BAB 8

Family Completed 22120

LANA:

Tadi siang, debu perjalanan dari bandara ke rumah membuatku gatal dan udara gersang membuatku kegerahan. Aku pun ke kamar mandi. Seorang perempuan tua baru keluar dari kamar mandi. Kulitnya cokelat gelap, berkerut merut di sana sini, bercak-bercak putih kelihatan jelas sekali di lehernya yang gemuk. Pastilah dia Ma’ Inda, pengasuh Tante sejak kecil seperti yang diceritakan Papa. Setelah membalas senyumnya, aku menerobos masuk ke kamar mandi.

Aku terdiam lama di depan pintu kamar mandi. Lantainya basah.

Tiba-tiba papaku muncul. Pandangannya menunjukkan rasa tak senang melihatku begitu. Lalu dengan tegas dia memerintahkan aku makan malam.

Meski masih kenyang setelah menghabiskan sekaleng besar keripik kentang, aku menurut juga. Papa pasti akan semakin menjadi-jadi marahnya, bila keinginannya kutolak.

Ternyata makan malam itu berakhir tidak menyenangkan.

Aku menunggu sampai larut malam sebelum akhirnya berjingkat-jingkat menuju meja telepon. Aku tidak mau menimbulkan suara yang membuat Papa atau Tante-YangNamanya-Tak-Akan-Kusebut itu keluar dari kamar tidur mereka. Aku malas bertemu mereka, apalagi harus berbasa-basi menjawab pertanyaan seperti ketika makan. Aku menelepon Dini dan Mama.

Usai menelepon aku mengambil minum di dapur yang bersebelahan dengan teras belakang. Di sana, ditimpa terang sinar bulan, Papa sedang terlelap di kursi malas. Dia tampak tua, dan perutnya mulai menggembung malu dari balik kaus yang dia kenakan. Tapi harus kuakui, Papa tetap kelihatan menarik. Gurat-gurat wajahnya halus bertulang tajam, seperti kebanyakan pria Sulawesi. Kulitnya cokelat tembaga berkilat, tubuhnya tinggi dan tegap.

Dia menggeliat lalu mengigau. “Rima,” katanya. Aku terpaku.

LANA :

Aku tidak dapat tidur, memikirkan siapakah Rima ini?

Paginya aku terbangun pukul sepuluh pagi dan segera turun ke bawah untuk minum segelas air putih.

Di meja dapur kulihat Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut sedang duduk termenung. Papaku ada di sebelah meja telepon yang terletak di lorong di bawah tangga. Kenapa waktu turun tadi aku tidak mendengar apa-apa?

Tiba-tiba Papa meletakkan gagang telepon keras-keras. Dia terdiam beberapa sebelum berkata, ”Lana….” Aku menoleh.

“Ikut Papa sebentar. Sekalian lihat-lihat Losari.”

“Sekalian ajak dia makan bakso di Pesona,” Tante itu menoleh kepadaku. “Bakso paling terkenal di sini.” Tatap matanya dingin.

ANDJANI :

“Kok bicaranya lama sekali?” aku tak kuasa menahan kecurigaan.

“Nurul ingin aku segera bicara dengan Lana,” Imran kelihatan kesal.

“Soal itu?”

“Iya, apalagi?”

Walau aku setuju dengan keinginan Nurul agar Lana kuliah, aku mengerti mengapa Imran begitu tersinggung dengan sikap mantan istrinya. Kuliah Imran terhenti karena dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Setelah itu dia menikah dan tak pernah sempat lagi melanjutkan kuliahnya.

“Ya, memang harus secepatnya. Bukankah itu alasan utama Lana berlibur kemari.”

“Memang cerdik perempuan itu.”

“Wajar, kan dia tahu Lana lebih mendengar kata-katamu. Dulu kan kamu dekat sekali dengan Lana.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience