BAB 13

Family Completed 22120

ANDJANI:

Mungkin sebenarnya dia anak yang baik. Kuperhatikan anak itu memencet-mencet tombol remote control televisi, mencari-cari acara yang disukainya.

Dia hanya keluar dari kamar di malam hari, untuk menonton televisi atau menelepon. Mungkin dia merasa wajib membuat laporan kepada ibunya yang khawatir tempatnya akan direbut oleh sang ibu tiri.

Jangan khawatir, kataku di dalam hati, ibu tiri yang ini tidak akan membuat langkah apa-apa. Aku maju selangkah pun Lana sudah bersikap sangat curiga kepadaku. Memang sikapnya tidak lagi sejudes tempo hari, ketika dia baru tiba di sini. Dia bahkan mulai mau menjawab bila ditanya, tapi hanya sebatas ya dan tidak. Lagi pula, memang susah menolak bila ditawari makan. Bagaimanapun dia kemari bukan untuk kelaparan.

Tapi terkadang, kala Imran yang lelah gagal menyembunyikan kekesalannya di hadapan Lana, dan bila begitu seringkali bersikap kurang sabar kepada siapa saja, Lana kelihatannya cukup paham bagaimana menjaga supaya situasi tidak semakin kurang enak untukku. Dengan diam-diam dia akan menyingkir.

“Usiamu hanya terpaut delapan tahun darinya. Masa begitu susah hanya untuk mengobrol,” Imran berkata dengan nada meremehkan.

Aku tidak menjawab.

“Dia kemari kan bukan untukku, tapi kamu. Memang kamu sebegitu sibuk akhir-akhir ini?”

Alih-alih menjawab, Imran berbaring menelungkupkan tubuh. Artinya, dia ingin dipijit. Aku mengambil minyak kayu putih dari Lombok yang disukainya.

“Tidak, tidak usah pakai itu. Aku tak ingin mencium baunya.”

Aku membungkuk, memungut kemeja yang menghampar begitu saja di bawah tempat tidur. Imran tidak pernah menggunakan parfum, tapi samar-samar penciumanku menangkap aroma wangi yang tidak biasa. Bukan aroma parfum yang biasa digunakan kaum wanita, tetapi sejenis wewangian rempah yang terdapat di pelosok tertentu. Imran memang baru saja tiba dari Pare-Pare.

IMRAN:

Kurasakan jari jemari lentik Andjani menekan-nekan punggungku.

Dan yang terlintas dalam benakku adalah, ”Apakah Rima dapat memijit seenak ini ?” Mestinya dialah yang bertanggung jawab. Mengingat pegal-pegal yang kuderita setelah mengantarkan rempah-rempah pesanannya dari Pare-Pare. Tapi tidak apa, bau yang nikmat melekat membuatku merasa begitu dekat dengannya. Semoga saja Andjani tidak akan menaruh curiga.

Diam-diam aku merasa bersalah karena menelantarkan Anya. Banyak kesempatan aku menemui Rima, sementara menemani putriku… entah kapan lagi. Hanya saja mestinya aku tidak serepot ini bila Andjani punya kemampuan mendekati Lana. Sebaliknya dia malah bertingkah kekanak–kanakan dan berkeluh kesah mengenai betapa dingin sikap putriku, betapa dia akan menolak diajak menghabiskan waktu bersama, dan keluhan-keluhan perempuan lainnya. Tapi dia kemudian bilang kasihan karena melihat Lana hanya menghabiskan waktu mengeram di kamar.

“Sudah tiga hari kamu tidak mengobrol dengannya,” seperti aku perlu diingatkan saja.

“Kasihan, dia kesepian.”

“Mestinya kan kamu bisa menemani, apa sulitnya sih mengajak ngobrol anak remaja.

Kau sendiri beberapa tahun lalu masih dianggap remaja.”

“Terus-terang, aku tidak bisa bersabar lagi.” Setelah beberapa saat dia menjawab dengan suara bergetar aneh.

“Lana masih anak-anak Djani. Masa kamu tak tahu itu.”

“Tidak, aku tidak tahu, harga diriku diinjak-injak! Belum pernah aku bertemu anak yang begitu tidak sopan seperti anakmu!”

Tangan-tangan Andjani merenggang dan menegang, kutolehkan kepala. Dia kelihatan marah sekali.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience