Di ujung pematang sawah Cilla menghentikan langkahnya. Menatap sejenak hamparan luas padi menguning siap panen disana. Pikirannya melayang menerawang masa depan. Cintanya kini bak di ujung tanduk pertaruhan. Ingin protes pun seperti tak ada jalan. Cilla terduduk di bawah sebuah pohon mangga. Beratapkan jingga yang tampak romantis saat tenggelamnya sang surya.
Di tengah lamunannya itu Budi menghampiri dan duduk di sampingnya. Tatapannya seolah mengerti akan perasaan saudara sepupunya itu.
"Cill, Abang tau lu pasti kecewa, tapi ini bukan sepenuhnya kemauan Jo. Abang tahu banget dia orangnya tulus dan setia sama satu wanita," jelas Budi menyandarkan punggungnya di batang pohon mangga.
"Iya Bang ... aku tahu kok, tapi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa kalau emang takdirnya dia harus bersama yang lain," jawab Cilla dengan senyum terpaksa.
"Abang cuman bisa berharap yang terbaik buat kalian, meski Jo item, jelek, dekil, terus banyak minusnya, tapi dia baik Abang dukung kamu kalo mau terus maju," timpal Budi.
Cilla menyeringai mendengarnya. Sedikitnya Budi berhasil membuatnya tersenyum di tengah rasa sedihnya.
Jo memerhatikan mereka dari kejauhan. Ingin rasanya berlari menghampiri Cilla dan memintanya untuk tetap bersama. Namun, di sisi lain ia harus mengerti situasi dan perasaan wanita. Biarlah Budi mengobati dengan caranya sendiri pikirnya.
"Mas, mau pulang sekarang? Udah mau magrib, nanti kita pergi ke surau bareng ya," ucap Sari menundukan kepalanya.
"Eh iya Dek, nanti Mas nyusul ya kamu duluan aja," jawab Jo.
"Permisi Dek Sari, kalo boleh tahu punya temen nggak?" tanya Alex tiba-tiba.
"Punya Mas, kenapa memang?"
"Kalau ada boleh dong dikenalin sama saya, kan menjalin silaturahmi itu hukumnya wajib kan?"
"Hapus dulu tuh tato baru cari santri," sahut Jo berdiri dari duduknya.
"Yah bawa-bawa tato," gumam Alex menatap lengannya yang berisi tato bertuliskan lambang salib.
Jo mengajak Sari pergi meninggalkan Alex. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah untuk kembali ke rumah. Sesekali Sari merasa terlihat terkekeh mendengar candaan Jo. Dari kejauhan Cilla nampak cemburu dibuatnya. Wajahnya memanas hingga memerah. Tangannya mengepal menahan amarah yang menyesakkan dada. "Genit!" gumamnya pelan.
Budi menyadari situasinya kinki sedang tidak aman. Secepat kilat ia memegangi Cila untuk segera beranjak dari tempatnya. Menyusul Jo yang hampir ditelan luasnya sawah disore hari.
~~~
Setelah membersihkan diri Jo telah rapi dengan baju koko dan sarungnya. Tak lupa peci putih dikenakannya di kepala. Berkaca di depan cermin lemari yang terletak di ruang tengah keluarga. Alex, Budi, dan Cilla nampak bergurau di depan rumah. Mengeringkan keringat mereka sebelum mandi.
"Wuidih mau kemana Mase udah rapi amat make sarung pula," ledek Alex.
"Mau curhat sama yang maha kuasa dulu, gue pulangnya malem kalian kalo mau apa-apa tinggal bilang aja ke Tejo atau mbok di belakang ya," seru Jo.
"Santai Mase, eh jangan lupa nanti bilangin ke dek Sari ya yang tadi," ujar Alex terkekeh.
Jo melangkah pergi dengan tatapan terakhir tepat pada Cilla. Banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi keadaan tidak memungkinkan untuk hal itu sekarang. Cilla tidak ingin menyakiti hatinya terlalu cepat. Karena hal terpenting saat ini adalah memastikan hati Jo masih bersamanya atau telah pergi bersama Sari.
"Udah ah gue mau mandi terus makan," celetuk Alex mengakhiri obrolan.
Pukul sembilan malam Jo belum juga pulang. Cilla yang telah selesai mandi dan makan malam sengaja menunggunya di depan rumah sendirian. Alex dan Budi sibuk dengan game mereka masing-masing di kamar. Menyisakan Cilla dengan kesendirian memeluk perasaan. Badannya penuh bekas gigitan nyamuk yang entah ke berapa. Ia mengambil sarung berwarna biru yang tersimpan di lemari ruang tamu. Membalutkan tubuhnya agar angin dan nyamuk tidak menyerangnya.
"Bund! Bangun jangan tidur disini, masuk yuk," ujar Jo membangunkannya lirih. Cilla tersadar dari tedur sesaatnya. Menatap Jo kini berada tepat dihadapannya.
"Eh iya ketiduran. Oh iya ini sarungnya aku pinjem dulu ya, soalnya enak adem pake ini," ucap Cilla makin memeluk.
"Oh kamu suka ya pakai aja, itu punya bapak kok," jawab Jo seraya berjalan masuk ke dalam rumah.
Mata Cilla terbelalak mendengarnya. Sarung yang ia kira milik Jo ternyata milik bapaknya. Segera ia melepasnya dan menyusul Jo ke dalam rumah. "Pantesan bau balsem," batin Cilla.
Jo berjalan menuju ke dapur. Cacing perutnya meronta meminta diberi makan. Ia menyingsingkan sarungnya untuk mengangkat kaki mirip pelanggan warteg.
"Pap aku ambilin ya nasinya," ujar Cilla mengambilkan piring.
"Kamu udah makan bund? Makan bareng yuk!" ajak Jo.
"Udah kok tadi sama Abang dan ka Alex," jawab Cilla.
Sepiring nasi dengan lauk pauk lengkap disuguhkannya di hadapan Jo. Tanpa aba-aba Jo memakan lahap makanannya. Hampir tak ada jeda untuk berkata sedikit pun. Cilla menatap bahagia kekasihnya. Rasanya ingin memeluknya erat dan menangis di dekapnya.
"Allhamdulillah ...."
"Nambah lagi nggak?"
"Udah bund cukup, kenyang banget ini."
Selesai dengan makan malamnya, Jo dan Cilla kembali lagi ke teras rumahnya. Sekedar mencari angin agar makanannya tercerna lebih sempurna. Cilla membuka obrolan ringan dengan menanyakan keberadaan bapaknya.
"Bapak kemana kok dari tadi sore kita pulang nggak kelihatan?" tanya Cilla.
"Biasa rapat di balai desa, pulangnya bisa malem banget," jawab Jo.
"Tadi solatnya lama, sambil ngaji ya?"
"Oh iya tadi mampir ke pesantren bapaknya Sari, sekalian silaturahmi aja udah lama nggak ketemu," jawab Jo.
"Iya udah lama ya," gumam Cilla.
Seketika keadaan mulai canggung kembali. Cilla mengayunkan kaki di atas bale bambu depan rumahnya. Sedang Jo hanya meremas tangannya untuk menghilangkan kejenuhan.
"Ya udah aku tidur duluan ya, kamu jangan begadang ya," ucap Cilla berdiri dari tempat duduknya. Belum sempat menjawab Jo menyahut lengan Cilla seketika. Ditariknya tubuh Cilla hingga terduduk di sampingnya. Wajahnya tepat di depan Jo tanpa berjarak.
"Bund, maafin Papa Jo ya," ujar Jo. Bibirnya mengecup lembut bibir Cilla. Tanpa penolakan Cilla menyahutnya dengan rasa cinta. Ciuman itu terjadi setelah sekian lama mereka menjalin hubungan.
"Jo password wifi-nya a ... pa ..." ucapan Alex terhenti saat melihat pemandangan panas dihadapannya. Ia membalikkan badan seolah tidak melihat kejadian tersebut. Cilla spontan mendorong tubuh Jo ke belakang.
"Hadeh ganggu aja lu Lex," gerutu Jo.
"Sorry sorry lanjut aja, eh tapi ini password wifi-nya apa?" tanya Alex masih membelakangi mereka.
"Ganggu banget," jawab Jo.
"Ya elah kan gue udah bilang sorry," sahut Alex.
"Iya itu passwordnya ganggu banget nggak pake spasi kapital semua," jelas Jo.
"Oh oke. Jangan lama-lama kalian disitu, disini nggak ada nearby pusing gue tar!" ucap Alex meninggalkan mereka.
Bersambung ...
Share this novel