BAB 11

Family Completed 22120

LANA: :

Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana nantinya reaksi Mama bila aku menceritakan apa yang kulihat barusan. Papa berbincang-bincang dengan wanita yang jelas sangat mengisi mimpinya semalam. Akrab sekali, sampai entah mengapa, aku jadi kasihan kepada Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan Kusebut. Padahal, dengan getir kuingatkan diriku akan perilaku lamanya yang pasti pernah menyakiti hati Mama, yang tidak diketahuinya sedang terjadi saat ini adalah karma yang tengah menuntut bayar atas masa lalu.

Namun tak urung sikap Papa, yang tingkahnya kusaksikan bagaikan seorang pemuda bujangan membuatku terusik.

Begitu memasuki rumah Puang Cannu, paman Papa dari pihak Nenek, aku segera disambut oleh sanak keluarga yang lain. Ternyata di sana sedang berkumpul anakanak Puang Cannu yang telah berkeluarga. Selain Daeng Diba, ada juga Daeng Tendri dan Daeng Heri.

Di sudut ruangan duduk pria seusia Papa yang aku panggil Om Tiok. Dia adalah adik ipar Puang Cannu yang juga rekan bisnis Papa. Tentu ayahku bertemu dengan Kak Rima lewat Om Tiok ini. Kurasa mereka kakak beradik.

Sebagaimana yang selalu diajarkan ibuku bila kami akan berlebaran dengan pihak keluarga Papa yang tinggal di Jakarta, aku mencium tangan mereka. Daeng Heri kembali dengan nampan berisi potongan-potongan kue kuning hijau yang kelihatan legit berminyak.

“Coba ini, Sayang. Ndak ada ini di Jakarta, Nak,” katanya dengan logat mendayu ala Bugis yang khas.

Sementara perhatianku justru terarah kepada Papa yang di luar yang persis seperti cowok-cowok ingusan di sekolah.

“Makasih, Daeng Heri,” aku mengucap kaku. Aku mengiris kue dengan garpu.

Hmmm, enaknya kue ini… lembut dan legit

“Dibuat dengan banyak telur bebek,” Daeng Heri mengambil tempat tepat di depanku.

“Sudah ke Barru?”

Aku menggeleng. Kabupaten Barru adalah kampung asal Papa.

“Lana kan jarang sekali ke sini’, jadi mumpung di sini, pergilah kau ke sana, minta bapakmu antar.”

Aku ingat, saat aku berlebaran ke sini semasa kecil bersama orang tuaku, kepada Mama mereka juga mengatakan hal yang sama.

“Kata Papa, Lana lulus SMU tahun ini, ya?” tanya Om Tiok.

“Iya, Lana?” kata Daeng Tendri yang, menurut cerita Papa, sedang melanjutkan pendidikannya ke jenjang doktoral. “Kuliah di sini saja.”

Siapa yang mau kuliah? Apakah Papa pun terlalu malu untuk mengakui bahwa putri tunggalnya ini berbeda dengan familinya?

Apa boleh buat, bakat intelektual memang tidak menurun dalam diriku. Tetapi adakah intelektualitas dapat mempengaruhi moralitas? Itu dua hal yang berbeda, bukan?

Akan kutanyakan itu nanti pada Papa yang masih bermasyuk-masyuk di luar sana.

ANDJANI:

Kuperhatikan Lana menutup pesawat telepon dengan wajah muram. Dia kelihatan agak lesu. Setitik simpati timbul di hatiku. Mungkinkah dia sedang kurang enak badan? Dia pasti agak lelah kemarin,

Aku tahu dia terjaga sampai larut malam. Lama setelah dia mengendap-endap melewati kamarku untuk menelepon ibunya, dia masih terjaga.

“Lana, nanti malam kan kita mau makan mi siram. Setelah itu nonton di bioskop di dekat sana. Kalau kamu lelah, istirahat dulu, deh, sekarang. Kalau nanti ketiduran waktu nonton film, kamu akan rugi.”

Lana memandangku. Dengan tatapan yang tidak kupahami. Mendadak aku menyesal telah sok menasihatinya. Bukankah dia dengan jelas telah memproklamirkan diri tidak mau bicara kepadaku?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience