BAB 15

Family Completed 22120

LANA:

Semalam aku jatuh tertidur di sofa kamar sambil membaca majalah. Sebetulnya aku haus dan ingin buang air kecil, tapi aku tidak berani melangkah keluar dari kamar. Suara panci dan alat-alat dapur yang berkelontang-kelonteng riuh sudah cukup membuatku ngeri untuk keluar kamar.

Mama tidak meneleponku. Beberapa kali aku mengirim pesan ke telepon genggamnya, namun entah apa yang dilakukan ibuku karena untuk pertama kalinya aku tidak bicara kepadanya dalam sehari.

Biasanya pada jam seperti ini, suara kerabat Tante Andjani yang datang berkunjung untuk memasak atau sekadar bertukar cerita (bahasa yang sangat halus yang kugunakan untuk gosip) sudah ramai memenuhi udara. Tapi sayup-sayup terdengar alunan musik pop sangat sendu yang dramatis.

Bagaimana tidak dramatis kalau Papa kulihat sedang duduk di teras belakang sambil merenung. Tante Andjani yang duduk di meja makan pun tengah terbang dalam lamunan. Belum rapi pula, tak seperti biasanya. Bahkan Mak’Im yang selalu ramah juga tak kalah murung. Suasana yang tidak enak membuatku tidak bernafsu makan, cepat-cepat balik ke atas, mandi dan berpakaian.

Aku ingin lekas pergi.

NURUL:

“Kok Mama ceria sekali, sih, kenapa?”

“Masa kamu mau Mama serius terus, tambah-tambahin uban saja.”

“Ma, tiket pulang Lana tak bisa dipercepat, ya?”

“Sudah kamu confirm di maskapai sana?”

“Belum.”

“Mungkin bisa, kamu memang harus sudah di sini sebelum tanggal 16, ada tes gelombang pertama yang harus kamu ikuti,” aku mencoba tidak terdengar begitu berharap.

Lana tidak menjawab. Kalau dia tidak mau, pasti dia sudah membantah, bagus. Imran ternyata cukup dapat diandalkan.

Tapi kemudian dia berkata, ”Kalau dapat tempat, dan fakultas apa?” “Lana…,” aku memasang suara tegas tidak terbantah.

“Papa sama tante itu berantem, Ma. Papa selingkuh lagi.”

Seakan berita itu sanggup membuatku terkena serangan jantung saja.

“Dari mana kamu tahu?”

“Lana lihat sendiri Papa naksir perempuan itu.”

Agaknya telah ada sebuah hubungan istimewa antara Andjani dengan putriku, karena dia terdengar terpukul sekali.

“Itu bukan urusan kita, Nak,” kuingatkan dia. “Ayahmu tentu punya alasan sendiri.” Kututup telepon. Agaknya Lana sudah menyukai Andjani.

LANA:

Papa bersikeras menemaniku pergi, meski sudah kuyakinkan bahwa aku ingin sendiri. “Perempuan tidak baik kalau sendirian terus.”

“Kenapa?”

“Karena berbahaya.”

“Itu kuno, Pa.”

“Tapi betul.”

Bunyi telepon genggam Papa menginterupsi pembicaraan kami. Papa bicara berbisikbisik. Kemudian…

“Jadi Lana mau turun ke mana?”

Tak biasanya Papa jadi melemah begini.

“Lana mau lihat Cakar, Pa.”

Papa menurunkanku di sebuah toko kecil, yang ternyata hanyalah bagian belakang dari deretan yang memanjang. Mataku segera disibukkan oleh jejeran baju yang bergantung dan tumpukan scarf yang menggunung. Aku langsung merasa bagai hewan dikembalikan ke habitatnya.

Sampai senja menjelang.

Jauh-jauh ke Makassar, apakah dia hanya mengurusi masalah perselingkuhan ayahnya?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience