BAB 19

Family Completed 22120

ANDJANI :

Tusukan menyayat itu kembali menggugat batinku. Rasa sedih dan kecewa yang kukira mati ternyata hidup kembali. Siapa lagi gadis yang ditaksir Imran kali ini? Rupanya bukan lagi isyarat samar-samar dari seorang lelaki yang mestinya cukup tahu diri dengan usia dan sejarah perceraiannya. Sampai putrinya yang seorang gadis lugu pun bisa tahu.

Siapa lagi sekarang??

LANA:

Kediaman ini begitu mencekam. Aku merasa takut, sebab Tante Andjani menatap lurus ke arah mataku dan aku merasa dia telah membaca apa yang tak mampu kuungkapkan di sana. Kami terus membisu sampai menghabiskan makan malam kami. Lalu bermobil pulang dalam diam.

Tante Andjani menyetir dengan murung. Tiba-tiba dia berbelok dan membawa kami berlawanan dengan jalan pulang yang kutahu.

Apakah aku akan diculik? Apakah diam-diam Tante Andjani menderita kelainan jiwa? Kalau begitu apa yang akan dilakukannya denganku?

ANDJANI:

Ayahku dulu pernah berkata, “Laki-laki seperti Imran tidak akan pernah berhenti Djani.” Sulit mempercayainya bila pada saat itu aku tengah lena oleh perasaanku sendiri. Sebagai seseorang yang percaya akan cinta dan dongeng-dongeng indah kehidupan, aku yakin dengan pilihanku. Kemudian, seiring tahun yang bertambah, aku pun mulai menemukan kebenaran kata-kata ayahku.

“Mau ke mana Tante?” Lana bertanya takut-takut.

“Kamu mau mampir sebentar? Tante tak ingin langsung pulang.”

Kulirik dia. “Tempatnya ramai kok, kamu tak akan kenapa-napa.”

Lana tersenyum, wajahnya pucat. Aku bisa melihat ketidaknyamanan yang dia rasakan.

“Soal itu, Tante sudah lama tahu kok.”

Sekarang dia memandangku takut-takut. Ragu. “Tahu apa ?”

“Yang membuatmu jadi tak enak begitu, Tante sudah lama tahu.”

“Mmh…”

“Tidak apa, memang begitulah laki-laki.”

LANA :

Kok pasrah sekali? Bukan begitu semestinya seorang wanita menghadapi perlakuan egois yang diterimanya dari pria. Aku ingin menganjurkan supaya Tante Andjani berani mengajukan perpisahan, atau bahkan perceraian sekalian.

Tapi ini Papa. Dan aku tahu dia sayang kepadaku. Meski perlakuannya kepada kaumku begitu buruk.

“Penting sekali untuk tahu apa yang akan kamu lakukan dengan masa depanmu kelak.” Tante Andjani berkata dengan mata menerawang. “Tidak harus dengan kuliah kalau kamu memang tidak mau, tapi setidaknya nanti kamu bisa melewati hari-harimu dengan melakukan yang kamu sukai.”

“Supaya ngga terlalu sakit kalau putus cinta.”

Oups! Aku lupa mengerem mulutku. Tapi untungnya Tante Andjani dengan matanya yang masih menerawang tidak begitu memperhatikan. Adakah dia sekarang menyesali keputusan yang pernah dibuatnya bertahun-tahun yang lalu?

“Tante, Tante tahu tidak bahwa Barru kita itu pernah ditulis pengarang Somerset

Maugham?”

“Oh iya, siapa?”

“Somerset Maugham, di cerpen Vessel of Wrath-nya dia menulis mengenai kampung kita.”

Setahuku dia hanya membaca majalah mode dan tabloid wanita. Oleh pancinganku yang tidak pada tempatnya, Tante Andjani kelihatan semakin gugup, sementara aku bertekad memaksanya keluar dari lamunan yang konyol.

“Sori Anya, dia bikin apa?” dia tergagap. Membelokkan setir memasuki jalan ramai yang sudah kukenal, menuju ke arah pantai Losari.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience