BAB 16

Family Completed 22120

ANDJANI :

Buka… tidak, buka… tidak, seharian aku bergumul di dalam hati. Entah kenapa tibatiba aku begitu ingin memeriksa kamar Lana. Siapa tahu aku menemukan sesuatu yang dapat kujadikan bukti untuk mengkonfrontasi Imran supaya cepat-cepat mengantar putrinya kembali ke Jakarta.

Ooohh, apa saja akan kulakukan untuk itu. Sejak kejadian kemarin tiba-tiba ketulusan dan niat baikku menguap begitu saja. Aku sampai tidak sanggup menguasai diri untuk tidak menyentuh kamar tidurnya.

Namun apa yang kulihat di dalam sungguh mengejutkan. Pertama-tama,ternyata anak manja itu cukup rapi. Dia membereskan tempat tidurnya, membersihkan kamar, tidak membuang pakaian kotor ke lantai. Majalah pun tidak berserakan seperti kamarku ketika remaja dulu. Yang mengejutkan, aku melihat tumpukan rapi buku-buku yang dia miliki: Cannery Row, Kemayoran -nya NH Dini, Kerudung Merah Kirmizi , dan beberapa lainnya yang kurasa terlalu serius untuk ukuran Lana yang kukenal. Atau yang kukira kukenal.

Hari sudah menjelang sore hari tapi dia belum kembali. Padahal ayahnya berkata mereka hanya akan pergi sebentar. Aku beranjak, menelepon Imran.

“H… halo,” dia menjawab dengan gugup.

“Lagi di mana?”

“Ada urusan sebentar.”

“Oh, kok lama sekali. Kamu sama Lana sudah makan?”

“Lana tidak bersama saya …,” suara Imran terdengar mengambang.

IMRAN:

Ke mana anak itu? Di hadapanku Rima memandang ragu. Kenapa? Dia bertanya,

“Bagaimana mungkin kau bisa tidak bersamanya?”

“Yah, dia minta supaya dibiarkan jalan sendiri…,” aku berusaha membuat nada suaraku setenang mungkin. “ Dia kan pasti malu kalau ditemani.”

“Di mana kamu sekarang?” Andjani terdengar benar-benar perlu dijawab. Nadanya begitu menuntut. “Sedang ada urusan.”

“Urusan sama siapa? Di mana?”

Aduh perempuan. Bukan wanita namanya kalau tidak mengajukan seribu satu pertanyaan.

“ Urusan apa? Rempah-rempah wangi itu atau… kapal?” Wah, kenapa nadanya terdengar begitu menyindir.

LANA :

Menjelang petang aku baru merasa lapar, namun tetap segan pulang. Aku naik becak ke Pantai Losari. Dengan tentengan di tangan aku berjalan ke warung epe di pojok. Aku duduk memandangi perahu phinisi dan indahnya matahari yang membentuk siluet di permukaan lautan. Sungguh romantis. .

ANDJANI:

“Tidak, tidak ada telepon dari tadi,” suara serak MakIm menjawab setelah deringan keenam, “Apa saya perlu menyiapkan makan di meja?” Imran juga belum pulang.

“Siapkan saja siapa tahu Lana tiba duluan dan ingin makan.”

Ke mana anak itu? Apakah dia tersesat? Beribu pertanyaan memenuhi benak. Kini aku benar-benar cemas. Walau sempat berharap dia pulang saja kembali ke Jakarta, aku tidak ingin dengan cara yang tidak enak begini. Apa kata Nurul nanti? Lambat-lambat kutelusuri jalan. Mendelik ke kanan dan ke kiri sampai biji mataku terasa akan melompat keluar. Apa yang dilakukan anak seperti Anya hingga lupa waktu? Sepanjang yang kuketahui tidak ada temannya di kota ini. Kafe pun tidak ada. Namun dengan penemuanku yang cukup mengejutkan di kamarnya, aku memutuskan mencoba memacu arah ke satu-satunya mal di kota kami. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan seorang anak penggemar buku. Setidaknya, begitulah harapanku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience