°Iri pada suatu kebaikan yang tak mampu dilakukan itu seperti kita inginkan memetik bintang di langit.°
----
Sejak kejadian sepekan yang lalu, Nirmala tidak pernah membiarkan Amira pergi seorang diri. Dia bahkan rela menjemput Amira saat berangkat bersama. Atau akan memaksa Dinan untuk menjemput Amira karena keduanya satu arah.
Kebetulan Amira berangkat pagi karena dia sebagai salah satu guru penjaga ujian akhir semester satu. Jadi mempermudah tranparansi, di antar dan dijemput. Jika ingin pergi maka Nirmala dengan senang hati menemani. Tapi selama sepekan ini bisa dibilang Amira yang menemani kemana saja perginya Nirmala. Namun, dia tidak keberatan karena dia merasa senang seolah dia memiliki saudara yang tak dia rasakan. Bukan karena Amira anak tunggal tapi karena saudaranya berbeda dengan saudara-saudara yang pada umumnya, saudara yang dimiliki Amira cenderung individual tak memikirkan orang lain.
"Aku boleh tanya?" Amira meletakan gelas yang dia pegang.
"Boleh kok, Mbak. Bertanya belum dipungut biaya," kata Amira sambil bercanda.
"Kamu bisa bercanda juga ternyata." Amira meringis mendengar ucapan Nirmala. Ah, Nirmala tidak tahu saja seorang Amira dulu.
"Mau tanya apa?" Nirmala membenarkan posisi duduknya.
"Kamu kan guru boga, jadi kamu adalah guru yang mengajarkan kepada anak didiknya untuk membuat menu dan konsep menu yang menarik dan seimbang." Amira mengetahui hal yang menjadi pokok pembicaraan, namun dia masih tenang menunggu kelanjutan ucapan Nirmala.
"Tapi sudah sekian kali kita makan bersama, kamu sepertinya selalu makan sesuatu yang menurut pengamatanku gak maching." Amira terkekeh, kemudian mengangguk.
"Ada banyak alasan sebenarnya kalau masalah itu." Amira kembali meminum jus yang ada di gelasnya.
"Kenapa? Aku penasaran!"
"Alasan pertama, karena saya suka coba-coba. Kedua, karena saya sesuatu yang beda supaya bisa mendapatkan sensasi yang berbeda pula. Dan masih banyak lagi alasannya."
"Semua itu tentang kamu?" Amira mengangguk sebagai jawabannya.
"Contohlah saya suka makan bakso tanpa saos, kecap dan sambal. Itu karena saya sudah pernah mencoba semuanya dan yang paling cocok cita rasanya yang tanpa campur." Amira berkata dengan santai.
"Kamu memakan apa yang kamu suka?" Amira mengangguk.
"Saya suka makan apa yang saya suka dan saya mau."
"Kamu pemilik selera yang aneh," kata Nirmala dengan nada mengejek.
"Kata dosenku dulu 'jadilah diri sendiri.' begitu." Nirmala mengangguk setuju.
"Wah, benar kan yang aku lihat." Nirmala dan Amira mendongak menatap wajah lelaki yang berdiri di depan meja.
"Boleh gabung?" Fatih sudah duduk tanpa menunggu jawaban dari dua perempuan yang sedang menatap heran.
"Kamu?" Amira seolah kehilangan suara saat menatap Fatih, sudah lama dia tidak bertemu dengan lelaki itu.
"Kenapa terkejut begitu?" Fatih menatap wajah Amira dengan lekat.
"Kamu mengenalnya?" tanya Nirmala menoleh ke arah Amira.
"Iya Mbak." Amira mengaguk kemudian dia memasang wajah datar.
"Boleh gabung kah?"
"Kalaupun dilarang juga kami sudah duduk." Amira berkata dengan santai, Nirmala menyadari perubahan sikap Amira, dia menduga-duga hubungan diantara keduanya.
"Itu kamu tahu," kata Fatih sambil terkekeh.
Kemudian perbincangan mengalir begitu saja, bahkan Nirmala yang awalnya tak suka menjadi aktif dalam berinteraksi dengan Fatih secara lisan.
---
"Kamu perlu beli baju?" tanya Nirmala setelah keluar toko sepatu.
"Gak perlu, baju aku masih banyak yang layak kok," kata Amira membawa belanjaan Nirmala yang bejibun. Dia baru tahu kalau Nirmala itu shopingholic karena selama ini jarang sekali Nirmala mengajak belanja tapi sekali belanja semua toko dia datangi.
"Buat study tour lusa?" Amira menggeleng sambil tersenyum.
"Gak perlu Mbak, nanti beli di sana saja kalau perlu." Amira berjalan menuju salah satu autlet yang cukup terkenal.
"Kamu gak keberatan kalau aku ke dua toko lagi?" Amira menggeleng sambil terkekeh. Tentu saja dia tidak keberatan justru dia menikmati kebersamaan dengan Nirmala, sebab dia merasa kebersamaan dengan Nirmala adalah kebersamaan bersama saudara yang tak pernah dia rasa.
"Mira, nanti sebelum berangkat tour kamu nginap di rumahku, Ya. Biar mudah berangkatnya." Nirmala kembali mencoba sepatu yang dia pilih.
"Mbak yakin mau pakai high heels?"
"Kenapa emangnya?"
"Dalam Islam itu dilarang, karena mengubah qodrat selain itu juga karena tidak baik untuk kesehatan." Nirmala mendongak, dia menatap Amira kemudian menatap sepatu yang sedang dia coba.
"Bahaya banget ya?" tanya Nirmala polos.
"Banget, soalnya saat kita berjalan kaki kita menjadi tumpuan dari seluruh berat tubuh, dan dengan mengenakan high heels maka beban yang diberikan kepada kaki kita menjadi tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan menggunakan sepatu flat." Nirmala melepas sepatunya kemudian dia tersenyum tipis.
"Gak beli deh," kata Nirmala membuat Amira tersenyum.
"Tapi kalau jalan sama Dinan gak pakai sepatu hak tinggi, aku kayak anak kecil jalan sama bapaknya." Nirmala berjalan menuju rak sepatu flat.
"Gak papa, Mbak Mala kan jadi terlihat muda. Sudahlah Mbak disyukuri saja." Nirmala menoleh ke arah Amira yang memasang wajah biasa.
"Kamu bilang aku tua?" Amira menggelangkan kepalanya.
"Amira kan bilang biar awet muda, gak bilang Mbak Mala tua."
"Iya juga sih," jawab Mala sambil menunjuk sepatu flat di depannya.
----
"Din, kamu gak bercanda?" Nirmala sudah menanyakan hal ini sejak kemarin.
"Apa sih, Mal!" Dinan masih sibuk dengan jalan.
"Kenapa kamu bisa satu bus denganku. Bukankah kamu ada di bus delapan?" Dinan melirik sekilas melalu kaca tengah kemudian tak menghiraukan.
"Dinan," panggil Nirmala dengan berteriak, membuat Amira yang yang masih setengah mengantuk terjengkit kaget.
"Apa sih Mala?" Amira menghela napas, dua saudara ini jika bersama selalu saja ada yang menjadi perdebatan.
"Kamu sengaja biar bisa ngawasin aku kan?" tuduh Nirmala membuat Dinan berdecak.
"Gak ada niat," kata Dinan kemudian dia membelokkan mobilnya ke kanan.
"Pak, nanti mobil tolong diantar ke rumah ya," kata Dinan kepada pak Bagas, sopir rumah Nirmala.
"Enggeh, Mas." Dinan memarkirkan mobilnya di jalan supaya pak Bagas tidak terkena macet mobil antar jemput.
Amira menghela napas kemudian dia ikut membuka pintu saat Dinan juga melakukanya.
"Tumben banget bawaannya sedikit?" tanya Dinan saat menurunkan satu tas ransel, dia tahu ransel itu milik Nirmala karena dia hafal benar.
"Iya, nih sama Amira gak boleh bawa banyak barang. Jadi tas itu hanya isi switer dan beberapa peralatan seperti selimut saja." Amira merasa kikuk saat Dinan menoleh ke arahnya kemudian tersenyum tipis.
"Kali ini berarti kamu memilih teman yang tepat," kata Dinan membawa ransel Nirmala diikuti dengan Nirmala dan Amira.
"Emang selama ini temanku salah?"
"Bisa jadi," kata Dinan. Amira tak bisa menahan senyumnya saat dia mendengar gerutuan Nirmala.
"Tapi Nan, ingat ya! Dia bukan temanku tapi saudaraku." Amira terharu dengan perkataan Nirmala yang menganggapnya sebagai saudara.
"Iya, bentar lagi juga jadi saudara kamu." Amira terdiam kemudian dia menoleh ke arah Nirmala yang juga tengah menoleh ke arahnya. Amira melihat Nirmala mengangkat bahu kemudian dia juga melihat telunjuk Nirmala menuding ke arah Dinan kemudian mengetuk-ngetuk di pelipisnya.
Amira diminta untuk mengecek dan menempelkan kertas nomor bus. Dia berjalan cukup jauh dari kawasan sekolah menuju bus satu dengan bus yang lain.
"Capek ya?" tanya Doni yang membantunya menempel kertas.
"Iya, jalan dari sono ke sono." Doni terkekeh melihat ekspresi teraniaya Amira.
"Inilah yang dirasakan gurumu dulu, saat mengurus keperluan study tour." Amira meringis sambil mengangguk, dulu saat ada gurunya yang mengeluh sebagian anak didik pasti mencibir.
"Jadi sekarang baru sadar kan, seberapa lelahnya menjadi guru yang menjadi panitia study tour? Jadi bukan hal wajar jika panitia diberi keringanan dalam membayar, selain karena bertanggung jawab terhadap kegiatan dia juga capek mempersiapkan semuanya." Amira mengangguk setuju, karena dia merasakan semuanya namun dia tidak menyesal karena dia bisa melihat wajah-wajah ceria anak didiknya yang beberapa hari lalu berwajah masam karena sibuk dengan ujian akhir semester satu.
"Apa lagi si Dinan, itu orang pasti capek banget. Udah jadi panitia ujian semester masih jadi panitia study tour juga. Bagian ketua bus lagi," kata Doni kemudian memberikan botol air mineral kemasan kepada Amira.
"Kenapa harus malam sih?" tanya Amira sambil berusaha membuka tutup botol tapi tak kunjung bisa, kemudian ada tangan yang merebutnya.
"Karena kalau berangkat pagi, sampai tujuan bakal siang." Amira mendongak menatap Dinan yang memutar tutup botol.
"Pak Dk bener gak jadi ikut?" Doni berdiri dari duduknya.
"Enggak, dia mabuk kemarin pas kita tinjau lokasi." Dinan memberikan botol minum ke Amira.
"Duduk," kata Dinan melihat Amira hendak berdiri. Amira menoleh ke arah Dinan bingung.
"Dinan itu punya prinsip, makan minum harus dengan duduk." Amira menoleh ke Doni, kemudian mengangguk.
"Udah selesai?"
"Sudah." Doni berkata dengan santai.
"Yang bertugas absen anak-anak sebelum masuk siapa?" tanya Doni.
"Nih, si Mala." Amira menutup botolnya kemudian dia melihat tangan Dinan mengulur di depannya.
"Aku duluan, mau bantu Mala." Dinan mengangguk. Amira yang bingung dengan tangan Dinan mendongak, bertepatan dengan Dinan meunduk.
Amira menunduk bingung kemudian dia memberikan botol minum ke Dinan, dia pikir itu yang diminta Dinan. Dia menghela napas lega saat Dinan mengambil air minumnya, namun dia kembali heran saat tangan Dinan kembali di depan wajahnya.
"Kan sudah Pak?" Amira berkata dengan polos, Dinan mengangguk kemudian dia berjongkok di dekat Amira duduk membuat Amira memundurkan tubuhnya. Dinan mengambil tangan Amira dan membawanya berdiri.
"Eh," kata yang keluar dari bibir Amira secara alami.
---
Share this novel