BAB 7

Family Completed 22120

ANDJANI :

Belum pernah aku dan Imran menikmati makan malam sekaku ini. Biasanya kami melewatkan waktu sambil bertukar cerita, atau kalau ada ibuku, kami mendengarkan dia bercerita nostalgia.

Kami jarang berselisih, meski harus kuakui bila ada perbedaan, akulah yang berusaha memahaminya.

Setelah turun ke bawah siang tadi, sikap Imran agak aneh. Sepertinya ada sesuatu yang melukainya, yang membuatnya menjadi sensitif. Sikapnya kepada Lana juga berubah tegas.

Sampai pukul setengah delapan malam Lana masih mengurung diri di kamarnya.

Setelah Imran mengetuk pintu kamarnya dengan keras, barulah dia keluar. Di meja makan Imran melirik sekilas pada perabot makan yang hanya kukeluarkan bila ada acara istimewa di rumah kami. Dia memandangku tajam. “Apa salahnya dengan piring yang sehari-hari kita pakai?” tanyanya.

“Tidak ada salahnya,” kataku. “Hanya kupikir lebih baik….”

Maksudku, bukankah dia juga menganggap kehadiran Lana di rumah ini istimewa?

Tidakkah dia ingin memberikan kesan yang baik?

“Pakai saja yang biasa, di rumah ini Lana bukan tamu,” katanya dingin.

Itu aku juga tahu! Kenapa sih dia? Tapi kutelan kemarahanku meski tidak kuperbaiki apa yang susah payah sudah kuatur.

“Ya, mulai besok. Sekarang sudah telanjur kuatur begini.” Kami lalu mulai makan dalam diam.

IMRAN :

Kuperhatikan Lana menyendok lauk dengan hati-hati. Mungkin dia menyadari kemarahanku. Atau rasa jijik seperti tadikah yang mendorong sikapnya itu? Ke mana Lana yang semasa kecil selalu minta jajan bakso di warung sederhana di pinggir jalan? Dia lahap sekali ketika itu. Tidak seperti sekarang, menyendok dengan hati-hati seolah makanan itu bisa membunuhnya.

Andjani berusaha bersikap manis, meski pasti tersinggung dengan nada bicaraku barusan. Dia lebih banyak menundukkan kepala. Apa dia lupa bahwa yang paling kuharapkan dalam suasana begini adalah sikap yang biasa-biasa saja? Entah kenapa, kemarahanku justru semakin menjadi- jadi merasakan suasana yang tidak enak di sekitarku.

Seakan hanya karena sepercik emosi semua orang di sekitarku mengira aku akan sanggup membakar mereka. Atau sebenarnya, menyadari bahwa kemarahanku telah menyebabkan yang lain ketakutan malah mendatangkan rasa tidak enak yang membuat emosiku bertambah? Entahlah.

Selanjutnya di meja pun berlalu dengan hampa. Aku sibuk menenteramkan kemarahanku, Andjani berusaha menenangkan diri. Lana terhibur dengan lamunannya. Tidak ada percakapan ataupun kehangatan suasana keluarga seperti yang kuharapkan.

Terdengar Andjani menanyakan sesuatu kepada Lana.

“Anya,” tegurku. ”Tante Andjani tanya tuh.”

“Siapa, Pa?”

Kulihat Andjani tampak sakit hati.

“Kan kamu dengar, atau memang telingamu sudah budeg sekarang?”

“Telinga Lana nggak budeg, Pa. Lana hanya nggak akan bicara sama dia.” Lalu dia meninggalkan meja makan.

Aku terpana . Sejak kapan dia begini?

Andjani pun langsung beranjak. Tapi dia berbalik, dan berkata membentak, “Kamu diam saja!”

Kalau dia sedang begitu, lebih baik aku diam saja.

Aku duduk di teras belakang. Ingatanku melayang kepada seorang wanita ayu yang kutemui kemarin saat mampir di rumah kawan lamaku di Barru. Adik istri temanku itu punya kecantikan perempuan Sulawesi sejati. Berkulit putih dengan alis tebal hitam teratur rapi. Bicaranya halus dan berlogat kental mendayu. Bagaikan seorang bangsawan Bugis meski dia berasal da

ri keluarga pembuat perahu. Kemarin dia tersipu ketika menyadari aku memandanginya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience