Dea berjalan menerobos barisan tamu undangan yang datang.
Wajah Dea terlihat pucat, keningnya berkeringat.
"Ra, kamu dimana? " Dea menghubungi Rara dengan ponselnya dia ingin Rara datang untuk menggantikannya karena Dea merasa jika sakit diperutnya tak bisa lagi diajak untuk bekerja.
"Awww... Kenapa harus sakit sekarang" ringis Dea berjalan menuju ruangan dimana dia menyimpan semua barang barangnya.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu disini" ucap seorang wanita melihat Dea sinis menghalangi langkah kakinya.
"Tiara" ucap Dea pelan melihat Tiara berdiri didepannya.
Tiara adalah seorang model yang wajahnya senantiasa menghiasi majalah. Beberapa iklan juga dibintanginya selain itu Tiara adalah kakak kelas Dea sewaktu sekolah dan dari sikapnya Tiara terlihat membenci Dea begitu juga Dea yang terlihat cuek tak memperdulikannya.
"Mau kemana? Bukankah kamu termasuk pelayan dipesta ini" ucap Tiara melihat idcard yang dipakai Dea.
"Aku sedang tidak ingin berdebat. Jadi minggirlah jangan menghalangi jalanku" sela Dea menahan rasa sakit diperutnya, namun sakit diperutnya saat itu sedikit tak bisa ditahannya membuat Dea hampir terjatuh namun dengan cepat Andika menahannya.
"Kamu baik baik sajakan? " tanya Andika melihat Dea yang juga melihatnya untuk beberapa saat mereka berdua saling liahat lihatan.
"Apa yang kalian berdua lakukan? Dan Kau... sampai kapanpun aku akan tetap membencimu" hentak Tiara membuat Dea segera melepas tangan Andika.
"Aku juga membencimu... Sela Dea melihat Tiara lalu kemudian melihat Andika yang berdiri disampingnya
"Aku sudah tau siapa kamu, aku sudah tau harus mencarimu kemana... kamu membuatku terkejut dengan semua yang terjadi...
Aw.... " Dea kembali menahan Rasa sakit yang bercampur amarah pada Andika.
"Kalian berdua sama saja" ucap Dea lagi menyeringai sinis masih menahan rasa sakit didalam perutnya.
Dea kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Andika dengan wajah bingungnya juga Tiara yang terlihat kesal karena sudah Dea abaikan.
saat itu Dea benar benar merasa sakit bahkan untuk berjalanpun Dea harus setengah membungkuk jika sakit diperutnya kembali terasa.
"Kenapa Rara lama sekali" ucap Dea seraya duduk di kursi yang tersedia.
"Tit... Suara klakson mobil yang berhenti tepat didepannya.
"Ayo masuk, aku antar kamu pulang" ucap Andika membuka kaca mobil melihat Dea yang juga melihatnya.
"Ini mobil kakak ku, aku tidak mencurinya" ucap Andika lagi ketika melihat Dea memperhatikan mobil yang dikendarainya.
"Ayo.... mau masuk sendiri apa dipaksa? " tanya Andika membuat Dea akhirnya menurut untuk masuk kedalam mobilnya dan tanpa mereka tau ternyata Tiara melihat mereka berdua berada didalam satu mobil. Tiara melihat Andika memasangkan seatbelt untuk Dea, tentu saja membuat Tiara semakin kesal semakin membenci Dea itu bisa dilihat dari cara Tiara menggenggam erat ponselnya.
Sepanjang perjalanan Andika terus memperhatikan Dea yang berusaha tidur dengan memejamkan matanya. Wajah Dea terlihat pucat berkeringat namun ketika Andika menyentuh keningnya suhu tubuh Dea dirasa normar normal saja.
"Apa kita perlu kerumah sakit? "
"Tidak perlu, berhenti saja diapotek aku mau beli obat"
"Benar kamu tidak apa apa? "
"Aku tidak apa apa, justru karena kamu terlalu banyak bertanya sakit diperutku semakin terasa" hentak Dea melihat Andika yang seketika diam dan hanya fokus menyetir mobil sesuai dengan apa yang diminta Dea.
"Aw.... Rintih Dea pelan namun masih bisa didengar jelas oleh Andika yang terlihat semakin kuatir dibuatnya.
"Apa masih lama? "
"Apanya? "
"Apotek nya" hentak Dea melihat Andika
"ini kita sudah sampai" jawab Andika membuat Dea perlahan bangun hendak keluar dari mobil dengan tangan yang masih memegang perutnya.
Andika yang melihat itu tidak tega diapun menahan Dea dan menawarkan bantuan untuk Dea.
"Tunggu saja dimobil biar aku yang keluar" Ucap Andika memasang wajah yang menurutnya tampan.
"Obat apa yang harus dibeli?" tanya Andika mulai menunjukan wajah seriusnya. Namun Dea tidak menjawabnya dia malah tetap bersikeras ingin membelinya sendiri namun Andika terus menahannya karena melihat wajah Dea yang sangat pucat.
"Awwww" desah Dea membuat Andika semakin kuatir.
"Katakan saja padaku apa saja yang akan dibeli? " hentak Andika akhirnya membuat Dea mengatakan merk obat yang harus Andika beli.
"Obat apa itu? Aku baru mendengarnya" ucap Andika ketika mendengar nama obat yang diucapkan Dea
"Oke, terus apalagi yang harus dibeli? "
"Kamu tidak akan mau membelinya jadi lepaskan tanganmu biar aku keluar... Awww... " sela Dea cepat langsung kembali merintih ketika perutnya terasa sakit.
"Kamu mau mati atau apa? Aku memintamu untuk diam biar aku saja yang beli" hentak Andika membuat Dea kembali bersandar merasakan perutnya yang terasa benar benar sakit.
Karena perutnya terasa sakit dan semakin sakit Deapun merasa tidak adalagi pilihan selain membiarkan Andika pergi untuk membelihannya obat.
Dea meraih tasnya membukanya lalu kemudian mencari sesuatu didalnya dan tanpa berucap apa apa Dea memberikannya kepada Andika yang langsung menerimanya.
"Ini yang harus dibeli?" tanya Andika memastikan.
"Apa ini?" tanya Andika lagi seraya membuka kemasan plastik berwarna putih yang ketika dibuka isinya seketika membuat senyumnya hilang. mulutnya menganga, matanya terbelalak beberapa kali dikedip kedipkannya memastikan yang dilihatnya.
Terasa empuk ketika ditekan dan dibungkus didalam kemasan itu adalah sebuah pembalut. Pantas saja Dea tidak mau dibawa Andika kerumahsakit, ternyata sakit didalam perutnya itu adalah kram yang biasa rutin dirasakannya setiap bulan.
Melihat itu Dengan cepat Dea meraih kembali pembalut kemasan yang sudah dibuka Andika.
Dia marah dia malu hingga ingin memukul Andika yang sudah membuka yang seharusnya tidak dilakukannya.
"Aku bilang biar aku saja yang beli" ucap Andika menahan Dea yang hendak keluar mobil dan Andika menarik nafas meyakinkan dirinya sendiri.
"Tunggu disini aku akan segera kembali" ucap Andika lagi seraya keluar dari mobil meninggalkan Dea yang tersenyum karenanya.
"Awww..... Kenapa ini terjadi disaat seperti ini. Aihhhh memalukan sekali" ucap Dea bersandar kembali memejamkan matanya.
Dengan kepercayaan diri penuh Andika terus melangkahkan kakinya menuju apoteker yang berjaga. Langkahnya terasa begitu berat ketika melihat orang yang ada didalam apotek kebanyakan adalah wanita remaja dan apoteker itu sendiri adalah seorang wanita membuat langkah Andika semakin berat dirasa.
"Ada yang bisa saya bantu? " tanya apoteker wanita kepada Andika yang saat itu berusaha santai dan terus tersenyum.
"Saya mau satu lembar obat...... (sensor) " ucap Andika lantang dengan jelas menyebut merk obat yang membuat isi apotek terdiam dan melihat kearahnya. Sementara apoteker yang melayaninya tersenyum.
Andika yang tidak tau apa apa terlihat cuek dan santai meski hampir semua wanita yang ada diapotek mulai berbisik memperhatikannya.
"Ini" apoteker memberinya selembar obat yang kembali membuat matanya terbelalak mulutnya menganga. Dari gambarnya Andika melihat memang seharusnya wanitalah yang membelinya kini dia mengerti kenapa semua orang memperhatikannya membuat Andika kini tersenyum menelan ludahnya sendiri.
"Ada lagi yang bisa saya bantu? " tanya apoteker melihat Andika yang gugup memainkan jarijarinya di etalase menutupi obat yang baru dipesannya.
"Hhmmmmm... Itu.... "
"Itu, apa"
"Hmmmmm"
"Iya"
"Hmmm itu... " Andika menunjuk kemasan pembalut yang paling besar yang saat itu terpajang tepat dibelakang apoteker yang kembali tersenyum dan semua orang didalam apotek kembali melihatnya.
"Aahhhh... Manisnya"
"Aaahhhh ganteng banget"
"Aku mau punya pacar kaya dia"
"Beruntung sekli wanita yang jadi pacarnya"
Gadis gadis remaja mengelukan Andika ketika Andika yang membawa pembalut kemasan besar melaluinya, dan saat itu Andika merasa apa yang sudah dilakukannya begitu keren.
"aku memang keren" ucap Andika memuji dirinya sendiri tersenyum bergaya yang menurut dirinya sangat tampan meski dengan pembalut ditangannya.
Andika pergi meninggalkan apotek yang didalamnya para gadis remaja terus saja mengelungelukannya.
Brugg... Suara pintu mobil ditutup namun tak mendapati Dea berada ditempatnya membuat Andika kuatir.
"Aku disini" ucap Dea yang ternyata tengah tiduran di kursi belakang Membuat Andika terkejut melihat sosok Dea yang wajahnya tertutupi rambut panjangnya.
"Untuk pertamakalinya aku berharap kamu mengikat rambutmu" ucap Andika pelan mengelus dadanya terkejut melihat Dea.
Dea duduk bersandar di kursi belakang, Dea juga langsung menerima dan meminum obat yang dibeli Andika untuknya.
"Butuh perjuangan keras untuk mendapatkan obat itu dan ini" ucap Andika pelan menunjuk pembalut yang menggantikan Dea duduk sebelumnya. Meski pelan namun Dea masih bisa mendengarnya dan dia kembali tersenyum dibuatnya.
"Kenapa pindah kebelakang? "
"Disini lebih nyaman"
"Apa kamu benar benar sakit? "
"Apa aku terlihat sedang berpura pura " jawab Dea cepat seraya kembali tiduran di kursi belakang menahan perutnya dengan tangan.
Jam menunjukan pukul sembilan ketika Andika sampai didepan pagar tralis tempat tinggal Dea. Saat itu Bisarah terlihat sedang menunggu kedatangan Dea.
Bisarah menunggu diluar karena Rara sebelumnya menghubungi bisarah dan bilang jika sakit bulanannya Dea datang lagi bisarah yang tau betul seperti apa langsung bergegas menunggu Dea didepan.
"Nona" ucap Bisarah ketika melihat Dea keluar dari mobil yang pintunya dibuka Andika.
"Sudah bibi bilang Nona jangan keluar rumah, bibi sudah tau jika nona akan seperti ini" tambah Bisarah meraih tas slempang Dea.
Tanpa berucap apa apa Dea langsung berlalu pergi meninggalkan Andika berdua bisarah.
"Apa tidak perlu kerumahsakit bi? " tanya Andika pada bisarah yang langsung dijawab tidak perlu karena Dea biasa seperti itu.
"Apa benar tidak apa apa? " tanya Andika mengikuti Dea dengan pandangan matanya
"Apa itu milik Nona Dea? " tanya bisarah menunjuk pembalut yang masih ada didalam mobilnya. Dan lagi lagi Andika dibuat tidak nyaman karenanya.
Bisarah masuk kedalam kamar Dea dan pada saat itu bisarah melihat Dea tengah berbaring diatas tempat tidurnya.
Bisarah menyimpan tas juga pembalut berukuran besar diatas sofa tak jauh dari tempat tidur Dea, dengan hatihati bisarah menyelimuti Dea dengan selimut putihnya.
"Andika sudah pergi bi? "
"Sudah, Nona sudah minum obat? "
"Hhmmm" jawab Dea menarik selimut menyembunyikan wajahnya.
"Bibi buatkan teh hangat buat nona" ucap bisarah seraya pergi meninggalkan Dea yang terlihat nyaman bersembunyi dibalik selimutnya.
Bersambung...
Share this novel