Jam menunjukan pukul sembilan pagi ketika Dea terkejut tak mendapati Ralia disampingnya.
"Nona sudah bangun" ucap bisarah seraya menyimpan segelas susu dan roti di meja yang ada dikamar Dea.
"Ralia dimana bi? "
"Nona Aya mengajaknya kekebun bunga, katanya nona Aya mau buat rumah kaca ditaman samping rumah"
Jawab bisarah tersenyum membuat Dea kembali bersembunyi dibalik selimut putihnya.
Dan memang benar saat itu Aya tengah mengajak Ralia kekebun bunga milik mama nya Kevin yang kini dikelolanya. Perkebunan bunga yang sangat luas dipenuhi bunga bunga berjajar berbaris menyusun menurut jenis dan warnanya semua nampak indah dipandang mata.
Aya berdiri dibawah pohon melihat Ralia bermain dengan paman adam diatas hamparan rumput hijau yang dibeberapa sisi terlihat para wanita paruh baya tengah memetik bunga.
Aya tersenyum melihat Ralia namun didalam senyum itu masih menyiratkan sebuah tanya. Pikirannya tentu saja masih tertuju pada sang pemilik hati yang mungkin kini sedang berbahagia bersama Lina.
Aya tidak menyesali keputusannya untuk berpisah dengan Kevin yang Aya sesali adalah megapa cintanya pada Kevin tak sedikitpun berkurang membuatnya tersiksa dan sungguh menyiksa terlebih jika rindu itu tiba.
Aya melihat langit yang biru yang nampak indah dipandang mata. dia tersenyum menarik nafas panjang, memejamkan matanya merasakan udara segar yang dihirupnya namun entah mengapa lelehan airmata tak bisa di tahannya.
"Ya Tuhan sang pemilik semesta beserta isinya
Kutau cinta ini tidak bersalah yang salah adalah aku, mengapa masih memiliki cinta untuknya.
Enam tahun yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya, membiarkan dia berada ditempat yang seharusnya...
Tapi mengapa kini aku menginginkan dia kembali... apa hidupku sedang menjalani skenario disebuah drama? "
*
Jam menunjukan pukul tujuh malam ketika paman membuka pintu mobil untuk Aya yang menggendong Ralia karena tidur.
"Biar saya saja non"
"Tidak apa apa bi, biar Aya saja" Aya menolak tawaran bisarah yang hendak membantunya untuk menggendong Ralia.
Aya membawa Ralia menaiki satu persatu anak tangga meninggalkan paman juga bisarah yang masih memperhatikannya.
Malam itupun Aya tidur berdua dengan Ralia. melewatkan malam yang seperti malam malam sebelumnya masih sepi masih dengan kenangan yang semakin terlihat jelas ketika melihat wajah Ralia.
__________________________________________
Pagi itu masih seperti pagipagi sebelumnya. Masih dimejamakan yang sama menyantap menu sarapan dan masih mereka bertiga. Ralia, Aya dan Dea. Yang berbeda dipagi itu adalah Dea yang masih memakai baju tidur dan diwajahnya masih terlihat warna biru lebam sisa hantaman Rian.
Sebenarnya Dea sudah ingin melakukan aktifitas seperti biasanya tapi karena lebam di wajahnya belum sepenuhnya hilang Ayapun melarangnya. Seharian itu Dea lalui dengan hanya tiduran, memainkan ponsel dan menonton tv. Dea merasa bosan ketika seharian dirumah tidak ada yang boleh dilakukannya bahkan untuk membantu pekerjaan bisarahpun Dea dilarangnya.
Keesokan harinyapun masih sama seperti itu, masih dimejamakan yang sama, menyantap menu sarapan yang sama, dan masih bertiga.
Kembali yang bisa Dea lakukan hanya menyala matikan televisi sambil menunggu Ralia pulang dari sekolah.
Tak terasa empat hari sudah Dea berada dirumah Dea benar benar merasa bosan yang bisa dilakulannya hanyalah menunggu lebam diwajahnya hilang.
Siang itu ketika Dea berada dihalaman rumah tepatnya sedang berayun diayunan Rara datang menjenguknya.
"Kenapa baru kerumah si Ra.... Kemaren kemana aja?... Ditelfon gak diangkat di chat gak dibales.
Kamu taukan aku gada teman, aku bosen dirumah"
"Maaf dech.... Kamu tau sendiri kalo akhir pekan
toko ramenya kaya apa" jawab Rara seraya memberikan parcel buah ketangan Dea.
Dea membuka parsel buah dari Rara, tanpa dicuci terlebih dahulu Dea langsung menyantapnya karena Dea tau jika parsel itu yang membuat adalah Rara.
"Oh iya De, kemaren ada lakilaki datang ketoko nanyain kamu. "
"Nanyain aku... siapa? " tanya Dea sambil terus mengunyah buah apel yang dipegangnya.
"Nah itu dia De, aku lupa siapa namanya" jawab Rara membuat Dea meliriknya seraya memberinya buah apel yang langsung disantapnya.
Itulah Rara sahabat kecil Dea yang kadang pelupa, namun Dea sangat menyayangi Rara begitu juga sebaliknya
Meski kadang pelupa didalam pekerjaan Rara sangatlah bisa diandalkan.
Meski tidak kuliah Rara sangat pintar semasa sekolah Rara selalu peringkat dua setelah Dea yang selalu peringkat pertama.
Dea dan Rara mereka sama sama tumbuh didesa, ketika Dea harus pindah kekota mereka harus berpisah namun tidak lama karena paman adam berhasil membujuk orang tua Rara untuk menyekolahkan Rara dikota bersama Dea.
sedari kelas sembilan sampai kelas dua belas Rara tinggal dirumah mewah itu bersama Dea namun ketika Dea mulai kuliah dan membuka toko bunga Rara pindah dengan alasan ingin lebih dekat ketoko bunga tempat dia bekerja.
Siang itu Rara tidak bisa berlama lama karena harus kembali ketokobunga membuat Dea kembali sendiri ditemani parsel buah yang kini berada disampingnya.
**
Jam menunjukan pukul delapan pagi ketika Dea keluar dari kamar dan sudah tidak mendapati Aya dan Ralia yang bisarah bilang mereka sudah pergi terlebih dahulu.
"Nona mau kemana? " tanya bisarah yang melihat Dea sudah rapih dengan tas slempang ditangannya.
Dea hanya tersenyum seraya menyantap sepotong roti yang ada didepannya dan bisarah langsung tau jika pagi itu Dea akan kembali memulai aktifitasnya.
"Emang nona sudah tidak apa apa? " tanya bisarah melihat wajah Dea
"Dari kemaren juga Dea udah ga apa apa bi, Bibi aja yang terlalu kuatir" jawab Dea mengunyah roti seraya memasangkan heels di kakinya
"Nona mau bawa mobil? Paman sudah pergi nganter nona Aya"
"Dea naik taxi bi, ini taxi udah didepan" jawab Dea beranjak menunjukan chat dari taxi yang dipesannya.
Dea pergi setelah meneguk susu yang dibuat bisarah, sebelum pergi Dea memeluk bisarah seperti memeluk orangtuanya sendiri.
Setengah berlari Dea berjalan meninggalkan rumah menelusuri jalan yang mengarah ke depan gerbang yang diapit tembok menjulang tinggi keatas namun terlihat nampak indah dengan bunga merambat climbingrose yang tengah bermekaran.
"Bruggh.... Suara pintu mobil ditutup
"Toko bunga D&A pak"
"Baik non"
Wwwuusshhh... Taxi itupun pergi membawa Dea yang tengah asik memeriksa chat diponselnya.
Akhirnya setelah menempuh jarak hampir satujam Dea sampai juga diparkiran toko bunga tempat dia bekerja, dengan cepat diapun keluar memasuki toko bunga yang sudah terlihat ramai akan pelanggannya.
"De, kamu sudah sehat? " teriak Rara menghampiri Dea yang masuk kedalam ruangannya.
"Emang siapa yang sakit akukan gak sakit" jawab Dea masuk diikuti Rara dibelakangnya.
Dea menyimpan tas slempangnya lalu kemudian memeriksa pekerjaan yang selama satu minggu dia tinggalkan.
Pekerjaan Dea begitu banyak dia memeriksa semua berkas yang diberikan Rara padanya, dia terlihat serius dengan kacamata yang dipakainya. hingga tak terasa makan siangpun sudah tiba.
"De, makan siang yu" ajak Rara membuka pintu
"Ayo" ajak Rara lagi yang melihat Dea masih asik dengan pekerjaannya.
"Duluan aja deh, tanggung nih sedikit lagi juga selesai" jawab Dea tanpa melihat Rara
"Gak ah, aku nunggu kamu" sahut Rara seraya masuk dan duduk disofa yang ada diruangan Dea
"Rara....
"Dea...
Dua sahabat itu saling bertatapan lama lama semakin lama dan kemudian..
"Yaudah ayo" ucap Dea melepas kacamata meninggalkan pekerjaannya meraih tas lalu kemudian pergi menggandeng tangan Rara.
"Kalo cowo melakukan hal yang sama kaya kita pasti terlihat menjijikan" ucap Rara pelan membuat Dea tersenyum
Akhirnya setelah berjalan kaki selama limamenit mereka berduapun sampai juga di kedai milik paman Robi yang menyediakan makanan khas desa tempat tinggal Dea sebelumnya.
Paman Robi adalah keluarga Rara tepatnya adik dari almarhum bapaknya Rara.
Sudah hampir dua tahun paman Robi mengelola kedai dan kedai nyapun selalu rame dengan pengunjung seperti hari itu.
"Paman, 2 ya" bisik Rara pada paman Robi yang tengah berjaga dikasir.
" harus paman yang buat ya, biar tambah mantap" tambah Dea tersenyum dibalas senyum juga sama paman Robi yang semenjak ditinggal meninggal istrinya sepuluh tahun lalu tidak pernah menikah lagi.
Dea dan Rara duduk di meja paling ujung karena memang disitulah tempat paforitnya selain bisa melihat keluar di ujung juga tidak terlalu bising dan tersembunyi.
Rara bercerita jika saat itu dia tengah rindu dengan keponakannya yang ada di desa. padahal belum lama ini dia pulang kedesa.
"Hmmmm..... Dari wanginya ada sudah enak banget, mie ayam buatan paman emang mantap" ucap Dea memuji paman Robi yang tersenyum karenanya.
"Katanya Dea sakit, sakit apa? " tanya paman Robi duduk diantara Rara juga Dea
"kata siapa Dea sakit, Dea baik baik aja" jawab Dea mengaduk ngaduk mie didepannya
"Dea itu memang sakit paman" sela Rara membuat paman robi tersenyum melihat Dea yang juga tersenyum padanya.
"Tidak terasa kalian sudah dewasa, padahal baru saja kemarin kalian berlarian dengan seragam sekolah meminta upah setelah membantu mendorong gerobak paman" kenang paman dengan mata yang hampir berkacakaca
"Itukan dulu paman, berkat bibi (Aya) paman bisa buka kedai di kota" sahut Rara menyeruput mie ayam yang memang enak rasanya.
"Paman ada pelanggan" tunjuk Dea tersenyum menunjuk pelanggan yang baru masuk kedai nya
"Nikmati makanan kalian, paman kesana dulu" ucap paman berbisik dan pergi
"Untung ada yang datang kalo engga ini kedai sudah jadi lautan airmata" ucap Rara memebuat Dea tersenyum karenanya.
"Hmmmmm.... Rasanya berasa ada didesa" ucap Dea memejamkan kedua matanya kala menikmati suap demi suap mie ayam yang kini penuh dimulutnya.
"Wah.... Sepertinya enak sekali, boleh aku minta? " ucap seorang lakilaki menghampirinya duduk disebelahnya diikuti seorang temannya yang juga duduk disebelah Rara.
"De, itu laki laki yang tempo hari nanyain kamu" bisik Rara
Dea terkejut dengan bisikan Rara hingga membuatnya hampir tersedak makanannya karena yang datang saat itu adalah Andika lakilaki yang beberapa hari kebelakang sempat membuatnya susah untuk tidur, dan kini Andika muncul lagi di depannya tanpa ijin menyantap lahap mie ayamnya dan Andika masih setia dengan sendal jepit masih dengan celana pendek dan kaos oblong yang dipakainya.
"Dik, ini pacar kamu? " ucap teman Andika membuat Dea melihatnya.
"Hmm.. Gimana cantik kan? " sahut Andika dengan mulut penuh membuat Aya semakin melongo karenanya sementara Rara terlihat mengagumi teman Andika yang terus saja dilihatnya bahkan dengan sengaja Rara memberikan makanannya pada teman Andika
"Sayang, kita belum berkenalan nama kamu siapa? Namaku.. "
"Junot" sela Andika cepat sembari tersenyum namun Junot hampir saja memukulnya.
Rara menyambut uluran tangan Junot dengan senyumnya terlebih ketika Junot mencium tangannya.
Sementara itu Dea hanya bisa menghela nafas ketika minuman dan mie ayamnya hampir habis dimakan Andika.
"Kamu sudah sembuh? " tanya Andika tiba tiba mendekati wajahnya yang dengan spontan Dea langsung memukul keningnya dengan sendok yang dipegangnya. Namun Andika malah terus tersenyum tidak mempedulikan Dea yang terlihat tidak nyaman karenanya.
"Ra, ayo kita pergi" ajak Dea seraya berdiri pada Rara yang masih asik perpandangan dengan Junot lakilaki yang baru dikenalnya.
"Rara.... ucap Dea setengah berteriak membuat Rara akhirnya melihatnya.
"Ayo kita pergi" ajak Dea lagi namun Rara menolak dengan alasan dia masih betah.
"Dik apa kalian sedang marahan? " tanya Junot melihat Andika yang saat itu mengusap usap keningnya yang dipukul Dea.
"Emang siapa yang pacarnya Dia" hentak Dea pada Junot yang terlihat terkejut karenanya
"Kamu cantik kalo lagi marah" ucap Andika membuat Dea kesal terlebih Rara terlihat semakin asik bermain pandang dan lempar senyum dengan Junot.
"Ayo Ra kita pergi" ajak Dea menarik tangan Rara yang akhirnya mengikutinya meski harus dengan memaksa.
"Sayang" ucap Junot mengulurkan tangan ketika Rara mulai menjauhinya membuat Dea seakan jijik melihatnya.
"Pacar kamu aneh" ucap Junot membuat Andika tersenyum mengikuti Dea dengan pandangan matanya.
"Dik, makanannya udah dibayar belum? " tanya Junot menunjuk makanan yang sudah mereka habiskan.
"Pastinya belum" jawab Andika santai menghabiskan minuman milik Dea
"Terus aku lagi yang harus bayar? " jawab Junot meringis melihat Andika tersenyum tanpa beban.
"Siapa lagi, disini cuman kamu yang punya uang"
"Uangku sudah habis" Junot meringis membuka dompetnya yang memang hanya ada satu lembar uang lima puluh ribu rupiah, ditunjukannya pada Andika yang tertawa kecil melihatnya hampir menangis.
"Kamu sudah merampas semua uangku" tambah Junot meringis menatap Andika dengan mata terbelalak namun itu semakin membuat Andika tertawa karenanya.
Bersambung....
Share this novel