-Di Dunia ini tidak ada yang berkuasa atas waktu kecuali diri sendiri. Tapi siapa juga yang bisa melepas waktu jika dia adalah penentuan. Waktu adalah satu dari sekian kekuasaan Allah atas diri manusia.-
---
Amira hanya diam sepanjang perjalanan, dia tidak tahu hendak kemana Dinan membawanya pergi. Karena sejak mengucapkan permintaannya Dinan seolah diam dan berenang bersama pikiran dan spikulasi sendiri.
Amira tahu jika jalan ini menuju sebuah kawasan yang sangat dia kenal, tempat di mana dia dan Dinan tidak sengaja bertemu. Amira terdiam saat Dinan membawanya menuju sebuah rumah makan yang bergaya klasik, sangat cocok untuk tongkrongan berbagai usia. Amira mengamati Dinan yang hanya berdiam diri setelah mesin mobil dimatikan.
"Maaf, bisakah kamu menunggu aku sebentar di sini. Aku ada urusan mendadak." Amira menatap tak percaya perkataan Dinan.
"Jangan khawatir, mobil aku parkir di sini jadi aku tidak akan meninggalkan kamu." Amira masih belum juga mengeluarkan suaranya.
"Aku ada bertemu salah satu dewan di universitas Kota. Ini mendesak." Amira hanya tersenyum tipis, dia tidak yakin namun entah mengapa melihat wajah Dinan yang seperti tidak tega meninggalkan sendiri membawa rasa bahagia sendiri.
"Saya akan menunggu," kata Amira membuat wajah Dinan berubah menjadi tenang.
"Jangan pergi sebelum saya datang," kata Dinan tegas dan Amira hanya mengangguk tanda setuju.
"Apa?" tanya Amira saat melihat tangan Dinan mengatung.
"Ponsel." Amira heran namun dia masih mengeluarkan ponselnya dan meletakkan di atas telapak tangan Dinan.
Amira mengamati hal yang dilakukan oleh Dinan, Dinan nampak mengetik sesuatu di ponsel kemudian terdengar suara nada dering dari ponsel Dinan.
"Hubungi saya jika ada apa-apa, jika saya terlalu lama tau kamu mulai bosan." Dinan melepas sabuk pengaman kemudian menyodorkan ponsel Amira.
Keduanya masuk ke dalam rumah makan dan memilih tempat duduk, Dinan akan memastikan bahwa tempat yang ditempati oleh Amira nyaman dan tidak akan membuat bosan. Dinan juga meminta Amira untuk memesan makanan dan minuman. Dinan juga meninggalkan tabletnya supaya Amira tidak diam sambil menunggu. Dan hal kecil itu mengusik kembali ketenangan Amira.
Amira membuka tablet Dinan setelah lelaki itu berpamitan untuk pergi, dia tidak membuka hal-hal yang berbau privasi. Namun entah mengapa dia merasa tertarik dengan sebuah icon yang tertulis galeri. Dengan yakin dia menekan layar kemudian terpampang folder yang amat banyak. Amira heran dengan penulisan folder yang begitu jelas. Ah, lelaki dengan pikirannya.
Amira hanya melihat beberapa contoh berkas dan beberapa foto Nirmala di galeri tablet Dinan. Dia menghela napas bosan, tidak ada yang menarik dari tablet yang dia pegang. Amira mengedarkan pandangannya namun dia tidak menemukan satu orangpun yang dia kenal.
Amira melihat malas segelas jus berwarna merah keunguan di depannya, tadi dia memesan jus buah naga tanpa gula dan susu. Dia mengamati jus itu dalam diam, dia heran pada dirinya sendiri. Apa yang membuatnya dengan mudah meng'iya'kan ajakan Dinan. Mengapa dia selalu tidak bisa menolak.
Jangan bodoh Amira, kamu sudah jatuh pada pesona lelaki sederhana itu. Hati Amira menjawab semua keraguan yang menghinggapi pikirannya.
Amira harus mengakui bahwa dia menyukai lelaki sederhana itu, namun dia juga tidak bisa memungkiri bahwa dia juga tidak mampu melangkah maju bersama dengan lelaki sederhana itu. Sederhananya, Amira merasa tidak cocok.
Amira menoleh ke arah pintu berharap sosok yang dia tunggu segera datang, namun dia justru dikejutkan dengan kehadiran lelaki yang selama ini begitu dia hindari, Farhat. Mantan terakhirnya itu nampak tersenyum ke arah sebelah kanan dan saat Amira menoleh dia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah dia duga.
Fatih, satu nama yang sudah dia kenal dengan baik. Iya, meski Fatih beberapa bulan lalu melamarnya dan berujung penolakan selang beberapa hari Fatih menemui Amira dan meminta untuk tidak berubah. Dan jadilah antara dirinya dan Fatih menjalin sebuah hubungan pertemanan seperti biasa.
Setelah menjalani kehidupan seperti biasa, saling bertegur sapa dan beberapa kali dia juga sempat minum kopi bersama dengan Fatih, namun fakta bahwa Fatih mengenal Farhat membuat dia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Apa semua ini adalah sebuah kesengajaan? Tapi, Amira masih ingat wajah terkejut Fatih saat dia mengatakan bahwa pernah mengalami kegagalan.
"Ada hubungan apa diantara keduanya?" Amira menghela napas kemudian dia menyeruput jus yang ada di depannya. Awalnya dia ingin tidak terpengaruh dengan apa yang dia lihat namun entah karena apa dia merasa sangat ingin tahu, dan demi menuntaskan keingintahuannya dia harus bertanya secara langsung.
Amira berpikir jika dia tidak mungkin menghampiri keduanya karena dia seorang perempuan terlebih salah satu diantaranya adalah mantan. Amira terdiam kemudian dia memiliki cara untuk melihat reaksi keduanya. Amira berdiri tegak, berusaha memiliki ekspresi bosan sambil mengedarkan pandangannya berharap matanya bertemu dengan mata Fatih. Supaya lelaki itu menyadari kehadirannya.
Amira mencoba untuk yang kali kedua namun Amira masih melihat Fatih dan Farhat nampak berbicara dengan serius. Amira jadi penasaran apa yang keduanya bicarakan. Saat Amira sudah lelah, dia hendak berpikir cara lain namun tanpa dia duga kursi di depannya tergeser.
"Aku berpikir kita jodoh," kata Fatih membuat Amira mendongak. Dan dia terkejut saat Fatih dan Farhat sudah berdiri di depannya.
"Amira," panggil Farhat lirih namun masih di dengar oleh Fatih dan juga Amira.
Amira menaikan satu sudut bibirnya, entah keberanian dari mana namun dia merasa tak lagi rendah di depan mantan terakhirnya.
"Iya, saya belum ganti nama." Amira menjawab dengan santai, seolah dia tengah melempar candaan pada sosok yang berdiri kaku di depannya.
"Kalian saling kenal?" tanya Fatih sedikit heran.
"Iya," kata Farhat. Sedang Amira seolah tak perduli dengan pertanyaan Fatih.
"Boleh kami bergabung?" Amira menoleh ke Fatih kemudian ke arah pintu.
"Silahkan," kata Amira dengan santai, dia mencoba tak perduli dengan keberadaan Farhat.
"Wah suatu kebetulan yang menakjubkan, kamu mengenal adikku." Amira hampir tersedak jika dia bernapas. Amira menatap Farhat dan Fatih bergantian kemudian dia mengeluarkan senyum miringnya.
"Jadi kalian berdua saudara?"
"Iya, dia adikku. Yang pernah aku kenalkan kepadamu." Amira menatap Fatih.
"Jadi dia adikmu yang gagal menikah dan kamu menyalahkan sosok perempuan yang menggagalkan pernikahan hanya karena perbedaan prinsip?" Amira melipat kedua tangannya di atas meja.
"Ya begitulah, aku tidak tega menyalahkan lelaki lempeng satu ini." Amira mengangguk kemudian tersenyum. Dia banyak tersenyum dalam hitingan beberapa menit belakangan ini. Tapi yang disayangkan bukan senyum bahagia namun senyum penuh luka.
"Ya, lelaki ini terlalu lempeng. Wajar jika lelaki ini ditinggalkan oleh kekasihnya." Amira menyahut dengan santai. Fatih menangkap aura tak enak melingkupi adik dan wanita yang dia sukai.
"Oh ya, kalian kenal di mana?" Amira mengangkat satu sudut bibirnya.
"Bagaimana kalau kamu tanyakan adikmu." Amira melempar pertanyaan itu kepada Farhat yang hanya diam saja.
"Dulu dia junior di kampus," jawab Farhat saat menyadari Fatih menunggu jawaban darinya.
"Junior?" Amira tertawa pongah. "Iya, dia adalah seniorku." Fatih menaruh curiga dengan penekanan kata Amira ucapkan.
"Mengapa aku tidak percaya?" kata Fatih membuat Farhat menegang dan Amira tersenyum penuh kemenangan.
"Jika kamu tidak percaya saya tidak memiliki jawaban, tanyakan langsung pada lelaki itu," kata Amira dengan santai, dia kembali meminum jus buah naga yang di depannya. Dia menikmati setiap tegukan dari buah yang terasa sedikit berlendir.
Farhat tergagap, kemudian dia menghela napas.
"Aku harus bilang apa?"
"Kamu butuh bantuan untuk menjawab," kata Amira melihat Dinan yang berdiri di dekat tiang. Lelaki itu nampak hanya diam saja.
"Saya cukup terkejut jika kamu adalah kakak dari lelaki ini. Tapi bukan sebuah keterlambatan bukan untuk saya mengenalkan diri. Saya adalah Amira mantan calon adik ipar kamu." Amira menarik tas yang dia taruh di meja saat melihat Dinan berjalan mendekat. Waktu yang tepat, batin Amira.
"Saya permisi," kata Amira menaruh uang lima puluh ribuan di atas meja meninggalkan dua lelaki yang nampak terkejut. Fatih menatap sang adik tidak percaya sedang Farhat menatap penuh penyesalan ke arah Amira yang mengikuti langkah Dinan. Lelaki yang sama dengan beberapa bulan yang lalu bertemu dengannya di market.
"Bagaimana rasanya?" Amira menatap Dinan saat dia sudah duduk rapi.
"Apanya?"
"Menekan sang mantan." Amira menatap Dinan tidak percaya, dia yakin Dinan belum mengetahui masa lalunya namun bagaimana bisa lelaki itu menanyakan hal seperti itu.
"Dari mana?"
"Tidak perlu tahu, yang perlu kamu ucapkan bahwa sekarang kamu lega." Dinan menyalakan mesin mobilnya. Amira diam tak bersuara, dia sungguh tidak menduga akan seperti ini. Dia tak tahu harus bagaimana menghadapi lelaki yang ternyata tak sederhana dugaannya.
"Sebentar lagi magrib kita sholat dulu sebelum cari tempat makan lagi." Amira mengangguk kepalanya, dia masih bertahan pada kediamannya. Dia sungguh telah jatuh pada lelaki di sampingnya namun sungguh disayangkan dia jatuh pada waktu yang tidak tepat. Mungkin benar kata Nirmala. Dia butuh spikolog untuk bangun dari terpuruk. Dia butuh sembuh untuk berani menggenggam balik tangan yang sudah menggenggam tangannya.
---
Share this novel