BAB 3

Family Completed 22120

IMRAN :

Nurul memberi tahu rencananya mengirim Lana untuk tinggal bersamaku sejak beberapa minggu yang lalu.

“Aku ingin dia semakin dewasa.Selama ini yang dipikirkannya hanya hidup berhurahura sepanjang waktu. Aku tidak ingin dia tumbuh menjadi anak kosmopolitan yang hanya tahu hidup enak,” kata Nurul

Kujawab , “Aku senang kalau ternyata dia benar-benar datang.”

Terus-terang aku memang pesimis. Pertama, Lana tampaknya enggan bertemu denganku. Aku tak pernah berhasil menjumpainya bila aku ke Jakarta. Kedua, aku tahu, Nurul mengirim Lana ke tempatku agar aku bisa mempengaruhi Lana agar mau kuliah.

Nurul pernah melontarkan kekecewaannya karena Lana tidak mau kuliah. Lana memang tidak pernah menempati ranking tinggi di kelasnya, dia jarang belajar, lebih suka main, tapi tidak bodoh (Nurul mengucapkannya berulang kali).

“Bila dia tidak mau kuliah, dia mau jadi apa?”

“Aku sendiri bukan sarjana. Namun dengan mengandalkan kreativitas tokh aku bisa bertahan. Tidak berlebih memang, tapi cukup.”

“Itulah,” kata Nurul. Tapi dia tidak menjelaskan maksudnya. Begitulah Nurul.

ANDJANI :

Lana remaja kota besar yang biasa hidup enak. Aku khawatir dia akan kesulitan menyesuaikan diri bukan saja dengan kehidupan di kota kami, namun juga dengan kebiasaan sehari-hariku dan Imran. Meski tidak pernah dikatakannya, aku tahu Nurul sangat memanjakan Lana dengan berbagai fasilitas yang tidak akan sanggup kami berikan. Meskipun demikian, aku ingin menyambutnya sebaik mungkin, dan berharap dapat sedikit mencairkan kebekuan hatinya.

Aku sudah menata kamar tidur tamu dengan meniru gambar di salah satu majalah remaja yang kubeli khusus untuk Lana.

Soal makanan, aku tidak khawatir. Imran pernah bercerita Lana selalu berusaha menurunkan berat badannya.

Tapi pagi ini Imran kembali dari Beru’ dengan membawa macam-macam ikan besar dan bermata cerah. “Aku ingin Lana tahu apa yang kita miliki di sini,” kata Imran.

“Di kampung ayahnya.”

Walau aku berpendapat Lana akan lebih suka makan spaghetti atau kentang goreng, kuhidangkan juga ikan bakar bumbu asam manis seperti yang diminta Imran.

Setelah itu aku tinggal duduk menunggu.

LANA :

Pantas saja Papa tidak mengizinkanku naik taksi sendiri ke rumahnya. Bandara di Makassar ini terletak agak di luar kota, membuatku menempuh perjalanan (yang terasa) berjam-jam lamanya sambil harus menjawab bermacam-macam pertanyaan ayahku.

“Kenapa Anya tak mau melanjutkan sekolah?”

Aku menjelaskan bahwa aku hanya belum tahu bidang apa yang ingin kudalami. “Siapa sih si Ferry – Ferry itu?”Ayahku memandangku dengan tatapan curiga.“Dari mana kamu kenal dia?”

Tuh kan! jeritku dalam hati. Kesal bukan main. Kenapa sih Mama selalu membocorkan segalanya? Setiap kali aku membawa teman-temanku ke rumah, ibuku selalu menggunakannya sebagai kesempatan untuk menginterogasi mereka. Teman dari mana? Rumahnya di mana? Orang tuanya siapa?

Pertanyaan Papa tidak kujawab. Aku melemparkan pandang ke jalan-jalan yang kami lewati.

“Ini Sudirmannya kota ini,” kata Papa. Aku memandangi gedung- gedung sederhana di sekitar kami . Sejauh ini aku hanya melihat beberapa gedung besar bertingkat. Beberapa di antaranya kantor pemerintahan. Ada pula toko, bank , dan restoran fast food . Semua itu tak menarik bagiku. Apalagi, udara di kota ini panas. Tetapi melihat Papa dengan mata berbinar-binar penuh semangat menunjukkan berbagai tempat kepadaku, rasa haru tak urung meliputi hatiku. Mama benar, kedatanganku amat berarti bagi Papa.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience