19

Drama Completed 1272

~~> Bukan jarak atau waktu yang memisahkan, namun pikiran yang menjauhkan dengan tanpa mampu dia gambarkan.

---

Waktu berjalan tanpa ada yang mampu mencegah, dia terlewatkan begitu saja tanpa ada yang menyadari. Waktu libur telah terganti dengan kepadatan kegiatan yang sudah dijadwalkan. Begitu pula dengan Amir, jika libur telah meninggalkannya berarti aktivitas sedang kembali menyapa.

Ada banyak hal yang kadang tidak terduga, dan ada banyak hal pula yang terasa. Dan dengan pergantian tahun yang baru, Amira kembali menata hidup yang baru. Dia sudah memutuskan dan apa yang menjadi keputusan tidak akan dia ubah tanpa pemikiran panjang.

Amira melangkahkan kaki menuju teras, dia duduk di kursi seraya mengenakan sepatunya. Di hari pertama dia masuk, dia harus datang pagi untuk mengikuti upacara dan rapat semester dua. Dengan tekat yang sudah dia tetapkan Amira dengan tegas berjalan menuju langkah pertamanya.

Jarak rumah yang ditinggali Amira kini jauh lebih dekat dengan sekolah, sehingga kini dia tak perlu lagi menunggu kendaraan umum. Dia tinggal berjalan keluar perumahan masuk gang sudah sampai di dekat gerbang samping sekolah.

Amira menenteng tas tangannya yang berisi buku-buku tebal, buku laporan wirausaha anak kelas sebelas. Amira melangkah memasuki gerbang samping, di sana sudah ada beberapa guru yang berdiri. Gerbang samping sangat dekat dengan parkir sepeda motor untuk staf dan guru, sedang parkir mobil ada di dekat pintu depan.

"Assalamualaikum," salam Amira saat melihat Kamil dan Mitra sedang bercengkrama.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabarnya Bu?" Mitra lebih dulu menyapa, Amira menjawab seperlunya kemudian pamit untuk ke kantor lebih dulu.

Amira melangkah dengan pelan, dia sesekali berpapasan dengan murid dan saling menyapa dengan isyarat. Amira menghela napas, dia cukup lelah berjalan. Mungkin ini dikarenakan sudah hampir dua pekan dia kurang jalan jadi kurang olahraga. Dia berhenti di dekat toilet dari dia berdiri dia bisa melihat Dinan yang ada di koridor seberang sedang berbicara dengan beberapa siswa. Dan ada sesuatu yang tertangkap mata Amira, salah satu dari anak didiknya itu memberikan sebuah bingkisan kepada Dinan dan juga sebuah kertas yang mungkin bisa dilihat sebuah undangan.

Amira menghela napas, entah mengapa dia merasa gelisah? Padahal dia sudah mewanti-wanti dirinya sendiri untuk tetap bertahan dengan keputusan yang sudah dia ambil. Amira menunduk untuk menetralkan emosi yang sepertinya sedang merayunya, dia tidak ingin melakukan hal konyol yang akan mampu mengecewakan diri sendiri terlebih lagi mampu mempermalukan dirinya.

Setelah mengambil napas, Amira mendongak namun dia terkejut saat tiba-tiba Dinan sudah ada di depannya. Takut jika itu sebuah halusinasi dia segera menoleh ke arah kiri, koridor seberang. Namun sudah tidak ada siapa-siapa. Dia jadi berpikir apa dia terlalu lama menetralkan pikiran sehingga dia tidak sadar jika Dinan sudah berjalan menuju tempatnya berdiri.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," kata Dinan membuat Amira mau tak mau menjawab.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira mengeratkan genggaman tangannya. Dia belum siap untuk membicarakan banyak hal.

"Bagaimana kabarnya?" Amira mendongak untuk menatap Dinan kemudian dia mencoba bersikap biasa.

"Alhamdulillah baik. Pak Dinan?" Amira mencoba tersenyum dengan santai meski terlihat jelas bahwa senyumnya berubah menjadi ringisan.

"Saya baik." Dinan memasukkan tangannya ke dalam saku celana kemudian mengamati Amira dengan intens.

"Saya permisi dulu," kata Amira berjalan lebih dahulu menuju arah kanan. Dia akan masuk ke dalam kantor untuk meletakkan barang-barang yang dia bawa.

"Sudah cukup rasanya kamu menghindar," kata Dinan membuat Amira berhenti sejenak, kemudian dia menatap ke sekeliling saat dia menoleh ke belakang Dinan sudah berlalu, lelaki itu sudah ada di halaman bersama beberapa siswa yang sedang mempersiapkan keperluan upacara.

Amira menghela napas, dia lalu berjalan membiarkan segala ucapan Dinan menghilang bersama dengan tiupan sang angin. Amira meletakan barangnya.

"Kamu kemana saja, aku rindu tahu." Nirmala datang sambil memeluknya, sudah bukan rahasia lagi jika dua guru itu sangat dekat.

"Maaf Mbak, saya baru pindah jadi radak ribet." Nirmala mengurai pelukan kemudian dia menatap Amira dengan intens.

"Aku ngerti kok." Nirmala meletakan tasnya.

"Sudah bertemu Dinan?" Amira mengangguk kemudian nampak senyum di bibir Nirmala.

"Ya sudah, dia emang ngomong apa?" Amira merapikan jilbabnya kemudian menoleh ke arah Nirmala.

"Tidak ada," jawab Amira santai, memang dia sudah memutuskan untuk melupakan pembicaraan dengan diamankan bukan?

"Kok gak ada sih." Nirmala mengerut dengan sebal.

"Sudah bel, ayo keluar!" Nirmala mengajak Amira untuk mengikuti upacara bendera. Amira hanya diam mengikuti langkah Nirmala.

---

Sepekan sudah kegiatan belajar mengajar berjalan kondusif seperti biasa, ini sudah menjadi tanda bahwa semester dua telah menyapa dan berjalan bersama. Amira kembali rutinitas berangkat siang, dan dengan seperti ini jarak antara Dinan dan Amira kembali terbentang oleh keadaan.

Amira melangkah memasuki gerbang samping dengan tergesa-gesa, karena dia datang sedikit terlambat. Bukan tanpa sebab, dia terlambat jelas ada sebabnya dan sebabnya adalah dia harus belanja beberapa bahan pokok untuk ujian praktek pertama di semester dua.

Amira menenteng dua kresek besar, dia berjalan langsung menuju ke arah gedung belakang tempat kelas ketrampilan berada. Dia berhenti sejenak saat ada kantung plastik yang hendak lepas dari tangannya. Dia diam di koridor untuk membenahi posisi tangannya. Namun tanpa dia duga kresek itu langsung diangkat oleh sosok yang ingin sekali dia jauhi--Dinan.

"Pak, saya bisa sendiri." Dinan menoleh ke arah Amira yang mengejar langkahnya.

"Jangan membantah jika tidak ingin jadi pusat perhatian." Dinan tetap melangkahkan kakinya, sedang Amira terdiam sejenak sebelum kembali mengikuti langkah lebar Dinan.

"Terima kasih," kata Amira saat Dinan meletakkan belanjaan di atas meja guru. Dinan hanya mengangguk kemudian berbincang dengan Rina.

Amira mengambil beberapa wadah dengan batuan ketua kelompok. Kemudian dia membagi beberapa bahan dengan cekatan. Dia tidak menghiraukan kehadiran Dinan dan juga bisik-bisik dari beberapa anak didiknya yang seperti biasa selalu ingin update tentang guru favoritnya.

"Baiklah anak-anak, hari ini kalian memasak dan akan dicicipi oleh pak Dinan jadi kalian harus menyiapkan pleating yang menarik dan cita rasa yang mampu merayu lidah pak Dinan." Amira sedikit terkejut dengan hal yang diucapkan oleh Rina namun dia lebih terkejut lagi dengan antusias anak-anak yang meningkat lebih dari seratus persen.

"Jangan lupa SOP saat memasuki ruang praktek." Amira mengingatkan ketika anak-anak mulai berjalan sesuai kelompok.

"Yang gak bawa peralatan dan seragam praktek bisa absen ke Bu Rina dulu," kata Amira mengikuti anak-anaknya menuju ruangan yang ada di samping.

Amira memastikan ruangan siap digunakan, dia mengecek beberapa tabung elpiji kemudian melihat kebersihan tempat dan juga barang-barang yang dibawa setiap kelompok.

"Kita harus masak enak, biar menonjol di depan pak Dinan."

"Iya, kan kata pak Dinan dia cari calon istri yang pintar masak."

"Bener, siapa tahu diantara kita yang terpilih."

"Emang kalian mau?"

"Kenapa enggak? Pak Dinan mapan, tampan, beriman. Apa lagi yang kurang?"

"Ingat umur."

"Umur gak jadi patokan. Lihat Rosulullah menikah dengan Khadijah diusia muda dan jaraknya jauh. Begitu pula dengan Aisyah."

"Iya."

"Terserah, tapi jangan kecewa berlebih kalau terhempas."

Amira sebenarnya tidak ingin mendengar perbincangan anak didiknya namun mau bagaimana lagi, telinga Amira terlalu peka untuk tidak mendengarkan.

"Sudah, jangan banyak ngobrol nanti keasinan." Amira mendekati anak-anak yang sedang ngobrol.

"Yah, jangan dong Bu Mira." Amira terkekeh geli.

"Sudah lanjutkan," kata Amira kemudian mengambil oprone di laci. Amira mengenakan dengan mata yang masih mengikuti gerakan anak-anaknya.

"Perencanaan dikumpulkan ya!" Amira sedikit berteriak karena jika dia berkata dengan pelan percuma, tak akan didengar.

"Ini Bu," kata Julia memberikan buku berukuran folio.

"Terima kasih." Amira mengambilnya kemudian dia duduk di kursi. Dia mengamati gerakan anak didiknya dalam diam.

Setelah Amira melihat tumpukan buku diam mencari bulpoin untuk memberi tanda tangan. Namun dia tak menemukan di sakunya. Dia membuka laci namun juga tak ada satupun wujud bulpoin. Amira menghela napas kemudian dia melangkah keluar untuk mengambil bulpoin di ruang perencanaan.

Amira mengerut heran saat di ruangan itu hanya melihat Dinan yang sedang memegang celemek dua warna di tangan kirinya dan ponsel di tangan kanan. Amira masuk dengan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." Amira segera masuk saat Dinan menoleh sambil menjawab salam.

"Anak-anak udah mulai?" Amira hanya menjawab dengan lirih. Amira mencari bolpoin di dalam tas namun dia tak jua menemukan dia berdiri dengan tegak sambil berpikir, dia mulai mengingat di mana dia menaruh bulpoin.

"Cari apa?" Amira menoleh ke arah Dinan.

"Bulpoin." Amira menjawab dengan wajah kesal. Dia sebenarnya sudah sangat lelah.

Amira merasakan tangannya disentuh kemudian dia merasakan ada benda kecil terselip di telapak tangan. Dia menunduk kemudian menoleh ke arah Dinan yang sedang menatapnya datar.

"Saya punya sendiri," kata Amira.

"Tapi saya lihat kamu kebingungan mencari," kata Dinan memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Tapi saya bisa berusaha." Amira hendak memberikan kembali bulpoin Dinan.

"Tidak perlu. Ambil saja!" Dinan mengatakan dengan santai.

"Pak," panggil Misye yang ada di depan pintu, entah sejak kapan guru bahasa Inggris itu berdiri di sana.

"Masuk, Bu!"

"Gak deh, malas melepas sepatunya." Misye mengatakan dengan tenang dan terselip nada manja di dalamnya.

"Tadi bu Rina bilang sudah ditunggu pak Dinan." Amira menatap dua guru itu bergantian dia tidak mengerti hal apa yang terjadi.

"Iya, ini." Dinan memberikan celemek kepada Misye hal ini membuat Amira semakin bingung.

"Dlo, Bu Mira tidak menunggu anak-anak." Dinan menatap Amira yang nampak salah tingkah.

"Ini mau ke sana."

"Saya diberi tugas untuk membantu penilaian." Dinan mengatakan itu kepada Amira, namun Amira seolah tak perduli dia hanya mengangguk kemudian berjalan keluar ruangan. Tak lupa dia menoleh ke belakang dan dia melihat Dinan menutup pintu dan berjalan mengikuti langkahnya bersama dengan Misye.

---

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience