-Masalah itu untuk dipecahkan dan dicari jalan keluarnya, bukan untuk dihindari dan dibiarkan menumpuk begitu saja-
---
Amira duduk di depan Arif, dia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang kakak sebelum pulang ke rumahnya, dia hanya sedang dilanda cemas yang berlebihan terlebih jika menyangkut satu nama, Dinan.
"Kemarin Dinan menemuiku." Amira menatap cepat sang kakak. Amira tidak menduga jika yang keluar dari bibir kakak lelaki satu-satunya itu akan seperti ini. Dia pikir Arif akan menagih janji tentang permintaannya membawa Dinan.
"Dia lelaki yang baik, cukup tanggungjawab. Tapi semua itu belum lengkap dan sempurna jika belum berani melamarmu." Amira semakin bingung, dia dilanda rasa ingin tahu juga rasa takut bersamaan.
"Kenapa kamu diam saja?" Amira menatap kembali Arif, dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa.
"Jangan takut, aku merestui kalian jika kalian menikah."
"Tapi Bang, kami tidak sedekat itu." Arif menatap mata sang adik.
"Lalu kamu nilai apa perjuangan Dinan? Dia berinisiatif menemui keluarga mu. Itu bukti dia serius."
"Tapi kami tidak memiliki hubungan itu," kata Amira masih mengelak. Entahlah semakin kemari dia semakin dilanda kegusaran. Kegagalan membuatnya tak yakin mampu melangkah ke depan.
"Entahlah masalah apa yang terjadi diantara kalian tapi yang jelas seperti yang sudah Abang bilang tadi. Abang menyukai lelaki itu." Arif berdiri dari duduknya kemudian meninggalkan Amira yang dilanda kebingungan. Dia mencoba mencerna semuanya. Dia tidak buta dan tak tuli, jika Dinan adalah sosok yang baik. Tapi semua itu tidak mengubah semua persepsi terhadap sebuah hubungan serius.
Amira berdiri saat terdengar suara Arif berbicara sambil berjalan dengan sang ibu, dia juga mendengar ucapan Arif berupa nasihat untuk dirinya dan setelah itu mobil menghilang dari hadapannya dan menyisakan dirinya dan sang ibu.
"Keputusan kamu benar dengan meninggalkan Farhat dan memilih lelaki yang lebih bertanggungjawab." Ibu Amira menepuk bahu Amira kemudian meninggalkan Amira dengan sejuta rasa yang tak mampu dia ungkapkan dalam bentuk kata.
"Apa yang sebenarnya sudah pak Dinan lakukan?" Amira menghela napas kemudian mengikuti langkah sang ibu memasuki rumah. Dia tak lupa menutup pintu dan menguncinya.
Amira menuju kamarnya, dia ingat bahwa barang-barang yang dia bawa belum sempat dia sentuh sama sekali. Dia berjalan seraya berpikir, kapan kiranya Dinan menemui sang kakak.
Amira tak menyangka jika Dinan akan berjalan dengan cepat. Dinan, satu nama yang mampu menghipnotis dirinya. Namun hal ini tidak membuat dia tenang melainkan rasa gelisah mengusik ketenangan hidup yang sejak dua tahun ini telah dia tata.
Amira membuka kardus bukunya, dia ingin menata ke rak buku yang sudah dibelikan oleh Arif, saat dia ingin beranjak dia melihat tas yang dititipkan Dinan kepada Dini. Dia berjalan mengambilnya, dia penasaran apa yang ada di dalamnya.
Amira mengerutkan keningnya saat di dalam tas kertas itu terdapat bungkusan baju yang seingat Amira dia tidak merasa memiliki.
"Ada kertasnya," kata Amira saat dia menyentuh kertas.
I Will waiting for you, so please be happy.
Amira membalikan kertas itu, tidak ada tulisan lainnya. Dia heran bukan sekedar heran tapi sangat heran. Dia menaruh bungkusan itu kembali ke dalam tas kemudian dia menyimpan di dalam lemari.
"Pak Dinan, rasa takut ini jadi semakin nyata."
---
Amira menghabiskan masa liburan dengan berbenah, dia menyibukkan diri hingga membuat Nirmala kesal dan bosan sendiri. Bagaimana tidak, setiap kali Nirmala mengajak pergi keluar ada saja alasan yang dikeluarkan oleh Amira untuk menolah. Seolah dia tengah menjadi sosok yang super sibuk.
Amira menyiram tanaman yang ada di teras, ini adalah tanaman sang ibu berupa anggrek dan beberapa bunga kecil lainnya. Dia menaruh slang kemudian mulai memunguti sampah daun yang ada di teras sebelum dia menyapu. Ya inilah rutinitas Amira di waktu setelah asar.
"Ami, besok temenin ibu jalan ke supermarket." Ibu Amira berjalan dengan membawa nampan berisi dua cangkir.
"Mau belanja apa, Bu?" tanya Amira masih sibuk dengan pekerjaan.
"Ya ibu pingin lihat rame kota." Amira menoleh ke arah sang ibu kemudian dia mengangguk.
"Kamu emang gak pernah pergi ke tempat wisata saat libur?" Ibu Amira menatap curiga sang putri.
"Tidak pernah, Bu." Amira mencuci tangannya kemudian ikut duduk di teras bersama sang ibu.
"Terus, apa yang kamu lakukan? Wong kamu libur yo ora njenguk ibu." Amira tersenyum tipis.
"Kan baru dua tahun, libur semester lalu kan masih sibuk dengan kuliah. Jadi sering kali libur masih ngurus berbagai macam tugas. Kalau gak ada kegiatan gitu." Amira menyandarkan tubuhnya.
"Dan ini liburan pertama kamu?"
"Iya Bu. Niatnya kemarin mau njenguk ibu tapi ibunya kan udah di sini." Ibu Amira meletakan cangkir yang dia pegang.
"Abangmu gak tega membiarkan kamu di sini seorang diri. Padahal ini juga sudah bilang kalau kamu akan baik-baik saja. Tapi ya gitu Abangmu, ngengkel." Amira hanya menunduk kemudian menghela napas pelan. Dia tidak tahu hal apa yang membatasi perasaannya pada sang ibu, tapi sejak dulu Amira merasa bahwa rasa sayang sang ibu kepada dirinya tidak sebesar rasa sayang ibu kepada abangnya. Hal ini juga yang menyebabkan dia lebih dekat dengan ayahnya.
"Ibu betah tinggal di tempat abang?" Ibu Amira mengangguk dengan ringan.
"Di sana ibu terawat, sering diajak ngobrol dan pergi-pergi. Kalau di sini, kamu saja gak bisa naik kendaraan. Mau pergi kemana?" Amira meringis mendengar ucapan sang ibu. Dia menyadari bahwa kekurangan yang menurutnya tidak bermasalah kini menjadi dipermasalahkan.
"Emang kamu gak ada teman yang ngajak pergi?"
"Ada Bu." Amira menjawab dengan jujur.
"Lelaki atau perempuan?" Amira menegakkan tubuhnya, bukan tegang atau bagaimana namun karena dia merasa pegal.
"Jangan bilang lelaki." Amira menggeleng saat mendengar tuduhan sang ibu.
"Perempuan kok, Bu. Tapi Ami tolak."
"Kenapa?"
"Kalau Ami pergi ibu bakal sendiri di sini." Ibu Amira menganggukkan kepalanya.
"Kalau kamu mau pergi, ibu gak ngelarang asal kamu tahu waktu dan peraturan." Amira mengaguk dan tersenyum tipis.
"Iya, terima kasih." Ibu Amira kembali menyeruput teh yang ada di cangkir. Amira semakin bungkam dengan kediaman sang ibu. Dia bukan sosok pendiam seperti ini sebenarnya namun entah jika bersama sang ibu seolah kosa kata yang telah terangkai hilang lenyap tanpa tersisa.
"Kamu sudah memberitahu temanmu kalau kamu udah pindah."
"Sudah, Bu." Amira menjawab dengan jujur, dia memang sudah mengatakan hal ini kepada Nirmala. Karena hal ini pula yang dia gunakan sebagai alasan untuk menghindari Nirmala.
Amira yakin jika dia pergi bersama dengan Nirmala maka kemungkinan sangat kecil dia tidak akan bertemu dengan Dinan. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan Dinan, entah karena alasan apa tidak yang penting Ting di dalam hatinya dia meyakini bahwa dia harus sedikit menjauh dari Dinan. Karena bagi Amira, Dinan berbahaya untuk di dekati saat ini.
-----
Share this novel