Sinta disambut hangat oleh Jo dan Cilla. Tak terlihat Alex berada disana. Setelah duduk sebentar, Cilla datang membawakan segelas air es untuk Sinta.
"Wah kok repot-repot sih," ujar Sinta. "Cuman minum Kak," balas Sinta.
Budi mengajak Jo pergi ke belakang untuk menanyakan hasil dekorasinya bersama Cilla. "Gimana?" bisik Budi di depan kamarnya. Jo hanya memberikan jempol pertanda semua telah beres sesuai rencana.
Budi yang takbegitu saja percaya, mencoba mengecek terlebih dahulu kamarnya.
"Eh udah udah cepet langsung aja bawa kesini orangnya, kelamaan," Jo melarang Alex membuka kamar.
Dengan langkah yang gugup Budi berjalan menuju ruang tamu. Nampak Sinta dan Cilla tengah asyik mengobrol kesana kemari.
"Sin, ikut bentar yuk!" ajak Budi.
"Ah elah nggak romantis banget sih lu. Tutup matanya," timpal Jo berbisik.
"Kenapa sih, kok gugup gitu?" tanya Sinta menatap Budi.
Budi mencoba menutup mata Sinta dengan kedua tangannya. Ia memberi kode kepada Cilla dan Jo untuk membantunya membukakan pintu kamar yang telah mereka dekorasi sebelumnya.
"Aduh kok pake tutup mata segala sih, aku jadi deg-degan," ucap Sinta.
Mereka berjalan beriringan menuju kamar Budi. Jo dan Cilla berada di depan untuk membukakan pintu. Saat terbuka mata Budi terbelalak melihat dekorasi Jo dan Cilla memilih tema doraemon. Mulutnya menganga mendapati sahabat dan adik sepupunya mendekorasi kamar layaknya anak kecil. Sontak Budi tak membuka mata Sinta begitu saja.
"Eh Sin kita muter balik salah jalan bukan ke sini," ucapnya.
"Eh kok nggak jadi, ini udah capek-capek dekornya," ucap Cilla sedikit berbisik.
Sinta yang mendengar kegaduhan itu pun akhirnya melepaskan tangan Budi yang menutupi matanya.
"Eh eh Sin ini batal kejutannya salah tema, yuk ke depan aja!" ajak Budi.
Sinta berjalan masuk ke dalam kamar dengan perlahan. Di tatapnya seluruh penjuru ruangan berhias aneka macam tema bernuansa doraemon. Kartun kucing jepang berwarna biru itu sukses memikat Sinta.
"Waahhh lucu banget doraemon, kamu kok tahu sih aku suka doraemon," ucap Sinta berbalik badan.
"Hah? Mm iya nebak aja," jawab Budi bingung.
Tepat pada bagian ujung tembok tertulis kata "Will you be mine?" membuat Sinta tersipu malu saat membacanya. Ia menatap kembali Budi dengan senyum manisnya seraya mengangguk.
"Hah? Jadi diterima ini? Serius?" tanya Budi memastikan.
"Iya ...."
Budi melompat-lompat kegirangan mendengar jawaban Sinta. Ia tak menyangka bahwa Sinta menerima cintanya. Kekonyolan Jo dan Cilla berhasil memukau Sinta.
Malam itu mereka merayakan hari jadian Budi dan Sinta dengan memesan banyak makanan. Meski Alex tantampak disana, tetapi tidak mengurangi rasa bahagia yang di tunjukkan Budi.
"Udah malem nih, aku pulang ya," kata Sinta melirik jam dinding yang kini telah menunjukkan jam sembilan malam.
"Aku anterin," Budi berdiri dari tempat duduknya.
"Eh nggak usah, aku harus ke rumah tante dulu jemput mama. Next time aja ya nganternya," jelas Sinta.
"Ta ... tapi ini udah malem loh, mana bisa aku biarin pacar aku pulang sendirian," timpal Budi.
"Sayang, nggak papa ya kali ini aku pulang sendiri," ucap Sinta mengusap tangan Budi.
Jo dan Cilla saling menatap menahan tawa mereka menyaksikan kebucinan Budi dan Sinta.
Akhirnya Budi mengantarkan Sinta ke depan rumah untuk menunggu ojeg online pesanannya.
"Ayang kamu mau pulang di anterin sama Papa Jo nggak," kata Jo sedikit meledek kala Budi masuk ke dalam rumah.
"Bunda pulang sendiri aja ya Pap, boleh kan," timpal Cilla.
"Yeee kalian bukannya seneng gue nggak jomblo lagi, malah ngeledekin," jawab Budi.
Hingga larut malam mereka bermain kartu di depan televisi seraya menunggu kantuk menyerang. Sudah bisa ditebak siapa yang menjadi bulan-bulanan permainan ini. Jo harus merelakan wajahnya berlumuran bedak karena kekalahannya. Tawa Cilla tak terhenti saat takada lagi bagian wajah Jo yang bisa mereka coret. Menyisakan dua bola mata yang melirik bak anak balita selesai mandi dan di bedaki oleh ibunya.
"I'm home!" seru Alex.
"Dari mana lu Lex, ketinggalan momen banget lu," ujar Jo.
"Biasa abis nongski. Weh muka lu gantengan Jo pakek bedak," ledek Alex merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Kampret lu. Coba balik dari sore lu, kebagian makan besar," ucap Jo.
"Paling selametan si Joi sama anak-anaknya," celetuk Alex.
"Gak sepenting itu sih, ini dalam rangka jadiannya Mbud dan Sinta," jelas Jo sibuk memilih kartu di tangannya.
Mendengar itu Alex terduduk. Terlihat wajahnya sangat tidak nyaman akan kabar yang ia dehgar. Budi hanya melirik sinis padanya seolah tak perduli dengan pendapat Alex sebelumnya.
Suasana pun menjadi hening kala Jo melempar satu kartu di hadapannya. Cilla segera menyenggol kaki Jo memberikan kode agar sadar akan situasi.
"Lu jadi nembak dia?" tanya Alex.
"Iya, dan gue nggak perlu waktu lama buat nunggu jawabannya," jawab Budi.
"Lu bakalan nyesel Mbud," ujar Alex meninggalkan ruang tamu.
"Heh, kisah cinta gue nggak perlu persetujuan lo juga. Makanya cari cewek yang bener biar nggak gonta ganti kek ganti oli aja," teriak Budi seraya berdiri.
Ucapan Budi menghentikan langkah Alex. Ia merasa tersinggung atas sindiran Budi yang mencampuri urusan pribadinya. Segera ia berbalik badan menghampiri Budi. Tepat di hadapannya Alex menatap tajam penuh amarah.
"Gue nggak peduli lu mau pacaran ama siapa juga, tapi gue tau siapa Sinta dan gue udah peringatin lu!" jelas Alex.
"Kalo lo tahu semua tentang dia kenapa nggak lo omongin ke gue? Kenapa cuman peringatin gue doang? Jawab coba!" Budi melangkah satu langkah tepat di depan wajah Alex.
Jo dan Cilla berusaha menengahi mereka. Cilla menarik lengan Budi dan Jo menarik bahu Alex menjauh.
"Udah Bang ih apaan sih malah ribut," kata Cilla.
"Udah Lex masuk kamar gue," ajak Jo.
Cilla menceramahi Budi di kamarnya. Ia yang tak mengetahui apa yang terjadi antara Alex dan saudaranya itu hanya bisa menyalahkan Budi atas sikap kasarnya itu.
"Abang ada masalah apa sih?" tanya Cilla.
"Mana Abang tau, dia duluan yang mancing-mancing. Dia bilang awas ntar lu nyesel sama Sinta bla bla bla, tapi Abang tanya kenapa dia nggak jelasin apa-apa," jawab Budi.
Sedangkan Jo dan Alex yang berada di kamar Jo mulai berbicara serius tentang Sinta.
"Lex, lu harusnya jangan langsung nembak gitu ke Budi, kalau udah gini kan dia bakalan nyari tahu ntar tentang Sinta. Mana baru aja jadian," jelas Jo.
"Ya gue kesel aja Jo, gue nggak mau cewek itu nyakitin si Budi. Cukup gue aja," jawab Alex terduduk di ujung kasur Jo.
"Ada waktunya, tapi jangan sekarang," timpalnya.
Alex perlahan menceritakan apa yang terjadi padanya bertahun silam. Jo hanya mengangguk dan menggeleng menanggapi cerita Alex. Di satu sisi ia tak menyangka hal itu terjadi pada Alex dan disisi lain ia prihatin jika itu terjadi pada Budi.
"Lu paham kan Jo?" tanya Alex di ujung ceritanya.
"Ya ... sedikit," jawabnya.
"Please Jo kali ini lu ada di pihak gue kan? Itu cewek agak stress sumpah," jelas Alex seraya mengguncang bahu Jo.
Jo hanya mengangguk perlahan. Pintu kamarnya mendadak terbuka. Cilla berdiri terpaku menatap pemandangan Alex yang mencengkeram bahu Jo bak adegan telenovela.
"Sorry Kak, lanjutin aja," ucap Cilla sedikit canggung.
Cilla menutup kembali kamar Jo. Alex menghembuskan napas panjang tanda kehilangan kesabarannya.
"Oke Jo, sekarang lu jelasin aja ke Cilla biar dia nggak salah paham ya, gue mau balik ke kamar terus tidur, bye," pungkas Alex.
Jo yang masih bingung dengan cerita Alex hnya mengangguk-angguk menatap langkah Alex. Cilla segera masuk ke kamar Jo untuk memastikan interogasi mereka masing-masing.
"Gimana? Ada apa sama Kak Alex?" tanya Cilla setelah menutup pintu.
"Bingung bund, ceritanya muter-muter bikin aku pusing," jawab Jo merebahkan tubuhnya.
"Yeee ... malah tidur, cepet cerita dulu," Cilla menarik lengan Jo untuk duduk. Belum sampai Jo terbangun, tubuh Cilla yang takkuat menahan berat badan Jo akhirnya tersungkur tepat diatas badannya.
"Bund, sekarang yang pusing pala atas bawah," celetuk Jo menatap langit-langit.
Bersambung ...
Share this novel