Di kampung Papa di Barru’,” katanya ramah.

Lana memaksakan diri untuk tersenyum. Dan aku langsung merasakan betapa anakku menaruh antipati kepada Rima. Yang baru kali ini ditemuinya.

Sekarang sikapnya pun bertambah mengesalkan. Mengurung diri terus di dalam kamar.

LANA :

Aku tahu Papa agak kesal dengan sikapku. Well, maaf-maaf saja… semua anak perempuan dalam posisiku tentu akan bersikap sama bila mengetahui ayah mereka adalah peselingkuh. Bukan, ini bukan berarti aku sekarang berada di pihak Tante Andjani, aku tetap tak peduli dengannya, kalau bukan sikap Papa mulai mengusik batinku.

Sungguh sulit menjadi seorang anak perempuan dari ayah yang kau tahu sangat menyayangimu sementara di sisi yangsama kau melihat betapa rendah penghargaan dan tanggung jawabnya kepada wanita.Semua ini benar-benar membuatku merasa lebih aman bila menghindari Papa.

“Sudah bicara dengan Papa, Lana?” tanya Mama kemarin malam.

“Soal apa?”

“Dengar,” Mama terdengar sangat putus asa di seberang. ”Tadi Mama sudah belikan beberapa formulir pendaftaran perguruan tinggi untukmu. Kalau kamu tidak mau ikut UMPTN, itu terserah kamu, tapi Mama pikir kan tak ada salahnya kamu mencoba perguruan swasta sekarang. Jadi tidak perlu menunggu tahun depan.”

“Tapi kalau tahun depan Lana mau pindah kuliah lagi?”

“Tidak apa, kalau memang akhirnya kamu menemukan yang kamu sukai.”

“Lalu kalau tahun depannya lagi Lana berubah pikiran lagi?”

“Lana, zaman sekarang ini mau banting tulang sekeras apapun kamu tak akan dihargai

kalau tidak ada dasar pendidikan yang menopangmu. Ingat itu!” Rupanya aku telah membuat ibuku benar-benar naik pitam.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience