Part 8

Drama Completed 1272

-Terkadang kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi, atau hasil dari sebuah usaha. Jadi hanya waktu yang mampu menjawabnya, yang kita lakukan hanya berjalan mengikuti tanpa mengubah sebuah prinsip yang berlaku-

----

Amira duduk tenang menghadap ke depan tak ada suara yang memecah keheningan keduanya, Dinan yang jarang berbicara hanya terfokus pada jalan yang nampak padat merayap karena memang waktu bertepatan para pekerja pulang kembali ke rumah.

Amira merasa gatal di bibirnya, entah mengapa dia merasa tak nyaman dengan suasana diam. Padahal, dia sudah biasa dengan keheningan karena baginya keheningan adalah sahabat sejati yang tak akan mengkhianati. Namun saat ini, saat dia bersama Dinan di dalam mobil. Dia merasa tak tenang dengan keheningan yang tercipta, dia merasa kosong yang berlebihan dia ingin segera mengeluarkan suara dan memecah kepingan diam.

"Pak Dinan tadi kok ada di halte?" tanya Amira dengan menolehkan wajahnya ke arah Dinan.

"Saya baru dari market," jawab Dinan singkat membuat Amira kehilangan kata-kata. Amira bukan sosok yang pandai mencari topik pembicaraan, jika hal yang dia angkat sudah dipatahkan dengan jawaban tanpa balasan tanya dia tak akan bisa lagi buka suara.

Amira menoleh ke sebelah kirinya kemudian menghela nafas pelan, dia tidak terbiasa menghadapi orang yang serupa dengan dirinya sendiri. Kini dia menyadari, apa selama ini lawan bicaranya merasakan hal yang sama dengan yang saat ini dia rasakan jika setiap kali dirinya menjawab singkat dan padat setiap pertanyaan.

"Tadi, apa yang kamu lakukan di halte?" Amira menoleh saat Dinan berinisiatif untuk mengeluarkan suara.

"Menunggu bus," jawab Amira mencoba santai tapi hati dan jantung siapa yang bisa mendusta.

"Menunggu bus?" Amira kembali dibuat heran dengan ucapan Dinan. Apa ada suatu kesalahan jika Amira menunggu bus di halte? Jawabannya sepertinya tidak.

"Iya, memangnya apa yang dilakukan saat di halte?" Amira mengutuk bibirnya yang melakukan kebiasaannya dulu, selalu menyuarakan apa yang dia pikirkan.

Ada apa dengan Amira? Mengapa belakangan ini dia sering menyuarakan pikirannya. Padahal sudah sejak kejadian dua tahun yang lalu Amira selalu berusaha banyak diam dibandingkan berbicara.

Amira menoleh ke arah Dinan yang juga tengah menoleh ke arah dirinya.

"Melamun mungkin," kata Dinan membuat Amira tidak mengerti. Dinan adalah guru bahasa Indonesia yang artinya dia juga tahu benar fungsi halte.

Lalu mengapa Dinan memiliki pemikiran demikian?

"Memangnya fungsi halte sudah beruban ya?" tanya Amira dengan wajah sepolos mungkin.

"Aku rasa belum, tapi tadi seorang perempuan berjilbab merah mengalihkan fungsikan halte untuk melamun. Bahkan sampai dua bus lewat perempuan itu tak menyadarinya." Amira menoleh cepat ke arah Dinan dan menatap Dinan dengan wajah terkejut.

Apa yang dimaksud Dinan adalah dirinya?

"Terima kasih sudah diantar," kata Amira saat akan keluar dari mobil Dinan. Dinan hanya mengangguk membuat Amira tersenyum tipis dan keluar.

Amira merasa heran saat kaca mobil Dinan turun menampakkan wajah pengemudinya.

"Lain waktu boleh saya minta waktu kamu?" Amira mengangguk tanpa berpikir. Karena hal yang dimaksud oleh Dinan mungkin adalah ajakan untuk berdiskusi atau yang lainnya. Mungkin lelaki itu butuh teman bicara.

"Terima kasih," kata Dinan kemudian dia pamit untuk pulang.

---

Amira mengerutkan keningnya saat melihat mobil yang nampak tak asing terparkir di depan swalayan dekat halte, dia sedikit merasa aneh dengan ide ketidaksengajaan yang ada di otaknya.

Amira duduk di halte bus, dia harus menunggu hingga beberapa waktu. Setelah sabar menunggu akhirnya bus yang melewati halte dekat kontrakan Amira lewat dan Amira segera naik untuk menghalau segala pemikiran yang menurutnya menggelikan dan tidak masuk akal.

"Tidak mungkin dia menguntit diriku," kata Amira sambil duduk di kursi, berhubung bus sedang sepi.

Amira membuka room chat dengan Nirmala, di sana tertulis jelas bahwa Nirmala mengusulkan dirinya satu kelompok sebagai pendamping study tour anak kelas sebelas, dan dengan lincah Amira mengiyakan begitu saja. Mungkin lebih baik satu kelompok dengan Nirmala dari pada dengan guru lain yang jelas dia tidak mengenal dengan baik.

Amira melihat ke arah jalan, tanpa terasa tujuannya semakin dekat. Dia beranjak dari duduknya menuju pintu depan untuk persiapan turun.

"Di mana Bu?" tanya kernet yang ada di depan pintu bus.

"Halte universitas," jawab Amira sambil mengamati jalan.

"Versitas," teriak sang kernet kemudian bus nampak berjalan pelan dan berhenti sejenak. Amira mengucapkan terima kasih dan berlalu keluar bus.

Amira tidak langsung pulang, dia melangkah menuju salah satu minimarket yang ada di dekat gang masuk kontrakan. Dia harus membeli kebutuhan sehari-hari. Amira masuk di sambut dengan sapaan halus sang kasir, Amira menoleh kemudian mengangguk tersenyum sebagai balasan.

Amira berjalan mengambil keranjang kemudian dia melangkah menuju jajaran rak tepung terigu. Selama ini Amira memang sering memasak sendiri di kontrakan dibandingkan dengan membeli makanan matang, selain karena lebih higienis juga lebih ekonomis.

Amira memasukkan tepung terigu bungkus satu kilo dengan gambar bangun datar tiga sudut ke dalam keranjang belanjaan ya, kemudian dia berjalan menuju jajaran bumbu jadi dengan banyak racikan. Dia mengambil lada bubuk dan ketumbar bubuk.

Amira kembali berjalan menuju rak berisi beberapa saos dan kecap. Dia melihat ada merk baru yang terasa asing untuknya, dia mengambil kemudian membaca komposisi dan mencari lebel halalnya.

"Mira," panggil sebuah suara perempuan dari arah belakang. Amira menoleh dan di sana dia melihat Luluk, sahabatnya semasa kuliah.

"Wah, kebetulan aku bertemu denganmu." Luluk nampak berkata dengan nada keras, Amira hanya mengangguk.

"Apa kabar?" tanya Luluk.

"Alhamdulillah baik," jawab Amira dengan nada pelan, dia memang bersahabat dengan Luluk. Tapi, itu dulu sebelum insiden gagal pernikahan Amira terjadi. Karena setelah rencana pernikahan yang gagal sahabat Amira itu mulai berubah.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Luluk mengamati penampilan Amira yang nampak formal.

"Belanja," jawab Amira sambil menaikan keranjang belanjaannya.

"Kita lama gak ketemu ya?" Amira tersenyum tipis.

"Iya, terakhir ketemu sekitar dua bulan setelah meninggalnya bapak." Luluk nampak berubah ekspresi wajahnya, namun hal itu hanya sejenak. Ya, sejak meninggalnya ayah Amira, Luluk sudah tidak terlihat lagi berkeliaran di sekitar kampus dan menurut omongan orang dari orang Luluk mengambil cuti kuliah.

"Iya, aku cuti." Amira mengaguk dia tidak ingin bertanya lebih jauh tentang alasan dibaliknya. Walau banyak rumor yang mengatakan bahwa Luluk cuti karena menikah.

"Bun, kok lama." Terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya. Amira melihat lelaki yang sempat melamarnya berdiri di belakang Luluk dengan wajah terkejut.

"Ini ada Amira," jawab Luluk sambil mengulurkan tangannya ke arah Farhat untuk mengambil alih gendongan putrinya.

Amira tersenyum tipis, dia tidak menduga akan bertemu dengan Farhat dalam kondisi seperti ini. Padahal dulu dia sempat berpikir bahwa dia harus lebih unggul dibandingkan sang mantan namun apa boleh buat ternyata sang mantan lebih gesit dalam melangkah.

"Apa kabar Amira?" tanya Farhat sambil mengulurkan tangannya. Amira mundur satu langkah, entah karena apa tapi yang tercetak jelas di wajahnya adalah kecemasan.

"Amira," kata Luluk dengan nada memberi peringatan. Namun Amira hanya menoleh ke arah Luluk, Farhat dan tangan Farhat yang mengulur secara bergantian. Dia tidak mampu mengeluarkan suara, dia seolah kehilangan pijakan. Bukan ini yang dia inginkan, tolong siapapun itu tolong Amira dia tidak mampu membuat kesan kuat di depan mantan calon suami dan juga sahabatnya.

Amira mengambil napas, kemudian tangan kanannya berpegangan dengan rak sebelahnya. Dia merasa tubuhnya melemas, dia tidak sampaikan memikirkan semua yang ada di depannya.

"Amira, ini semua bukan salah kami. Kami tidak mengkhianati kamu. Bukankah kamu dan mas Farhat sudah tidak memiliki hubungan?" Luluk mencoba membuka suara dan Farhat menurunkan tangannya dengan raut wajah kecewa.

"Aku, aku...." Amira berusaha mengeluarkan suara namun dia seolah kehilangan kosa kata hanya suara aku yang dia keluarkan.

"Ini yang namanya jodoh, jangan salahkan manusia. Manusia hanya berusaha untuk menjalani apa yang sudah digariskan sang takdir. Kamu yang pernah menjadi kekasih mas Farhat akan tetapi kini aku yang menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya." Luluk masih mencerca Amira, namun semua itu tak bisa dicerna oleh Amira.

"Kamu baik-baik saja," sebuah tangan membantu Amira berdiri dengan tegak.

Amira mendongak kemudian dia berpegangan pada lengan tangan Dinan.

"Tolong saya pak, saya mau pergi dari sini." Dinan menatap lawan bicara Amira, kemudian dia menunduk melihat Amira yang nampak lemah.

"Kamu siapa?" tanya Luluk membuat Amira memegang erat tangan Dinan.

"Maaf, mungkin saya yang harusnya bertanya. Anda siapa?" Dinan bertanya dengan wajah datar, dia bisa melihat wajah lelaki yang nampak fokus ke arah Amira yang saat ini menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Saya sahabatnya, kenalkan saya Luluk." Luluk melunakkan suaranya sambil mengulurkan tangannya namun Dinan hanya menatapnya tanpa berniat untuk menerima karena wanita didepannya harus tahu bahwa tangannya saat ini sedang dipegang oleh Amira.

"Maaf, saya Dinan." Dinan berkata dengan tegas.

"Ini suamiku, Farhat." Dinan menoleh ke arah Farhat lalu mengangguk. Amira mencoba berdehem untuk mengumpulkan suara.

"Apa hubungan kamu dengan Dinan, Mira?" tanya Luluk dengan nada kalem, seperti dulu saat dia masih menjadi sahabat Amira.

"Apakah itu penting untuk kamu ketahui?" tanya Amira membuat Dinan menunduk kemudian menatap ke depan.

"Hanya ingin tahu. Kamu tidak nikah diam-diam kan?" Amira mengeratkan pegangannya.

"Saya kira itu bukan masalah. Bukankah kalian juga menikah diam-diam?" Amira kembali membalikan kalimatnya, dia merasa jengah dengan dua orang di depannya.

"Anak ini berumur sekitar dua tahunan. Lalu kapan kalian melakukan hubungan? Jika menurut perhitunganku pernikahan kalian baru satu setengah tahun, dan aku batal menikah sekitar dua tahun." Amira berkata dengan tegas. Kemudian dia melepas tangannya yang berpegang pada lengan Dinan.

"Sepertinya kita harus pulang," kata Amira menatap wajah diam dua orang di depannya, kemudian dia menoleh ke arah Dinan yang memasang wajah datar. Dinan mengangguk membuat senyum di bibir Amira terbit.

"Baiklah saya duluan, assalamualaikum." Amira melangkah sambil menarik lengan Dinan. Dia menaruh kerenjang belanjaannya di dekat kasir kemudian keluar begitu saja tanpa melanjutkan belanja.

----

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience