~Kenangan bukan untuk dilupakan, namun untuk dikenang dan diambil sebagai pelajaran.~
---
Amira dan Nirmala tertawa saat keluar dari rumah kaca dengan kondisi basah, bagaimana tidak keduanya sering salah langkah dan mendapatkan semprotan air.
"Menyenangkan bukan?" tanya Nirmala membuat Amira tersenyum sambil mengangguk. Keduanya seolah lupa jika saat ini keduanya menjadi pendamping anak didik.
"Capek gak?" tanya Nirmala.
"Lapar." Amira menjawab dengan nada renyah setengah merajuk, membuat Nirmala sedikit terkejut namun dia tersenyum juga.
"Bagaimana kalau kita mencari makan?" Amira mengangguk setuju.
"Kemana kita harus pergi?"
"Ada di dekat kolam dan juga ada di dekat mushola."
"Dekat mushola saja, sambil melihat pemandangan." Amira mengangguk tanda setuju.
"Woe, makan gak ajak-ajak," kata Nirmala menepuk bahu Dinan. Kemudian dia mengajak Amira duduk tanpa izin.
"Udah distinasinya?" Amira melihat wajah datar Dinan. Dia merasa tak enak hati, entah karena apa.
"Ikut gak?" tanya Doni kepada Nirmala.
"Kemana?"
"Wahana reptil." Nirmala mengangguk dan langsung mengikuti Doni.
"Kamu di sini sama Dinan." Amira menoleh dengan wajah heran. Amira menatap wajah Dinan datar membuatnya bingung.
"Kamu kenapa?" tanya Dinan sambil terkekeh. Amira memasang wajah bingung namun dia tetap menggelengkan kepalanya.
"Gak perlu tegang, ini bukan sidang skripsi kok." Amira menatap Dinan, dia tidak menyangka bahwa lelaki itu juga memiliki sisi humor.
"Mau makan apa?" tanya Dinan sambil menaikan tangan.
"Bakso sama jus jeruk." Dinan mengaguk kemudian dia mengatakan hal itu kepada pelayan.
"Kamu, ah. Amira, boleh kan aku panggil begitu?" Amira menoleh ke arah Dinan kemudian mengangguk ragu.
"Biar nyaman." Amira kembali mengangguk.
"Pak Dinan, hari ini terasa aneh." Amira melihat Dinan tersenyum.
"Saya tidak aneh, saya hanya sedang berpikir sesuatu untuk melakukan sesuatu." Amira menatap bakso yang dihidangkan di depannya.
Kemudian dia menyelimuti, Amira sibuk dengan bakso yang ada di depannya sehingga melupakan keberadaan Dinan yang ada di depannya. Setelah selesai makan Amira minum kemudian mengelap bibirnya dengan tisu.
"Bicara soal apa ya pak?" tanya Amira setelah makan. Dinan menatap Amira kemudian kembali diam.
"Menurut Bapak, perkara korupsi e-KTP itu gimana?"
"Yakin kamu mau mengajak saja membicarakan itu?" Amira mengaguk kemudian menggelengkan kepalanya.
"Terus?" Amira sedikit kesal karena Dinan tak berusaha membuat topik pembicaraan.
"Apa harus kita bahas yang lagi jadi trending topik tentang salah satu arti yang lepas jilbab itu?" Amira bertanya dengan nada sedikit ketus.
"Mengapa membicarakan tentang orang lain?"
"Lalu?"
"Mengapa tidak kita membicarakan tentang kita?"
"Apa?" Amira mengutuk bibirnya yang bertanya secara spontan. Dia melihat Dinan yang menatapnya datar.
"Saya tertarik dengan kamu, Amira." Amira menatap Dinan tak percaya, kemudian Amira mengangguk tak tau apa yang dia angguki.
---
Tertarik dan cinta itu hal yang berbeda, karena unsur rasa yang memang tidak sama. Amira berjalan bersama anak-anak satu busnya menuju pertunjukan lumba-lumba. Tadi setelah saling diam keduanya berdiri dan berjalan menuju mushola untuk sholat Dzuhur dan akan pindah ke tempat wisata lainnya.
"Bu Mira," itu ada yang nyumbang lagu." Amira menoleh ke arah panggung pergelaran seni.
"Iya, kamu minat?"
"Gak, malu." Amira terkekeh.
"Bu Mira," panggil siswi itu.
"Iya," Amira menoleh ke arah gadis yang duduk di sebelahnya.
"Pak Dinan kok ganteng banget ya?" Amira menaikan alisnya kemudian dia menoleh ke obyek yang dilihat gadis itu, dia kembali menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya.
"Kalau cantik jadi Bu Dinan dong?" Amira kembali fokus ke arah lumba-lumba yang menunjukkan bakatnya.
"Tapi sayang jarak umur kita hampir duabelas." Amira hanya tersenyum tipis.
"Pak Dinan mah suamiable. Tubuhnya bagus buat bersandar, pasti kuat juga kalau gendong terus wajahnya tampan gak pasaran jadi kalau diajak jalan gak malu-maluin. Terus dia baik banget dan pengertian." Amira semakin risih dengan gadis yang ada di sampingnya. Entah, dia tidak suka jika gadis itu membahas Dinan bersamanya.
"Belajar saja yang benar, baru setelah itu kamu memikirkannya lagi." Amira berdiri dari duduknya untuk keluar dari lingkungan ini. Dia sudah tidak mood lagi menonton pertunjukan lumba-lumba.
"Mau kemana?" tanya Doni yang berdiri di dekat pintu masuk.
"Keluar, di dalam gak nyaman."
"Kenapa? Kamu diajak gosipin Dinan?" Amira menatap wajah Doni tak percaya, dari mana lelaki itu tahu. Padahal lelaki itu sejak dia masuk dan keluar lagi di sini.
"Aku bukan bisa baca pikiran. Tapi aku juga merasakan hal yang sama sejak tadi. Jadi ladang curahan anak gadis orang." Amira melotot tidak percaya, sungguh dia tidak menduga jika penggemar Dinan hingga sedemikian rupa. Dia sering mendengar anak didiknya membicarakan guru satu itu, akan tetapi dia tidak menduga jika mereka sampai berani bercerita kepada sesama guru atau staf sekolah lainnya.
"Kamu tahu reaksi Dinan saat aku mengeluh?" Amira menggelangkan kepalanya, karena dia tidak tahu.
"Dia menatapku dengan datar." Doni berkata sambil menunduk, dia berbisik di sisi kanan Amira.
"Pak Doni yakin?" Amira melihat Doni mengangguk dengan tegas.
"Emang apa lagi? Dia kan tidak memiliki sisi manusiawi." Amira mengerutkan dahinya, dia ingin menyanggah hal itu namun dia urungkan. Baginya Dinan itu manusiawi karena beberapa kali berbincang keduanya nyambung dan nyaman.
"Kalian membicarakan apa?" tanya Nirmala yang sudah berdiri di dekat pintu.
"Itu, si Mira diajak gosipin Dinan."
"Kalian gosipin Dinan?" Doni dan Amira menggelangkan kepalanya.
"Terus?"
"Sudah lupakan, tu pak Mitra sudah memberi instruksi untuk berjalan keluar. Nanti di pasar juga pasti masih lama." Amira hanya diam kemudian melangkah bersama Nirmala.
"Belanja," kata Nirmala sambil tersenyum.
"Don, cari Dinan gih. Aku mau ditemani belanja." Amira menoleh ke arah Doni.
"Nanti aku temani kamu, Dinan biar bareng anak-anak." Amira melihat Nirmala menggelangkan kepalanya tidak setuju.
"Nanti Amira sama siapa? Dia kan mudah lupa jalan. Kalau hilang digorok baru tahu rasa." Doni berhenti kemudian menoleh ke arah Amira dan Nirmala.
"Ngeri banget ancaman kamu," kata Doni dengan wajah datar, namun bukannya takut Nirmala malah tertawa kecil.
"Ya biar ikut sama kita," kata Doni
"Kasian Amira, dia gak gila belanja kayak kita." Amira hanya menikmati perdebatan dua orang ini. Karena baginya ini bukan hal baru.
"Kita? Kamu kali." Doni menyahut dengan acuh kemudian berjalan kembali.
"Ngeselin kan, pantesan Sarah pindah ke lain hati." Doni diam tak menyahut lagi, dia tahu Sarah adalah mantan Doni. Hanya sebatas itu yang dia ketahui.
"Kamu lihat pak Dinan gak?" tanya Nirmala kepada salah satu siswa yang berdiri di dekat lorong seperti gua untuk masuk melihat macam-macam ikan.
"Oh, di sana sama Bu Misye." Siswa diajak bicara Nirmala itu menunjuk Dinan yang sedang berjalan berdua dengan guru bahasa Inggris.
"Dasar," kata Nirmala sambil berdecak kesal. Dia menarik tangan Amira untuk mendekati Dinan.
"Menurut pak Dinan?" Amira mendengar suara Misye bertanya.
"Ya, untuk edukasi tidak ada salahnya."
"Terus, kalau perancangan sistem fullday?"
"Saya tidak memiliki pendapat yang pasti, namun yang paling saya yakini adalah saya tidak setuju. Anak bukan robot yang harus selalu belajar, dia juga harus memiliki waktu untuk mengembangkan apa yang dia inginkan."
"Wah, pak Dinan benar-benar ayahable." Amira tersenyum tipis, dia jadi menyadari satu hal. Bahwa Dinan adalah sosok yang berada di tingkat lebih tinggi darinya, jadi kalau Dinan tertarik padanya itu hanya sebatas obsesi atau ketertarikan bias yang tak akan bertahan lama.
"Dinan." Amira menunduk, dia tidak melihat wajah di depannya, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Dinan, Amira sama kamu ya, aku mau belanja sama Doni."
"Kenapa harus dititipkan? Dia sudah dewasa bisa berjalan sendiri."
"Dia mudah lupa jalan, jadi harus ada yang menjaga."
"Ini tempat umum Bu Mala. Di sini banyak papan denah lokasi, walau guru boga Bu Mira pasti bisa membaca bukan. Iya kan pak Dinan?"
"Iya," jawab Dinan dengan datar. Amira menatap lurus ke depan berharap ada seseorang yang menolongnya, dia tidak ingin memiliki kenangan buruk di tempat ini. Karena dia sudah berniat untuk mengubah kenangannya.
"Kalau gak mau menemani gak usah ngejek juga," kata Nirmala.
"Kamu kenapa si, Mala?" Amira mendengar Dinan bertanya.
"Aku cuman mau kamu merhatiin Amira sejenak." Dinan nampak menghela napas.
"Dia bukan anak kecil."
"Sudah Mbak," kata Amira.
"Mereka benar, saya gak akan tersesat di sini." Amira menatap Dinan dan Misye bergantian.
Amira tersenyum kemudian melepaskan tangannya dari tangan Nirmala.
"Ayo, mbak ditunggu pak Doni," kata Amira melangkah terlebih dahulu.
"Kalau," kata Nirmala sambil berjalan. Amira melangkahkan kakinya menuju gerombolan anak-anak.
"Bu Mira cantik," goda anak-anak membuat Amira tertawa.
"Kalian juga cantik," kata Amira membuat mereka histeris. Kemudian dia menoleh ke arah Nirmala yang nampak enggan meninggalkan dirinya.
"Gak papa," kata Amira. Nirmala mengangguk sambil berlalu dari hadapannya.
"Kalian mau langsung keluar atau mau lihat-lihat di pasar?"
"Bu Mira mau ke mana?"
"Jalan." Amira berjalan meninggalkan anak-anak itu, dia tahu dia orang yang sering lupa jalan tapi dari kelemahannya itu dia belajar arti sebuah semangat untuk belajar dan berjuang. Dia tidak tersinggung dengan ucapan Misye dia diam saja karena dia tidak ingin ada perdebatan panjang di tempat umum.
"Bu Mira cocok pakai baju ini," kata salah satu siswa dengan berani menunjukkan daster dengan motif bunga yang sangat indah.
"Wah, Miss Misye ganti gandengan," celutuk salah satu anak yang ada di samping Amira.
"Makin muda aja yang digandeng." Amira menoleh ke arah Dinan dan Misye yang ternyata ada di toko yang sama dengannya. Dia diam kemudian kembali menekuni baju-baju batik.
"Bu lihat cocok? Beli couple yuk?" ajak Julia yang entah datang dari mana.
"Boleh, tapi warnanya jangan kuning gak lucu ah," kata Amira meninggalkan stan mengikuti tangan Julia menariknya.
"Warna biru bagus," kata Amira. Kemudian keduanya sepakat untuk membelinya.
"Kamu di sini?" Amira menoleh dan mendapati Fatih berdiri di sampingnya saat membalik badan dia bisa melihat Dinan yang menatap ke arahnya.
"Wah, maaf untuk yang tadi. Soalnya saya kehilangan jejak kamu." Amira berkata dengan tak enak hati. Fatih mengangguk kemudian Amira melihat Fatih menoleh ke arah Julia yang menatapnya dengan tatapan mata yang memuja.
"Boleh saya pinjam Bu gurunya?" tanya Fatih membuat Amira terkejut, Julia dengan polos mengangguk kemudian berjalan menuju temannya sebelum berbisik bahwa baju couplenya dia bawa.
Amira mengaguk kemudian dia berjalan di belakang Fatih karena jalan yang cukup ramai.
"Kita lihat aksesoris di sana!" Amira hanya mengangguk tanda setuju. Dia bisa melihat beberapa siswa yang menatap ke arahnya, karena banyak sekali siswa yang study tour jadi di mana-mana dia seolah bertemu dengan siswanya.
---
Share this novel