SEKUTU

Romantic Comedy Series 1256

Jo duduk terpaku di atas balkon menatap langit gelap tanpa bintang. Menghisap rokok kretek yang sebenarnya tidak biasa ia hisap. Jo gusar memikirkan nasibnya. Segala cara telah ia coba. Tetap saja hasilnya tidak ada. Kini ia tinggal menunggu intruksi dari bapaknya untuk segera pulang ke kampung halamannya.

"Mas!" Tejo menepuk bahu Jo. Tanpa aba-aba ia duduk tepat disampingnya. Di temani rokok kretek yang masih menyala di atas asbaknya.
"Loh Mase kan nggak ngerokok," ucap Tejo keheranan melihat rokok yang menyala.
"Emang enggak," jawab Jo tanpa melirik.
"Terus ini rokok kok nyala?"
"Biar keren aja ngelamun sambil ngerokok," jawab Jo.

Tejo menggeleng kepala mendengarnya. Ia pun ikut menyandarkan punggung di kursi panjang yang tersedia. Mendongakkan kepala menatap langit yang memang gelap tak bercahaya.

"Mas, sebenere saya udah tahu kok Mase mau ngerjain saya biar nggak betah disini terus pulang ke Jawa kan?"
"Syukur Lek kalo sadar diri. Tapi kan usaha itu gagal, aku pasrah lah kalo emang disuruh pulang," jelas Jo.
"Aku yo bisa bantuin Mase sih kalo mau," ujar Tejo.

Jo menegakkan duduknya. Ia menghadap penuh ke arah Tejo. Matanya terbelalak seolah tak percaya. "Bener Lek?" tanyanya penuh harap.
"Yo meski nggak mudah Mas, tapi saya bisa pengaruhi bapak buat mempertimbangkan perjodohan Mas dan mbak Sari," jawab Tejo.
"Wah makasih Lek makasih ...."

Jo memeluk erat Tejo penuh bahagia. Ia tak menyangka akan semudah ini membuat Tejo berpihak padanya. Jika tahu begini Jo tidak akan memikirkan banyak cara mengusirnya. Jo bergegas membuka ponselnya. Ia tidak sabar ingin memberi tahukan hal baik ini pada Cilla kekasihnya.

"Mas mau ngabarin siapa?"
"Bunda Cilla pujaan hatiku dong Lek," jawabnya.
"Nggak semudah itu Mas," Tejo merebut ponselnya.
"Lho lha kok gitu?"
"Hal yang paling penting dari semua ini adalah ... Mas Jo beneran menolak mbak Sari tanpa bertemu dulu?"

Tejo berdiri dari duduknya. Berjalan perlahan menuju pinggiran jemuran. Berdialog persis bak pujangga. Jo mengkrenyitkan dahinya mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut Tejo. "Mau secantik apa pun Sari itu aku tetep setia sama Cilla," ketus Jo.
"Beneran Mas nggak akan nyesel lho ya?"

Sedikit kesal dengan keraguan Tejo, Jo pun berdiri dan menghampirinya. Mencoba merebut kembali ponsel dari tangan Tejo. Ia mendekatkan wajahnya seraya berbisik "Ora bakal nyesel," (tidak akan menyesal).
Jo berjalan menjauh darinya.
"Oke Mas, tapi gimana dengan keyakinan kalian yang berbeda? Bapak nggak mungkin ngerestui Mase dengan mbak Cilla," ujar Tejo.

Langkah kaki Jo terhenti. Ia menelan ludah mengartikan keraguan. Selama ini hal itu memang menghantuinya. Perbedaan keyakinan itu adalah hal yang paling mendasar dan terpenting bagi keluarganya. Apalagi bapaknya yang seorang terpandang memaksa Jo harus mendapatkan jodoh dengan bibit, bobot, dan bebet yang cocok dengannya.

"Lek, tugasmu cuman pengaruhi bapak agar dia nggak jadi jodohin aku sama Sari itu, selebihnya itu bukan urusanmu," jelas Jo.

Keras kepalanya memang mendarah daging. Meski otaknya tidak seencer yang dibayangkan, tapi urusan hati ia tidak bisa terpengaruh oleh apa pun. Jo melangkah pergi menuruni tangga.

"Papa Jo!"

Suara Cilla terdengar sesaat sebelum Jo masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu tersenyum manis di ambang pintu rumah. Menatapnya penuh cinta dan kasih. Di tangan kanannya ia membawa sebuah paper bag yang entah berisi apa.

"Bund, kok kamu ada disini?" tanya Jo seraya menghampirinya.
"Aku tadi diceritain sama abang kalo kamu kesurupan beneran, jadi aku kesini bawain kamu air suci yang udah aku doain dan tasbih nih," Cilla menyodorkan paper bag-nya.

Jo menerima dan sesaat menengok isi di dalamnya. Benar saja di dalamnya terdapan sebuah botol air mineral dan tasbih. Jo memandang Cilla penuh heran.

"Tenang aja aku doainnya universal kok nggak pake doa agama aku, jadi ini halal. Jangan lupa diminum sebelum tidur ya," Cilla tersenyum pada Jo.

Tejo mendengar percakapan mereka dari tangga rumah. Berjalan turun seolah ia tidak sengaja mendengar mereka. Cilla yang merasa tidak enak akhirnya memilih berpamitan untuk pulang.

"Ya udah cuman mau kasih itu aja, aku pulang sekarang ya udah malem," ujar Cilla.
"Eh Mbak nggak minum dulu, saya buatin wedhang jahe. Diluar dingin loh ini udah malem banget, tunggu sebentar ya saya bikinin," timpal Tejo yang segera berjalan menuju dapur.

Cilla merasa heran dan memelototi Jo. Ia berpikir jika rencana mereka berhasil dan kini Tejo mulai bersikap baik kepada mereka.

"Iya dia udah tahu kok rencana kita semua. Malah nawarin aku buat pengaruhin bapakku biar nggak jodohin aku di kampung nanti," jelas Jo sebelum Cilla bertanya.
"Jadi bener kamu mau dijodohin?"

Jo berjalan menuju sofa. Tubuhnya lagi-lagi lemas jikalau mendengar kata perjodohan itu. Napas dalam terhembus dari hidungnya. Sejenak memejamkan mata berusaha melupakan semua rencana perjodohannya.

"Bukannya bagus kalo mas Tejo bantuin kamu, kok malah jadi lemes gitu?" tanya Cilla yang kini duduk di sampingnya.
"Iya bagus, jadi kamu udah beres packing-nya kan?"
"Udah, tapi aku ragu mau ikut apa nggak. Secara kan kamu pulang itu untuk di itukan oleh orang tuamu," ujar Cilla mengganti kata perjodohan tersebut agar Jo tidak semakin setres dibuatnya.

Sebelum menjawabnya Tejo terlihat telah datang membawa secangkir air jahe untuk Cilla. "Loh kok cepet Mas bikinnya? Bukannya harus direbus dulu jahenya?"
"Enggak lah Mbak, kan ini jahe saschet-an," jawabnya.

Tejo kembali ke belakang. Jo menatap Cilla penuh harap. Berharap Cilla mampu mengerti tanpa ia bercerita kembali. Jo menggenggam tangan Cilla. Merasakan setiap energi yang terasa di setiap pori-porinya.

"Bund, kamu jangan ninggalin aku ya," ucap Jo.
"Iya, tapi maaf banget sekarang aku harus ninggalin pulang, soalnya serem di jalannya udah tengah malem," jelas Cilla.
"Mbak saya anterin aja mari," celetuk Tejo yang ternyata sedari tadi berada di belakang sofa.
"Oh nggak usah Mas, aku pesen ojol kok nanti langsung jemput ke depan rumah," jawab Cilla.

Cilla menyeruput minuman jahenya seraya menunggu ojek online-nya. Tidak banyak obrolan yang terjadi kala Jo mulai memejamkan mata di atas sofa. Hanya suara Tejo yang masih bergumam menceritakan kisah hidupnya.

"Mas, Cilla pamit duluan ya ini ojeknya udah di depan," ujar Cilla.
"Oh beneran nggak perlu di anter Mbak? Biar saya bisa ceritain kisah cinta saya sama Nimplik mantan terindah saya di kampung," celotehnya.
"Kapan-kapan aja ya Mas udah malem nggak enak, saya permisi ya," balas Cilla.

Malam itu Cilla pulang dengan perasaan lega. Setidaknya Tejo tidak menjadi penghalang lagi bagi mereka terutama Jo.

Bersambung ...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience