BAB 9

Family Completed 22120

LANA:

“Ini bakso paling terkenal di sini. Sering kali tidak ada cukup tempat untuk menampung yang datang. Banyak yang tidak dapat meja sehingga makan di pinggirpinggir pantai.”

Di antara deretan bar yang rupanya sudah tersebar di sepanjang pantai Losari, terselip tempat-tempat makan yang sekilas mengingatkan aku akan deretan ruko di daerah Kota atau Kelapa Gading. Walaupun sangat terkenal, tempat makan ini ternyata tidak seberapa besar. Sulit membayangkan begitu banyak orang datang kemari setiap hari. Andai Papa mengajakku kemari sekadar berjalan-jalan memperlihatkan pantai Losari kepadaku, tentu aku senang. Tetapi tidak. Segera setelah memesan, dia langsung membuka percakapan.

“Lana betul-betul tidak mau daftar sekolah, Nak?”

“Kan Anya sudah kasih tahu Papa bahwa Lana belum tahu mau belajar apa sekarang.”

“Tidak menyesal, nanti kamu akan ketinggalan dari teman-temanmu.”

“Tapi lebih baik kan, daripada pindah-pindah fakultas, buang-buang waktu dan uang,” aku berkilah.

Bakso yang besar-besar ini sebenarnya enak, tapi sekarang aku jadi terlalu jengkel bahkan untuk menyuap. Kuaduk-aduk saja minumku.

Ingin rasanya aku mengingatkan Papa akan kata-katanya dulu, ketika aku bertanya mengapa Papa tidak kuliah lagi seperti ibuku. Dia menjawab bahwa banyak hal penting dapat kita pelajari dengan terjun langsung ke masyarakat.

“Lalu kenapa orang mesti kuliah?” tanyaku, sambil membayangkan uang yang banyak yang bisa kuperoleh dengan bekerja. Aku akan membeli semua tipe Barbie, lengkap dengan rumah dan pakaian-pakaiannya.

“Sebagian besar, untuk pengakuan. Status.”

Sudut mataku melirik Papa yang kelihatan salah tingkah. Langsung kusadari Papa tidak suka menasihatiku.

“Kenapa Papa tiba-tiba ceramah begini? Mama yang suruh ya?!”

Benar dugaanku, pasti ada bakwan di balik batu dari tekad Mama mengirimku kemari. Papaku menghela napas keras-keras, mengembuskannya bagai ikan mas koki bernapas di akuarium.

“Bukan karena Mama, Nak. Papa bilang begini untuk kebaikanmu sendiri. Masa depan itu harus diraih,” papaku berkata.

Nadanya yang bijaksana membuatku terkejut.Dia seperti bukan Papa yang kukenal. Kurasa bumerang yang pernah dilemparkan Tante Andjani tengah berbalik ke arahnya. Aku tidak dapat mencegah rasa kasihan yang mulai muncul di hatiku.

IMRAN:

Kukira aku hanya mengatakannya karena tidak ingin membenarkan putriku, namun dengan terkejut kusadari aku bersungguh-sungguh oleh ucapanku. Aku tentu tidak ingin Lana seperti aku.

Masih belum hilang keterkejutanku, kudengar diriku melontarkan ucapan lain,

“Bagaimana kalau Lana kuliah di sini? Tinggal seterusnya sama Papa?”

NURUL:

Salah seorang teman yang juga mengalami perceraian pernah bertanya, apa yang akan kulakukan bila Lana suatu hari akan pergi karena sudah saatnya mandiri. Terus terang aku tidak punya rencana. Sekarang pun Lana tidak lagi membutuhkan diriku.

Itulah mengapa aku berpendapat bahwa seorang wanita seharusnya mempunyai karier atau kehidupan lain di luar rumah. Yang menyibukkan, yang ia cintai. Sehingga pada akhirnya, ketika mahligai yang ia bangun dengan naïf kemudian terempas, ketika ia tidak lagi merasa dibutuhkan oleh buah hatinya, ia masih memiliki kehidupan yang memberi arti di ujung kehampaan. Namun mengapa ketika bayangan itu nyata, rasa takut tetap menghadang?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience