17

Drama Completed 1265

_Waktu itu adalah jawaban. Dari proses yang dialami dan dari usaha yang diusahakan._

---

Dinan berjalan menuju rumah Nirmala dengan tergesa-gesa, dia melihat Nirmala yang sudah berkacak pinggang di depan rumah.

"Jelaskan!" seru Nirmala.

"Aku mau masuk." Dinan menyingkirkan Nirmala dari hadapannya.

"Kamu," kata Nirmala dengan suara serak.

"Jelaskan Dinan!" Nirmala duduk di sebelah Dinan dengan santai.

"Apa?" tanya Dinan sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.

"Semuanya," kata Nirmala dengan suara tegas.

"Baiklah," kata Dinan membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Nirmala. Dia menaruh ponselnya di atas meja dan menatap Nirmala dengan serius.

"Ayo jelaskan!" Dinan menatap mimik mata Nirmala.

"Aku haus," kata Dinan kemudian mengambil posisi duduk bersandar santai dan kembali mengambil ponselnya.

"Dinan," kata Nirmala kesal seraya menghadiahkan banyak pukulan di tubuh Dinan.

"Jangan bercanda," kata Nirmala hingga meneteskan air matanya.

"Maaf," kata Dinan masih fokus pada ponsel, namun bisa dipastikan bahwa ponsel itu berlayar gelap, mati.

"Kenapa gak bilang?" Nirmala berkata dengan terisak.

"Aku tak tahu bagaimana caranya," kata Dinan pelan. Nirmala mengusap air matanya, kemudian menoleh ke arah Dinan.

"Jadi kalau aku gak lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu akan tetap menyembunyikan fakta ini?" Dinan menoleh kemudian tersenyum tipis.

"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku tidak akan membiarkan kamu terluka." Dinan meletakkan tangannya di atas kepala Nirmala, namun Nirmala menepisnya.

"Aku tak sebodoh itu," kata Nirmala membuang muka.

"Anggap saja dia bukan jodohmu," kata Dinan sambil menaruh ponselnya.

"Jangankan hanya anggapan. Tapi ini kenyataan." Dinan mengangguk.

"Don't crying, please!" Dinan membawa Nirmala kedalam pelukannya. Dia tahu, sejak dulu Nirmala menaruh rasa pada sahabatnya namun Dinan bisa apa jika Faris ternyata sudah melangkah lebih jauh dengan wanita lain.

"Aku nangis bukan karena patah hati," kata Nirmala.

"Lalu?" Dinan membelai lembut punggung Nirmala.

"Aku menangis karena selama ini telah menyia-nyiakan waktu yang aku miliki dengan mengharap dia," kata Nirmala dengan jelas kemudian terdengar isakan yang sudah tak bisa dia tahan lagi. Kini Dinan hanya bisa diam saat Nirmala dengan sengaja menjadikan kemejanya sebagai lap ingus, iler dan iluhnya. Dinan tahuakan terjadi seperti ini.

"Tapi aku dengar mereka dijodohkan," kata Nirmala sambil mengelap hidungnya dengan lengan kemeja Dinan.

"Bisa dibilang begitu, bukan dijodohkan tapi dipilihkan oleh orangtuanya." Nirmala mendongak dengan mata berbinar penuh harap.

"Berarti aku masih memiliki kesempatan." Senyum Nirmala terbit dengan penuh keyakinan.

"Maksudnya?" Nirmala berkata dengan mencondongkan tubuhnya dan membawa bibirnya menuju dekat telinga Dinan.

"Rahasia." Dinan melotot kemudian meninggalkan Nirmala untuk mengambil minuman, dia tidak bohong jika dia bilang sejak tadi bahwa dia haus. Nirmala melepas tawanya melihat gelagat kesal pada diri Dinan.

---

Dinan kembali ke universitas, dia ada janji untuk bertemu salah satu dosen di sana. Dia datang lebih awal, dia pikir hal itu lebih baik daripada membuat orang lain menunggu. Namun niatan hanya ada di dalam hatinya karena tak bisa mempunyai bahwa kekesalan tengah menyapanya. Dia kesal, setelah dia datang lebih awal ternyata dosen yang dia cari sedang ada workshop di luar kota beberapa hari. Dia sangat menyayangkan sikap sang dosen. Dinan menghela napas kemudian kembali berjalan menuju mobilnya. Dia akan segera pulang untuk menghilangkan rasa kesalnya.

Dinan manusia biasa, dia juga memiliki rasa kesal dan juga marah seperti manusia pada umumnya. Namun, dia memiliki kendali yang sangat baik selama ini. Dinan jadi teringat Amira dan dia secara langsung mendatangi rumah kontrakan.

Entah apa yang dilakukan oleh Dinan yang pasti dia ingin melihat Amira walau hanya dari jauh. Dinan mengerutkan dahinya saat melihat mobil merah yang terparkir di depan rumah Amira, dia merasa tak asing namun dia lupa melihat di mana. Dinan turun dari mobil saat mesin sudah benar-benar mati.

"Assalamualaikum," salam Dinan membuat seorang remaja keluar.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab seorang gadis yang tak dikenal Dinan.

"Mas yang nyari mbak Mira bukan?" Dinan mengangguk.

"Wah, baru saja tadi pagi mbak Mira boyong. Mbak Mira sekarang tinggal sama ibunya di perumahan dekat sekolah." Dinan terdiam kemudian dia mengangguk.

"Pindah?"

"Iya Mas." Dinan mengangguk.

"Baiklah terima kasih." Dinan kemudian pamit, kemudian dia meninggalkan rumah kontrakan Amira. Dia masih heran dengan mobil merah yang masih terparkir di pinggir jalan.

---

Dinan kembali berkutat dengan buku yang ada di depannya setelah dia melaksanakan sholat isya. Dia duduk di ruang tengah sambil menunggu sang ibu yang katanya akan segera datang.

Dinan menutup bukunya kemudian dia menghela napas, tidak pernah dia sesuntuk ini biasanya dia nyaman dengan kesendirian entah pengaruh dari mana membuat dia tak nyaman dengan ketenangannya berada di zona nyaman.

Dinan beranjak dari duduknya, kalau ada yang tahu kerisauan Dinan pasti semuanya akan merasa tertarik dengan suara yang sudah siap disemburkan oleh Dinan. Entah, dia merasa heran mengapa dia berubah menjadi lelaki banyak bicara dan bertingkah.

Dinan memasukkan bukunya di dalam jejeran tumpukan buku kemudian dia mengirim pesan kepada sang ibu bahwa dia pergi menemui Doni. Dia butuh didengar dan yang dalam pikiran Dinan saat ini adalah menemui Doni.

"Ngopi aja yuk!" Doni keluar dari rumah.

"Masak baru datang, aku mau nyapa bapak dan ibu dulu." Dinan hendak melangkah namun ditahan oleh Doni.

"Udah gak ada, bapak dan ibu pulang kemarin." Dinan menoleh ke arah Doni.

"Kenapa?"

"Biasa mendekati waktu panen di desa." Doni melepas cekalan tangannya kemudian melangkah keluar gerbang. Dinan dia sejenak kemudian melangkah mengikuti Doni menuju tenda yang ada di pinggir jalan––warung kopi.

"Kopi pahit satu, kamu apa?"

"Teh tawar saja." Dinan melepas sendal kemudian mengambil duduk di atas tikar.

"Tumben tanpa kabar tiba-tiba datang," kata Doni mengambil duduk di sebelah Dinan.

"Di rumah sepi." Dinan mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya.

"Emang bunda belum pulang?" Dinan menggelengkan kepalanya. Kemudian keduanya terdiam, menikmati semilir angin malam dan suara bising perbincangan juga musik suara kendaraan.

"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Amira?" Dinan menoleh kemudian kembali menghadap ke arah depan dalam diam.

"Woe, ini tanya." Doni gemas dengan sikap Dinan. Dia memang sudah biasa dengan pembawaan Dinan namun kadang rasa kesal juga menghampiri jika dia sedang pada mood tak sejalan, seperti saat ini.

"Biasa saja," jawab Dinan membuat Doni semakin gondok, daripada membuat ribut Doni memilih diam dan mengamati jalan. Doni tahu, minum kopi dengan Dinan sama saja minum sendiri kecuali jika Dinan pada mode ingin berbicara.

"Tahun baru ada acara?" Dinan menoleh ke arah Doni.

"Gak ada, tahun baru cenderung hujan. Mending di rumah." Dinan menoleh ke jalan. Dia menghela napas.

"Gak boleh mendahului kehendak Allah," jawab Dinan dengan tenang.

"Dla itu fakta, tahun baru sering kali hujan." Dinan tidak menyalahkan pemikiran Doni karena memang ada benarnya.

"Kenapa?" Doni mengambil cangkir kopi yang sudah datang.

"Enggak ada."

"Emang situ mau kemana?"

"Seperti biasa." Dinan menyeruput pelan teh tawar.

"Di lapangan alun-alun ada konser. Minat gak?" Dinan menatap Doni cepat, dia tidak salah dengar bukan Doni mengajak dia nonton konser hal yang sangat dihindari oleh Dinan.

"Ya kan aku cuman ngasih ide, jangan natap horor gitu!" Dinan mengangkat sudut bibirnya kemudian kembali menekuni cangkirnya.

"Tapi lumayan loh, artisnya cukup banyak yang terkenal." Doni kembali bersuara.

"Aku heran, laki benar gak sih kamu!" Dinan menoleh cepat, untung dia tidak sedang minum bisa tersedak atau menyemburkan minumannya karena terkejut dengan ucapan seronoh Doni.

"Kamu...." Dinan tak melanjutkan ucapannya dia sadar bahwa Doni sedang mengujinya, terlihat dari tawa yang sedang ditahan oleh sahabatnya.

"Kamu aneh, Dinan. Enggak suka sepak bola, basket, volly, dan olahraga lainnya. Gak suka balapan motor gak suka balapan mobil dan gak suka nongkrong dan nonton konser. Wajarkan kalau aku menanyakan kenormalan seksualmu!" Dinan melotot kemudian tersedak mendengar ucapan frontal Doni. Dan Doni hanya bisa menyemburkan tawanya.

Dinan mengambil ponselnya kemudian memukulkan ujungnya ke kepala Doni.

"Aku masih punya iman." Dinan mengabaikan Doni yang menggerutu kesal karena Dinan.

"Bercanda kali, Din."

"Bercanda itu lihat tema dan topiknya. Tidak meja bisa dijadikan bawan bercandaan." Dinan menjawab dengan tegas.

"Maaf," kata Doni kemudian sentai menyeruput kembali kopinya.

"Jangan terlalu kaku," kata Doni. Dinan hanya diam saja menikmati keramaian malam yang dia cari.

---

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience