_Jika kamu mengaku sebagai orang berjenis kelamin laki-laki, jangan hanya berani mendekati tapi datangi langsung dan minta izin untuk menghalali._
---
Amira masih membereskan buku saat pak Roni salah satu petugas kebersihan memberitahu bahwa ruangan akan dikunci. Amira segera keluar ruangan sebelumnya dia sudah meminta maaf terlebih dahulu karena menyebabkan pak Roni harus menunggunya.
"Maaf ya Pak," kata Amira sekali lagi setelah keduanya berjalan menuju gerbang.
"Gak papa Bu, ini sudah jadi tugas saya." Amira meringis tak enak. Kemudian dia izin untuk pulang lebih dahulu karena pak Roni bilang bahwa dia akan mengecek kamar mandi, takut masih ada sanyo yang menyala.
Amira keluar melalui gerbang samping, dia berjalan sambil kembali mengulas pikiran. Dia ingat sore itu saat dia tidak sengaja bertemu Dinan, kembali dia katakan tidak sengaja namun hal itu membuat dia sedikit janggal. Jika mengingat kembali bahwa dia sering sekali bertemu dengan Dinan secara tidak sengaja setiap kali dia berjalan bebas di sekitar tempat tinggal lamanya.
Amira kadang dilanda gelisah sendiri, dia menduga bahwa Dinan adalah sosok di balik mobil merah itu namun kadang dia menampik karena secara jelas mobil milik Dinan berwarna hitam. Amira kembali melangkah sambil menganalisis segala kemungkinan, dia merasa tidak yakin dengan sosok Dinan namun ada kalanya dia merasa bahwa Dinan adalah lelaki yang baik dan dia adalah lelaki yang begitu menyayangi keluarga.
Ingatan Amira pada pembicaraan dengan Dinan sore itu, meski sudah sebulan berlalu namun keduanya masih memilih diam dengan pemikiran yang berbeda.
"Apa yang Pak Dinan lakukan di sini?" Amira menatap Dinan dengan bingung.
"Tidak ada." Dinan menjawab dengan tegas kemudian menunjuk arah mobil yang dia parkir. Amira mengerutkan keningnya bingung.
"Maksudnya?"
"Mobil saya di sana. Mari saya antar pulang." Dinan berjalan lebih dahulu tanpa menghiraukan tanggapan Amira. Sehingga mau tidak mau Amira mengikuti langkah Dinan.
Sepanjang perjalanan keduanya masih diliputi oleh kediaman, karena tak ada salah satu yang ingin memutus pemikiran masing-masing. Hingga mobil terparkir rapi di depan rumah Amira yang baru.
"Tidak ingin turun?" Amira tergagap kemudian dia tersadar bahwa dia sudah ada di depan rumah.
"Tunggu dulu, dari mana pak Dinan tahu rumah saya?" Amira menatap lekat Dinan, dia berharap bahwa Dinan adalah orang yang ada di dalam mobil merah yang selama ini terus mengintainya. Karena dengan begitu dia bisa dengan mudah memukul mundur Dinan dari daftar sosok yang akan dia jadikan sandaran.
"Dari Nirmala." Amira menoleh cepat, kemudian dia menghela napas seolah hal yang diucapkan oleh Dinan adalah sesuatu yang sangat mengecewakan.
"Mengapa?" Amira menoleh kemudian dia menggelengkan kepalanya. Amira melepas sabuk kemudian merapikan pakaiannya.
"Apa yang aku katakan di malam itu kamu anggap lelucon?" Dinan berkata dengan nada datar, Amira bisa melihat mata lelaki itu masih fokus ke depan tak sedikitpun menoleh ke arahnya.
"Tidak, sama sekali tidak." Amira menjawab dengan ragu.
"Lalu?" Amira melihat Dinan menoleh empat puluh lima derajat sehingga Dinan bisa melihat dirinya dari sudut matanya.
"Tidak ada. Lalu apa lagi?" Nada suara Amira datar hal itu mengusik pendengaran Dinan.
"Apa yang terjadi?" Amira dan Dinan saling menatap satu sama lain, entah mengapa Amira tak sanggup lagi berkata-kata dia seolah kehilangan semua rangkaian kalimat yang sudah dia rancang, dia ingin memukul mundur Dinan seperti saat tadi dia menyerang Fatih, namun dia tidak mampu.
Amira membuang pandangan kemudian dia kembali menoleh ke arah Dinan yang melihatnya dengan sorot mata curiga.
"Saya tidak bisa menjelaskan," kata Amira membuat Dinan diam, karena dia juga tidak tahu seperti apa yang ingin dia dengar.
"Kamu tahu, saya sudah menemui kakakmu." Amira menoleh dengan cepat, seolah hal yang dia rencana tiba-tiba ada di depan mata.
"Itu yang tak bisa saya jelaskan. Bagaimana bisa pak Dinan menemui Abang padahal secara pasti kita tidak memiliki hubungan yang mengharuskan pak Dinan dekat dengan keluarga saya." Dinan menatap Amira tidak suka.
"Maksudnya?"
"Iya, kita hanya sekedar rekan kerja tidak lebih. Jadi itu menjadi janggal jika pak Dinan menemui Abang saya."
"Berarti kamu pikir ucapan saya hanya sebuah banyolan?" Dinan bertanya dengan nada sinis, Amira menetap Dinan lekat kemudian kembali membuang muka.
"Itu yang tidak saya suka dari seorang lelaki," kata Amira dengan wajah nanar, dia menaikan volume suaranya.
"Saya tidak suka lelaki bekerja dengan logikanya, tidak sama sekali memikirkan perasaan orang lain. Ini hidup saya, saya yang memiliki hak untuk memilih." Amira mengeluarkan suara yang tak mampu dia luapkan di depan sang kakak.
"Saya seorang wanita yang ingin dimengerti keinginannya buka diatur untuk berjalan sesuai dengan harapan lelaki. Lelaki memang seorang pemimpin bagi wanita tapi wanita juga memiliki hak untuk mengeluarkan aspirasi." Dinan menghela napas, dia tahu akan seperti ini jika menghadapi seorang wanita dengan rasa ketakutan atas pikirannya.
"Saya tidak ingin diatur berlebihan, tidak ingin dicurigai, tidak ingin dipojokan. Saya ingin ikut andil dalam memilih masa depan saya, apa itu salah?" Amira berkata dengan nada lemah dan tak lama terdengar isakan. Dinan menghela napas dia bingung menghadapi wanita dengan segala pemikirannya yang rumit.
Amira merasakan tubuhnya masuk ke dalam dekapan hangat, dia tahu saat ini Dinan tengah memeluknya. Amira hanya diam saat dia merasakan kenyamanan dengan belaian lembut di punggungnya. Dia merasa terlindungi saat ini, dia terlindungi jika dia bersama dengan Dinan namun dia masih merasakan keraguan yang mendalam.
'Selamat datang, cinta! Tapi maaf aku tak bisa mengekspresikanmu.'
"Mari kita menikah!" Amira segera melepas pelukannya, masih terhitung belum ada satu jam dia sudah mendapatkan dua ajakan sakral yang membuat dia ketakutan.
"Hai, jangan takut," kata Dinan menggenggam tangan Amira.
"Jangan katakan itu atau aku akan menjauhi pak Dinan." Amira berkata dengan tegas.
"Ada apa? Apa yang salah?"
"Kalimat ajakan Bapak yang salah." Amira berseru dengan tegas, dia melihat Dinan nampak putus asa tapi semua itu tidak mengurangi keputusan Amira.
"Ada apa? Bukankah wanita membutuhkan komitmen. Dan aku memberikannya kepadaku dengan niat ibadah kepada Allah Amira." Amira menoleh cepat ke arah Dinan, dia melihat kekesalan di mata Dinan. Dia juga melihat keseriusan dalam ucapan itu.
Amira tersadar satu hal, dia berhenti mengingat kejadian sore itu. Dia diam di pinggir jalan. Dia menemukan satu alasan kuat untuk mencintai Dinan, yaitu niat dia menikah karena Allah. Tapi semua itu belum cukup baginya, dia menghela napas panjang. Kejadian satu bulan yang lalu sungguh mengusik dirinya. Bagaimana tidak setelah Amira mendengar niatan Dinan dengan tegas Amira mengatakan bahwa dia menolak Dinan.
"Maaf pak Dinan tapi saya tidak bisa." Begitulah rentetan kalimat yang keluar dari bibir Amira sebelum dia meninggalkan Dinan seorang diri di dalam mobil.
Amira tidak menyadari jika kini dia sudah ada di depan rumahnya, dia memukul kepalanya karena terlalu asik dengan pikiran yang membuatnya mengganjal.
"Mengapa tak segera masuk?" Amira menoleh dengan cepat dan dia kembali merasa terkejut dengan kehadiran Dinan yang sudah berdiri tak jauh dari gerbang rumahnya.
"Apa yang pak Dinan lakukan?" Itu kalimat yang dikeluarkan Amira setelah sadar dari rasa terkejut. Itu pula kalimat pertama setelah hampir sebulan tak ada tegur sapa diantara keduanya.
"Saya?" Amira mengangguk.
"Saya berdiri mengamati hal konyol yang kamu lakukan." Amira meringis mendengar ucapan Dinan.
"Bukan itu, bagaimana bisa pak Dinan di sini?" Amira meralat ucapannya.
"Saya, tadi saya berjalan kaki." Amira berdecak gemas dengan keluguan yang sedang diperankan oleh lelaki sederhana di depannya.
"Jelas bukan itu maksud saya," kata Amira.
"Pak Dinan bukan penguntit itu kan?" Amira menatap Dinan dengan wajah curiga.
"Penguntit?"
"Iya, yang selama ini memata-matai saya." Amira menilai ekspresi wah Dinan. Namun bukan merasa terpojokkan atau gugup yang dia dapat melainkan wajah datar.
"Orang itu masih mengikuti kamu?" Dinan balik bertanya kepada Amira, hal itu membuat Amira semakin yakin bahwa bukan Dinan orang yang ada di dalam mobil merah.
"Iya," kata Amira tidak yakin. Dinan terdiam kemudian dia mengedarkan pandangannya, sehingga dia menemui sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari rumah Amira.
"Apa mobilnya berwarna merah?" Amira menatap Dinan.
"Iya, warnanya merah." Amira melihat Dinan dengan sorot mata kagum juga ada rasa yang membuncah di dalam dadanya.
"Kamu bisa melihat di arah jam empat." Amira segera menoleh.
"Jangan terlalu ketara, bisa membuat curiga."
"Eh, maaf." Kata Amira pelan kemudian dia mencoba menengok ke arah yang ditunjuk Dinan dengan pura-pura sambil mengatakan sesuatu kepada Dinan. Dan benar matanya melihat mobil merah itu.
"Itu mobilnya," kata Amira pelan. Dinan mengangguk.
"Baiklah, segera masuk." Dinan berkata dengan nada perintah yang tak bisa dibantah.
"Tapi...." Dinan menatap Amira dengan tajam. Hal itu mempengaruhi Amira terbukti dengan Amira yang merasa kesusahan membuka kunci pagar.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Farid mendekati Dinan.
"Ini, menyapa rekan kerja." Amira menoleh ke asal suara. Dia melihat lelaki menyapa Dinan.
"Pak Faris." Amira menyapa lelaki itu sambil mengangguk.
"Oh, kalian mengajar di tempat yang sama ya. Saya lupa." Faris berkata sambil menoleh ke arah Dinan dan Amira bergantian.
"Iya," kata Dinan dan Amira bersamaan.
"Wah berarti lain waktu kita juga akan menjadi rekan kerja juga, Amira." Faris berkata dengan senyum ramah.
"Iya, jika dia tidak berubah pikiran." Amira menatap wajah Dinan, dia tak mengerti arah pembicaraan.
"Jadi dia," kata Faris tak dilanjutkan saat melihat mata Dinan.
"Baiklah, cepat masuk." Dinan mengatakan ke arah Amira.
"Ayo!" Dinan menarik tangan Faris untuk meninggalkan Amira.
---
Share this novel