Keesokan harinya seperti biasa Dea duduk dimeja makan menyantap hidangan yang disajikan bisarah, dia akan kembali melakukan aktifitasnya lalu menjenguk Ralia juga Aya yang masih berada dirumah sakit.
Meski pagi itu sudah kembali seperti pagi pagi sebelumnya namun raut wajah Dea menunjukan berbeda karena kejadian tadi malam sangat mengganggu fikiran Dea. Bagaimana senyum Andika ketika dengan wanita lain selain dirinya terlihat jelas dan semakin membuatnya kesal.
"Apa aku cemburu? " tanya Dea pada dirinya sendiri lalu kemudian dijawabnya sendiri dengan menyangkalnya jika dia tidak mungkin cemburu pada Andika.
"Aku pasti sudah gila jika sampai cemburu padanya...
Tapi senyum itu benar benar membuat aku kesal....
Aaaahhhh... Dea Dea Dea kamu harus sadar oke.. jangan sampai Andika membuat dirimu benar benar gila..
Tarik nafas.... Uhhhh tarik nafas... Uuuhhhh
"Nona tidak apa apa? " tanya bisarah yang melihat tingkah Dea aneh berbicara sendiri
Gedebukh... Dea terkejut tak sengaja menjatuhkan tasnya hingga makeup yang ada didalamnya keluar.
Dea canggung melihat Bisarah dan Rosma yang menatapnya dengan cepat diapun merapikan kembali tasnya yang terjatuh.
"Nona baik baik ajakan? " tanya bisarah lagi membuat Dea sedikit berfikir
"Sepertinya aku memang menyukainya" ucap Dea dalam hati tidak mempedulikan bisarah juga Rosma yang memperhatikannya.
"Bi, Dea sudah telat. Dea pergi... Dah... " ucap Dea pergi setelah sebelumnya mencium pipi bisarah yang terkejut aneh melihatnya.
"Nona Dea kenapa? Makanannya juga belum di habiskan" ucap bisarah melihat Dea yang terburuburu pergi.
"Bi, apa boleh makanan sisa Nona Dea saya makan? Biar saya ketularan cantiknya" sela Rosma membuat bisarah melihatnya.
Dea berjalan cepat menuju pagar yang dia yakin diluar sudah ada Andika menunggunya.
Dea terlihat bersemangat, senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
"Ternyata aku memang benar benar sudah gila" ucap Dea tersenyum sendiri mengakui jika dia memang menyukai Andika.
Eit... Langkah Dea terhenti dia memeriksa tasnya dan mengeluarkan cermin juga pensil alis dari dalamnya.
"Aku harus memastikan riasanku agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi" ucap Dea merapikan alisnya, lipstiknya, memakai mascara agar memper indah bulu matanya yang lentik.
"Oke, dia tidak suka rambutku diikat" ucap Dea malah sengaja menggulung rambutnya membuat lehernya terlihat jelas.
"Aku mau lihat apa reaksi dia melihatku seperti ini" ucap Dea menahan senyumnya dan... ternyata Andika tidak ada ketika dia membuka pagar. Matanya mencari cari namun Andika tetap tak di lihatnya.
"kemana dia hari ini? Apa dia sudah memiliki wanita lain yang diganggunya? " ucap Dea kecewa tak mendapati Andika didepannya padahal dalam beberapa waktu yang cukup lama Andika selalu ada berdiri dengan bibir tersenyum padanya namun pagi itu Andika yang sudah berhasil mengganggu fikirannya tak ada.
"Dea Dea Dea... Kamu pasti benar benar sudah gila karena berharap terlalu banyak pada Andika" ucap Dea seraya melangkahkan kakinya untuk mendapatkan taxi.
Dea berjalan dengan perasaan yang lumayan membuatnya kesal. Dalam fikirannya penuh dengan Andika yang tertawa bersama wanita lain.
"Sekarang dia pasti sedang bersenang senang, dan aku dia tinggalkan begitu saja. Awas kalau sampai bertemu" gerutu Dea seraya masuk kedalam taxi.
Didalam taxi selama perjalanan Dea selalu berfikir tentang Andika, Dea menerka nerka apa yang Andika lakukan. Banyak sekali pertanyaan pertanyaan didalam hatinya tentang Andika yang membuatnya menarik nafas panjang.
"Dasar... Awas saja jika sampai bertemu" ucap Dea memalingkan wajahnya yang terlihat kesal.
Jam menunjukan pukul sebelas siang ketika Dea tengah asik bekerja dengan laptopnya.
Ketika bekerja untuk sesaat dia bisa melupakan Andika, namun entah kenapa dihari itu Dea merasakan waktu begitu lama sekali berputar mungkin karena setiap lima menit sekali dia melihat jam yang melingkar ditangannya.
"De, makan siang yuk" ajak Rara pada Dea yang saat itu tengah merangkai bunga sendirian.
"Duluan aja deh, tanggung... " jawab Dea tanpa melihat Rara yang berdiri didepannya.
"Dari tadi aku lihat kamu selalu melihat jam. Apa ada yang kamu tunggu? " tanya Rara seraya duduk didekat Dea
"Ahh... Tidak ada, aku hanya ingin cepat kerumah sakit melihat Ralia"
"Tapi wajahmu tidak terlihat seperti itu"
"Benarkah... Mungkin aku hanya lelah"
"Seharusnya jika lelah kamu pulang dan istirahat. Kamu juga bisa langsung pergi kerumah sakit jika mau... Ya sudah aku makan siang sendiri... Mau dibawakan sesuatu? "
"Gak perlu, aku masih kenyang" jawab Dea tanpa melihat Rara yang langsung pergi.
"Ra.... " teriak Dea membuat langkah Rara terhenti karena Dea meminta Rara untuk menunggunya.
"Aku ikut deh, aku juga lapar" ucap Dea tersenyum merangkul Rara yang melihatnya aneh.
Dea dan Rara pergi berdua ke kedai paman Robi untuk mengisi perut mereka yang kosong.
Karena kedai paman Robi cukup dekat mereka berdua hanya berjalan kaki dan sepanjang perjalanan Rara melihat jika mata Dea mencari cari sesuatu hingga tak pokus ketika dirinya bertanya mengenai Ralia dan Aya.
"Nyari apa sih? Dari tadi kamu aneh banget" tanya Rara pada Dea
"Masa sih aku aneh" jawab Dea berusaha tertawa menyangkal seraya merangkul Rara yang merasa jika Dea semakin aneh saja dilihatnya.
"Aku tau kamu sedang mencari cari Andika ya... " goda Rara yang langsung disangkal Dea
"Apasih"
"Kamu akan terkejut dan pasti marah jika sampai tau siapa Andika sebenarnya" ucap Rara dalam hati tersenyum melihat senyum hambar di bibir Dea.
Taklama merekapun sampai di kedai paman Robi namun sayang siang itu paman Robi tidak ada mereka berduapun harus puas dilayani pekerjanya saja.
"Dimakan buka di aduk aduk terus" ucap Rara membuat Dea terenyuh langsung menganggukan kepalnya.
"Aneh banget, kamu sakit? " tanya Rara seraya menyentuh kening Dea yang dirasanya baik baik saja.
"Kamu itu kenapa sih? Ralia sudah ditemukan, apa ada yang salah dengan makanannya? " tanya Rara melihat Dea yang tidak bersemangat
"Kamu diganggu Rian lagi? "
"Rara... Apa sih, kenapa sebut sebut Rian membuatku merinding aja"
"Habis kamu anehnya kelewatan" sela Rara seraya menyedot minumannya melihat Dea yang juga melihatnya.
Taklama mereka berduapun kembali ketoko bunga, sembari berjalan mereka berdua kembali berbincang namun masih tidak seperti biasanya Rara melihat Dea lebih banyak diam mendengarkan semua ucapannya.
Jam menunjukan pukul tiga sore ketika Dea terus saja melihat ponselnya. Kala itu dengan perasaan campur aduknya Dea ingin sekali menghubungi Andika namun rasa gengsinya yang terlampau tinggi membuatnya mengurungkan niat untuk menghubungi Andika dan meletakan kembali ponsel diatas meja kerjanya.
" tidak ada alasan buat aku menghubunginya. Ralia sudah ditemukan, kita juga sudah bertukar rahasia besar. Jika tiba tiba aku menghubunginya dan bertanya dia kemana saja mau ditaruh dimana mukaku jika dia balik bertanya aku ini siapanya" gerutu Dea seraya merebahkan punggungnya bersandar dikursi kerjanya.
Waktu berlalu begitu saja dan Dea melewatinya dengan menggambar punggung seorang laki laki yang tentu saja punggung itu milik Andika.
"Apa yang kamu lihat? Sepertinya aku kenal dengan punggung itu" ucap Rara mengejutkan seketika ditutupi Dea agar Rara tak bisa melihatnya lagi.
"De, apa kamu mengingat sesuatu tentang Andika? " tanya Rara membuat jantung Dea berdegup dengan kencang ketika mendengar namanya saja.
Dea terlihat berpikir apa maksud Rara atas ucapannya.
"Maksudku, apa kamu mengingat seseorang ketika dekat dengan Andika" Rara memperjelas ucapannya
"Hmmm... Tidak ada, tidak ada yang pantas juga aku ingat mengenai Andika" jawab Dea santai namun Rara tau jika sebenarnya Dea sedang memikirkan Andika.
"Baguslah kalau kamu tidak ingat"
"Maksudnya? Apa ada sesuatu yang aku lupakan? " tanya Dea melihat Rara yang langsung merangkul Dea mengalihkan perhatiannya mengajak Dea untuk mengantarnya kerumah sakit bertemu dengan Aya juga Ralia.
Tanpa menolak Deapun mengantar Rara kerumah sakit karena kebetulan dia juga akan pergi kesana, sore itu mereka berdua pulang lebih awal dari biasanya dengan satu taxi yang sama mereka berduapun pergi menuju rumah sakit dimana Aya berada.
Hampir satu jam akhirnya mereka berduapun sampai juga dirumah sakit dan dalam perjalanan menuju kamar dimana Aya dirawat mereka berduapun berbincang.
"De, aku pernah dengar katanya ayahnya Rian itu adalah Dirut rumah sakit ini bener gak sih? "
"Jangan bikin aku merinding ah, kata siapa sih? "
"Waktu kejadian yang terjadi dulu. semua tentang Rian diulas, katanya ayahnya Dirut rumah sakit ini dan ibunya meninggal karena bunuh diri ketika Rian masih kecil"
"Benarkah kok aku gak tau ya"
"Ya iyalah kamu gak tau, semenjak kejadian itukan selama dua bulan kamu dirawat buat pemulihan, menurut kabar juga ayahnya Rian menghabiskan uang banyak agar mengenai Rian tak dipublish banyak dimedia dan kasusnyapun ditutup"
"Udah deh, jangan bikin aku takut. Kejadian itukan sudah lama banget"
"Iya, iya.. Maaf" Rara merangkul Dea berusaha membuat Dea tersenyum dan berhasil Dea akhirnya tersenyum.
Dan tanpa mereka sadari dibalik tembok terlihat sosok yang melihat mereka dengan senyum sinis menyeringai disudut bibirnya.
Akhirnya mereka berdua sampai juga dikamar dimana Ralia dirawat dan ternyata didalamnya ada paman juga bisarah yang membuat suasana menjadi lebih hidup karena kedatangan Rara.
"Nona.... Bibi Rara... " teriak Ralia merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Dea juga Rara. Ralia terlihat bahagia dan tak henti hentinya bicara kepada Rara yang memang juga sangat menyayangi Ralia.
"Nona, paman mana? " tanya Ralia pada Dea yang menanyakan Andika
"Paman siapa yang dimaksud Ralia paman? " tanya Rara pada Dea yang berbisik jika Ralia menanyakan Andika.
Rara dan Ralia bercengkrama akrab dan Ralia terlihat senang karenanya sementara itu raut wajah Dea terlihat tidak seperti biasanya dia lebih banyak berfikir tentang semua kejadian yang dulu pernah dilaluinya dan jika benar apa yang dikatakan Rara tentang rumah sakit itu mungkin saat ini atau kapanpun dia bisa saja bertemu lagi dengan Rian orang yang sangat ditakutinya.
"Tuhan.... Membayangkannya saja membuatku merinding" ucap Dea pelan meyakinkan jika dia akan baik baik saja.
Jam menunjukan pukul delapan malam ketika Rara dan Dea memutuskan untuk pulang.
Keadaan Aya dan Ralia sudah lebih baik dan bisa pulang keesokan harinya membuat bisarah menginap menemani Aya dan membuat Dea tenang karenanya.
Dea dan Rara tengah berjalan di lobby saat itu tanpa diduga Rara bertemu dengan Junot dan seperti yang diduga Rara pulang diantar Junot menggunakan motor bututnya membiarkannya sendiri berdiri menunggu taxi.
"Ternyata Junot datang sendiri, aku pikir Andika bersamanya... Dea Dea Dea, jika kamu penasaran kenapa kamu tidak bertanya pada junot diakan temannya Andika" ucap Dea pelan pada dirinya sendiri.
"Ah.... Kenapa taxinya lama sekali" ucap Dea melihat area rumah sakit yang terlihat sedikit sepi namun dia tenang karena ada banyak satpam yang tengah berjaga.
"Mau aku antar pulang? " tanya seorang lakilaki membuat Dea seketika membalikan badannya dan... Ponselnyapun terjatuh, dia terkejut karena Rianlah yang kini ada didepannya.
"R ri rian" ucap Dea pelan berusaha untuk tidak gugup
"Kenapa, kamu terlihat terkejut... Tenang saja aku tidak akan memakanmu" ucap Rian mendekati Dea yang berdiri mematung dengan tangan gemetar seperti tidak ada kekuatan untuk memanggil satpam meski jaraknya kurang dari duapuluh meter saja.
"Kamu tetap cantik seperti dulu, semakin membuatku bersemangat" tambah Rian membuat tangan Dea semakin gemetar.
"Mau ikut denganku? " tanya Rian lagi membuat Dea berkeringat menelan ludahnya sendiri.
"Apa ini ponselmu" ucap Raditya yang tiba tiba datang membuat Dea merasa aman dan... dia melihat Rian tak lagi berada didepannya.
"Kamu tidak apa apa?" tanya Raditya lagi seraya memberikan ponsel kepanya.
"Aku tidak apa apa" jawab Dea menghela nafas dan tak lama taxi yang ditunggunyapun datang.
"Terimakasih" ucap Dea sedikit membungkukan badannya dibalas senyuman saja oleh Raditya.
"Mau jenguk bibi? " tanya Dea ragu ragu melihat sekeliling takut Rian masih berada didekatnya.
"Tidak" jawab Raditya melihat tingkah aneh Dea.
"Kalo begitu saya pamit" ucap Dea kembali sedikit membungkukan badannya dan brukkh... suara pintu taxi ditutup dan bbrrmmmm.... taxi itu melaju meninggalkan Raditya yang sedikit bingung melihat Dea dan tak lama mobil Radityapun datang dibawa petugas parkir yang berhenti tepat di depannya.
Sebenarnya Raditya ingin menjenguk Aya namun dia tidak cukup berani untuk berdiri didepannya jadi mendengar bagaimana keadaan Aya dari dokter yang merawatnyapun dia sudah merasa tenang dia berusaha tidak terlihat tidak pernah ada karena itulah yang pernah diminta Aya padanya.
Jam menunjukan pukul sepuluh malam ketika Dea memakai baju tidurnya lengkap dengan rol yang dipasang dirambutnya.
Dea keluar darikamarnya masuk kedapur dan menuangkan air kedalam gelasnya.
"Dimana aku pernah melihat orang yang tadi" tanya Dea mengingat Raditya melupakan air yang dituangkannya kedalam gelas.
"Nona, airnya" ucap Rosma membuat Dea tersadar jika gelasnya sudah penuh dengan air yang ternyata tumpah kemana mana.
"Maaf maaf" ucap Dea melihat Rosma membersihkan air yang ditumpahkannya.
"Nona melamun? "
"Enggak"
"Biar saya saja yang bersihkan" ucap Rosma membuat Dea saat itu juga kembali kekamarnya meninggalkan Rosma membersihkan air yang ditumpahkannya.
Dea kembali masuk kedalam kamarnya dan perhatian Dea tertuju pada bunga baby breath yang masih terpajang didalam vas dikamarnya meski bunga itu sudah terlihat kering.
Karena melihat bunga baby breath kini Dea kembali memikirkan Andika terlebih bunga itu adalah pemberian Andika dan seketika Dea kembali melihat senyum Andika di matanya.
Bukan hanya itu Dea juga melihat sendal jepit milik Andika yang pernah dipinjamnya.
Membuatnya kembali mengingat kejadian demi kejadian bersama Andika yang membuatnya malu sendiri ketika membayangkannya.
"Ada apa sih... Kenapa hari ini begitu banyak yang mengganggu pikiranku" ucap Dea seraya menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur bersembunyi dibalik selimut putihnya.
Bersambung....
Share this novel