BAB 5

Family Completed 22120

Bodoh amat. Panas-panas begini mandi air hangat? Kalau terus-terusan begini bisa bau badanku. Kudenguskan hidungku dan pura-pura sibuk membongkar koper.

“Lana??” Dia mengeraskan suaranya. Matanya membesar, tanda sakit hati. Ayolah Lana, jangan sejahat itu, bisikku dalam hati. Dia sudah berusaha keras berbaik-baik denganmu. Tidak ada salahnya sedikit menjawab pertanyaannya. “Tak perlu, Tante,” kataku dengan suara rendah. Mencoba meredam nada yang tak enak yang tidak dapat kusembunyikan.

“Kalau perlu apa-apa bilang saja, ya? Tante sudah siapkan handuk dan yang lain-lain di kamar mandi.”

Suaranya agak bergetar. Dia menutup pintu kamarku sepelan mungkin. Aku jadi merasa tidak enak. Mengapa aku sejahat ini? Bukankah biasanya aku tidak suka menyakiti hati orang. Tapi ini lain, kuingatkan diriku sendiri. Apakah Tante-YangTak-Akan-Kusebut-Namanya itu pernah memikirkan perasaan ibuku saat dia mulai berselingkuh dengan Papa? Apakah dia pernah peduli dengan perasaanku? Nah, sekarang setidaknya dia mengerti bagaimana rasanya sakit hati !

Lana mendengar ayahnya mengigau menyebut nama seorang wanita. Siapa wanita itu?

IMRAN :

Aku melihat Lana memandangi rumah kami. Rumah yang tidak besar, bahkan termasuk sempit dibandingkan tempatnya berteduh sehari-hari.

Aku langsung mengerti sikap pesimis Andjani. Sepanjang perjalanan dari bandara tadi tak henti-hentinya aku menunjukkan berbagai tempat yang kurasa akan menarik perhatiannya. Tapi dia tidak antusias.

Ketika kami tiba, Andjani telah menanti. Aku tahu dia telah berusaha keras. Dia tidak suka menata rumah, namun siang itu rumah kami tampak lebih rapi. Dia bahkan memasak. Biasanya pengasuhnya yang sejak kecil ikut dengan keluarganya dan masih terhitung kerabat jauhnya itu yang di dapur. Andjani hanya ke dapur untuk memasak kue.

Kalau dia begini, dia seperti bukan Andjani, kesantaiannya terhadap hidup dan hal-hal kecillah yang pertama kali membuatku tertarik. Andjani seperti air sungai yang mengalir. Ringan dan tenang menyejukkan.

“Yang istimewa untuk tamu istimewa,” katanya sambil tertawa untuk menyembunyikan kegugupannya. Dia selalu tertawa-tawa kecil bila merasa gugup. Kurasa sikap Andjani yang agak berlebihan itu malah menyebabkan Lana merasa tidak nyaman. Dia menolak makan siang, dan langsung minta ditunjukkan kamar tidurnya di lantai atas. Dia senang, katanya, karena dia belum pernah tinggal di rumah bertingkat. Pengakuan yang membuatku bahagia.

Setelah menunjukkan kamarnya aku turun dan menemukan Andjani di meja makan.

Dia kelihatan murung.

“Dia tidak menyukaiku,” keluhnya.

“Dia mungkin hanya sedang kurang enak badan karena alerginya.”

Tetapi ketika mataku terarah ke piring-piring lauk yang diatur rapi di atas meja, harus kuakui aku pun agak kecewa. Padahal aku sengaja membawa ikan dari kampung kelahiranku di Beru’ sana, supaya Lana tahu sedapnya ikan di tanah ayahnya. Sungguh berbeda dengan yang biasa dimakannya di Jakarta yang tercemar. Ikan-ikan dan udang segar itu tidak akan sama rasanya setelah nanti dipanaskan untuk makan malam.

Rupanya Andjani menangkap perasaanku.

“Mungkin dia agak tak enak setelah perjalanan jauhnya,” katanya, lantas naik ke atas.

Dia kembali tak lama kemudian dengan wajah lesu.

“Lana benar-benar tak mau makan?” tanyaku.

“Coba saja tanya sendiri kalau dia mau,” Andjani menjawab agak ketus. Jadi aku pun naik ke atas, dan menemukan Lana sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Handuk tersampir di bahunya. Dia memandangi kamar mandi kami dengan rasa segan.

“Kenapa Lana?” tanyaku. “Ada yang tak bersih di sana?”

Lana tersentak melihatku. Buru-buru dia mengelengkan kepala. Aku menunggu sampai dia masuk dan menutup pintu sebelum kembali ke meja. Mataku bertemu dengan mata Andjani yang menatapku seolah mengatakan, “Nah apa kubilang?”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience