"Assalamualaikum," seru Tejo.
"Walaikumsallam, kok jam segini baru sampe to Jo," jawab bapak Jo.
"Itu Mas Jo semalem abis dapet wangsit Pak," sahut Tejo.
Alex, Budi, dan Cilla menyalami bapak. Mata pak Susilo tak luput dari Cilla. Di perhatikannya gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Meski berpakaian sopan, namun celana jeans ketat di padu kaos oblong berwarna coklat membuat tampilan Cilla begitu seksi di matanya.
"Pak," Jo menyalami bapaknya. Terlihat wajahnya yang pucat efek ketakutan masih sangat jelas.
"Udah masuk masuk, kita sarapan habis itu kalian istirahat!" ujar bapak.
Mereka bergegas masuk ke dalam rumah. Menyisakan Tejo, bapak, dan Jo di teras. Bapak menyahut lengan Jo untuk berbicara empat mata. "Kamu ini pulang bawa wanita nggak bilang-bilang Bapak!" bisiknya setengah marah.
"Aduh Pak, itu sodaranya Budi, sekaligus ..." ucapan Jo terputus.
"Udah cepet makan terus istirahat, nanti siang kita keluar," ujar Bapak.
Pak Susilo adalah salah satu orang terpandang di desanya. Menjabat sebagai kepala desa membuatnya sangat di segani. Sejak kecil Jo di didik disiplin agar bisa mengikuti jejak bapaknya. Namun, sayangnya Jo tidak tertarik menyalon sebagai kades seperti bapaknya. Ia lebih memilih menjadi guru dengan berkuliah pada jurusan keguruan.
Ibunya telah tiada sejak Jo masih duduk di bangku SMP. Meski begitu bapaknya memutuskan untuk tidak menikah lagi.
Di meja makan mereka tengah asyik berbincang satu sama lain. Alex dan Budi saling menertawakan foto-foto kecil Jo yang terpampang di tiap sudut rumahnya.
"Jo, lu dari kecil emang udah item ya," ledek Alex.
"Tapi imut kok apalagi foto yang telanjang masih kecil tuh, hihihi," timpal Budi.
"Puas puas ngetawainnya, ntar malem lu tidur di kandang wedus sana," sahut Jo.
"Enggak kok bebeb aku imut banget utuk utuk utuk," puji Cilla.
"Ehem ... kalian sudah selesai makannya?" tanya Bapak.
"Sudah Pak," jawab Alex dan Budi serempak.
"Oke sekarang boleh istirahat dulu nanti sore kita jalan-jalan ke sawah," jelasnya.
Mereka segera membubarkan diri masing-masing menuju kamar. Rasa lelah dan kantuk telah hinggap sedari tadi. Cilla menggandeng lengan Jo seolah ingin berjalan bersama. Seketika tatapan bapak melirik tajam ke arahnya. Jo menurunkan lengan Cilla secepat mungkin. Sebelum bapaknya berubah menjadi penceramah dadakan saat itu.
Suasana pedesaan khas dengan suara ayam hingga kambing bersahutan. Membuat tidur siang mereka sangat nyenyak setelah perjalanan. Samar-samar dari arah luar kamar terdengar seseorang tengah mengobrol pelan. Jo yang paling susah dibangunkan mendadak membuka mata perlahan.
"Siapa sih ngobrol dari tadi," gumamnya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju ke ruang tamu sembari mengucek matanya.
"Nah itu anaknya baru bangun," ujar Bapak.
"Si ... apa sih Pak yang ..." ucapab Jo terputus kala melihat sesosok gadis manis tengah tersenyum padanya.
"Kamu tidur masih kayak kebo aja susah dibangunan," ledek Bapak.
"Bangunin Pak," koreksi Jo.
"Ini kenalin Sari anaknya mas Samsuri," ujar Bapak mengenalkan.
"Sa ... Sari yang dulunya temen SD ku to? Yang item terus umbelan (ingusan) terus suka manjat pohon jambu terus ..."
"Heh udah udah kelamaan nanti, ngobrolnya di saung aja sekarang cepetan berangkat," potong Bapak.
Jo terus menatap kagum pada Sari. Sosok gadis yang dahulu tidak menarik sama sekali kini sungguh memesona. Parasnya ayu tanpa cela. Jilbab coklat muda membalut kepala menambah anggun pesonanya. Sungguh Jo terpukau melihat gadis ini.
"He Mas, kan saya udah bilang Masnya pasti nyesel kan sekarang tahu mbak Sari cuantiknya kayak gimana," celetuk Tejo.
"Kenapa nggak kasih potonya dulu Jo Jo, tahu gitu kan aku nggak ngajak temen-temenku pulang," sahut Jo tetap memandangi Sari tanpa berkedip.
"Yuk kita udah ready to go," seru Cilla.
Alex, Budi, dan Cilla telah bersiap dengan kaos dan celana pendeknya. Namun, Cilla yang mengenakan kaos ketat dipadu dengan celana hot pant membuat wajah bapak Jo terlihat sedikit kesal. "Pak permisi sebentar ya," ujar Sari berlalu dari hadapannya.
Sari berjalan menuju sebuah lemari yang memang terdapat di sudut ruang tamu itu. Mencari beberapa kain peninggalan almarhumah ibu Jo. Ia mengambil dua kain berwarna senada dan menghampiri Cilla.
"Maaf ya aku mau bikin kamu tambah cantik," ujar Sari mulai membalut tubuh Cilla. Kain pertama ia ikatkan pada pinggang Cilla dan membentuk seperti rok dan kain kedua ia sampirkan pada kepala Cilla mirip jilbab penutup kepala.
"Nah sekarang kan jadi cantik," ujar Sari tersenyum.
"Nggak salah pilihan Bapak," gumam Bapak seraya tersenyum ke arah Jo.
"Udah yuk berangkat nanti keburu gelap," ajak Jo mengalihkan perhatian.
Dipimpin oleh Tejo mereka menyusuri pematang sawah dengan hati-hati. Beberapa kali mereka hampir terpeleset oleh licinnya medan disana. Maklum lah anak kota mana pernah menginjakkan kaki di sawah berlumpur. Di tengah sawah terdapat sebuah saung besar dengan dua orang tengan menunggu mereka. Itu mbok Inah dan mbah Kardi. Pekerja bapak Jo sedari Jo masih kecil dulu.
"Mas Jo! Oalah udah gede aja Mbok kangen," ucap Mbok Inah memeluk Jo.
"Sama Mbok, Jo juga kangen banget masakan Mbok," jawabnya membalas pelukan.
Suasana haru terasa sangat dalam. Meski tidak ada ikatan keluarga, namun Jo menganggap mbok Inah dan mbah Kardi seperti kakek neneknya. Mereka pun di jamu dengan makanan yang telah disiapkannya. Masakan orang tua tersebut sangat terasa nikmat dengan senyum sumringah di sela obrolan mereka.
"Jadi Mas Jo kapan nih di sah kan?" tanya Mbah Kardi.
"Ah saya masih mau lulus kuliah dulu Mbah, urusan menikah bisa nanti," jawab Jo.
"Lha Mbaknya sabar nunggunya nggak?"
Cilla tersipu malu mendengar pertanyaan mbah Kardi. Sesaat akan menjawabnya Sari telah lebih dulu bersuara.
"Saya sih dukung aja Mas Jo mau selesaikan kuliahnya, toh Sari juga insyallah mau mondok di pesantren untuk bantu abi," jelasnya.
"Ya syukur kalo gitu, tapi kalau udah ada waktunya jangan ditunda nggak baik," sahut Mbah Kardi.
Wajah Cilla berubah kecewa. Ia tak menyangka rencana bapak Jo menjodohkannya dengan Sari sudah sejauh ini. Jo melirik ke arahnya dengan rasa bersalah. Ingin rasanya meyakinkan Cilla bahwa ia akan berjuang demi cinta mereka.
"Permisi sebentar saya mau angkat telpon," ujar Cilla.
Tentu saja itu hanyalah alasannya untuk bisa keluar dari percakapan menyakitkan itu. Ia berjalan menjauhi saung dengan air mata menitik di ujung pelupuknya.
Jo yang akan menyusul segera ditarik oleh Budi. "Jo biar gue aja ya," ujar Budi menenangkan.
Sebagai saudara sepupu Budi sangat paham bagaimana harus bersikap pada Cilla. Mau tidak mau ia harus membuat Cilla tegar apa pun keadaanya.
Bersambung ...
Share this novel