BAB 10

Family Completed 22120

LANA:

Hal pertama yang terlintas dalam benakku setelah papaku mengajukan tawarannya adalah, “Bagaimana dengan Mama?”

Meski Mama sering kali begitu tenggelam dalam pekerjaannya, aku tetap tidak suka membayangkan dia sendirian. Di sini Papa tak pernah kesepian. Dia punya Tante Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut, Tante-Siapa-Lagi yang diam-diam menyita pikirannya, kerabat dari pihak papaku maupun istrinya, dan rekan-rekan bisnisnya.

Dari pantai Papa langsung mengajakku bertemu dengan om dan tanteku, serta dengan puang dan daeng-daeng dari pihak nenekku.

Kami pergi ke arah Maros, beberapa kilometer dari bandara.

“Tapi kasihan Mama kalau Lana pindah sini.”

“Memikirkan Mama itu baik, tapi kamu juga perlu belajar mandiri.” Keluar dari rumah ibuku untuk pindah tinggal bersama Papa dan sanak famili lainnya? Seberapa mandiri itu? Tapi aku diam saja.

IMRAN:

Kulihat jip yang sudah sangat kukenal telah terparkir di depan rumah bercat kuning tak berpagar yang menjadi tujuan kami. Itu milik Tiok. Suatu kebetulan karena baru kemarin subuh kami bertemu di Barru’. Dan lebih dari sekadar kebetulan pula sudut mataku tak sengaja menangkap sosok yang sedang mengiringi Andi Diba memetiki sayur-sayuran di kebun.

“Aiii, Lana di? Besarnyaaa…,” Andi Diba, sepupuku yang sudah lima tahun lamanya tidak pernah berjumpa Lana, menyambut hangat.

“Ini putri saya,” kataku bagai tuan rumah mempersilakan masuk sang tamu.

Sementara putriku dengan penuh sopan santun mencium tangan Andi Diba. “Yang ini

Kakak Rima. Adik Om Tiok.”

Kulihat Lana yang serta merta terdiam. Ada kilatan aneh di matanya yang membuatku bertanya-tanya. Tapi diulurkannya juga tangannya.

“Lana,” katanya. Aku tidak suka cara anakku menatap Rima. Namun wanita itu menanggapi ketidaktulusan Lana dengan manis.

“Ayo ketemu Puang dulu di dalam,” Andi Diba lantas menggandeng lengan Lana. Meninggalkan aku dan Rima berdua.

NURUL:

“Ma… kenapa orang harus kawin, kalau mereka nggak bisa setia?”

“Tahu-tahu tanya begitu, kenapa?”

“Waktu dulu Mama kawin, Mama sayang nggak sih sama Papa?” Aku sudah siap dengan pertanyaan seperti itu.

“Sekarang pun masih, Nak,” kataku. “Tapi Mama dan Papa telah digariskan untuk menjalani takdir masing-masing. Kami saling menyayangi, tapi tidak lagi seperti dulu.”

“Pada saat Mama kawin dulu, apakah Mama yakin Papa nggak bakal selingkuh?” “Perasaan adalah sesuatu yang sulit dicegah, Na. Apa yang kita rasakan timbul di luar keinginan kita sendiri. Sama seperti papamu yang tak kuasa mencegah keinginannya untuk bersama Tante Andjani.” “Meski dapat menyakiti hati yang lain?”

“Rasa sakit hanya muncul bila kita tidak dapat menerima. Menuntut orang yang kita cintai untuk memilih juga merupakan sikap yang egois.” “Kenapa?”

“Karena kalau kita benar-benar mencintai seseorang, kita ingin dia merasa bahagia.

Cinta tidak berarti memiliki, tidak harus agar dibalas.”

“Jadi buat apa Mama menikah dulu? Kalau nyatanya pernikahan itu hanya alat yang membelenggu.”

“Adduh Lana …,” aku tergelak. “Kan tidak semua pasti berakhir seperti Mama dan Papa!”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience