20

Drama Completed 1272

---> Bukan sekedar kekecewaan yang menakutkan. Namun, pikiran yang ada pada diri sendiri jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan segala kejadian.

---

Amira duduk di sebuah kafe yang ada di dekat universitas tempat dia dulu belajar, bukan tanpa sebab dia bisa terdampar di tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi. Amira berada di tempat ramai itu disebabkan sebuah pesan dari Luluk sepekan yang lalu. Awalnya dia tak acuh namun akhirnya dia memberanikan diri untuk menanggapi.

Amira menyesap coklat panas pesanannya. Dia sesekali membaca buku resep yang ada di depannya. Dia ingin memodifikasi sebuah resep untuk bahan uji coba di rumah. Rumah, dia jadi ingat bahwa ibunya hari ini pamit untuk pergi ke rumah sang kakak. Karena sudah genap sebulan ibunya tinggal di kota ini. Amira menghela napas, dia merasa ada sesuatu yang berbeda yang dia rasakan.

Dengan pelan Amira memasukkan kembali buku yang dia baca ke dalam tas, dia kembali memainkan cangkir di depannya. Dia mulai berpikir, cara termudah untuk memukul mundur Dinan. Dia sudah bertekad untuk tidak memiliki hubungan apapun dengan lawan jenis.

"Wah, sebuah kebetulan yang sangat menakjubkan." Amira mendongak dan melihat Fatih dengan santai duduk di depannya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Amira menyuarakan pemikirannya.

"Tadi abis ketemu teman, terus mampir kemari." Amira mengangguk tanda mengerti.

"Kamu tidak sedang menguntit saya, bukan?" Amira dengan cepat mengubah raut wajahnya menjadi curiga.

"Tidak." Jawab Fatih tegas. Kemudian dia melambaikan tangan untuk memesan minuman.

"Saya sepertinya belum mengizinkan untuk duduk." Amira berkata dengan nada sinis.

"Tapi sayangnya, aku tidak butuh izin itu." Amira mendengus pelan dan kembali sibuk dengan cangkirnya. Mulai dari mengetuk jari telunjuk ke cangkir hingga meraba-raba bibir cangkir.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Menunggu teman." Amira menjawab dengan santai. Dia sebenarnya bukan tidak suka dengan kehadiran Fatih hanya saja dia merasa tak nyaman entah karena alasan apa.

"Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku sampaikan." Fatih nampak memasang wajah serius setelah dia hanya diam beberapa saat setelah kopi yang dia pesan datang.

"Sepenting apa?"

"Ini sangat penting bagiku." Amira mengangguk kemudian dia mempersilahkan Fatih untuk bicara dengan isyarat tangannya.

"Aku ingin serius denganmu. Aku sudah pernah bilang bukan bahwa aku sudah memperhatikan kami sejak lama." Amira menggerakkan tangannya dengan refleks hingga mampu menggeser cangkir yang masih berisi separuh coklat.

"Serius dalam artian apa?" Amira bertekad untuk membasmi siapa saja lelaki yang ada di depannya. Dia tidak perduli dan pandang bulu. Baginya, lelaki memiliki tujuan pernikahan yang sama dan hal itu membuat Amira sadar bahwa dia belum menemukan sosok lelaki yang cocok dengan pemikirannya.

"Berhubungan, aku akui aku sudah jatuh pada pesona seorang wanita sederhana dan pendiam seperti dirimu, Amira." Amira tersenyum dengan mengangkat satu sudut bibirnya.

"Apa tujuan hubungan itu?" Amira bisa melihat wajah terkejut di ekspresi Fatih. Dia meyakini itu karena pada hakikatnya jika seorang wanita dilamar pasti akan salah tingkah dan merasa deg-degan, namun tidak dengan wanita di depannya. Karena Amira memperlihatkan wajah santai dan sinisnya.

"Membuat hubungan yang nyata. Kamu tahu bukan maksudku, aku yakin sekali bahwa kamu tahu." Amira mengaguk.

"Saya mengerti, tapi boleh dijelaskan tujuannya. Karena saya pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan hanya karena memiliki prinsip yang tidak sama." Kembali lagi Amira melihat wajah terkejut di ekspresi Fatih.

"Kamu pernah gagal?" Amira mengangguk dengan santai, walau kalau boleh jujur dia sedang menahan gejolak rasa sakit teriris-iris di dalam dadanya.

"Maaf aku tidak tahu akan hal itu," kata Fatih dengan ekspresi menyesal.

"Tidak masalah." Amira masih mempertahankan perannya sebagai wanita ketus dan datar.

"Memang setiap orang memiliki jatah untuk sebuah kegagalan, akan tetapi hal itu bukan akhir dari segalanya." Amira menatap Fatih kemudian dia hanya mengangguk, dia hanya berpikir bahwa Fatih tidak pernah ada pada posisi dirinya jadi wajar jika Fatih tidak tahu sejauh apa dia meratapi takdirnya.

"Aku mungkin tidak tahu seberapa dalam sakit yang kamu rasakan, tapi aku yakin dibalik rasa sakit itu pasti ada kebahagiaan yang sedang menanti dan aku juga yakin bahwa kamu semakin dewasa dan tangguh dengan tetap bertahan walau kegagalan menimpamu. Aku hanya manusia biasa, mungkin aku tidak akan sanggup dengan sebuah kegagalan itu jika dia menyapaku aku salut dengan keteguhan hatimu hal itu membuatku semakin terpesona padamu." Amira sedikit melunturkan wajahnya, dia tidak menduga jika Fatih memiliki pemikiran sedewasa itu. Dia pikir Fatih akan melakukan tindakan angkat bendera untuk menyerah namun ternyata tidak lelaki itu masih teguh pada pendirian.

"Kalau boleh tahu, apa penyebab kegagalan?" Amira menatap Fatih kemudian dia menyesap coklat yang ada di cangkir. Dia diam menikmati coklat yang sudah tak lagi panas, dia mencoba memberanikan diri untuk bersuara, dia yakin Fatih sosok yang baik.

"Seperti yang sudah saya bilang. Kami tidak memiliki prinsip yang sama." Amira meletakan cangkirnya, kemudian dia menatap Fatih lekat-lekat.

"Saya memiliki ekspektasi yang sangat besar dengan pernikahan, tapi hal itu bukan berarti saya ingin hanya ada kebahagiaan tanpa ada kesedihan itu mustahil. Aku hanya memiliki prinsip-prinsip yang harus ada pada pondasi niat dalam melangsungkan pernikahan." Fatih mengangguk.

"Seperti cinta maksudnya?" Amira menatap Fatih kemudian dia menunduk. Membicarakan soal cinta dia jadi mengingat Dinan. Dia tidak bodoh walau sejauh apa dia mengelak, Amira sadar bahwa dia sudah jatuh cinta pada sosok sederhana yang menawarkan perlindungan. Namun sekali lagi, untuk melangkah bersama Dinan dia tidak bisa dan mungkin tidak mampu.

"Saya bukan pemuja cinta, karena saya memiliki pemikiran bahwa cinta bisa datang dengan berjalannya waktu. Karena cinta itu hanya sebatas beberapa hal yang konsisten seperti pesona jasmani, sikap baik, suka menolong dan takdir. Dengan segala itu pasti akan dengan mudah cinta itu akan hadir." Fatih mengangguk, dia juga meyakini akan hal itu. Dia jadi ingat sang adik yang menikah karena insiden, berawal dari sebuah rasa prustasi karena putus cinta hingga membuat dia buta mata dan melakukan kesalahan yang berimbas dengan lahirnya seorang anak.

"Kalau prinsip yang kamu agungkan?" Amira tersenyum tipis.

"Prinsip yang aku agungkan adalah prinsip yang mendasari sebuah langkah menuju pernikahan." Amira menyandarkan tubuhnya, dia memejamkan mata sejenak namun ingatan langsung membawanya menuju kenangan singkat bersama Dinan.

'Selamat datang, Cinta!' kata Amira di dalam hati, namun selain kaya itu dia juga kembali mengucapkan sebuah kalimat yang membuat kata cinta itu harus berjuang dengan keras.

'Tapi maaf aku tak mampu menyambutmu.'

"Secara spesifik, apa yang mendasari?" Amira menatap Fatih.

"Niat." Singkat, ya kata singkat itu yang menjadi prinsip Amira, hingga membuat kegagalan menyapanya dua tahun yang lalu. Kegagalan dalam menyongsong pernikahan, karena perbedaan niat diantara keduanya. Dan bisa jadi itu adalah bukti bahwa keduanya tidak berjodoh.

"Membicarakan tentang niat seseorang menikah, aku jadi ingat adiku." Amira menatap wajah Fatih heran karena di wajah ramah itu nampak kekecewaan.

"Ada apa dengan niat dan adik kamu?'' Fatih menghela napas.

"Dia pernah patah hati karena sebuah rasa bernama cinta," kata Fatih mulai bercerita. Dia tidak yakin menceritakan semua ini namun dia ingin mengubah sudut pandang Amira.

"Saya tidak yakin untuk bercerita, karena ini bisa dibilang aib keluarga." Amira hanya menaikan bahu. Dia seolah tak perduli padahal dia setengah mati menanti cerita itu.

"Intinya adik saya patah hati dan melakukan sebuah kesalahan dengan menghamili anak gadis orang. Dan Noah yang dia niatkan awal karena tanggungjawab tapi beberapa bulan terakhir aku melihat kelanggengannya. Sama seperti yang kamu pikir tentang cinta yang akan hadir dengan berjalannya waktu niat sebuah pernikahan itu bisa berubah dengan berjalannya waktu juga." Amira tersenyum dengan mengangkat satu sudut bibirnya––sinis.

"Intinya?" Fatih tergagap dengan pertanyaan Amira dengan suara yang menurutnya cukup menciutkan nyalinya.

"Bagaimana kalau kita menikah dengan niat yang ada pada diri kita masing-masing." Amira berdecak kemudian dia menaruh uang lima puluh ribuan di atas meja. Dia mengambil ponselnya dan memasukan ke dalam kantong dia berdiri.

"Ternyata kita juga memiliki prinsip yang berbeda. Jadi jangan berharap untuk melangkah lebih jauh." Amira meninggalkan Fatih begitu saja, dia tidak perduli dengan ekspresi terkejut Fatih, bahkan dia seolah melupakan tujuan awal dia datang kemari. Amira mengeluarkan ponselnya kemudian dia mendapati pesan bahwa Luluk berhalangan datang karena anaknya yang tiba-tiba demam. Dia berdecak kesal dia tidak menduga jika orang yang dia tunggu sudah menggagalkan kesempatan yang sudah dengan baik hati dia berikan.

"Sudah selesai?" Amira menoleh terkejut menatap sosok yang berdiri tak jauh darinya. Dia yang awalnya hendak menyeberang menjadi mundur dua langkah. Dia mencerna segala keadaan dia menoleh ke kafe kemudian mengamati segala arah.

Bagaiman bisa Dinan ada di depannya?

------

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience